Pemadangan atas adegan-adegan yang menampilkan pembunuhan dan penganiayaan kejam terhadap penduduk di Jalur Gaza dan Tepi Barat, menimbulkan kemarahan masyarakat luas dan kecaman dari seluruh penjuru dunia. Sebagaimana kita rujuk dari media massa, sampai sejauh dokumen ini ditulis, nyaris seratus orang -sebagian besar adalah warga Palestina- terbunuh oleh tentara pendudukan Israel.
Sementara Barak memberi jaminan kepada dunia mengenai keinginannya atas perdamaian, tentara Israel terus saja membunuhi dan mencederai warga Palestina. Kekejaman para tentara yang tidak punya hati itu terungkap jelas di depan mata penduduk dunia saat melakukan pembunuhan berdarah dingin terhadap Muhammad Al-Dorra, seorang bocah Palestina yang menghembuskan nafas terakhir di pelukan ayahnya setelah menjadi sasaran rentetan tembakan membabi buta selama 45 menit. Peristiwa ini kemudian menjadi simbol perlawanan bagi rakyat Palestina. Tindakan brutal yang dilakukan dengan sengaja oleh tentara Israel ini diblejeti oleh Guardian (2.10.00): “Diterjang oleh 4 butir peluru, anak itu (Mohammad Al-Dorra) akhirnya meninggal dalam dekapan ayahnya… setelah mengalami masa yang mencekam dari balik tembok perlindungan selama terjadinya bentrok senjata antara tentara Israel dari atas menara pengawas dengan para pemuda Palestina. Ayahnya, Rami, yang ditembus 8 peluru, telah mati-matian melambaikan tangan kepada tentara Israel yang berada di sisi lain persimpangan jalan untuk membiarkan anaknya tetap hidup. Namun 15 lubang besar di sebidang kecil tembok perlindungan di mana mereka terjebak membuat tempat itu menjadi suatu tempat terbuka dan terlihat jelas oleh tentara Israel yang mengarahkan senapan mesinnya kepada kedua orang tersebut. Rami-lah sasaran tembak mereka.”
Peristiwa penembakan ini bukanlah hal yang bisa dipisahkan dengan hal lainnya. Pemberontakan terhadap penguasa Israel telah membangkitkan seluruh penduduk untuk berjuang. Bahkan anak-anak belia yang berusia sekitar 6 sampai dengan 8 tahun telah ikut ambil bagian mendirikan barikade-barikade di jalan-jalan. Ketika perhitungan jumlah korban mencapai 49 orang warga Palestina tewas, dilaporkan bahwa 13 di antaranya adalah anak-anak, dan korban termuda adalah seorang anak perempuan berusia tidak lebih 2 tahun! Para dokter dari Rumah Sakit Shifa di Gaza (tempat dirawatnya 11 orang tewas dan 284 orang yang luka tembak) mengemukakan bahwa mayoritas korban mengalami luka tembak di tubuh bagian atas. Dua puluh persen dari pasien tertembak di bagian kepala. Dan dari jumlah keseluruhan korban (menurut Physician for Human Rights) 30 persen korban luka berat mengalami luka tembak pada daerah bagian perut ke atas. Seorang dokter Palestina berpendapat bahwa “Israel benar-benar berusaha membunuhi sebanyak mungkin orang (Palestina).”
Hal ini menjelaskan kemarahan yang membara di kalangan pemuda-pemuda Palestina dan keberanian luar biasa yang mereka tunjukkan dalam menghadapi tentara Israel dengan hanya bersenjatakan tongkat dan batu. Dan keinginan mereka yang kuat untuk melakukan pembalasan. Terbunuhnya dua orang tentara Israel oleh keroyokan segerombolan warga Palestina di Ramallah dengan sinisnya dipergunakan oleh pihak Israel dan sekutu Amerika Serikat mereka sebagai pembenaran untuk melakukan serangan udara yang ganas melalui helikopter-helikopter Israel. Clinton -yang telah membom Yugoslavia hingga menjadi puing-puing dan sekaligus merupakan orang yang bertanggung jawab atas kematian lebih dari sejuta orang anak-anak Irak akibat embargo brutal dan tak berprikemanusiaan – secara terbuka mencucurkan air mata buayanya atas kematian dua orang tersebut. Sudah pasti, dekatnya masa pemilihan presiden Amerika Serikat dan besarnya jumlah suara pemilih yang berasal dari kaum Yahudi lehib memiliki alasan terhadap adanya kecaman yang berbudi ini, ketimbang kepentingan kemanusiaan yang lebih murni terhadap kematian dua orang serdadu Israel itu. Gore dan Bush bersaing satu sama lain dalam ancaman-ancaman mereka tentang ganti rugi berdarah atas terjadinya pemboman terhadap sebuah kapal perang Amerika. Melimpah ruahnya propaganda yang sangat reaksioner ini, dengan campuran histeria dan kemunafikan di dalamnya, memungkinkan kita untuk memahami kepentingan sejati yang dimiliki Washington dan apa peranan mereka yang sesungguhnya di Timur Tengah.
Perdana Menteri Israel Barak menegaskan bahwa dia tidak tertarik untuk membicarakan perdamaian “sepanjang kekerasan terus berlangsung”. “Kami akan terus melakukan penembakan selama mereka (warga Palestina) melakukan pertempuran”. Kalimat ini mengimplikasikan adanya perang antara dua pihak, yang kuat dan yang “kejam”. Pernyataan ini sendiri terbukti merupakan sebuah kebohongan yang nyata. Barak terus saja bertindak seolah-olah warga Palestina bagaimanapun juga harus bertanggung jawab atas kekerasan yang terjadi! Ini jelas seperti tindakan seorang perampok yang mendobrak masuk ke dalam rumah kita dan kemudian berusaha membunuh kita dan keluarga kita, dan ketika kita mempertahankan diri, dan mulailah si perampok itu berteriak-teriak mengatakan bahwa dia telah menjadi sasaran tindak kekerasan. Persoalan yang ada di sini adalah siapa melakukan tindakan kekerasan terhadap siapa dan apa tujuannya. Kaum Marxis membedakan kekerasan reaksioner yang dilakukan oleh golongan yang berkuasa dan imperialis penindas dengan kekerasan yang dilakukan oleh rakyat tertindas yang melkukan perlawanan dalam tindak pembelaan diri. Menempatkan kedua hal ini pada tingkatan yang sama adalah sepenuhnya kemunafikan reaksioner -menyamaratakan kekerasan yang dilakukan oleh pemilik budak dan kekerasan yang dilakukan oleh budak tersebut adalah tindakan untuk memihak memihak kekerasan yang dilakukan oleh pemilik budak terhadap budak-budaknya. Jika suatu waktu kekerasan yang dilakukan oleh kaum tertindas mencapai bentuk yang ganas, hal itu hanyalah merupakan refleksi atas kelemahan mereka di hadapan para penyiksanya. Berhadapan dengan ketidakseimbangan yang menyolok dalam hal kekuatan, kaum tertindas akan berupaya dengan cara apapun yang dapat mereka lakukan untuk melakukan serangan balasan terhadap musuhnya.
Dalam pengertian militer hal ini merupakan pertarungan yang sama sekali tidak seimbang. Menurut analisis pertahanan, bahkan jikapun kita mengesampingkan keunggulan mematikan yang dimiliki Israel dalam kekuatan senjata dan perangkat lapis bajanya, apapun usaha yang dilakukan oleh pihak Otoritas Palestina untuk melakukan perang demi kemerdekaan akan menemui suatu pengepungan jangka panjang yang akan melumpuhkan pihak Palestina tanpa tentara Israel harus menurunkan persenjataan beratnya ke dalam medan tempur. Total kekuatan angkatan bersenjata Israel berjumlah lebih dari 173,000 orang dengan tambahan sebanyak 425,000 orang pasukan cadangan. Sedangkan pihak Otoritas Palestina hanya memiliki 35,000 orang tentara. Inilah yang dikatakan oleh barak sebagai “Perang” yang dilancarkan oleh warga Palestina terhadap Israel!
Apakah sejatinya kedua pihak yang terjebak dalam pertempuran ini? Di satu pihak adalah bala tentara profesional yang dipersenjatai lengkap, ditambah dukungan sebuah negara kaya raya dan digjaya. Sementara di pihak yang lain: rakyat biasa, kebanyakan adalah para pemuda, bersenjatakan tongkat dan batu serta segelintir senjata api yang tentu saja tidaklah dapat mengimbangi senjata-senjata penghancur modern yang digunakan Angkatan Bersenjata Israel. “Brigadir Jenderal Osama Al-Ali, mengomentari pembentukan “kerjasama” keamanan antara Angkatan Bersenjata Palestina dengan Israel, mengatakan ‘Bagaimana mungkin kita dapat melaksanakan gencatan senjata antara batu dengan senjata api. Itu hal yang konyol.'” (dikutip dari Guardian 2.10.00). Dalam konteks ini, penekanan atas telah terjadinya penghinaan moral sebagaimana diadopsi oleh Clinton dan Barak jelas menyengatkan bau busuk kemunafikan. Angkatan Bersenjata Israel benar-benar menikmati superioritas militer yang luar biasa besar. Hal ini telah jelas ditunjukkan dalam ketidakseimbangan yang kolosal antara jumlah korban Arab dengan jumlah korban Israel, sebagaimana kita lihat di awal dokumen ini. Hal ini bahkan diakui pula oleh pihak Israel sendiri.
