Benar, roh Marxisme sudah kembali, menghantui kelas penguasa Indonesia yang sudah tua renta: kelas oligarki, borjuis, dan negara mereka. Ide Marx and Engels sedang dibangunkan sekali lagi dari tidur lelapnya. 42 tahun setelah kekalahan telak gerakan komunis Indonesia pada tahun 1965, dan dengan itu semua gerakan massa, kelas buruh bangun kembali dari tidurnya.
Apa yang saat itu dikira mustahil justru dilakukan pada tahun 1998 saat rakyat Indonesia menumbangkan rejim Soeharto. Walaupun gerakan tersebut tidak menghasilkan perubahan sosial yang sistematis karena absennya sebuah partai revolusioner, kelas buruh Indonesia sudah memperoleh pelajaran yang paling berharga, mereka mengerti bahwa mereka mampu merubah masyarakat. 32 tahun di bawah rejim yang paling represif yang dipimpin oleh Soeharto dan kroni-kroni kapitalisnya telah merampas semua pengalaman politik dari kelas buruh. Sekarang, mereka kembali mempelajari pengalaman-pengalaman tersebut.
Sampai pada tahun 1965, kelas buruh Indonesia mempunyai kesadaran yang paling maju di wilayah Asia Tenggara. Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai komunis ketiga terbesar setelah Uni Soviet dan Cina. Kondisi-kondisi objektif sudah ada untuk pengambilan kekuasaan oleh rakyat dan mengantarkan revolusi sosialis.
Akan tetapi, sebagai seorang Marxis, kita tahu bahwa ada satu aspek lainnya yang sekrusial kondisi objektif, dan aspek tersebut adalah faktor subjektif, yaitu kepemimpinan revolusioner. Dan inilah yang tidak ada saat itu. Kepemimpinan PKI dijangkiti oleh teori dua-tahapnya Stalinis; bagi mereka, revolusi sosialis tidak ada di agenda mereka.
Pada tahun 1951, D.N. Aidit, Sekretaris Jendral PKI mengatakan bahwa yang harus dibentuk:
“…adalah front persatuan antara semua kekuatan anti-imperialis dan anti-feudal di seluruh negara. Dalam kata lain, kelas buruh, kelas tani, kelas borjuis kecil, dan kelas borjuis national. Tugas dari aliansi ini adalah bukan untuk membawa revolusi sosialis, tetapi membawa reformasi demokratik.” (D.N. Aidit, The Road to People’s Democracy in Indonesia, hlm 94.)
Pada tahun 1961, dia juga menyatakan,
“Perjuangan kelas kita mengambil bentuk perjuangan nasional. Prinsip utama yang kita pegang di dalam perjuangan nasional adalah bahwa perjuangan kelas diletakkan di bawah perjuangan nasional.” (Ever Forward to Storm Imperialism and Feudalism, Jakarta, 1961 hlm 19-20)
Kepemimpinan PKI yang penuh pengkhianatan ini sesungguhnya berkata bahwa kelas buruh harus mengambil kekuasaan dan kemudian memberikan kekuasaan tersebut kepada kaum borjuis nasional supaya tahap perkembangan kapitalisme dapat diselesaikan. Kesetiaan kepemimpinan PKI kepada kaum borjuis nasional benar-benar tak tergoyahkan, sampai mereka membiarkan jutaan anggota dan simpatisan mereka dibantai oleh tentaranya Soeharto, secara nyata menghancurkan basis massa mereka sendiri. PKI dan gerakan massa Indonesia hancur, massa mengalami demoralisasi dan ini diikuti oleh 32 tahun reaksi di bawah kuasa militer Suharto.
