Di dalam gerakan revolusioner, masalah keuangan adalah masalah politik, bukan masalah pembukuan semata. Tugas-tugas organisasi lahir dari perspektif politik, dan rencana keuangan lahir dari tugas-tugas organisasi yang harus kita emban. Tidak peduli seberapa gemilang perspektif dan ide kita, bila kita tidak memiliki sumber daya untuk mempraktekkannya maka ide-ide yang paling revolusioner pun hanya akan jadi obrolan sambil lalu di warung kopi. Oleh karena itu, setiap organisasi revolusioner, baik itu partai politik maupun serikat buruh, harus mempunyai sikap yang serius terhadap masalah keuangan.
Tradisi keuangan revolusioner di dalam gerakan Indonesia saat ini sungguh lemah, bahkan hampir non-existent. Padahal sejarah pergerakan Indonesia mempunyai tradisi keuangan yang kuat. Kita bisa lihat bagaimana partai massa buruh dan organ-organnya di Indonesia sebelum 1965 bisa memiliki aparatus yang kuat (kantor-kantor, koran, percetakan, dll.) dengan hanya mengandalkan iuran-iuran dari anggotanya yang notabene kaum buruh dan petani miskin. Ini karena sejak awal terbentuknya, Partai Komunis Indonesia dengan serius mengadopsi metode Bolshevik dalam hal keuangan. Setelah lebih dari 30 tahun di bawah rejim Soeharto yang dengan sengaja menghancurkan semua organisasi massa di Indonesia beserta tradisi-tradisinya, pergerakan Indonesia kehilangan tradisi ini. Ini diperparah oleh hegemoni individualisme borjuis yang semakin rampan di Indonesia dan kehadiran NGO (Non Goverment Organization) atau Organisasi Non Pemerintah (Ornop) yang “membanjiri” gerakan dengan uang-uang mereka.
Dana NGO dan Gerakan Indonesia
Darimana kita mendapatkan uang, ini akan menentukan garis politik kita karena pada akhirnya tak ada uang yang datang tanpa tekanan politik. Ini saja dimengerti dengan sangat baik oleh politisi dan partai-partai borjuis yang selalu mewakili kepentingan para donaturnya. Organisasi revolusioner yang bertujuan membebaskan kaum buruh dan tani selayaknya mengandalkan keuangannya dari kelas yang dibelanya. Dengan demikian partai tersebut akan bertanggungjawab kepada kaum buruh dan kaum tani.
Di Indonesia saat ini, tidak dapat dipungkiri bahwa organisasi-organisasi gerakan progresif dibanjiri oleh dana-dana NGO, di dalam serikat-serikat buruh, organisasi-organisasi rakyat, dan bahkan di dalam partai-partai kiri. Kehadiran NGO dalam gerakan disebabkan berbagai faktor. Dalam periode kekosongan politik akibat represi Orde Baru, NGO masuk ke Indonesia sebagai kendaraan sosial yang diijinkan oleh rejim Orba, dan ini menyediakan ruang bagi gerakan politik. Dana-dana NGO pun mendominasi gerakan buruh, sebab ada larangan pembentukan serikat buruh independen pada saat itu. Dengan dananya yang berlimpah, NGO membanjiri gerakan dengan uangnya dan de facto menjadi tulang punggung keuangan gerakan.
Siapakah NGO itu? NGO dalam konsepnya sudah mapan sejak kapitalisme eksis. NGO adalah satu bentuk dari “sosialisme konservatif” atau “sosialisme borjuis” seperti yang dijelaskan oleh Marx dalam Manifesto Komunis:
“Sebagian dari kaum borjuasi berkehendak memperbaiki kepincangan-kepincangan sosial untuk menjamin kelangsungan masyarakat borjuis. Ke dalam golongan ini termasuk kaum ekonomis, filantropis, humanis, golongan yang bertujuan memperbaiki keadaan kelas buruh, organisator-organisator badan amal, anggota-anggota perkumpulan-perkumpulan penyayang binatang, kaum fanatis penganut kesederhanaan, kaum perombak secara tambal sulam dari segala macam corak.”