Dari ketidakseimbangan kekuatan yang ekstrim serta kebrutalan tanpa batas yang ditunjukkan oleh angkatan bersenjata Israel, apakah ada keraguan bahwa orang-orang yang putus asa kadang kala nekat mengambil jalan yang tidak terbayangkan? Apakah dibenarkan untuk menyamakan tindak kekerasan yang terjadi di tengah bergolaknya suasana, yang dilakukan oleh orang-orang putus asa yang mengalami tekanan dan provokasi yang melebihi batas mereka untuk menanggungnya; dengan penggunaan kekuatan bersenjata yang luar biasa besar, yang penuh pehitungan dan berdarah dingin, kekuatan bersenjata yang dilatih oleh sebuah negara yang kuat? Ah, betapa diperlukannya Angkatan bersenjata (untuk menghadapi orang-orang itu)! Pihak yang berkuasa di Isarel sepertinya berpikir bahwa segala aksi yang mereka lakukan adalah sesuai dengan apa yang tertulis di dalam Kitab Injil, di mana kita dapat membacanya, “satu mata untuk satu mata dan satu gigi untuk satu gigi”. Namun kaum imperialis Israel tidak pernah mengikuti aturan ini. Nyawa dua orang tentara Israel mesti dibalas dengan begitu banyak nyawa warga Palestina. Pembenarannya, mereka hanyalah orang-orang Arab! Lebih tepatnya, insiden-insiden semacam yang terjadi di Ramallah telah dimanipulasi secara sinis oleh mesin propaganda Tel Aviv untuk melakukan pembenaran atas kebijakan-kebijakan tangan besi yang yang senantiasa mereka pergunakan untuk mempertahankan cengkraman mereka terhadap daerah-daerah pendudukan.
Sengaja kita pergunakan ungkapan “daerah pendudukan” disini, meskipun fakta bahwa apa yang disebut sebagai Otoritas Nasional Palestina (PNA) selama ini disangka betul-betul mengatur daerah teritorialnya sendiri. Sekarang hal ini telah terungkap jelas sebagai kebohongan dan sandiwara konyol, dan ia memang tak pernah lebih dari itu. Militer Israel kapan saja dapat mengintervensi, mengabaikan apa yang seharusnya merupakan hak PNA.
PROVOKASI
Konflik sekarang ini dengan sengaja diprovokasi oleh pemimpin sayap kanan Israel dari partai LIKUD, Ariel sharon. Pada hari Kamis 28 September 2000, dikawal 1.000 orang polisi, ia mendatangi puncak bukit Al-Aqsa di bagian kota Yerussalem yang bertembok. Situs ini dianggap sebagai tempat suci ke-tiga di dalam agama Islam (dan juga merupakan tempat suci bagi orang yahudi). Tujuan Sharon adalah untuk menggarisbawahi dominasi Israel atas seluruh situs tersebut dan atas seluruh Yerusalem. Sharon memang memiliki catatan prestasi brutal. Jadilah tindakannya dilihat oleh kaum Muslim sebagai pelecehan terhadap kesucian tempat keramat itu. Itulah yang meletikkan api konflik yang tengah terjadi sekarang ini, namun, tentu saja, alasan-alasan sesungguhnya bagi terjadinya kebangkitan kembali bangsa Palestina untuk melawan terletak di lain tempat. Kebutuhan akan menampakkan dirinya melalui suatu kebetulan.
Rakyat Palestina menginginkan tanah air mereka sendiri. Siapa yang dapat menyangkal mereka mengenai hak ini? Sebagaimana orang Yahudi atau Amerika, tak kurang dan tak lebih, mereka mempunyai hak untuk menentukan nasib mereka sendiri. Namun tercapainya hak menentukan nasib sendiri adalah sekadar alat untuk mencapai tujuan akhir. Mereka memandangnya sebagai sebuah langkah maju untuk memperbaiki kondisi kehidupan mereka. Tetapi apa yang mencuat sebagai “statelet” (negara bayi) Palestina sekarang ini senantiasa tidak dapat bertahan hidup. Sejak perjanjian Oslo dan Madrid, bukannya mengalami perbaikan, kondisi kehidupan malah memburuk dengan amat tajam. Akar penyebab terjadinya krisis ini adalah memburuknya kondisi ekonomi dan sosial masyarakat Palestina. Kemiskinan tersebar di mana-mana. Jalur Gaza menjadi daerah kaum miskin, dengan fasilitas sanitasi, kesehatan dan pendidikan yang amat minim. Sekitar 80 persen perekonomian di Tepi Barat Jalur Gaza bergantung pada Israel. Penutupan perbatasan yang di lakukan berulang kali oleh Israel melahirkan kesulitan besar bagi rakyat Palestina. Pada tahun 1987, 80.000 orang warga Palestina diperbolehkan masuk Israel; kini hanya 8.000 orang yang diizinkan. Tindakan kejam dan sewenang-wenang ini sengaja diciptakan oleh pihak Israel untuk menunjukan kepada rakyat Palestina siapa yang menjadi tuan, untuk menghina mereka dan menggaris bawahi kebergantungan mereka yang menghibakan kepada Israel.
Mingguan Inggris The Observer (8.10.00) mejelaskan “Ö akar kemarahan warga Palestina tertancap jauh lebih dalam (dari pada sekedar insiden kematian Ar-Dorra) -hal itu terletak di dalam kebencian terhadap proses perdamaian yang berjalan begitu lamban serta kondiri ekonomi yang mengerikan buruknya.”
Menurut CIA Factbook 1998, perkiraan rata-rata jumlah pengangguran di Tepi Barat dan Jalur Gaza pada tahun 1997 adalah 28 persen, meskipun beberapa sumber lain menyebutkan angka tersebut mencapai 33 persen. Buku yang sama juga menggambarkan situasi ekonomi dari daerah yang kini dikenal sebagai Otoritas Nasional Palestina (PNA):
Di tahun 1991, kira-kira 40 persen buruh dari Jalur Gaza dipekerjakan secara lintas perbatasan oleh industri-industri, pada bidang konstruksi dan perusahaan pertanian di Israel, para buruh ini menghasilkan tambahan GDP bagi Jalur Gaza, dengan pengiriman uang gaji mereka, sehingga mencapai 50 persen. Untuk perdagangan luar negeri, Gaza bahkan mempunyai angka ketergantungan pada Israel hingga 90 persen. Krisis di Teluk Persia dan efek sesudah berakhirnya krisis tersebut memberi pukulan hebat bagi Gaza sejak Agustus 1990. Pengiriman uang dari buruh Gaza yang bekerja di negara-negara di Teluk Persia mengalami penurunan yang sangat drastis, pengangguran dan keresahan sosial meningkat, dan standar kehidupan jatuh. Penyebaran kembali pasukan Israel di daerah sekitar Jalur Gaza pada bulan Mei 1994 menambahi berbagai masalah pada tahap penyesuaian terciptanya perdamaian. Serangkaian gangguan ini berarti terjadinya penurunan yang sangat tajam terhadap penempatan tenaga kerja di Israel sejak tahun 1991 dan secara otomaris menurunkan jumlah GDP Jalur Gaza. Pada tahun 1996 diperkirakan sejumlah 378.000 orang berada dalam kamp-kamp pengungsi.”
Situasi di Tepi Barat digambarkan sebagai berikut: “Industri-industri yang menggunkan teknologi maju atau yang memerlukan investasi berjumlah besar di Tepi Barat menjadi ciut nyalinya disebabkan kurangnya modal lokal dan kebijakan-kebijakan Israel yang membatasi pergerakan barang dan orang. Investasi modal sebagian besar berada dalam bidang perumahan, ini bukanlah asset yang produktif yang memungkinkan perushaan-perusahaan lokal Palestina dapat bersaing dengan perindustrian Israel. GDP Tepi Barat secara substansial ditunjang oleh oleh buruh-buruh yang bekerja di daerah Israel. Pengiriman uang dari para buruh yang bekerja di negara-negara Teluk Persia mengalami penrurunan yang sangat drastic setelah Irak melakukan invasi ke Kuwait di bulan Agustus 1990. pada saat berlangsungnya Krisis Teluk berakhir, banyak orang Palestina yang bekerja di negara-negara Teluk kembali ke daerah Tepi Barat, mengakibatkan lonjakan jumlah pengangguran. Pendapatan yang berasal dari ekspor juga mengalami penurunan dikarenakan jatuhnya pasar di Yordania dan negara-negara Teluk. Diperkirakan sekitar 147.000 orang berada di kamp-kamp pengunsi pada tahun 1996.”