Represi
Selama 32 tahun ini, Suharto dan pendukung kapitalisnya melakukan segalanya untuk menekan semua gerakan massa melalui kuasa militer dan pencucian otak masyarakat yang sistematis. Sejarah Indonesia ditulis ulang supaya sesuai dengan agenda kelas penguasa. Peran gerakan komunis di dalam perjuangan pembebasan nasional Indonesia dihapus. Fakta-fakta yang menunjukkan bahwa banyak pahlawan nasional Indonesia: Tan Malaka, Sutan Syahrir, Sukarno, dll dipengaruhi oleh ide Marxisme juga dihapus dari sejarah. Komunisme dibuat menjadi tabu; setiap tahun, sebuah film dokumenter yang diproduksi oleh pemerintah diputar sebagai upaya untuk mempengaruhi pikiran rakyat bahwa komunisme adalah bahaya laten terhadap masyarakat, bahwa seorang komunis adalah seseorang yang haus darah dan benci Tuhan.
Pada tahun 1966, sebuah hukum dibuat untuk melarang segala bentuk tendensi Komunisme dan Marxisme dan hukum ini masih berlaku hingga saat ini. Bahkan, satu tahun setelah gerakan mahasiswa 1998 yang menumbangkan rejim Soeharto, suatu gerakan yang menjanjikan reformasi demokratik, sebuah hukum yang lain dibuat untuk melarang Marxisme. Hukum ini bahkan melarang seseorang untuk mempunyai hubungan apapun dengan organisasi Marxis-Leninis/Komunis – sebuah kejahatan yang dihukum dengan 15 tahun penjara.
Teror, penculikan, “penghilangan”, dan pembunuhan adalah metode yang dipilih untuk mendiamkan mereka yang dianggap sebagai bahaya terhadap negara. Secara praktikal, kelas penguasa Indonesia telah melakukan tugas yang sempurna dalam mencekik massa dan ide Marx and Engels. Akan tetapi, satu hal mudah yang tidak mampu dilakukan oleh kapitalisme adalah memberikan rakyat sebuah kehidupan yang layak. Tidak peduli sebanyak apapun buah bibir yang ditebarkan oleh kaum moralis kapitalis terhadap konsep persamaan hak dan kemakmuran untuk semua rakyat, eksistensi kapitalisme mensyaratkan ketidaksamaan hak. Harus ada sekelompok besar orang yang tidak memiliki apapun kecuali tenaga kerja mereka dan oleh karenanya, mereka terpaksa menjual tenaga kerja mereka kepada penawar tertinggi; dan di sisi yang lain adalah penawar tertinggi, yaitu sekelompok kecil kapitalis yang memiliki segalanya.
Keharusan (necessity) mengekpresikan dirinya melalui sebuah kebetulan (accident). Sebuah krisis ekonomi menghantam Asia pada tahun 1997, menyingkap kontradiksi-kontradiksi yang sudah menggunung yang disebabkan oleh berpuluh-puluh tahun penjarahan di bawah Soeharto. Dengan kaum miskin yang terhantam paling keras oleh krisis tersebut, rakyat Indonesia bergerak. Dipimpin pertama kali oleh mahasiswa, rakyat Indonesia menumbangkan rejim Soeharto pada tahun 1998.
Peristiwa 1998 membawa kelonggaran-kelonggaran tertentu untuk kelas buruh Indonesia, kebanyakan dalam bentuk perubahanan demokratik politik. Dimana dulu arena politik hanya bisa diakses oleh tiga partai politik, sekarang ada berlusin-lusin partai politik, walaupun kebanyakan didominasi oleh kaum oportunis yang semata-mata menginginkan bagian mereka di dalam kekuasaan negara. Banyak serikat buruh dan organisasi massa yang bermunculan. Koran-koran sekarang dipenuhi dengan artikel-artikel yang mengkritik pemerintah, sebuah aksi yang dulu kala dapat dipenjara.
Mengenai kelonggaran tersebut, pemimpin-pemimpin reformis, seperti bebek yang mengulangi kata-kata kelas penguasa, berbicara mengenai kehebatan demokrasi Barat, dalam kata lain demokrasi borjuis. Mereka berbicara mengenai kehebatan pasar bebas, yang seharusnya membawa kemakmuran ekonomi dan kebebasan politik kepada masyarakat. Mereka berbicara mengenai penegakan hukum, yaitu hukum borjuis.
