Berita terakhir dari Myanmar (yang dulu dikenal sebagai Burma) melaporkan bahwa para tentara sudah mulai menembaki massa demonstran dengan gas air mata. Kemarin, berita lainnya melaporkan bahwa setidaknya satu orang demonstran sudah terbunuh dan yang lainnya luka parah. Beberapa kuil Budha sudah diserbu oleh tentara karena kuil-kuil tersebut dianggap sebagai pusat dari pergolakan yang sedang terjadi sekarang ini.
Rejim Myanmar ini sedang berusaha menekan massa dengan kekerasan yang brutal. Dulu pada tahun 1988, berdasarkan semua reportase yang ada, sekitar 3000 orang dibantai saat demonstrasi massa. Maka dari itu, tidak seorangpun dapat meragukan kebrutalan rejim ini dan apa yang rejim ini mampu lakukan di dalam usahanya untuk menekan gelombang protes.
Satu hal yang masih harus dilihat: apakah perimbangan kekuatan sekarang ini akan mengijinkan kekerasan brutal tahun 1988 terulang lagi? Banyak hal yang sudah berubah semenjak 1988. Dulu, rejim Myanmar mengambil model Stalinisme Tiongkok, tetapi sekarang Uni Soviet sudah bubar dan RRC sudah mengambil jalan kapitalisme; bahkan yang lebih penting, pelbagai hal telah bergerak di Myanmar dengan memburuknya situasi ekonomi dan sosial.
Kemunafikan Imperialisme
Setelah protes massa yang terjadi dan ancaman represi dari pihak rejim Myanmar, George Bush dan Gordon Brown telah memukul genderang “demokrasi” dan “hak asasi manusia”, seperti yang diperkirakan. Baru-baru ini, Presiden Bush menyatakan bahwa embargo ekonomi dari US akan dijatuhkan terhadap Myanmar, dan dia mengkritik rejim militer Myanmar yang telah menteror rakyatnya selama 19 tahun, dengan larangan kebebasan berpendapat, berkumpul, dan beragama.
Di dalam pidatonya baru-baru ini di Sidang Umum PBB di New York, Bush berkata bahwa, “Rakyat Amerika sangat marah akan situasi di Burma.” Uni Eropa juga sudah memprotes hal tersebut, seperti halnya Perdana Menteri Inggris Gordon Brown yang menyatakan bahwa, “Seluruh dunia sedang menyaksikan apa yang sedang terjadi di Burma, dan rejim Myanmar yang tidak sah dan represif ini harus tahu bahwa seluruh dunia akan meminta pertanggungjawaban mereka. Era dimana tidak ada hukuman bagi mereka yang mencampakkan dan menginjak-injak hak asasi manusia telah berakhir.” Media dunia Barat juga sudah menulis banyak artikel mengenai tidak-adanya demokrasi di Burma.
Gordon Brown, Perdana Menteri Inggris, juga telah menyerukan Dewan Keamanan PBB untuk bertemu guna mendiskusikan krisis ini, tidak diragukan ia juga menyodorkan proposal supaya PBB campur tangan untuk menyelesaikan krisis ini. Dia telah mendorong PBB untuk mengirim diplomat ke Myanmar.
Seruan terhadap PBB ini adalah sebuah usaha untuk membingungkan masalah ini dan mendorong sebuah “opini publik” bahwa PBB adalah sebuah institusi penengah yang independen yang mampu menyelesaikan konflik semacam ini. Kita telah mengatakan hal ini berulang kali: PBB tidak akan mampu memainkan peran yang independen. Ia tidak mampu menjanjikan perdamaian atau menyelesaikan konflik besar. Ini karena PBB hanya mampu mengekspresikan kepentingan dari negara-negara adidaya. Bila negara-negara adidaya ini mampu mencapai suatu kesepakatan akan sebuah isu, maka PBB akan digunakan sebagai kedok bahwa kesepakatan tersebut bersifat “imparsial”. Bila kekuatan-kekuatan imperialis ini tidak mampu meraih kesepakatan, maka PBB tak berdaya apapun, seperti halnya mengenai masalah perang Irak, dan negara yang terkuatlah yang akan menentukan pelbagai hal. Dalam kasus Myanmar, bila PBB memutuskan sesuatu, ini hanyalah sebuah cap stempel belaka bagi keputusan yang diambil oleh negara-negara adidaya.