Dua puluh persen penduduk Tepi Barat dan 36 persen penduduk Jalur Gaza hidup di bawah garis kemiskinan. Perekonomian Israel berada dalam krisis. GDP jatuh sebesar 4,5 persen di tahun 1996 dan 1,9 persen pada tahun 1998. Pengangguran, yang pada masa-masa sebelumnya tidak nampak dengan jelas, telah mengalami peningkatan. Pada tahun 1997 penganguran telah mencapai 7,7 persen dan angka ini terus bertambah. Berbagai kerusuhan telah terjadi di Ofkim, Negev, tempat di mana angka penganguran mencapai 14.3 persen.
Sebagian kelas yang berkuasa di Israel berkeinginan menjangkau akomodasi dan memperluas hubungan dagang dengan negara-negara Arab. Sebaliknya rezim-rezim Arab pun berupaya meningkatkan perdagangannya dengan Israel, dan ingin benar melakukan perjanjian perdagangan melalui perantara Palestina. Ujungnya, imperialisme Amerika Serikat juga menginginkan tercapainya stabilitas di Timur Tengah, tentu saja, supaya kepentingan-kepentingan strategis dan ekonomi mereka tidak terancam bahaya. Hal itulah yang berada di balik perjanjian Madrid dan Oslo. Namun seluruh rencana di atas tidak memperhitungkan kondisi nyata dari masyarakat Palestina. Ini semua adalah kondisi sosial ekonomi yang merupakan pokok mendasar yang menjelaskan reaksi rakyat Palestina terhadap provokasi yang dilakukan secara menyolok oleh Sharon. Kejadian itu hanyalah percikan api yang membakar situasi yang memang telah menjadi begitu mudah terbakar, dan dengan demikian apa yang disebut sebagai “proses perdamaian” kini telah menabrak dinding tembok yang tebal.
PERANAN ARAFAT
Selama periode lalu, terdapat berbagai ilusi bahwa kepemimpinan PLO yang mengitari Arafat akan sukses mencapai keinginan panjang rakyat Palestina untuk memiliki Tanah Air. Namun kebenaran selalu berupa kenyataan. Perundingan-perundingan perdamaian sendiri sebagian besar merupakan hasil dari Intifada pada tahun 1980-an. Demikianlah yang telah kami uraikan pada dokumen kami mengenai Masalah Nasional (The National Question) yang terbit bulan Februari tahun ini.
“Ö gerakan massa yang berlangsung selama beberapa bulan di Tepi Barat [yakni, Intifada] memberi hasil yang lebih baik bagi rakyat Palestina dari pada yang dihasilkan oleh Arafat dan rekan-rekannya dalam waktu 30 tahun”
“Konsensus-konsensus yang ditawarkan oleh Tel Aviv sama sekali bukan hasil dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh PLO di pengasingan. Consensus itu sebagian besar merupakan hasil dari Intifada, yang mengguncang masyarakat Israel dan menyedot perhatian yang simpatik dari seluruh dunia”
Namun kami juga menambahkan bahwa, “hal itu juga merupakan refleksi dari situasi baru dunia. Sejak runtuhnya Stalinisme, perimbangan kekuatan dunia mengalami perubahan. Amerika Serikat mencapai taraf dominasi yang gila-gilaan atas dunia. Hal ini berarti pula bahwa Washington tidak lagi terlalu bergantung pada Israel seperti semasa Perang Dingin. Imperialis Amerika Serikat mempunyai kepentingan-kepentingan ekonomi dan strategi yang vital di kawasan Timur Tengah, dengan kata lain mereka mempunyai kepentingan untuk menopang rezim-rezim Arab, semacam Saudi Arabia, dan berusaha menjaga stabilitas Timur Tengah. Untuk itu Washington memberikan tekanan-tekanan pada Tel Aviv untuk mencapai kompromi dengan Palestina dan melakukan pendekatan-pendekatan dengan lain-lain tetangganya, yaitu negara-negara Arab. Lalu Arafat dengan sigapnya menerima tawaran yang ditawarkan oleh Israel. Setelah gagal selama berpuluh untuk mengedepankan selangkah saja kepentingan Palestina, para pemimpin PLO begitu tamaknya menikmati “buah keberhasilan” yang telah dimenangkan oleh rakyat Palestina. Apa yang mereka terima sebenarnya sebagiana terbesar merupakan penghianatan atas perjuangan nasional warga Palestina.
“Washington berharap dapat mengakkan stabilitas di daerah tersebut dengan memaksa (pihak-pihak di sana) untuk berkompromi. Bagaimanapun, persoalan nasional terkenal sebagai sesuatu yang mudah sekali mengalami perubahan dan kompleks, serta situasi-situasi eksplosif yang diciptakan oleh imperialisme di masa lalu tidak selalu dapat dengan mudah diuraikan oleh imperialisme itu sendiri ketika ia berubah pikiran. Sebagaimana di Irlandia Utara imperialisme Inggris menciptakan monster Frankestein yang kini sudah tidak dapat dikontrol lagi olehnya, demikianlah imperialisme Amerika sekarang mendapati bahwa, setelah mendirikan sebuh negara boneka di Israel, kini boneka itu tidak selalu bisa disuruh menari saat dalang menggerakkannya. Kelas yang berkuasa di Israel memiliki kepentingan-kepentingannya sendiri yang mungkin saja cocok, atau pun tidak cocok, dengan kepentingan Amerika. Jadi, apa yang disebut sebagai Perjanjian Damai di Timur Tengah dewasa ini berada dalam kesulitan yang serius. Tidak satupun dari problem-problem fundamental telah berhasil dipecahkan.
“Seperti yang telah diprediksikan oleh kaum Marxis, perjanjian yang ditandatangani Arafat dengan pihak Israel merupakan perangkap bagi rakyat Palestina. Perjanjian tersebut bukanlah pengakuan atas hak menentukan nasib sendiri (bagi bangsa Palestina), namun sekedar karikatur menyedihkan dan sebuah tipuan. Entitas Palestina baru sesungguhnya adalah sebuah aborsi yang dipaksakan adanya, dengan bagian Jalur Gaza terpisah dari Tepi Barat dan Yerussalem masih dibawah kontrol kuat Israel. Suatu bentuk kondisi yang memalukan. Untuk lebih membuat keadaan menjadi lebih buruk, sebagian besar warga Yahudi yang bermukim di Palestina melakukan aksi-aksi provokasi terhadap warga Palestina. Efeknya, apa yang disebut sebagai daerah Otoritas Palestina hanyalah alat dari Israel yang, pada prakteknya, terus mendominasi. Kondisi masyarakat Arab di Jalur Gaza dan Tepi Barat kemungkinan besar akan lebih buruk dari masa-masa sebelumnya, dengan pengangguran massal, terutama di kalangan pemudanya. Israel dapat membelokkan keadaan sembarang waktu dengan cara melakukan penutupan perbatasan dengan daerah Tepi Barat dan Jalur Gaza, hingga hal itu menceraiberaikan warga Palestina yang bekerja di Israel dari pekerjaan dan sumber nafkah hidupnya. Untuk membuat keadaan menjadi lebih buruk, Arafat dan konco-konconya telah menjadikan diri mereka sebagai elit birokratis yang istimewa, yang bertindak sebagai anjing penjaga bagi Tel Aviv, sambil terus mengisi penuh-penuh kocek mereka dengan pengorbanan orang-orang awam di Palestina.
“Perjanjian perdamaian yang dilakukan dengan segenap riuh rendah pesta di bawah tekanan Washington sedang mengalami kehancuran. Dengan jatuhnya (pemerintahan) Netanyahu dan terpilihnya pemerintahan Partai Buruh, Washington berharap akhirnya ia akan meraih sukses dalam mengajukan keinginannya. Namun adanya tekanan-tekanan dari penduduk Yahudi di Palestina, seperti yang telah kami prediksikan, menggiring terjadinya krisis silih berganti secara terus menerus. Pemerintahan Tel Aviv, setelah gagal untuk mengadakan langkah maju dengan warga Palestina, mencoba melakukan negosiasi dengan Syiria atas Dataran Tinggi Golan. Namun begitu persoalaan pengembalian Dataran Golan (kepada Libanon) di kemukakan, di Israel terjadi berbagai demonstrasi massal menentang rencana tersebut. Perundingan dengan Syiria akhirnya berantakan, menggiring pecahnya permusuhan baru di Libanon Selatan.