NGO tak lain adalah institusi borjuis yang berusaha meringankan efek-efek jahat dari sistem mereka sendiri, yang mereka takuti akan menggerogoti sistem mereka dari dalam. Mereka menginginkan kapitalisme tanpa kesengsaraan-kesengsaraan yang ditimbulkannya. Mereka menginginkan kapitalisme tanpa kontradiksi kelas. Penekanannya adalah “meringankan” dan bukannya menghapus efek-efek jahat dari kapitalisme, karena yang belakangan ini membutuhkan penumbangan sistem itu sendiri. Inilah basis sosial dari NGO.
Gerakan dan NGO oleh karena itu seringlah berbenturan, karena yang pertama bermaksud membawa pembebasan umat manusia dari kapitalisme dan yang belakangan hanya ingin meringankan kesengsaraan manusia dalam batas-batas kapitalisme. Sayangnya, justru gerakan-gerakan Indonesia banyak yang terkooptasi oleh NGO karena mengandalkan dana-dana bantuan NGO. Walaupun secara sekilas dana-dana NGO tersebut tampak tidak berbahaya, tetapi keterikatan keuangan ini membuat gerakan menjadi tergantung pada NGO dan pada akhirnya terpaksa secara sadar maupun tidak, mengadopsi garis politik NGO, yakni garis politik “sosialisme borjuis”.
Kooptasi gerakan Indonesia oleh garis politik NGO sudah menjadi kenyataan di dalam gerakan Indonesia, dan juga di dalam gerakan buruh. Oleh karena itu, metode ketergantungan keuangan terhadap NGO haruslah dicabut sampai ke akar-akarnya dan tradisi keuangan revolusioner harus dihidupkan di dalam organisasi-organisasi rakyat.
Membangun Kembali Tradisi Keuangan Revolusioner
Tidak ada alasan sebenarnya untuk tetap bergantung pada dana-dana NGO (atau donatur-donatur kaya). Alasan-alasan bahwa rakyat buruh dan tani Indonesia terlalu miskin untuk mendanai organisasinya sendiri adalah konyol. Bagaimana dulunya Bolshevik di Rusia yang sangat terbelakang dan miskin (jauh lebih miskin bahkan daripada Indonesia sekarang ini) mendanai dirinya sendiri? Atau lebih dekat lagi, bagaimanakah Partai Komunis Indonesia dulu mampu memiliki aparatus organisasi yang besar hanya mengandalkan iuran anggota-anggotanya, kaum buruh dan tani yang miskin?
Yang diperlukan adalah menanamkan kembali tradisi keuangan revolusioner ke dalam gerakan Indonesia. Ini bukan pekerjaan yang mudah, tetapi tidak ada yang mudah di dalam gerakan. Satu organisasi revolusioner sejak masa embrionya harus ditempa dengan ide, perspektif, metode, dan tradisi yang tepat. Hanya dengan ini maka aparatus organisasi tersebut dapat berdiri dengan kokoh.
Keuangan organisasi selalu menjadi bagian yang penting dan integral dalam perjuangan kelas pekerja. Semaoen dalam bukunya “Penuntun Kaum Buruh” yang ditulisnya pada tahun 1920 mendedikasikan satu bab penuh untuk masalah keuangan serikat buruh:
“ … gerakan kaum buruh mempunyai maksud yang sangat besar dan untuk semua perkara yang berkaitan dengan organisasi, kongres, penerbitan majalah, dan sebagainya, kaum buruh perlu mengumpulkan harta, modal, atau uang. Untuk pengadaan modal itu maka anggota-anggota harus membayar iuran … Berani membayar iuran yang besar berarti berani untuk memerdekakan kaum buruh.”