Rejim yang Brutal
Tidak ada seorangpun yang dapat meragukan kebrutalan rejim Myanmar. Rejim ini benar-benar merupakan salah satu rejim yang paling brutal dan korup di dunia dan rakyat Myanmar mempunyai alasan untuk memprotes rejim ini. Taraf hidup mereka telah jatuh secara dramatis. Akan tetapi, Bush dan Brown tampaknya tidak memiliki rasa malu saat mereka menyatakan kemarahan mereka terhadap rejim Myanmar. Tiba-tiba mereka menemukan rasa cinta terhadap demokrasi di Myanmar, padahal pada saat yang sama mereka telah menyengsarakan rakyat Irak dan Afganistan, mereka tetap memiliki hubungan yang baik dengan rejim brutal seperti Arab Saudi, dan mereka telah mendukung banyak kudeta militer selama berpuluh-puluh tahun.
Kaum sosialis yang sejati mendukung hak rakyat Myanmar untuk menentukan nasib mereka sendiri, untuk menyingkirkan rejim yang opresif ini dan menggantikannya dengan sebuah pemerintah yang sungguh-sungguh membela kepentingan mereka. Tetapi rakyat Myanmar tidak akan mendapatkan hal ini dari Amerika atau Inggris, atau dari Uni Eropa atau kekuatan imperialis lainnya. Kekuatan “oposisi” yang ada sekarang juga tidak akan memenuhi aspirasi rakyat Myanmar. Mereka hanya menggunakan ketidakpuasan massa yang jujur ini untuk meraih kekuasaan kembali. Mereka bukanlah wakil rakyat sesungguhnya.
Apa yang kita lihat adalah suatu pertentangan untuk meraih pengaruh di Myanmar, terutama antara Amerika dan RRC. India juga memiliki kepentingan di Myanmar dan berkompetisi dengan RRC untuk meraih kontrol terhadap sumber daya alam di Myanmar. Seperti halnya di Ukraina, di Georgia dan banyak kasus yang serupa, pemerintah Amerika telah melakukan manuver untuk menciptakan pemerintahan boneka disana. Amerika ingin menekan RRC keluar dan memasang sebuah rejim “demokratis” yang akan lebih penurut terhadap tuntutan-tuntutan imperialis. Rejim “demokratis” seperti ini akan menjalankan kebijakan-kebijakan Bank Dunia dan IMF, dalam kata lain kebijakan-kebijakan yang didikte oleh imperialisme, yang meliputi privatisasi secara menyeluruh, pemotongan anggaran sosial dan taraf hidup masyarakat yang sudah sengsara. Kita cukup melihat apa yang sudah terjadi di Ukraina setelah “Revolusi Orange” untuk mengerti hal ini.
Inilah mengapa kita harus membedakan aspirasi rakyat yang sejati dari tujuan dan objektif “kelompok oposisi” yang didukung oleh kekuatan Barat. Untuk bisa membedakan dua hal tersebut, kita harus mengerti pelbagai hal yang sudah terjadi di Myanmar selama berpuluh-puluh tahun.
Latar Belakang Sejarah
Rejim Myanmar sekarang ini berakar dari peristiwa yang terjadi pada tahun 1962 saat Ne Win melakukan kudeta dan menerapkan model Maois RRC, menasionalisasi semua tanah, industri, dan perdagangan, dan membentuk rejim satu-partai yang totaliter. Dia bahkan mengambil titel “Chairman” (“Ketua”). Kapitalisme terhapuskan, dan perencanaan ekonomi dibentuk. Kenyataan bahwa hal-hal ini dapat terjadi adalah refleksi dari ketidakmampuan kaum borjuis Burma untuk meningkatkan perekonomian negara. Ini juga merupakan refleksi dari peran imperialisme Inggris dulu kala, ketika mereka menjajah Burma. 62 tahun lamanya waktu yang dibutuhkan oleh Inggris untuk menaklukkan seluruh Burma, dari tahun 1824 hingga 1886; kemudian mereka menjajah Burma sampai 1948. Selama itu, mereka gagal mengembangkan negara tersebut.