Akan tetapi, reformis-reformis tersebut tampaknya lupa, mungkin karena niat buruk mereka, bahwa kelonggaran-kelonggaran tersebut dipaksakan kepada kelas penguasa oleh massa yang sudah capai akan ketidakmampuan sistem sekarang ini untuk memajukan masyarakat. Dan ketika kelonggaran-kelonggaran ini mulai mengancam kepentingan kelas penguasa, atau dalam bahasa pemerintah, mereka mulai mengancam investasi luar negeri, perkembangan ekonomi, dan kesucian negara, kelonggaran tersebut dapat dengan mudah dijungkirbalikkan.
Pada bulan September 2004, aktivis HAM Indonesia yang paling terkemuka, Munir, diracuni dengan arsenik dalam penerbangannya ke Amsterdam. Walaupun bukti-bukti menunjukkan peran pemerintah di dalam pembunuhan ini, selain pilot pesawat Pollycarpus yang dijadikan kambing hitam, tidak ada seorang pun yang dibawa ke pengadilan.
Pembunuhan ini tidaklah mengejutkan. Aktivitas Munir dalam kampanye HAM sudah tidak dapat ditoleransi oleh kelas penguasa karena dia sudah membeberkan berulang-ulang kali kebusukan pemerintahan sekarang ini, menunjukkan tanpa keraguan bahwa pemerintahan sekarang tidak berbeda dengan pemerintahan lama di bawah Soeharto. Pembeberan ini sangatlah berbahaya karena massa dapat meraih kesimpulan bahwa tidak peduli sebanyak apapun pemerintah ini diganti dan direformasi, di bawah kapitalisme rakyat hanya akan mendapatkan represi dan eksploitasi. Kampanye HAMnya Munir serta pembunuhan Munir sendiri telah menunjukkan watak represif dari kapitalisme.Â
Peran Fundamentalis Islam
Tidak mampu untuk menggunakan aparatus negara secara terbuka guna mencekik perbedaan pendapat, kelas penguasa Indonesia beralih ke kelompok fundamentalis Islam dan massa anti-komunisme untuk menuai rasa takut. Ormas-ormas ini, didukung oleh tentara dan polisi, sudah digunakan untuk membubarkan rally, demonstrasi, mogok kerja buruh, dan acara diskusi publik.
Pada tanggal 12 Desember 2006, sebuah acara publik di Surabaya untuk memperingati hari HAM, dimana sebuah film dokumenter mengenai pembantaian kaum komunis Indonesia tahun 1965-66 akan diputar, dibubarkan oleh Front Anti Komunis Indonesia (FAKI). Dua hari kemudian, ormas anti-komunis yang serupa, dengan nama Persatuan Masyarakat Anti Komunis (PERMAK) dan Pemuda Panca Marga (PPM) membubarkan dengan paksa sebuah acara diskusi Marxisme di Bandung. Kemudian pada tanggal 17 Januari 2007, ormas anti-komunis yang sama yaitu FAKI, menyerang Kongres Pendirian Partai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS) di Yogyakarta, sebuah partai kiri yang baru saja dibentuk. PAPERNAS merupakan hasil merger dari Partai Rakyat Demokratik (PRD), yang memainkan peran penting di dalam penumbangan rejim Soeharto, dengan organisasi-organisasi mahasiswa, tani, dan buruh. Pada bulan Maret, Konferensi Daerah PAPERNAS di Jawa Timur juga diserang ratusan preman di bawah bendera Islam. Dan baru-baru ini, deklarasi PAPERNAS di Jakarta dihalangi dengan kekerasan oleh ratusan preman yang menuduh PAPERNAS sebagai partai komunis, dan menghidupkan kembali pemburuan komunis pada tahun 1965/66.