“Hal yang harus dipertimbangkan secara serius, ketidakpuasan massa yang makin meningkat di Tepi Barat dan Jalur menimbulkan provokasi-provokasi timbulnya Intifada yang baru. Intifada tersebut niscaya terjadi dalam situasi macam begini.” (Alan Woods dan Ted Grant, Marxism and The National Question , 25 Februari 2000)
Prediksi-prediksi di atas kini menyatakan dirinya di depan mata kita. Sembarang ilusi macam apapun yang mungkin dulunya dimiliki oleh warga Palestina terhadap “Perjanjian Perdamaian”, kini sudah hancur. Kesabaran mereka telah habis. Massa mulai memahami bahwa mereka tidak dapat lagi mempercayai para peminpin PLO dan PNA. Pembentukan apa yang disebut daerah Otoritas Palestina pada tataran realitas hanya merupakan aborsi terhadap “kekuasaan sendiri” di Gaza dan Tepi Barat. “Entitas” ini tidak pernah dapat bertahan hidup dan sama sekali tidak dapat memenuhi aspirasi syah milik rakyat Palestina atas tanah air mereka sendiri, impian atas negara mereka yang bebas dari pendudukan kekuatan asing. Rakyat Palestina, terutama sekali para buruh dan para pemudanya, telah memahami bahwa kemerdekaan mereka hanya dapat diraih melalui usaha dan pengorbanan mereka sendiri. Mereka telah menunjukkan bahwa mereka siap untuk berlaga dan, bila perlu, mereka rela mati dalam memperjuangkan tercapainya hak mereka. Hanya itulah pilihan yang ada di hadapan mereka.
Seluruh proses predamaian sebagain besar dikarenakan adanya pemberontakan rakyat Palestina, yaitu Intifada, yang terjadi di daerah pendudukan Israel di tahun 1980-an. Intifada mempunyai efek mendalam di masyarakat Israel sendiri. Intifada itu sama sekali bukanlah rangkaian kampanye menentang pemboman ngawur, melainkan seluruh rakyat bangkit, menunjukkan keberanian dan kegigihan yang paling mengagumkan di depan tentara Israel yang perkasa. Bagaimanapun, Arafat dan pimpinan PLO lainnya tidak mampu memimpin perjuangan ini. Kaum borjuis kecil yang nasionalis ini memang secara organik tidak akan mampu memahami bahwa satu-satunya jalan untuk menyelesaikan masalah rakyat Palestina adalah dengan menggunakan cara-cara yang revolusioner -melalui transformasi sosialis atas Israel/Palestina sebagai bagian dari perjuangan menyeluruh kaum buruh di seluruh kawasan Timur Tengah untuk menggulingkan para penindas mereka (tidak cuma orang Israel, namun juga orang-orang Arab kapitalis) dan merebut kekeuasaan ke dalam tangan mereka sendiri. Inilah satu-satunya jalan untuk menghancurkan cengkraman Imperialisme atas Timur Tengah dan membuka jalan bagi terjadinya transformasi sosialis dari masyarakat.
Sekali perspektif sosialis revolusioner diabaikan, hasil yang mungkin terjadi dari sebuah perjuangan hanyalah penghianatan dan penyerahan diri. Sepanjang terjadinya “proses perdamaian”, peranan Yasser Arafat dan para pemimpin PLO lainnya hanyalah menyerah kepada imperialisme Israel di setiap tahap yang ada. Tujuan dari Tel Aviv adalah mendirikan sebuah “statelet” boneka {statelet diterjemahkan secara harfiah sebagai negara bayi, bukan calon negara karena statelet tidak lantas akan menjadi negara dalam pengertian sebenarnya; penterjemah), sebuah statelet yang sepenuhnya bergantung pada Israel dan dikontrol oleh perangkat pemerintahan “tak bergigi” yang akan melakukan patroi polisi atas Jalur Gaza dan Tepi Barat demi kepentingan Israel. Dengan demikian Arafat dan para pemimpn PLO lainnya mengkhianati hasrat rakyat Palestina dan menggiring mereka ke dalam lorong hitam yang ada sekarang ini. “PERJANJIAN DAMAI”
Perjanjian yang disetujui oleh mereka yang menamakan diri “kaum realis” ini penuh dengan lubang menganga sejak dari awalnya. Terlepas dari fakta bahwa daerah Gaza dan Tepi Barat terpisahkan (oleh adanya perjanjian itu) dan teritorial yang dijadikan daerah “merdeka” jelas-jelas tidak mungkin bertahan, permasalahan mengenai kaum Yahudi yang tinggal di Palestina serta tentu saja terutama permasalahan mengenai Yerussalem tetaplah tidak terselesaikan. Daerah otoritas itu sama sekali bukan tanah air bagi rakyat Palestina, melainkan cuma serangkaian “daerah-daerah bagian” yang saling terpisah dan sama sekali bergantung kepada Israel. Tidak satupun dari lima entitas yang dikontrol oleh PNA terhubung scr territorial dengan satu entitas lainnya. Mereka bergantung kepada Israel atas listrik, air, komunikasi, dan komoditas-komoditas lainnya. Di samping itu, tentara Israel selalu bersiaga dan dapat saja melakukan intervensi sewaktu-waktu, seperti yang terjadi sekarang ini. Jadi, “kemerdekaan” yang diperantarai oleh Arafat tidak lebih dari lawakan vulgar dan sepenuhnya tipu daya.
Sebagaimana dijelaskan oleh Guardian (12.10.00): “Antara pemimpin partai buruh dan Likud (sejak 1993) mempunyai kesamaan visi dan misi yakni mendesain kesepakatan Oslo untuk memisahkan daerah Palestina kedalam kantong-kantong yang berjauhan dan dikelilingi oleh garis perbatasan yang selalu di kontrol Israel, lewat pemberian tanda-tanda baca pada daerah-daerah perkampungan dan jalan-jalan perkampungan; pada dasarnya Israel berusaha menunjukan dominasinya sekaligus menghina keutuhan teritorial Palestina, pengambilalihan penguasaan rumah merupakan proses yang tidak bisa ditawar lagi dari awal hingga akhir sepanjang pemerintahan Rabin, Peres, Nentanyahu, dan Barak melalui program pengembangan dan pelipatgandaan pemukiman Yahudi di daerah Palestina (200.000 orang Yahudi Israel ditambahkan ke Yerussalem dan lebih 200.000 orang di Gaza dan Tepi barat), pendudukan militer terus berlangsung dan setiap langkah kecil menuju kedaulatan PalestinaÖ dihalangi, dihambat bahkan dibatalkan oleh Israel.
Otoritas Palestina (PNA), setepat-tepatnya disebabkan perannya bertindak sebagai polisi terhadap rakyat Palestina, sedari awal sekali Seperti yang dituangkan The Guardian (12.10.00) “Dengan rezimnya yang korup dan represif bagi begitu bebalnya, didukung oleh Mossad Israel dan CIA Amerika, Yasser Arafat terus saja bersandar pada para mediator AS, walaupun tim perdamaian AS itu didominasi oleh mereka yang dulunya me-lobby pejabat-pejabat IsraelÖ” Tim ini bertugas mengkonsolidasikan kekuatan Arafat dan para kaki tangannya. PNA dipakai sebagai alat untuk membungkam orang-orang yang tidak sepaham serta untuk menjadi wadah bagi perkembangan borjuasi Palestina. Demikianlah sebuah elit minoritas sejak itu terus tumbuh di atas pengorbanan rakyat Palestina. PNA telah memutuskan untuk melakukan swastanisasi yang, dalam prakteknya, berlaku atas semua hal. Kepentingan-kepentingan para administrator PNA sama sekali bertentangan dengan kepentingan orang-orang yang hidup di dalam daerah kekuasaan mereka.