Bahkan setelah kemerdekaan formal bangsa Myanmar, ia tetap didominasi secara total oleh imperialisme. Di dalam kondisi tersebut, pada tahun 1964 Ted Grant menganalisa perkembangan di Burma dan menjelaskan proses tersebut:
“Ketidakmampuan kaum borjuis, semi-borjuis, kelas menengah atas, tuan tanah dan borjuis kecil untuk menyelesaikan tugas-tugas ini telah mendorong masalah revolusi permanen secara terdistorsi. Bila ada partai-partai dan tendensi-tendensi Marxis yang kuat di daerah-daerah koloni di dunia, masalah kekuasaan akan dihadapi dengan cara yang berbeda. Masalah kekuasaan ini akan dihadapi dengan perspektif internasionalis. Konsep sosialisme di satu negara di negara-negara terbelakang adalah suatu gabungan yang mustahil, bahkan lebih mustahil daripada sosialisme di satu negara di negara-negara industri maju di Barat. Akan tetapi, masalah perkembangan ekonomi di negara-negara terbelakang ini adalah masalah serius yang harus diselesaikan. Dengan perimbangan kekuatan di dunia sekarang ini, dengan tertundanya revolusi di negara Barat, dengan tidak adanya partai-partai Marxis di negara-negara ini dan dengan kelas-kelas sosial di negara-negara ini sendiri, fenomena-fenomena baru yang unik secara tidak terelakkan akan muncul.
“Contohnya, dengan revolusi RRC yang terjadi di seberang perbatasan Burma, perkembangan politik dan sosial di Burma telah mengambil bentuk yang unik. Setelah akhir peperangan, masyarakat Burma menjadi berantakan. Kaum minoritas terus berjuang untuk kemerdekaan dan otonomi negara bagian mereka (Kachins, Shans, dll) dan pada saat yang sama, sayap-sayap dari partai Stalinis telah meluncurkan perang gerilya yang hebat. Pemerintahan terus berganti; tidak ada satupun yang mampu bertahan. Seperti halnya kaum borjuis Tiongkok dulu, kaum borjuis Burma tidak mampu menyatukan rakyat Burma, tidak mampu menyediakan persatuan sosial dan menyelesaikan masalah agraria, dan tidak mampu menyingkirkan kekuatan ekonomi imperialisme. Ini merupakan gejala dari perkembangan baru di negara-negara terbelakang, dimana seluruh faksi di Burma mengklaim diri mereka sebagai “sosialis”. Imperialisme mendominasi ekonomi di Burma, lewat kepemilikannya terhadap semua industri yang ada dan semua sumber ekonomi penting seperti perhutanan kayu jati, minyak, dan transportasi.
“Melihat apa yang terjadi di RRC, lapisan atas dari kaum borjuis kecil semakin sadar bahwa tidak akan ada kemajuan bagi Burma selama ia berada di jalan masyarakat borjuis. Seperti halnya di Tiongkok, sebelum Revolusi Cina, kaum borjuis Tiongkok tidak mampu mengakhiri perang gerilya dan tidak mampu menjaga perkembangan masyarakat yang stabil, perkembangan industri, dan tidak mampu membentuk sebuah negara yang moderen.
“Setiap pemerintahan yang ada tidak mampu mengembangkan ekonomi Burma. Lemahnya imperialisme dan perimbangan kekuatan nasional dan internasional mendorong Burma ke dalam situasi dimana kasta opsir militer merasa mereka sendiri harus menciptakan stabilitas di dalam masyarakat. Di semua negara-negara terbelakang ini dengan kondisi hubungan kelas-kelas nasional dan tekanan ekonomi dunia, perkembangan revolusi borjuis menuju negara borjuis demokratis dan sebuah demokrasi borjuis moderen adalah satu hal yang tidak mungkin.
“Maka dari itu, semacam bentuk Bonapartisme, sebuah negara polisi-militer, adalah tak terelakkan. Kasta opsir militer melihat dirinya sebagai satu-satunya strata yang mampu “menyelamatkan” masyarakat dari perpecahan dan keruntuhan, karena jelas-jelas kaum borjuis yang lemah tidak mampu menawarkan solusi apapun. Maka, kasta opsir militer yang telah berpartisipasi sebagai salah satu faksi “sosialis” memutuskan bahwa satu-satunya jalan adalah melalui model “sosialis” RRC, yang mereka sebut sebagai “sosialisme model Burma”. Mereka bergerak dengan cepat melalui garis yang serupa – negara satu-partai yang otoriter, dan nasionalisasi perusahaan asing, termasuk minyak, kayu jati, transportasi, dll. Mereka telah mulai menyita hak milik kaum borjuis lokal. Mereka bahkan mengancam untuk menasionalisasi toko-toko kelontong kecil. Mereka mendasarkan diri mereka dari kaum tani dan buruh. Tetapi mereka tidak memiliki model sosialisme ilmiah, sebaliknya, program mereka adalah ‘Sosialisme Burma-Budhis’.” (dari Revolusi Kolonial dan Pertentangan Sino-Soviet, oleh Ted Grant, Agustus 1964)
Burma tidak pernah menjadi negara “sosialis” seperti yang digambarkan oleh media borjuis; ia adalah karikatur sosialisme yang sangat buruk, dimana alat-alat produksi telah dinasionalisasi tetapi kekuasaan tidak berada di tangan buruh dan tani. Kekuasaan ada di tangan elit militer birokrat.
