Seringkali agama yang dianut seseorang menghambat dirinya untuk memahami kenyataan penghisapan, penindasan, dan kesewenang-wenangan. Melalui para penafsir resminya, agama menjelaskan kenyataan pahit tersebut entah sebagai takdir ilahi, hukuman atas dosa, atau ujian terhadap iman. Orang harus menyikapinya dengan pasrah, bertobat, atau tawakal. Untuk itu orang dihibur dengan janji-janji akhirati: ada sorga yang disediakan Tuhan bagi orang pasrah, bertobat, atau tawakal. Tak ayal lagi, penghisapan, penindasan, dan kesewenang-wenangan terus berlanjut. Kaum yang miskindan tertindas menjadi terasing dari harkat dan martabatnya sebagai manusia, dan tak berdaya mengupayakan pembebasan dirinya. Sementara itu kaum penghisap dapat terus mempertahankan bahkan memperbesar kekuasaannya. Melalui para penafsir resminya, agama mengajar mereka untuk beramal atau memberikan derma bagi si miskin. Agama juga menghibur kaum kuasa itu dengan janji-janji pahala bagi kaum kaya yang suka beramal atau berderma. Kenyataan penghisapan, penindasan, dan kesewenang-wenangan menjadi langgeng. Kaum miskin terasingkan di dalam kemelaratannya, sementara kaum kaya terasingkan di dalam kejayaannya. Agama adalah keluh-kesah makhluk yang tertindas, hati dari sebuah dunia yang tak berhati, dan jiwa dari kondisi-kondisi yang tak berjiwa. Ia adalah pelipur lara bagi rakyat.
Tapi ada juga orang-orang beragama yang tidak membiarkan diri mereka terkungkung oleh penafsiran yang mempertahankan status quo. Mereka menyadari bahwa kenyataan penindasan bukanlah takdir ilahi, hukuman atas dosa, atau ujian terhadap iman. Itu semua bukan berasal dari Tuhan, bukan pula semata karena dosa kaum melarat. Itu adalah bikinan manusia, sebuah kondisi sosial yang memberikan hak-hak istimewa kepada segelintir orang dan menjerumuskan sebagian terbesar lainnya ke dalam jurang kemelaratan. Berbekal kesadaran kritis ini, orang-orang beragama pun terdorong untuk menelaah kembali agamanya secara baru: membongkar selubung ideologisnya yang melestarikan penghisapan, penindasan, dan kesewenang-wenangan, dan menggali pesan-pesannya yang membebaskan. Proses ini menghantar mereka pada suatu komitmen moral, berdiri di pihak kaum yang miskin, tertindas, dan teraniaya.
Di Amerika Latin, kesadaran kritis dan komitmen moral ini terungkap sejak tahun-tahun 1960-an dalam gerakan Teologi Pembebasan. Terutama di kalangan Katolik, kemudian juga di kalangan Protestan. Yang menarik, jauh sebelum itu, negeri kita sendiri pernah menyaksikan sejenis Teologi Pembebasan dari kalangan Islam, dalam sosok Haji Mohamad Misbach (1876-1926).
Misbach Sang Aktivis
Like father like son, “sebagaimana ayah, demikianlah puteranya.” Begitu kata pepatah. Dalam artian tertentu, pepatah ini berlaku bagi Misbach. Dilahirkan di kawasan Kauman Surakarta dalam keluarga pedagang batik kaya-raya yang setia menganut Agama Islam, Misbach tumbuh dewasa sebagai seorang muslim, bahkan mubalig, yang berdagang batik. Tapi dalam artian lain, ia melampaui ayahnya. Ia terjun ke dunia pergerakan!
Pada 1914, ia berkecimpung dalam Serikat Jurnalis Hindia(IJB) pimpinan Mas Marco Kartodikromo. Pada 1915, ia menerbitkan surat kabar Medan Muslimin, kemudian pada 1917, Islam Bergerak. Surat-surat kabar ini menjadi media gerakan yang sangat populer di Surakarta dan sekitarnya. Ia pun melakukan pengorganisasian di basis-basis rakyat. Ia mengorganisir vergadering (rapat-rapat umum), yang dijadikannya mimbar untuk menelanjangi kolonialisme dan kapitalisme di hadapan rakyat jelata.