Kini Arafat kembali mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang pedas, seperti yang sering dilakukannya pada tahun 1970-an, ketika ia berpendapat bahwa hal yang paling tepat untuk dilakukan terhadap orang-orang Yahudi (Israel) adalah menceburkan mereka semua ke laut! Arafat kembali mengeluarkan pernyataan pedas begini sebab ia telah kehilangan otoritas yang tak terhingga dari rakyat Palestina. Rakyat Palestina telah sadar bahwa Arafat dan para penggiringnya berjuang hanya untuk kekayaan dan kepentingan mereka sendiri sementara kondisi kehidupan rakyat Palestina terus memburuk tiap harinya. Pada kenyataannya Arafat tidak dapat mengontrol rakyat Palestina. Setelah berpuluh tahun, mulanya dengan menggunakan jalan terorisme individual, lalu dengan berkompromi dengan pemerintah Israel, rakyat Palestina karena pernah lebih dekat ke arah pencapaian tanah air mereka yang sejati serta hak untuk menentukan nasib mereka sendiri. Situasi di dalam negeri Israel sendiri merupakan salah satu faktor yang memperparah tekanan sosial. Krisis ekonomi telah memerlihatkan pengaruhnya di kalangan kelas buruh dan kelas menengah Israel. Di atas basis kapitalisme, tidak ada jalan keluar dari krisis ini. Apa yang dilakukan Sharon dari sayap kanan Likud, yaitu melakukan provokasi terhadap warga Palestina di Yerussalem, sesungguh-sunguhnya adalah untuk mengalihkan perhatian massa dari meningkatnya tekanan-tekanan sosial di dalam negeri Israel sendiri. Tujuan mereka adalah untuk menyatukan kaum Yahudi di Israel dengan membangkitkan semangat anti Arab yang chauvinistic. Namun hal ini hanya akan menimbulkan bencana yang sama bagi Arab dan Yahudi itu sendiri.
REAKSI DI ISRAEL?
Trotsky pertama kali telah mengingatkan bahwa pendirian negara Yahudi di Palestina akan menjadi perangkap keji bagi bangsa Yahudi sendiri. Betapa benarnya prediksi tersebut! Para perintis awal berdirinya Israel memelihara demagogi “sosialis”. Saat itu Partai Buruh mendukung “sosialisme kibbutz”. Namun kini, bahkan sosialisme yang cuma berupa pemainan kata yang manis di bibir pun juga sudah diabaikan. Perbedaan antara Partai Buruh dan Partai Likud kini terus makin kecil. Partai Buruh yang tengah berkuasa telah melakukan swastanisasi yang sama, hantaman-hantaman yang sama terhadap standar kehidupan, seperti yang dilakukan di semua negara kapitalis lainnya. Sebagai tambahannya, juga ada tekanan militerisme yang amat kuat yang diciptakan sebab negara terus-terusan berada dalam keadaan perang atau semi perang dengan seluruh negara tetangga Israel.
Antagonisme antara Yahudi dengan Arab tertanam dalam keseluruhan filsafat dan pandangan yang dipejalankan oleh kelas penguasa Israel yang reaksioner. Sejak masa pendiriannya, Israel telah mengandung benih-benih negara Rasis dengan karakter-karakter teokratis. Hukum sipil Israel dibuat berdasarkan pada “Halacha” atau hukum keagamaan Yahudi di abad pertengahan yang kini terancam akan berbelok arah menjadi reaksi fundamentalis. Apa yang di Israel disebut sebagai “Perang Kemerdekaan” sesungguhnya adalah 1 juta etnis Palestina, yang pada saat itu terjadi hal ini menciptakan 4 juta orang pengungsi yang kemudian tidak dapat pulang kembali ke tempat asal mereka sebab ditolak oleh negara baru yang mengingkari hak mereka. Dalam waktu separuh abad sejak pendiriannya, Israel telah menjadi negara yang paling kuat dan makmur di kawasan Timur Tengah. Namun Israel adalah raksasa yang berkaki lempung. Ia bergantung pada kemurahan hati imperialisme Amerika Serikat. Barak menginginkan Arafat mau menerima status quo dengan pertukaran yang tidak berimbang. Argumen yang dikemukakan Tel Aviv, bahwa Barak telah memberikan konsensus besar, namun Arafat menolak menerimanya, sehinggga menyebabkan terjadinya krisis sekarang ini; merupakan argumen yang sepebuhnya tidak benar. “Konsensi-konsesi” seperti yang diajukan oleh Barak pada kenyatannya sama sekali bukan konsensi. Terang saja Arafat tidak bisa menerima konsensus, bahkan bilapun ia menginginkannya. Jika ia menerimanya, sangat mungkin is segera ditumbangkan, atau bisa jadi lebih buruk dari itu. Diatas itu semua, dalam konsensi dari Barak tidak ada kemungkinan untuk bisa menyelesaikan permasalahan Yerussalem.
Seorang Marxist Israel mengemukakan adanya persamaan yang kuat antara situasi di Israel dan Afrika Selatan di masa rezim apartheid: “Penduduk Yahudi dengan non Yahudi (khususnya Arab) dipisahkan menurut rezim pemisahan yang amat similar dengan rezim apartheid Afrika Selatan: seorang Yahudi tidak mungkin mengawini seorang yang non-Yahudi, Polisi dan tentara haruslah Yahudi murni, dst. Sesungguhnya, negara senantiasa berada dalam kondisi perang yang tidak dimaklumatkan terhadap para penduduk etnis Arab: contohnya, ratusan rumah milik warga Palestina dihancurkan secara sistematis setiap tahunnya untuk memaksa mereka pergi dari negeri ini. “Partai-partai orang Arab” (yaitu partai yang pemilihnya kebanyakan warga Arab, termasuk partai komunis) tidak pernah diperkenankan untuk ambil bagian dalam pemerintahan koalisi. Motto dari Yahudi “pendukung perdamaian” adalah “hidup berdampingan secara damai” –integrasi (perkawinan campuran, tinggal dalam gedung yang sama, dst) adalah hal yang sama sekali tabu.”
Situasi yang ada di Israel sekarang telah menggiring seluruh kekuatan yang dulunya saling berimbang menjadi condong ke kanan. Formasi Pembentukan “Pemerintahan Kesatuan Nasional” termasuk Sharon si reaksioner pengangkat pedang permusuhan, menandakan kemenangan bagi “Partai Perang” di Tel Aviv –yaitu bagian dari lingkaran penguasa Israel yang percaya (bukan tanpa alasan) bahwa persetujuan perjanjian yang ada sekarang telah tidak berhasil memecahkan satu persoalanpun, dan perang merupakan hal yang tidak bisa dielakkan, dan makin cepat hal itu maka akan lebih baik jadinya. Suasana histeria anti Arab yang berlangsung sebelum perang ditiupkan dengan titik mula adanya kematian dua orang tentara Israel. Dengan kekurangajaran yang diperhitungkan masak-masak, Tel Aviv menerangkan bahwa serangan udaranya atas kota-kota di Palestina yang lalu adalah merupakan “sebuah jawaban simbolis”. Hal ini ditujukan untuk membuat orang berpikir keras menerka bagaimana bentuk serangan yang sesungguhnya! Klik penguasa Israel dengan sengaja membangkitkan opini publik. Untuk tujuan apa?
BAHAYA PERANG
Dalam situasi yang sekarang ini adalah logis adanya kemungkinan munculnya perang total. Perang ini akan melibatkan pembunuhan besar-besaran dan penghancuran yang mengerikan. Perang itu tidaklah akan menguntungkan baik massa Palesina ataupun juga para buruh Israel. Tentu saja, apa yang paling tidak diharapkan oleh imperialisme adalah terjadinya perang di Timur Tengah. Perang akan juga mendatangkan konsekuensi yang mendatangkan bencana bagi dunia Barat. Perang akan menimbulkan dampak pada harga minyak yang kini pun sudah tinggi, kenaikan lebih lanjut bisa menjadi elemen final yang akan mengakhiri putaran naik perekonomian dewasa ini dan mengganti arahnya menuju resesi tingkat dunia. Jadi, apapun yang sedang terjadi di Timur Tengah mempunyai akibat di semua penjuru dunia. Hal itu menjelaskan mengapa AS, Inggris, Rusia, Uni Eropa, semuanya bergegas bicara kepada Barak dan Arafat. Mereka melakukan apa saja yang mereka bisa lakukan demi mencapai beberapa macam kompromi dan menjauhkan situasi dari jurang peperangan. Namun jika perang terjadi juga akhirnya, Amerika akan tidak terelakkan lagi mendukung Israel, yang hingga sekarang tetap merupakan sekutu utamanya di Timur Tengah. Jika Israel terancam kalah (ini sebetulnya hal yang mustahil), imperialisme AS tidak akan ragu untuk turun sepenuhnya di pihak Israel, menyediakan persenjataan diperlukan Israel untuk memungkinkannya menang. Dengan demikian rezim-rezim Arab akan dihadapkan dengan bencana militer yang dijamin pasti terjadi — sebagaimana hal itu terjadi dalam setiap kali mereka berperang melawan Israel. Mesir dan Syria sadar sekali akan hal ini, dan dengan demikian tidak menunjukkan kecenderungan besar untuk terjun ke dalam pertempuran. Namun itu tidak berarti bahwa perang di Timur Tengah mustahil terjadi. Jauh dari itu.