Juga perlu kita tambahkan, rejim militer ini memiliki pandangan yang sungguh terdistorsi mengenai bagaimana mengembangkan ekonomi. Mereka tidak hanya menasionalisasi alat-alat produksi yang penting, mereka juga mengambil alih semua lahan tanah kecil, setiap toko-toko kecil. Akibat dari kebijakan ini justru menyesakkan perkembangan ekonomi. Rejim militer ini bahkan menutup sekolah tari, melarang turisme, dan menendang keluar orang asing. Rejim ini menjadi salah satu rejim yang paling otokrat yang pernah kita lihat, dalam banyak hal ia serupa dengan rejim Korea Utara.
Walaupun ada sedikit perkembangan ekonomi, cekikan birokratis ini akhirnya menyesakkan perekonomian Burma, terutama di bidang pertanian. Sebelumnya, Burma merupakan eksportir beras terbesar di dunia, tetapi pada pertengahan 1970an Burma tidak mampu memproduksi cukup beras untuk memberi makan populasinya sendiri. Pendapatan per kapita juga jatuh dari $670 pada tahun 1960 ke $200 pada tahun 1989. Kasta militer birokrat ini dengan cepat menjadi pengekang perkembangan kekuatan produksi. Burma yang mempunyai potensi untuk menjadi sebuah negara yang kaya justru sekarang merupakan salah satu negara termiskin di dunia.
Pada tahun 1980an, situasi di Burma semakin memburuk. Pada tahun 1987, rejim militer Burma mengumumkan bahwa lembaran uang kertas yang bernilai besar tidak lagi berlaku. Ini menghancurkan tabungan masyarakat dan mengakibatkan demonstrasi 1988 yang kemudian dihancurkan secara brutal. Pada tahun yang sama, Ne Win mengundurkan diri dan sekelompok jendral mengambil tampuk kekuasaan dengan menyikut keluar faksi yang dulunya mengontrol pemerintahan. Rejim baru inilah yang mengganti nama negara Burma menjadi Myanmar, dengan mencampakkan nama “Republik Sosialis Persatuan Burma”, dan kemudian mengadakan pemilu pada tahun 1990 dimana partainya Aung San Suu Kyi, Liga Demokrasi Nasional, meraih kemenangan telak dengan dukungan 80% populasi.
Sejalan dengan apa yang terjadi di RRC, pejabat-pejabat tinggi militer Burma berada di bawah tekanan untuk membuka rejim ini dan perekonomiannya, tetapi mereka tidak ingin kehilangan kontrol atas ekonomi, darimana mereka mendapatkan hak-hak istimewa mereka. Mereka tidak menentang gagasan “liberalisasi”, atau privatisasi dan pembongkaran ekonomi negara yang terencana, tetapi mereka ingin memastikan bahwa mereka tetap memegang kontrol ekonomi dengan menjadi pemilik langsung alat-alat produksi tersebut. Dalam pengertian ini, mereka tetap mengikuti model RRC, yaitu sebuah negara dimana aparatus negara yang dulu tetap utuh tetapi basis ekonomi negara bergerak menuju kapitalisme.
Maka dari itu, walaupun mereka menolak untuk mengakui hasil pemilu 1990, mereka mengambil langkah-langkah pada awal 1990an untuk membuka perekonomian Myanmar dan mengijinkan perkembangan pasar secara terbatas. Tetapi bagi kaum imperialis, langkah-langkah tersebut masih kurang. Rejim militer Myanmar berhenti di tengah jalan! Inilah sesungguhnya kekawatiran kaum imperialis, mereka bukan kawatir mengenai kurangnya “demokrasi” di Myanmar. Bukankah mereka melakukan bisnis yang sangat bagus dengan RRC dimana rejim satu-partai yang totaliter masih berkuasa? Alasan mengapa kaum imperialis menyerukan “demokrasi” ialah karena mereka melihat bahwa sebuah rejim borjuis demokratik akan lebih mudah ditekan untuk menuruti kebijakan ekonomi mereka.