Semaoen sendiri dididik oleh metode organisasi Bolshevik yang dibangun oleh Lenin dan koleganya. Lenin menggunakan keuangan organisasi sebagai alat untuk mengukur kekuatan Bolshevik, untuk mengukur dedikasi politik para buruh anggota Bolshevik dan simpatisan Bolshevik dalam perjuangan untuk memerdekakan kaum buruh. “Berani membayar iuran yang besar berarti berani untuk memerdekakan kaum buruh.” Donasi ke koran Pravda adalah indikasi dukungan kelas pekerja Rusia kepada Bolshevik. Dalam sebuah artikel “Situasi di Partai Buruh Sosialis Demokrat Rusia Sekarang”, Lenin menjelaskan:
“Sebuah koran adalah senjata utama di dalam kampanye pemilu, metode agitasi Marxis yang utama di antara massa. Tetapi darimana uang untuk mencetak koran datang? Kita harus mengorganisasi koleksi-koleksi dana dari antara kaum buruh. Koleksi-koleksi ini akan menunjukkan hubungan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya, kepercayaan yang diberikan oleh buruh kepada mereka, dan pengaruh mereka yang sesungguhnya di dalam massa proletar.”
Pengorganisasian koleksi-koleksi dana (kencleng) dan kontribusi reguler (iuran) ini harus dilakukan secara politik, yakni dengan agitasi dan propaganda politik guna mendidik kaum buruh dan membangun hubungan organik antara partai dan kelas. Dalam artikel yang sama, Lenin menjelaskan bagaimana Bolshevik meraih dukungan buruh:
“Dengan mengembangkan kebiasaan untuk memberikan dukungan secara reguler kepada koran kelas pekerja mereka sendiri, bukan hanya dengan berlangganan dan mendistribusikannya tetapi juga dengan kontribusi reguler, kaum buruh bersatu lebih dekat dengan koran yang mewakili tendensi politik mereka, kaum buruh terorganisir menjadi satu kesatuan ideologi yang koheren, dimana mereka menverifikasi perkembangan dari terbangunnya kesadaran mereka, di mana mereka membaca laporan-laporan mengenai kontribusi-kontribusi di pabrik yang lain atau yang mereka ketahui. Oleh karena itu mustahil untuk melebih-lebihkan perlunya membangun kebiasaan kontribusi dan koleksi reguler (lebih baik jumlahnya kecil tetapi reguler) oleh kelompok-kelompok buruh untuk koran mereka.”
Penekanan Bolshevik pada kerja keuangan yang digabungkan dengan kerja koran mereka (agitasi dan propaganda politik)–dibandingkan dengan kaum Menshevik yang tidak ingin mengambil pendekatan yang disiplin dan profesional—dapat dilihat dari statistik berikut. Pada tahun 1912, korannya kaum Bolshevik, Pravda, menerima 504 kontribusi dana dari buruh sedangkan Menshevik hanya menerima 15! Setahun kemudian, Bolshevik menerima 2181 kontribusi, dan Menshevik 661. Pada tahun 1914, Bolshevik menerima 2873 dan Menshevik hanya menerima 671. Jadi pada tahun 1914, secara kasar Bolshevik dengan korannya Pravda mendapatkan dukungan dari 81% para pekerja yang maju dan sadar.
Keuangan dan Persatuan Kelas Pekerja
Ideologi yang dominan adalah ideologi kelas yang berkuasa. Bahkan di dalam kelas pekerja, ideologi kapitalis yang bersifat individualistik bisa merajalela. Para buruh diajarkan untuk berdiri sendiri-sendiri, menjadi tamak, selalu tidak percaya rekan kerja, menjaga periuk nasi sendiri. Each for his own—Masing-masing hidup untuk diri sendiri. Inilah ideologi yang dipropagandakan oleh kelas kapitalis untuk membenarkan keberadaan mereka dan memecah belah kelas-kelas yang tertindas. Tetapi kelas kapitalis adalah kelas yang sudah bangkrut secara historis, dan di seberangnya adalah sebuah kelas baru yang akan membuka satu babak yang megah di dalam sejarah manusia, yakni kelas buruh.
Berulang kali kelas buruh telah menunjukkan ideologi kolektivis mereka dalam perjuangan. Ideologi kolektivis buruh ini bukanlah sesuatu yang jatuh begitu saja dari langit tetapi adalah satu manifestasi dari kondisi objektif buruh sebagai sebuah kelas. Tidak seperti kelas-kelas yang tertindas sebelumnya, kaum buruh dilempar ke dalam gedung-gedung pabrik dalam jumlah ribuan, berdesakan dengan kondisi kerja yang tidak manusiawi, dan di dalam kondisi inilah mereka membentuk solidaritas.