Serial kejadian-kejadian tersebut, yang hanya merupakan setetes air di dalam lautan, bukanlah sebuah kebetulan. Jelas bahwa serangan-serangan preman tersebut terorganisir dan merepresentasikan reaksi kelas penguasa terhadap hantu komunisme yang mengancam kepentingan mereka. Reaksi semacam ini yang datang dari kelas penguasa bukanlah hal yang baru bagi rakyat Indonesia yang sudah menderita berabab-abad penindasan oleh kapitalisme dalam berbagai samaran; pertama di dalam bentuk kolonialisasi Belanda, yang diikuti oleh imperialisme Inggris dan Jepang, dan kedua di bawah “orde baru” yang dipimpin oleh rejim Soeharto yang didukung oleh Amerika; dan ini berlanjut tentu saja di bawah selimut “era reformasi”.Â
Buruh dan Kaum Muda Indonesia Bangkit Kembali
Akan tetapi, rakyat Indonesia yang tertindas, seperti orang-orang yang tertindas di seluruh dunia, bangkit melawan penindas mereka. Buruh, petani, dan mahasiswa di seluruh penjuru mulai berorganisasi. Diskusi-diskusi dan pertemuan-pertemuan, di aula yang besar, di halaman belakang, di teras rumah, di warung kopi, di internet, dimana-mana, terjadi saat kaum muda Indonesia sekarang sedang mencari gagasan, mencari jalan untuk merubah masyarakat mereka.
Banyak organisasi yang dulu berhasil menumbangkan Soeharto terpecah-belah karena absennya sebuah program revolusioner yang bisa menyatukan mereka semua; ada yang menyerah kepada reformisme; ada yang kecewa dengan arah gerakan sekarang ini. Tetapi, kegagalan untuk menghasilkan perubahan yang sistematis setelah jatuhnya Soeharto justru menjadi pecutan terhadap kaum muda supaya mereka mempersenjatai diri mereka dengan ide dan perspektif yang kuat.
10 tahun belakangan ini, banyak karya klasik Marxis yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, banyak juga yang sudah diterbitkan ke dalam buku-buku; contohnya, dalam tiga tahun, 3 volume Das Kapital sudah diterjemahkan dan diterbitkan ke dalam buku. Juga, sudah banyak buku dan film dokumenter tentang sejarah PKI, pembentukannya dan kehancurannya, yang sudah dirilis.
Jelas-jelas, ide Marxisme tidak hanya menarik perhatian mahasiswa tetapi juga buruh-buruh, karena Marxisme mampu menjelaskan, dengan bahasa yang sangat jelas, problem-problem kapitalisme dan jalan yang harus ditempuh untuk emansipasi kaum buruh. Karena inilah, kelas penguasa Indonesia dan teman asingnya bergetar ketakutan, ini dibuktikan dengan kampanye kekerasan mereka terhadap Marxisme dan Komunisme.
Kelas penguasa Indonesia mengira bahwa mereka telah mengubur Marxisme pada tahun 1965 ketika mereka membubarkan PKI; mereka pikir dengan membantai jutaan komunis dan simpatisan komunis, ide marxisme tidak akan bangkit kembali. Akan tetapi, satu hal yang harus mereka ketahui adalah bahwa kebusukan kapitalisme merupakan tanah yang subur untuk ide-ide Marxis, dan selama masih ada pengemis di jalanan, roh Marxisme akan selalu menghantui Indonesia.
Tugas dari generasi sekarang adalah untuk melengkapi diri mereka dengan pelajaran sejarah; untuk belajar dari sejarah kegagalan Stalinisme yang direpresentasikan oleh jatuhnya PKI pada tahun 1965 dan rubuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, untuk belajar dari sejarah watak pengkhianatan reformisme, untuk mempersenjatai diri mereka dengan metode dan tradisi Marxisme yang sejati, dan untuk memberikan sebuah tubuh yang nyata kepada roh Marxisme dengan membangun organisasi Marxis revolusioner.
Seperti yang dikatakan oleh Ernest Everhard[1]: “Kalah saat ini, tapi bukan untuk selamanya! Kita sudah belajar banyak hal. Besok, perjuangan kita akan bangkit kembali, lebih bijak dan lebih disiplin.”
Catatan:
[1] Ernest Everhard adalah tokoh fiksi karangan Jack London di dalam bukunya The Iron Heel yang terbit pada tahun 1908, dimana Ernest Everhard adalah seorang Sosialis.