Ekonomi yang Terbelakang
Adalah sebuah kenyataan bahwa ekonomi Myanmar masihlah sangat terbelakang. Dan setelah peristiwa 1988, yang kemudian diikuti dengan penolakan hasil pemilu 1990, kebanyakan bantuan dan investasi asing mengering. Pada tahun 2003, tekanan ekonomi asing menjadi semakin gencar setelah rejim militer ini menyerang konvoi Aung San Suu Kyi. Pemerintahan Amerika menjatuhkan embargo ekonomi terhadap Myanmar, yang semakin mengetatkan tekanan ekonomi.
Statistik ekonomi Myanmar tidak mudah didapatkan. Sejak tahun 1997, para jendral bahkan tidak mempublikasikan anggaran dasar negara yang formal, dan angka-angka yang mereka berikan tidak dapat dipercaya. Pada periode yang sama, angka-angka mengenai kesehatan, pendidikan, dll sangatlah langka. Tetapi, berdasarkan beberapa perkiraan, “rejim ini diperkirakan menggunakan 40% dari anggaran belanja mereka untuk pertahanan dan persenjataan”, tetapi hanya membelanjakan kurang dari 1% GDP untuk kesehatan dan pendidikan.
Statistik-statistik yang tersedia menunjukkan kesengsaraan rakyat Myanmar yang sangat parah, dan juga rendahnya perkembangan ekonomi. Dari populasi yang mendekati 50 juta, ada 29 juta pekerja, tetapi 70% dari pekerja ini bekerja di pertanian. 50% GDP datang dari pertanian, dan hanya 15% datang dari industri. Dan pengangguran diperkirakan di atas 10% . GDP per kapita pada tahun 2006 adalah $1800.
Akan tetapi, statistik ini menyembunyikan distribusi kekayaan yang sesungguhnya. 10% populasi yang paling miskin hanya mengkonsumsi 2.8% dari kekayaan nasional, sedangkan 10% populasi yang terkaya mengkonsumsi 32.4% (statistik tahun 1998). Ini diperparah dengan tingkat inflasi yang semakin membengkak, yang sekarang di atas 20%. Ini menjelaskan mengapa 25% rakyat Myanmar hidup di bawah garis kemiskinan. Bahaya penyakit menular sangatlah tinggi, penyakit menular seperti diare, hepatitis, demam tipus, demam berdarah, dan malaria. Penyakit AIDS juga tinggi. Beberapa tahun yang lalu, usia harapan hidup adalah sekitar 62 tahun, tetapi sekarang usia harapan hidup diperkirakan jatuh di bawah 50 tahun. Ini merupakan indikasi memburuknya infrastruktur secara umum yang telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini.
Di dalam kondisi runtuhnya keadaan ekonomi dan sosial, masalah nasionalisme juga menjadi semakin buruk. Mayoritas populasi di Myanmar adalah orang Burma (sekitar 68%), tetapi sisanya terdiri dari etnik-etnik minoritas: Shans, Karens, Rakhines, Tionghoa, India, Mons, dan kelompok-kelompok kecil lainnya. Ada banyak konflik, terutama di perbatasan timur, dan serangan ofensif dari rejim ini telah mengakibatkan banyak pengungsi, terutama dari etnik Karen, Karreni, Shan, Tavoyan, dan Mon.
Tingkat keruntuhan ekonomi Myanmar dan infrastrukturnya dapat dilihat dari kenyataan bahwa perdagangan manusia sudah menjadi kontributor ekspor yang besar di negara ini, dimana lelaki, perempuan, dan anak-anak diseludupkan ke daerah Asia Timur dan Asia Tenggara sebagai objek eksploitasi seksual, pembantu rumah tangga, dan buruh paksa. Banyak imigran dari Myanmar yang dipaksa menjadi budak dan banyak wanita Myanmar yang dipaksa menjadi pelacur. Walaupun negara ini sangatlah kaya dengan sumber daya alam, ia telah menjadi produsen opium kedua terbesar di dunia. Terkutuklah opsir-opsir militer yang busuk ini, yang sibuk mengumpulkan kekayaan untuk diri mereka sendiri sedangkan jutaan rakyat Myanmar menderita di dalam kemiskinan yang pelik.
