Pada 12 Desember, ratusan buruh PT CTLI yang tergabung dalam Front Persatuan Serikat Buruh CTLI, meluncurkan aksi massa yang militan di kawasan tambang nikel Morowali dan menang. Mereka berhasil menolak kerja berlebihan, standar kerja yang buruk, insentif produksi dan PHK sepihak. Ini bukan dari belas kasihan kelas kapitalis dan negaranya, tetapi hasil dari perjuangan yang berani dan militan. Mereka telah menghidupkan kembali metode-metode perjuangan kelas yang telah kita kenal sebelumnya selama gelombang masif aksi buruh pada 2011-2012 yang memuncak pada Getok Monas.
Kawasan Industri Morowali merupakan salah satu pusat hilirisasi nikel terbesar di Indonesia. Kawasan industri ini membentang di atas lahan seluas 3.000 hektar dan mempekerjakan 70.000 pekerja di puluhan perusahaan.
Selama beberapa tahun terakhir, terutama semenjak booming nikel, investasi masuk deras ke Indonesia. Ini mengubah hutan-hutan perawan menjadi lumbung eksploitasi nikel. Buruh-buruh muda diseret ke industri ini. Kondisi kerja yang buruk, jam kerja yang panjang, serta minimnya standar keselamatan kerja merupakan realitas yang dihadapi buruh tambang setiap harinya. Eksploitasi kejam ini mengingatkan kita pada karya Engels, Kondisi Kelas Pekerja Inggris yang menggambarkan kondisi kelas buruh di abad ke 18: “Di hunian-hunian semacam ini hidup penduduk yang terkuras oleh kerja, dirampas dari segala martabat manusia.”
Melihat kelas kapitalis menekan upah dan mengeksploitasi secara brutal demi mempertebal dompet mereka, buruh-buruh di kawasan tambang nikel tidak tinggal diam, mereka melawan. Pemogokan dan demonstrasi-demonstrasi yang menyertainya merupakan hal tak terelakkan.
Demonstrasi ini bukan pertama kalinya. Banyak demonstrasi dan pemogokan spontan sebelumnya dikalahkan dan banyak anggota serikat diberangus. Kali ini, buruh-buruh PT CTLI dari dua serikat, F-SPIM dan SPN, mulai melakukan aksi kawasan ‘gruduk pabrik’ tanpa ‘instruksi resmi’ dari pusat.
Bahkan seperti diakui mereka, ini merupakan metode baru yang belum dicoba di kawasan industri sebelumnya. Mereka mengorganisir demonstrasi di tengah kawasan sehingga membuat buruh-buruh perusahaan lain bersimpati kepada mereka. Melihat potensi meluasnya demonstrasi ini, pengusaha segera memberi konsesi.
Seperti ditunjukkan oleh video-video yang beredar di media sosial, aksi-aksi ini sangat militan. Ini mengingatkan kita pada gelombang aksi buruh pada 2011-12. Para buruh-buruh muda ini telah meruntuhkan kerak-kerak birokratisme serikat-serikat buruh dan menunjukkan jalan sesungguhnya bila ingin menang, yakni perjuangan yang berani dan mati-matian. Mereka mengatakan yang diperlukan dalam perjuangan adalah perjuangan “kolektif kolegial, setiap orang berkreasi, tidak menunggu pimpinan [reformis] terus”
Benar, dengan tekad dan keberanian memobilisasi aksi militan kita dapat menginspirasi buruh-buruh yang lain ikut berjuang. Dengan persatuan lintas pabrik dan lintas serikat kita dapat membuat kelas kapitalis kelabakan. Situasi ini pernah terjadi pada periode 2011-2012 ketika buruh-buruh di kawasan-kawasan industri, tanpa peduli dari serikat mana, langsung melakukan aksi industri menduduki perusahaan-perusahaan bermasalah. Tanpa melawati birokrasi industrial yang berbelit-belit, aksi-aksi berani ini dengan cepat membuat kelas kapitalis takut dan memenuhi tuntutan buruh.
Sekarang buruh-buruh PT CTLI telah menunjukkan jalan. Kita harus mewartakan kemenangan ini dan metode militan yang mereka gunakan. Metode ‘gruduk pabrik’ telah terbukti membawa kemenangan.
Bila aksi-aksi industrial ini terus meluas dari PUK-PUK hingga nasional, maka sesungguhnya kita dapat melawan kebijakan rezim kapitalis. Kita tidak hanya dapat mengakhiri kondisi kerja yang buruk, tapi juga mengakhiri kapitalisme, sistem perbudakan upah yang menimpa kita. Mereka takut bila buruh bersatu. Mereka segelintir dan kitalah yang sesungguhnya berkuasa. Tidak ada bola lampu bersinar, mesin berjalan tanpa seizin kelas buruh. Bila buruh bergerak sebagai kelas, tidak ada kekuatan di bumi yang bisa menghentikannya.