Bandingkan misalkan dengan kaum tani atau kaum borjuis-kecil (pemilik toko kelontong, pengrajin tangan) yang dalam keseharian mereka terpisah-pisah oleh bidang-bidang tanah dan toko-toko kecilnya. Selain itu, relasi kaum buruh dengan hasil produknya juga memberi mereka satu basis kolektivisme. Tidak ada satu buruh pun yang bisa mengatakan, “Saya sendirilah yang memproduksi barang tersebut (meja, kursi, komputer, mobil, TV, dll).” Kapitalisme telah membawa divisi tenaga kerja di mana satu komoditi merupakan hasil kerja dari ribuan buruh.
Namun ideologi kolektivisme kaum buruh harus dipupuk dan dibangun secara sadar oleh buruh sendiri. Satu metode untuk membangun solidaritas nyata ini adalah dengan koleksi-koleksi dana dan iuran kaum buruh untuk organisasi mereka. Kaum buruh membentuk dan memperkuat ikatan dengan rekan-rekan dan organisasinya melalui pengorbanan yang dia dedikasikan untuk perjuangan kelasnya. Selain keringat dan darah, buruh juga secara kolektif memberikan iuran dan koleksi dana untuk memperkuat organisasi, partai dan serikat buruh mereka.
Dalam Sejarah Revolusi Rusia, Trotsky menceritakan bagaimana para buruh mengumpulkan dana untuk membeli mesin percetakan untuk partai mereka, “Pada bulan April (1917) sebuah konferensi kota partai [Bolshevik] mengeluarkan seruan kepada kaum buruh Petrograd untuk mengumpulkan dalam waktu 3 hari uang sebesar 75.000 rubel yang dibutuhkan untuk membeli sebuah mesin cetak. Jumlah ini tercapai bahkan lebih.”
Lalu dalam buku yang sama Trotsky juga menceritakan kondisi pada kongres Soviet yang pertama, “Kontribusi-kontribusi, segala macam dana, koleksi, dan sumbangan dari soviet-soviet mulai berdatangan pada hari pertama setelah revolusi [Oktober] pecah … kau dapat melihat sebuah pemandangan yang menakjubkan dan menyentuh di mana rakyat mengantri panjang seperti ziarah di Istana Tauride dari dini hari hingga larut malam membawa sumbangan-sumbangan kepada kita.”
Kita lihat satu semangat solidaritas dan kolektivisme rakyat pekerja yang termanifestasikan dalam sumbangan dan iuran kepada Bolshevik, yang terjadi karena bagi Bolshevik masalah keuangan organisasi adalah masalah politik.
Pendekatan terhadap keuangan organisasi yang disiplin dapat membangun ikatan solidaritas kaum buruh, dan memperkuat kesadaran kaum buruh sebagai satu kelas. Sekali lagi, masalah keuangan adalah masalah politik, dan bukan semata-mata masalah pembukuan.
Iuran Anggota dan Koleksi Dana
Iuran anggota bukanlah hanya sebuah formalitas tanda keanggotaan seorang buruh pada sebuah partai. Iuran adalah satu bentuk kesetiaan dan dedikasi politik, ia adalah alat pengukur politik. Pengumpulan iuran tidak boleh menjadi rutinitas belaka tetapi harus selalu dilakukan secara politis. Pada setiap langkah harus dijelaskan gol-gol politik di belakang pengumpulan iuran. Bukan pengumpulan iuran terlebih dulu lantas tujuan-tujuan politik dan organisasi ditentukan, tapi justru sebaliknya. Garis-garis politik menentukan tugas-tugas organisasi, lalu menentukan target-target keuangan untuk memenuhi tugas-tugas tersebut.