Gerakan Massa Terlepas
Dalam kondisi yang sudah sangat parah ini, rejim Myanmar mengumumkan kebijakan ekonomi yang ketat pada bulan Agustus, dimana mereka tiba-tiba menarik subsidi bahan bakar minyak. Pada tanggal 15 Agustus, tanpa peringatan, pemerintahan Myanmar mengumumkan bahwa harga BBM akan naik 500 persen.
Harga gas naik 5 kali lipat. Harga bensin dan diesel naik 2 kali lipat. Tarif bis juga naik 2 kali lipat. Rejim ini mengambil kebijakan nekat untuk mengurangi defisit negara. Semua ini secara tiba-tiba memukul rakyat yang sudah sengsara. Apa yang dibutuhkan hanyalah sebuah percikan dan para jendral ini menyediakannya dengan kebijakan ekonomi mereka yang keras.
Ini mendorong masyarakat untuk bergerak. Pada tanggal 19 Agustus, sekitar 400 “aktivis pro-demokrasi” mengorganisir sebuah demonstrasi untuk menentang kenaikan harga barang. Rejim ini bereaksi dengan menangkap 150 orang demonstran tersebut. Sampai pada awal bulan September, dengan partisipasi besar dari para biksu, gerakan ini bertambah kuat setiap harinya.
Para biksu muda ini mengisi vakum dengan menjadi titik pusat dari gerakan ini, akan tetapi bahkan para biksu ini tidak memiliki ekspresi politik mereka sendiri. Maka, pada tanggal 22 September, mereka bergerak menuju rumah pemimpin kelompok oposisi, Aung San Suu Kyi, dimana dia telah ditahan selama bertahun-tahun. Kemudian, pada tanggal 24 September, 100.000 orang turun ke jalan kota Rangoon.
Perpecahan di dalam Rejim
Sementara kita menulis, laporan-laporan tetap berdatangan mengenai represi lebih lanjut dengan penangkapan massal dan penembakan. Akan tetapi, ada juga indikasi bahwa rejim ini mengalami perpecahan tentang bagaimana mengatasi situasi sekarang ini. Mereka dapat memilih skenario 1988, tetapi bahkan untuk mereka skenario ini tidak akan menyelesaikan apapun dalam jangka panjang. Bahkan, usaha untuk mengulangi 1988 dapat melepaskan gerakan yang lebih besar yang dapat menggulingkan rejim ini dan meninggalkan vakum kekuasaan yang besar. Rejim militer dan kekuatan borjuis oposisi melihat ini sebagai posisi yang sangat berbahaya.
Ini menjelaskan mengapa beberapa pejabat militer lebih ingin membuka dialog dengan Aung San Suu Kyi. Dia memiliki otoritas moral terhadap massa. Tetapi, supaya dia mampu melakukan hal tersebut, Aung San Suu Kyi harus menunjukkan bahwa beberapa kemenangan sudah diraih, dan ini berarti bahwa rejim Myanmar harus membuka semacam jalan transisi menuju “demokrasi”. Ini juga harus digabungkan dengan beberapa kebijakan ekonomi untuk meringankan beban massa.
Disini, RRC dapat memainkan peran yang penting. Mereka mempunyai investasi yang besar di Burma dan tidak ingin melihat investasi mereka dalam keadaan bahaya. Menurut majalah Financial Times (25 September):
“Berbicara dengan Amerika secara diam-diam, dan secara terbuka beberapa minggu belakangan ini, RRC telah mendesak Burma untuk bernegosiasi secara langsung dengan pemenang Nobel, Aung San Suu Kyi, guna mengakui amanat demokrasinya.”
“Pada bulan September, Tang Jiaxuan, seorang mantan menteri luar negeri yang telah menjadi diplomat untuk RRC, menyerukan kepada pemimpin-pemimpin Burma bahwa “RRC dengan sepenuh hati berharap [Burma] akan mendorong proses demokrasi yang dibutuhkan oleh negara tersebut”.
“Xinhua, koran ofisial RRC, menambahkan bahwa RRC, ‘sebagai tetangga yang bersahabat, benar-benar berharap [Burma] dapat mengembalikan stabilitas secepat mungkin, menyelesaikan masalahnya dengan benar dan menyerukan rekonsiliasi nasional dengan aktif.’