Rezim-rezim Arab berada di bawah tekanan besar dari massa Arab untuk bangkit melawan Israel. Namun mereka takut terhadap khawatir perang seperti halnya terhadap wabah. Pada masa lalu kita telah melihat rezim di Syria, Mesir dan negara-negara lain runtuh sebagai hasil dari kekalahan di tangan Israel. Israel memiliki tentara yang besar, kuat dan efisien. Mereka mungkin berhasil secara temporer dalam mencapai beberapa bentuk kopromi. Tapi hal itu tidak dijamin (akan terjadi). Situasi bisa saja terpuntir lepas dari kontrol. Helikopter Israel telah membombardir kota Ramallah dan kota-kota Palestina yang lain. Efek dari hal itu akan menguatkan tekad warga Palestina untuk melawan. Keseluruhan “proses perdamaian” begitu telah begitu sungguh-sungguh dilakoni bersama selama tujuh tahun lebih, hancur lebur dalam sekejapan mata.
Pembentukan pemerintah kesatuan nasional di Tel Aviv, termasuk Ariel Sharon –orang yang sudah dengan sengaja memprovokasikan terjadinya konflik sekarang– hanya bisa berarti satu hal untuk bangsa Palestina: akhir definitif dari proses kedamaian dan ancaman perang habis-habisan. Beberapa hari nanti akan terlihat ke mana perimbangan ini berlangsung terus. kekuaatan-kekuatan militer AS dan angkatan lautnya di kawasan ini telah ditempatkan pada kesiagaan khusus, setelah serangan bom pada salah satu kapalnya lepas pantai Yaman. ini merupakan perkembangan yang tidak dapat terelakkan, seperti halnya beberapa orang Palestina dan para pendukungnya di dunia Arab akan menarik kesimpulan bahwa mereka mesti mengangkat senjata. Jika hal ini menyebabkan gelombang pemboman teroris terhadap target-target sipil di Israel, ini akan menyediakan alasan yang kini tengah dicari-cari oleh para politisi lapar Israel untuk meluncurkan serangan dan kebiadaban baru di Palestina. Akan sulit bagi rezim-rezim Arab untuk tetap berpangku tangan. Mereka jelas takut digulingkan. Hal ini bisa dengan mudah menciptakan kecenderungan yang tidak bisa dikontrol untuk turun ke dalam perang.
sekarangpun, konflik tengah menebar di Timur Tengah. Dengan menggunakan alasan penculikan sekumpulan tentara Israel, pesawat terbang Israel telah membombardir Lebanon selatan. Kini mereka membombardir kantor-kantor polisi PNA. Tujuannya sama: untuk menyebarkan terror dan memaksakan kehendak imperialisme Israel melalui kekerasan masif. Sayang sekali, bukannya menjinakkan massa Arab, penggunaan kekerasan yang semakin meningkat oleh pihak militer Israel ini malah menyatukan seluruh bangsa Arab, dari Maroko hingga Irak, untuk melawan imperalisme, khususnya imperialisme AS dan anteknya, Israel. Demonstrasi 300.000 orang terjadi di Maroko, demonstrasi lain yang didukung satu juta orang terjadi di Tunisia. Perkembangan sama telah disaksikan di Mesir, Yordania, bahkan di Arab Saudi dan Kuwait.
Simpati bangsa Arab terhadap bangsa Palestina dilandasi pada kenyataan bahwa mereka sama berbagi budaya, bahasa dan sastra, juga kondisi sosial dan ekonomi sama. Di Mesir pengangguran melampui angka 10 persen. Di Libanon angka itu sekitar 20 persen. Di Yordania sekitar 25 persen. Perasaan tidak senang yang berkembang di kalangan massa ini bisa dengan mudah ditumpahkan ke dalam demonstrasi jalanan di mana targetnya akan cuma terpatas pada kedutaan AS dan Inggris. Aspirasi massa Arab bukanlah aspirasi dari klik yang menjalankan pemerintahan negara mereka. Berkali-kali bangsa Palestina telah dikhianati oleh mereka yang menyebut diri “saudara” Arab. Dalam realita, gerakan massa di negeri-negeri ini terlihat sebagai ancaman oleh rezim-rezim lalim ini. Untuk mengalihkan kemarahan massa dari diri mereka, rezim-rezim Arab ini mungkin memutuskan bahwa konflik militer dengan Israel akan tidak begitu buruk. Tahapan yang begini akan mebentuk instabilitas sosial dan politik yang luar biasa besar di seluruh kawasan Timur Tengah. Tidak satu rezim pun aman dari bahaya penumbangan –tidak Mesir, tidak juga bahkan Arab Saudi.
Jika saja ada partai dan kepemimpinan revolusioner yang sejati, kondisi yang ada sekarang ini akan bisa menjadi awal revolusi sosialis di seluruh Timur Tengah. Metode Intifada adalah metode yang sama dengan metode perjuangan kelas. Pemogokan umum merupakan salah satu dari ekspresinya. oleh karena itu, para buruh Palestina dan pemuda adalah elemen kunci di dalam persamaan ini. Para buruh Palestina harus tidak menaruh kepercayaan pada kepemimpinan Arafat. Massa Palestina berjuang selama bertahun-tahun bukan untuk menciptakan borjuasi Palestina. Keuntungan apa yang diatawarkan mereka itu kepada kelas buruh dan kaum miskin? Tidak ada! Supaya bisa meraih kebebasannya, para buruh Palestina mesti bercerai habis dengan para pemimpin borjuis ini. Mereka mesti membangun komite-komite mereka sendiri di tempat kerja mereka, komite buruh, komite petani, mahasiswa, pengangguran, dan saling berkait mencipta badan perwakilan nasional. Badan ini akan menjadi ekspresi murni kehendak buruh dan pemuda Palestina.
Namun tidak akan cukup para buruh Palestina mencoba mengambil kekuasaan di dalam wilayahnya. Ekonomi wilayah ini tidak bisa terlepaskan lagi dengan ekonomi Israel. Kebanyakan dari kelas buruh Palestina sebenarnya dipekerjakan di dalam industri Israel. Dengan demikian mereka harus masukkan ke dalam program mereka seruan panggilan untuk bersatu dengan para buruh Israel melawan bossnya. Tanpa kesatuan kelas buruh, massa akan menghadapi jalan buntu. Yang terbentang di depan mata akan berupa perang saudara, buruh membunuh sesama buruh. Sepanjang jalan itu hanya terdampar bencana untuk para buruh –buruh Yahudi atau Arab sama saja. Percobaan untuk memecahkan masalah masyarakat Palestina dalam basis kapitalis dan nasionalis telah hanya mengarah pada kebuntuan berdarah saja. Hal ini perlu untuk mogok di jalan baru: jalan revolusi sosialis. Para buruh dan para pemuda Palestina bisa memberikan point referensi untuk semua buruh dunia Arab. Seruan perjuangan harus dikirimkan kepada seluruh buruh Timur Tengah agar mengorganisir diri mereka dengan tujuan menggulingkan berbagai macam borjuis dan rezim lalim dalam wilayah ini. Hanya dengan menggusur boneka-boneka imperialisme ini, serta pengambilalihan kekayaan kaum kapitalis, maka sumber daya dapat dibuat jadi tersedia bagi pemecahan segala problem sosial d ekonomi.
Para buruh Irael mesti juga bangun untuk menyambut tugas melakukan transformasi masyarakat. Israel adalah negara kapitalis maju dengan proletariat sangat maju. Jika para buruh Israel bergerak secara meyakinkan dan melawan kelas penguasanya hal ini akan menghancurkan rintangan nasional dan membuka peluang terjadinya pertempuran internasional memperjuangkan sosialisme di dalam wilayah ini. Sekarang ini gelombang propaganda kaum chauvinis yang gemar bertarung itu memang memiliki efek. Namun tidak akan begini selamanya. Pengalaman akan menunjukkan bahwa kebijakan reaksi dan militarisme jangka panjang hanya menebar mimpi buruk kematian dan kehancuran untuk semua orang – termasuk Israel. Sekarang satu perang, besok perang yang lain, kemudian sepuluh perang lagi, hingga sampai mana? Alternatif yang ada adalah perjuangan bersama kelas buruh Yahudi dan Arab demi kemerdekaan mereka, atau merka hancur satu sama lain.