Dari sejak awal pembentukan sebuah organisasi, tradisi iuran harus menjadi prioritas utama. Ia harus menjadi satu disiplin yang merefleksikan disiplin buruh. Lebih baik iuran berjumlah kecil tetapi dibayar secara reguler dan disertai dengan pemahaman politik yang kuat akan arti penting iuran tersebut. Sudah sering kita jumpai serikat-serikat buruh yang mengumpulkan iuran anggota dengan rutinitas hampa tanpa isi politik—terutama serikat-serikat buruh di negara maju di mana iuran langsung secara otomatis dipotong dari gaji sang buruh—dan tidak mengherankan bila cukup banyak buruh di dalam serikat-serikat buruh itu yang tidak mengerti mengapa mereka harus membayar iuran, lantas mengeluhkan itu sebagai beban.
Pengumpulan dana yang sifatnya tidak reguler juga harus diorganisasi di lingkungan buruh dan pabrik-pabrik. Kemampuan mengumpulkan sumbangan dari buruh akan menjadi satu alat ukur dari pengaruh organisasi tersebut di antara kaum buruh. Namun kita tidak boleh jatuh ke dalam oportunisme dalam usaha kita untuk mengumpulkan sumbangan dari kaum buruh. Kesabaran, keuletan, dan keteguhan dalam prinsip harus dijaga. Tidak ada jalan pintas yang bisa kita ambil, yang ada hanyalah jalan pintas ke jurang.
Oleh karena itulah posisi bendahara di dalam sebuah organisasi rakyat pekerja adalah sebuah posisi politik. Ini bukan sebuah posisi yang bisa diisi begitu saja oleh seorang akuntan atau birokrat. Seorang bendahara bukan hanya harus memiliki disiplin yang tinggi dan pendekatan profesional dalam keuangan, tetapi juga pemahaman politik akan tugasnya, kemampuan untuk menerjemahkan tugas-tugas politik ke target-target keuangan dalam setiap sendi organisasi.
Semangat Pengorbanan
Salah satu tugas besar yang harus diemban oleh kelas pekerja Indonesia adalah mengembalikan tradisi organisasinya, bukan hanya dalam aspek keuangan saja. Metode keuangan NGO, metode keuangan yang bersifat borjuis dan borjuis kecil, bahkan juga korupsi-korupsi yang rampan di politik Indonesia harus dibabat.
Semangat pengorbanan harus dipupuk. “Berani membayar iuran yang besar berarti berani untuk memerdekakan kaum buruh,” kata Semaoen hampir 90 tahun lalu. Leon Trotsky, dalam suratnya yang berjudul “Sebuah Semangat Pengorbanan: Mengenai Keuangan” pada tahun 1938, menulis:
“Kita harus mendidik kaum muda kita untuk lebih memiliki sebuah semangat pengorbanan … Kaum buruh Amerika menganggap sebagai sebuah kemaluan yang besar bila mereka tidak memiliki sebuah mobil Ford, baju-baju yang bagus, karena mereka pikir mereka harus melakukan hal yang sama seperti kaum borjuis. Sangatlah memalukan untuk meniru kelas atas. Kita kaum Marxis mengerti ini dengan sangat baik. Ini sangat buruk, terutama di dalam sebuah situasi revolusioner. Tetapi dalam praktek kita bertindak dengan cara yang sama. Kita tidak memiliki keberanian revolusioner untuk menghancurkan tradisi ini, untuk menghancurkan norma-norma borjuis dan membentuk aturan-aturan kewajiban moral kita sendiri, dsb. Ini terutama benar untuk kaum muda, dan sangatlah penting untuk bukan hanya mendidik mereka secara teori tetapi juga mendidik mereka sebagai militan, sebagai pria dan wanita dewasa.” [Penekanan oleh penulis]
Kapitalisme telah bangkrut, bahkan ia telah membusuk sebegitu parah sehingga mengancam keberlangsungan umat manusia. Dalam perjuangannya, kaum buruh harus menemukan kembali tradisi mereka, sebuah tradisi yang berdasarkan disiplin, kreativitas, keuletan, dan keteguhan. Tidak akan ada yang bisa menyelamatkan kaum buruh selain diri mereka sendiri.