“RRC takut kalau represi brutal terhadap para demonstran damai akan membawa nama buruk bagi dirinya dan dukungannya terhadap rejim yang bersifat diktatur.
“RRC telah melakukan investasi yang besar di ladang gas Burma, sering kali berkompetisi dengan India. RRC juga sedang membangun pelabuhan di Kyauk Phyu di Burma, yang akan dihubungkan dengan ibukota propinsi Yunnan, Kunming, melalui jalan tol sepanjang 1950 km.”
Seperti yang diindikasikan oleh kutipan-kutipan di atas, pemerintahan RRC merupakan faktor yang penting di dalam situasi ini. Fakta bahwa 35% dari impor Burma datang dari RRC menggarisbawahi pengaruh yang RRC miliki terhadap rejim tersebut.
Apakah pengaruh ini cukup untuk memelintir tangan para jendral ini, akan segera kita lihat. Satu hal yang jelas: rejim ini tidak akan bertahan lama. Cepat atau lambat, ia akan jatuh. Tragedi dari situasi sekarang ini adalah bahwa massa pekerja tidak memiliki alternatif yang sesungguhnya. Tidak ada suara sejati kaum buruh. Juga, kegagalan rejim Stalinis digunakan oleh media untuk menjelek-jelekkan ide sosialisme. Ini menyebabkan adanya suatu vakum yang besar yang harus diisi oleh seseorang.
Watak Kelompok Oposisi
Seperti yang kita lihat, gerakan massa ini pertama kali dipimpin oleh biksu-biksu muda, tetapi mereka juga tidak memiliki ekspresi politik mereka sendiri. Maka dari itu, mereka kemudian mencari kepemimpinan lewat Aung San Suu Kyi dan Liga Demokrasi Nasional. Karena mendekam di tahanan rumah selama bertahun-tahun, Aung San Suu Kyi telah membangun otoritas moral untuk muncul sebagai “pemimpin” gerakan massa ini.
Yang harus kita tekankan disini adalah kenyataan bahwa Aung San Suu Kyi dan partainya bukanlah pihak yang mengorganisir gerakan ini. Gerakan ini merupakan reaksi dari kesengsaraan rakyat. Akan tetapi, walaupun dia bukanlah organisator gerakan ini, kemungkinan besar dialah yang akan menjadi pemimpin utama gerakan ini.
Aung San Suu Kyi adalah putri dari salah satu “pahlawan pembebasan” Burma dan telah dipuja sebagai “simbol aspirasi rakyat Burma untuk penghidupan yang lebih baik”, seperti yang digambarkan oleh majalah Financial Times. Akan tetapi, beberapa “fakta” sejarah dapat meluruskan latar belakangnya. Ayahnya, jendral Aung San, sebenarnya berkompromi dengan Jepang untuk melawan Inggris saat Perang Dunia Kedua. Dia bersama-sama dengan Ne Win, yang memimpin kudeta 1962. Ketika Jepang mundur, dua “pahlawan” ini berganti sisi dan bergabung dengan Inggris. Beginilah semangat “anti-imperialisme” dari kedua orang ini. Bertahun-tahun kemudian, putri dari jendral Aung San digunakan sebagai instrumen kebijakan imperialisme, kali ini imperialisme Amerika.
Sinisme dari imperialisme dan ahli strategi mereka dapat dilihat dari analisa yang ditulis baru-baru ini di majalah Financial Times:
“Kyaw Yin Hlaing, seorang profesor politik di Universitas Kota Hong Kong, mengatakan bahwa beberapa konsesi – termasuk kebijakan untuk segera meringankan kesengsaraan rakyat – dapat melemahkan momentum demonstrasi ini. ‘Rakyat menuntut perubahan,’ katanya. ‘Cara paling mudah untuk meredakan situasi adalah dengan melakukan sesuatu yang akan membuat rakyat merasa bahwa ada beberapa perubahan yang terjadi dan akan ada lebih banyak perubahan di hari depan.’