Arab Israel adalah 18 persen dari populasi Israel. Meskipun mereka memiliki standar hidup yang lebih tinggi daripada saudara saudari mereka yang hidup dalam wilayah pendudukan, mereka benar-benar menderita sebab adanya diskriminasi sistematis di dalam pekerjaan, sekolah, perumahan dan pelayanan sosial. Hingga tahun lalu mereka bahkan dihalangi dari membeli tanah dan bahkan dari membangun perumahan di kebanyakan wilayah Israel. Mereka tinggal di dalam pemukiman kumuh yang padat dan kotor. Banyak tanah tradisional mereka dirampas. Dan mereka terpaksa melanjutan hidup di pemukiman di lingkungan yang terpisah. Hanya ada dua atau tiga sekolah campuran eksperimental. Selama berlangsungnya Intifada di wilayah pendudukan pada tahun 1980an, bangsa Palestina yang tinggal di Israel sebagai warga Israel tidak mengambil bagian dalam protes. Namun kini mereka berpartisipasi secara masif, di Galilee dan bahkan dalam wilayah campuran yahudi-Arab di Tel Aviv dan Haifa. Ini menjadi kekejaman etnis terburuk di dalam wilayah kekuasaan Israel sejak tahun 1948. Sayap kanan Israel telah merespon dengan aksi penjagalan yang brutal. Surat dari Tel Aviv mengungkapkan sorotan gelombang kegilaan chauvinis dan prorgam yang telah dengan sengaja digeerakkan oleh pemerintah dan pers:
“Penggalangan opini terbaru yang dilakukan sebuah koran harian telah menunjukkan bahwa 60 persen dari penduduk Yahudi mendukung ‘transfer’ (pembersihan etnis) terhadap orang-orang Palestina. Selama hari-hari terakhir, gerombolan-gerombolan orang Yahudi telah melakukan pembersihan di perkampungan-perkampungan Arab dan di dalam kota, sebagai akibatnya beberapa “warga” Israel Arab terbunuh dengan dukungan kepolisian dan tentara secara diam-diam. Tidak satupun dari berbagai organissi kelas buruh Yahudi, baik yang bersifat politis maupun serikat buruh yang lebih menitikberatkan ekonomis, mengutuk pembunuhan besar-besaran ini.”
Jika para buruh Israel tidak bangkit melawan para tuannya dalam sebuah perjuangan demi menegakkan hak-hak mereka sendiri sebagai kelas buruh, inisiatif gerakan massa akan jatuh ke tangan elemen-elemen reaksioner. Para pemimpin serikat-serikat buruh ini tidak membuat satu kecamanpun atas apa yang sedang pemerintah Israel lakukan terhadap bangsa Palestina. Kebungkaman yang memalukan ini mencap mereka sebagai kolaborator reaksi. Karl Marx menjelaskan pada waktu yang silam, kelas buruh yang tidak menentang terjadinya penindasan terhadap orang lain tidak akan pernah mencapai kebebasannya sendiri. Selama gerakan buruh Israel tetap pasif dalam menghadapi apa yang sedang terjadi di Palestina, mereka tidak akan pernah mampu mempertahankan kepentingannya.
PERJUANGKAN FEDERASI SOSIALIS!
Aspirasi nasional rakyat Palestina secara murni terungkap dengan sendirinya dalam perjuangan mereka untuk meraih teritorial dan negara mereka bagi sendiri. Apa yang disebut sebagai Otoritas Palestina yang ada sekarang ini dalam pengertian apapun tidak memenuhi aspirasi ini. Otoritas Palestina terbukti hanyalah sebuah perangkap kejam bagi rakyat Palestina. Terungkapnya kebenaran ini di tengah massa mengakibatkan terbakarnya perasaan mereka atas ketidakadilan dan penghianatan. Kemarahan massa ditujukan tidak hanya terhadap Israel namun juga terhadap Arafat dan para pemimpin PLO lainnya.
Naluri massa mengatakan bahwa satu-satunya jalan untuk melangkah maju adalah tindakan-tindakan revolusioner yang dilakukan oleh mereka sendiri. Hal ini amat benar, namun demikian belumlah cukup untuk menjamin kemenangan. Jajaran kekuatan yang menghantam bangsa Palestina amatlah kuat. Satu-satunya cara untuk mematahkan cengkraman imperialisme adalah dengan menyebarluaskan revolusi keseluruh negara tetangga, diawali di Yordania, dimana warga Palestina merupakan warga mayoritas. Itu a menciptakan kondisi-kondisi yang diperlukan bagi pemroklamasian negara revolusioner Palestina yang benar-benar demokratik. Hal ini hanya bisa dicapai bila kekuasaan beralih ke tangah kelas buruh dan tani. Di atas basis inilah akan mungkin untuk mengumandangkan seruan revolusiner kepada massa kelas buruh di Israel.
Pada analisis di atas, terungkap bahwa satu-satunya jaminan kesuksesan adalah dengan jalan menyebarluaskan revolusi ke dalam negeri Israel sendiri. Hanya kelas buruh Israel-ah yang mampu menggulingkan keberadaan negara Zionist yang dahsyat itu. Melalui kebijaksanaan revolusioner yang tepat, daya dorongan untuk terjadinya hal ini dapat berasal dari luar Israel, namun peperangan final harus dilakoni dari dalam.
Pada masa sekarang, harapan ini dipandang masih terlalu jauh. Namun begitu jugalah prospek terjadinya revolusi dalam masa pemerintahan rezim tsaris sebelum 1917. Dalam sembarang kasus, perspektif ini bukan merupakan jalan yang bisa di kesampingkan, namun justru sebaliknya perspektif ini mengandung persyaratan, bahwa gerakan revolusioner massa rakyat Palestina harus diteruskan, diperluas, dan diperdalam. Biarkan saja orang-orang yang sinis dan yang skeptis memprotes bahwa suatu kebijakan sosialis adalah hal yang “utopis!”. Namun biarkan pula mereka coba menunjukan pada kita apa kebijakan lain yang bersifat lebih “praktis”! Kita tahu benar kebijakan macam apa yang mereka sebut “praktis” ini! Mereka tokh sudah berusaha keras sepanjang setengah abad dan selalu mereka pula yang melenceng menjadi kaum utopis yang paling menyedihkan.
Ide pendirian dua negara di atas basis kapitalis adalah setepat-tepatnya suatu UTOPIA REAKSIONER. Mereka yang mengajukan ide tersebut tidak berpikir panjang. Di mana perbatasan antara kedua negara itu akan diletakkan? Siapa yang akan mengontrol Yerussalem ? Hak-hak apa yang akan dimiliki oleh kaum minoritas di masing-masing kedua negara tersebut? “Solusi” macam begitu sama sekali tidak dapat menyelesaikan persoalan apapun. Hanya akan menjadi sumber perang dan konflik yang baru. Dalam sembarang kasus, solusi yang dikatakan “realistis” ini samasekali tidak realistis. Imperialis Israel sudah terang-terangan menunjukkan bahwa mereka tidak akan mentolerir pendirian negara Palestina sejati di ambang pintu mereka. Jadi, solusi dari permasalahan ini hanya dapat terjadi melalui penggulingan kekuasaan di negara Israel; yaitu, memalui penggunaan kebijakan revolusioner yang dapat mempersatukan kelas buruh Yahudi dan Arab untuk melakukan perlawanan terhadap musuh bersama mereka.
Partai “Komunis” Israel selama masa pemilihan yang lalu menghimbau untuk memilih Barak. Lebih jauh, mereka mendukung pembagian (dua negara untuk dua rakyat). Kaum lain yang lain mengaku dirinya Marxis menghimbau adanya “negara Sosialis Israel yang bersisian dengan negara Sosialis Palestina.” Ini hanya merupakan sebuah pernyataan lain yang mendukung pembagian tersebut, dan bahkan lebih tidak mengesankan dari pada pendirian Partai Komunis Israel. Ketika situasi sudah siap secara memadai bagi buruh Yahudi dan Arab untuk merebut kekuasaan, maka situasi itu jelas sudah cukup memadai bagi pembentukan sebuah federasi Sosialis.
Seluruh kehidupan ekonomi di kawasankedua negara itu begitu terikat satu sama lain hingga sebuah federasi merupakan satu-satunya solusi terakhir. Begitu buruh Arab dan Yahudi telah mengambil alih kekuasaan di tangan mereka, seluruh persoalan mengenai perselisihan yang ada dapat didiskusikan dan diselesaikan dengan ramah. Hanya solusi ini yang bisa mengatasi seluruh situasi yang menakutkan. Pembentukan sebuah republik sosialis sekular yang demokratis di Israel hanyalah satu langkah awal menuju pembentukan Federasi di dalam keseluruhan daerah yang menurut sejarah adalah Palestina dan untuk pengakuan atas hak pulang para pengungsi Palestina. Pada putaran berikutnya, hal ini akan menjadi satu langkah pertama untuk mencapai Federasi Sosialis bagi seluruh rakyat di Timur Tengah.
PERANG ATAU REVOLUSI ?
Saat penulisan ini dilakukan, usaha-usaha yang kalut tengah dijalankan oleh AS dan Eropa untuk menghindari perang. Dunia Barat takut akan dampak-dampak ekonomi dan politik akibat perang. Harga minyak sudah mencapai yang tertinggi selama 10 tahun. Wall Street telah kacau balau kepanikan tingkat tingi yang disebabkan ketakutan akan pecahnya konflik hidup-mati di Timur Tengah yang menggiring para investor kepada prospek kenaikan harga minyak yang memicu resesi di Barat. Nilai perusahaan-perusahaan top AS susut milyaran dollar ketika rata-rata industri Dow Jones bereaksi terhadap kenaikan tajam harga minyak dengan jatuh sebanyak 3,6 persen dalam sehari. Perang di Timur Tengah akan memicu kenaikan minyak secara drastis dan membawa resesi dunia dengan amat cepat. Karena itulah dunia barat panik.