Islam Bergerak edisi 20 April 1919 memuat kartun buatan Misbach yang menggugat kapitalisme Belanda, yang menghisap kaum tani dengan kerjapaksa. Kartun tersebut juga menggugat residen Surakarta dan Sunan Pakubuwana X karena ikut menindas rakyat. Semboyan khas Misbach, ”Jangan takut, jangan khawatir” muncul pula dalam kartun tersebut. Kalimat ini menggugah kesadaran dan keberanian kaum tani untuk melakukan pemogokan. Dituding sebagai provokator, ia dipenjara berulang kali oleh pemerintah kolonial. Pada 16 Mei 1920, Misbach ditangkap dan dipenjarakan di Pekalongan selama 2 tahun 3 bulan. Pada Maret 1923, ia muncul sebagai propagandis SI Merah/PKI. Dalam perpecahan antara SI Merah dan SI Putih, ia memposisikan dirinya pada SI Merah/PKI dan mendirikan cabang PKI Surakarta. Ia meyakini keselarasan antara Komunisme dan Islam. Pada Juli 1924 ia kembali ditangkap dengan tuduhan sebagai aktor-intelektual berbagai aksi teror. Tuduhan itu tidak benar. Saksi-saksi yang memberatkan Marco mengaku telah memberikan kesaksian-kesaksian palsu karena iming-iming uang dari Hardjosumarto, yang pura-pura ditangkap bersama Misbach. Bahkan Hardjosumarto pun mengaku telah menyebarkan pamflet bergambar palu-arit dan tengkorak, membakar bangsal sekatenan, dan mengebom puri Mangkunegaran. Tapi pengadilan kolonial menyatakan Misbach bersalah. Bersama isteri dan tiga orang anaknya, Misbach dibuang ke Manokwari, Papua. Pada 24 Mei 1926, karena serangan malaria, Misbach menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ia dimakamkan di Manokwari, di sisi makam istrinya.
Misbach Si Haji Merah
Misbach adalah sosok yang ramah dan berwatak egaliter. Ia menggemari budaya Jawa dan menghargai ekspresi Jawa dalam penghayatan keislamannya. Ia akrab dengan kaum muda penggemar klenengan, dan nyambung bila diajak ngobrol soal pewayangan. Ia tidak membeda-bedakan kaum priyayi, orang kebanyakan, orang saleh, atau pencuri. Kata Mas Marco Kartodikromo, Misbach ”lebih gemar memakai kain kepala dari pada memakai peci Turki atau bersorban seperti pakaian kebanyakan orang yang disebut ’Haji’.”
Watak egaliter dan populis itu barangkali menjadi salah satu faktor yang menggerakkan hati Misbach untuk berpihak kepada kaum yang miskin, tertindas, dan terhisap. Agaknya dari situ pulalah keterbukaannya untuk menyerap idea-idea Marxisme. Keterbukaan itu pada gilirannya mendorongnya untuk memaknai Agama Islam sebagai agama yang membebaskan, yang seiring-sejalan dengan Marxisme. Bisa dimengerti bila ia merasa kecewa terhadap sesama muslim dan lembaga-lembaga Islam yang tidak berkomitmen untuk membela kaum miskin-tertindas. Ia mengecam mereka, bahkan menyebut mereka Islam lamisan (Islam di mulut saja). Mas Marco Kartodikromo mencatat: “… di mana-mana golongan Rakyat, Misbach mempunyai kawan untuk melakukan pergerakannya. Tetapi di dalam kalangannya orang-orang yang mengaku Islam dan lebih mementingkan mengumpulkan harta benda daripada menolong kesusahan Rakyat, Misbach seperti harimau di dalam kalangannya binatang-binatang kecil. Karena dia tidak takut lagi menyela kelakuannya orang-orang yang sama mengaku Islam tetapi selalu mengisap darah teman hidup bersama.”
Di pengasingan di Manokwari, ia sempat menulis artikel Islamisme dan Komunisme. Ya, Misbach mengagumi Karl Marx. Baginya Marx berjasa membela rakyat miskin dan menelanjangi kapitalisme sebagai biang kehancuran nilai-nilai kemanusiaan. Misbach yakin, kapitalisme juga telah merusak agama, dan harus dilawan dengan Marxisme. Itulah Haji Misbach. Ia seorang muslim yang taat. Ia juga seorang Komunis. Tak berlebihan bila kita menyebutnya Misbach Si Haji Merah.
Misbach telah lama tiada. Tapi seruannya ”Jangan takut, jangan khawatir” tetap hidup di hati kita. Ya, ”jangan takut, jangan khawatir” meski ”dihukum, dibuang, digantung” sekalipun, demi menegakkan syiar agama melalui keberpihakan kepada kaum miskin-tertindas.