“Akan tetapi, kebijakan ekonomi terbatas tanpa kepastian akan perubahan fundamental dalam politik mungkin tidak akan cukup untuk mengakhiri protes ini. Dan ‘untuk meraih kesepakatan damai, kita membutuhkan seorang pemimpin yang kuat dari kedua belah pihak, yang siap berkompromi dan mampu mengendalikan rakyat mereka’, ujar seorang diplomat dari Bangkok dan pengamat Burma.” (Financial Times, September 25)
Bagi mereka, semua ini adalah tentang apa yang harus “tampaknya” dilakukan dan tentang siapa yang mengendalikan “rakyat mereka”. Bagi mereka, ini bukan tentang perubahan yang sesungguhnya, bukan tentang menyelesaikan masalah yang dihadapi rakyat Myanmar dengan sungguh-sungguh. Ini tidak mengejutkan. Elit militer ingin tetap berkuasa karena mereka takut kehilangan prestise mereka. Mereka ingin memiliki kapitalisme bagi diri mereka sendiri supaya mereka bisa tetap menjadi masyarakat elit. Kelompok oposisi ingin kapitalisme yang sejalan dengan kepentingan imperialisme. Maka dari tu, keduanya memiliki kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan rakyat pekerja.
Perspektif Sosialisme
Pada tahun 1988, bila pada saat itu gerakan massa memiliki kepemimpinan dengan perspektif revolusioner dan sosialisme yang sejati, maka gerakan massa saat itu bisa menggulingkan rejim militer Myanmar. Solusi dari masalah di Myanmar bukan dengan menebarkan ilusi “pasar bebas” tetapi dengan mengambil alih kekuasaan dari tangan militer dan menggantikannya dengan kekuasaan buruh dan tani yang sesungguhnya. Ini bukan berarti privatisasi, tetapi ekonomi negara terencana di bawah kontrol yang demokratis dari buruh dan tani melalui badan-badan yang dipilih secara demokratis.
Karena kepemimpinan semacam itu tidak ada, maka Aung San Suu Kyi dan partainya mampu membangun otoritas mereka dan sekarang mampu mengisi vakum kepemimpinan. Ini berarti rakyat Myanmar akan membayar dengan sangat mahal. Adalah gerakan massa yang mampu menggulingkan kasta militer yang busuk yang sekarang berada di tampuk kekuasaan. Di atas punggung gerakan ini, kelompok oposisi borjuis akan meraih kekuasaan. Mereka kemudian akan mempercepat proses privatisasi dan membuka Myanmar ke pasar dunia. Sekarang saja sumber daya alam Myanmar sudah dirampok oleh kekuasaan asing, terutama RRC. Perampokan ini akan berlipat ganda ribuan kali dan keadaan rakyat Myanmar tidak akan bertambah baik.
Pada satu saat, massa akan melihat kebohongan dari retorika kosong kelompok oposisi borjuis. Aung San Suu Kyi dan Liga Demokrasi Nasional akan kehilangan kedoknya. Di dalam kondisi seperti ini, sebuah alternatif sosialisme yang sejati akan dapat meraih telinga massa. Tugas kita adalah untuk membangun alternatif tersebut.
Tugas ini dapat difasilitasi oleh peristiwa-peristiwa di negara-negara sekitar, terutama di India dan RRC, dimana ada kelas buruh yang kuat. Karena keterbelakangan Myanmar yang ekstrim, solusi terhadap krisis sekarang ini tidak akan dapat ditemukan hanya di dalam perbatasan Myanmar. Bahkan sebuah pemerintahan sosialis yang sehat, dengan demokrasi buruh yang sejati, ada di bawah tekanan internasional yang sangat besar. Bila demokrasi buruh yang dulunya ada di Uni Soviet dapat dimatikan oleh isolasi revolusi Oktober, Myanmar tidak dapat berharap ia dapat berbuat lebih baik.
Solusi dari krisis di Myanmar sekarang ada di dalam perjuangan untuk membangun Federasi Sosialis Asia, dimana kelas buruh dan tani Myanmar dapat menemukan perannya. Adalah tugas kaum Marxis untuk mengatakan yang sebenarnya kepada massa. Kita tidak jatuh ke dalam perangkap dimana kita mempunyai ilusi terhadap kelompok oposisi di Myanmar sekarang ini. Kita mengakui hasrat revolusioner rakyat Myanmar yang sangat besar. Kita mendukung rakyat di dalam aspirasi mereka, tetapi kita juga beritahu kepada mereka bahwa hanya dengan mengandalkan kekuatan mereka sendiri, dengan mengambil kekuasaan dan dengan bersatu dengan kelas buruh di seluruh daerah (Asia), hanya dengan itu mereka dapat menemukan solusi jangka-panjang.
27 September 2007.