Sebagian besar pemimpin tidak menginginkan perang. Pemimpin-pemimpin Arab takut kalau mereka akan terguling. Mereka mati-matian mengharapkan adanya suatu perjanjian. Untuk kepentingannya, Barak akan mau bersikap condong kepada Washington dan mencapai sedikit kompromi. Lebih dari segalanya, Arafat menginginkan suasana menurun. Namun masalah utamanya adalah: kompromi macam apa? Untuk rakyat Palestina, sembarang “konsensi” yang mungkin ditawarkan Tel Aviv akan amat berarti, sementara bagi hiu-hiu Israel hal itu terlalu banyak. Hal ini seperti mencoba membuat bujur sangkar dari sebuah lingkaran. Bagaimanapun juga, kini diragukan bahwa satu saja dari pihak-pihak yang terlibat dalam negosiasi dapat mengendalikan keadaan. Persoalan-persoalan makin tidak terkendali dari hari kehari. Di wilayah-wilayah yang diduduki, keinginan berperang makin meningkat. Di Israel, demam perang bertambah dalam hitungan jam. Front-front baru terbuka tiap waktu. Seluruh logika keadaan mengacu pada terjadinya perang.
Koresponden kami dari Israel menulis bahwa sebagian besar aktivis menghawatirkan hal yang lebih buruk akan terjadi: “Terdapat ancaman Perang dengan Lebanon, karena Israel menolak menukarkan sandera sipil yang diambil di wilayah Lebanon dengan prajurit-prajurit yang diculik Hizbullah di luar perbatasan Israel, dengan alasan bahwa Hizbullah adalah organisasi teroris (tentu saja, mereka anggap rakyat Palestina tidak diteror oleh Israel). Juga ada kemungkinan sejumlah besar ada bom bunuh diri di bis-bis yang dilakukan oleh rakyat Palestina yang nekat”.
Reaksi Arafat terhadap pemboman Israel atas Ramallah adalah membebaskan anggota Hamas dari penjara. Apakah ini dilakukan dibawah tekanan, atau sebagaimanuver untuk mendorong serangan-serangan bunuh diri di Israel tetap harus diperhatikan. Bisa jadi kebrutalan Israel membuatnya tidak punya pilihan lain selain harus membuka penjara-penjara. Bagaimanapun juga, dimasa lalu Arafat sudah bermain dengan terorisme, yang tidak ia takuti, dan sekarang memulai hal yang sama untuk memulihkan “mandat” nya dan mengalihkan gerakan massa (yang ia takuti) ke saluran-saluran yang lebih dapat diaturnya. The Guardian (13.10.00) melaporkan: “Di GazaÖ pemimpin Palestina merespon serangan roket Israel dengan membebaskan 350 militan dari penjara, 350 anggota Islam Jihad dan HamasÖ. “Di antara orang-orang yang dibebaskan terdapat para pemimpin sayap militer Hamas, termasuk Muhammad Deif, orang yang dianggap paling berbahaya di antara mereka.”
Peluncuran serangan-serangan bunuh diri ke dalam Israel merupakan perkembangan negatif dari sudut pandang manapun. Seluruh sejarah perjuangan Palestina membuktikan bahwa taktik terorisme individual tidak berguna dan kontra produktif. Bukannya melemahkan reaksioner Israel, malah memperkuatnya. Serangan berdarah dan tidak pandang bulu terhadap warga sipil Yahudi hanya menggerakkan mereka ke arah reaksi chauvinis. Israel akan merespon semua serangan seperti itu dengan serangan berdarah balasan terhadap rakyat Palestina dan kejahatan-kejahatan imperialisme Israel akan menjadi kurang berarti di mata dunia sebab adanya kegilaan teroris. Hal yang di sebutkan terakhir akan memberi lampu hijau pada pemerintah Tel Aviv untuk melakukan penindasan besar-besaran. Mereka telah menggantikan orang-orang Arab yang tinggal di luar Israel dengan buruh-buruh asing dari filipina, Amerika Selatan, Turki, Rumania, Thailand dan sebagainya. Mereka bahkan mungkin telah siap untuk memaksa seluruh populasi warga Arab keluar dari Israel. Hal ini akan menjadi episode memilukan yang jelas akan mempunyai berbagai dampak jauh ke depan, dan bukan hanya di Israel dan Palestina. Hal ini akan membuat problem rakyat Palestina menjadi lebih buruk dari pada yang mereka hadapi sekarang. Dalam hal itu tidak mungkin terwujud kemenangan. Keberhasilan revolusi hanya akan dapat diraih dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh massa sendiri. Ini merupakan pelajaran yang dipetik dari Intifada.
Peristiwa-peristiwa yang sekarang terjadi di Timur Tengah merupakan konfirmasi lebih jauh bahwa kontradiksi-kontradiksi pokok sosial dan ekonomi di wilayah ini tidak dapat dipecahkan di atas basis kapitalis. Selama kesejahteraan dan dan sumber daya wilayah ini ada di tangan-tangan baik pihak imperialisme Israel dan di lain pihak di tangan serangkaian rezim semi feodal Arab yang lalim, kemiskinan tidak akan terhapuskan. Tidak akan ada cukup pekerjaan, perumahan, air bersih, rumah sakit, dan sekolah untuk setiap orang. Dalam situasi begini elit-elit penguasa selalu cenderung untuk memainkan kartu nasional, yaitu, mereka akan mengadu domba satu negara dengan yang lain.
Hanya ada dua jalan untuk orang-orang diwilayah itu: revolusi sosialis ataukah mimpi buruk masa depan yang penuh kekerasan, kematian, dan penghancuran tanpa akhir. Tragedi kelas buruh Israel adalah tidak mempunyai suara independen sejati yang benar-benar miliknya sendiri. kelas buruh Israel perlu membuat suatu alternatif. Di atas basis ini dimungkinkan untuk membangun Federasi Sosial Timur Tengah, yang di dalamnya tiap bangsa memiliki otonomi penuh dan hak untuk menentukan diri sendiri. Jadi satu tanah air dapat menjamin baik hak orang Yahudi maupun orang Palestina. Dari pada menghabiskan sumber daya besar-besaran untuk militer, kekayaan yang dihasilkan buruh wilayah ini dapat digunakan untuk memecahkan sagala persoalan yang tidak bisa dipecahkan oleh kapitalisme. Dengan dasar pekerjaan, perumahan yang layak, air bersih, pelayanan kesehatan, serta pensiun, untuk semua orang, akan mungkin memecahkan permasalahan nasional dan kolaborasi yang harmoni dan kerjasama antar semua rakyat di Timur Tengah.
Beralihnya ancaman perang akan segera membawa peningkatan standar kehidupan. Belanja militer sekarang menempatkan beban berat di pundak massa di manapun. Syria, misalnya, memiliki 400.000 tentara, ditambah 200.000 personil yang terlibat keamanan internal. Ini menghabiskan 40 persen anggaran negara. Mulai dari mereka yang menerima upah cuma 80 dollar perbulan, rakyat harus membayar pajak tambahan untuk “usaha perang”. Penghapusan beban ini hanya akan menjadi permulaan.
Dalam Alkitab Israel menyatakan Palestina sebagai “tanah yang dialiri susu dan madu”. Mungkin hal ini akan bisa terjadi sekali lagi dengan dasar federasi sosial dan rencana produksi bersama. Timur Tengah mempunyai sumberdaya besar yang belum diolah. Rencana ekonomi Sosialis akan membebaskan Timur Tengah dari cengkraman imperialisme untuk selamanya. Rencana ini akan menjatuhkan para penguasa feodal yang korup yang memonopoli kekayaan minyak yang harusnya menjadi milik seluruh rakyat. Kemiskinan dan perang saling berkaitan satu sama lain. Sumberdaya demikian di keluarkan untuk tujuan produktif akan membuat wilayah padang pasir itu menjadi semarak bunga. Rakyat Timur Tengah: bangsa Arab, Yahudi, Armenia, Kurdi, Turki, Copt, Druse, mempunyai sejarah budaya yang kaya. Satu waktu dulu, mereka ini menguasai dunia, saat itu Eropa masih terbenam dalam barbarisme dan kebodohan. Bersatu dalam Federasi Sosialis, mereka akan menempati tempat mereka yang sepantasnya dalam sejarah dunia.
London, 13 Oktober 2000