Terjadi praktek kejahatan besar di Papua. Ini nyata, dan sudah dilakukan berpuluh-puluh tahun lamanya. Perbuatan dehumanize ini telah menghancurkan banyak hal: lingkungan, kultur, tata sosial, sistem nilai, dll. Tidak hanya itu, praktek kejahatan tersebut terlihat sengaja “dilegalkan” oleh negara dengan menempatkan sekelompok rakyat Papua sebagai musuh – karena telah melakukan gerakan separatis yang bisa mengancam keutuhan NKRI.
Dalam diskusi tentang Freeport dan Papua di YLBHI (9/11) yang dimotori oleh Partai Pembebasan Rakyat kemarin, seorang putra Papua memberikan deskripsi yang cukup panjang tentang praktek kejahatan tersebut. Dia menceritakan bagimana kejahatan aparat keamanan (bayaran) terhadap rakyat Papua; bagaimana cara Freeport dalam mengamankan proses modalnya; bagaimana kondisi kehidupan riil rakyat Papua dari dulu hingga hari ini; dll.
Penuturan putra Papua di atas adalah sebuah ironi untuk negeri ini, untuk kita semua. Rakyat Papua, sang pewaris tanah Papua yang kaya dengan tambang itu, tidak pernah mendapatkan apa-apa kecuali debu, limbah, kerusakan kosmik, diskriminasi rasial, dll. Tetapi, kemudian, apa jawaban negara ketika akumulasi kejahatan tersebut diungkap oleh rakyat Papua dengan membentuk front politik sebagai upaya untuk mempertanyakan identitas mereka dan hak-haknya? Negara menjawabnya dengan tembakan dan penangkapan; pengerusakan harga diri; penciptaan ilusi mengenai gerakan separatis; pelecehan rasial; dan lain sebagainya.
Kejahatan korporasi dan negara terhadap rakyat Papua dipraktekkan dalam bentuk kejahatan ekonomik dan politik. Kejahatan ekonomiknya bisa dilihat dari eksplorasi dan eksploitasi atas sumber daya alam dengan rakus, eksploitasi terhadap buruh dengan terang-terangan, perampokan atas aset rakyat Papua secara besar-besaran; kejahatan politiknya: pembungkaman suara rakyat Papua untuk menuntut hak-haknya, untuk berkumpul dan berorganisasi, dll. Tidak hanya itu, setiap gerakan perlawanan yang terkait dengan Freeport (aset kapitalis dan birokrasi korup Indonesia) akan segera diberi cap separatis atau makar terhadap negara. Akhirnya, isu mengenai Papua secara keseluruhan telah berhasil ditarik ke Freeport, bahkan indikator mengenai keamanan di Papua juga dipahami dari Freeport: jika di Freeport tidak ada persoalan, maka keseluruhan tanah Papua juga dianggap tidak ada persoalan, dan sebaliknya.
Situasi konflik di Papua merupakan dampak logis dari sistem pengelolaan sumber ekonomi vital (oleh Freeport) dengan dukungan negara. Teori Marxis mengenai konflik bisa menjelaskan bahwa situasi sosial yang sedang terjadi di Papua adalah hasil dari sabotase kepemilkan sosial oleh segelintir orang. Produksi yang bercorak primitif komunal, sebagai ciri khas masyarakat adat, dihancurkan oleh corak produksi kapitalis yang akumulatif, eksploitatif dan ekspansif. Hadirnya Freeport di Papua, yang aktifitasnya mengeruk kekayaan tambang secara besar-besaran, menandai dimulainya praktek produksi kapitalis di tanah Papua. Kepemilikan sosial (tanah, hutan, tambang, dan meterial lainnya) yang dulu menjadi milik bersama kini menjadi milik investor Asing dan birokrasi korup Indonesia. Munculnya kepemilikan pribadi atas aset vital di tanah Papua telah menciptakan kelas-kelas sosial baru di Papua, yang selanjutnya tereduksi dalam dua kelas besar: Pemilik modal (Freeport dan birokrasi korup Indonesia) dan buruh (pekerja Freeport dan rakyat Papua secara keseluruhan) yang tinggal memiliki waktu kerja untuk dijual ke pihak kapitalis. Lebih lanjut Freeport telah melakukan eksploitasi secara terang-terangan terhadap buruhnya. Penilaian atas tindakan eksploitatif ini bisa dilihat dari perbandingan upah yang diterima buruh dengan keuntungan yang diperoleh Freeport. Di sinilah buruh merasa nilai kerjanya tidak dihargai; dari sini pula muncul konflik kelas, yakni antara buruh (sebagai representasi dari rakyat Papua) dan majikan, yang kemudian menyebar dan membentuk perlawanan di tingkat masyarakat – menjadi konflik sosial.
Dalam pendekatan economic determinism Marxis, eksploitasi ekonomik mengarah langsung kepada penindasan politik. Freeport, sebagai korporasi besar internasional, telah menggunakan kekuatannya untuk mempengaruhi negara agar mendukung praktek eksploitasinya di tanah Papua. Kekuatan bersenjata, misalnya, dengan terang-terangan digunakan untuk menegakkan hak-hak properti dan kontrak yang tidak adil antara kapitalis dan buruh. Penindasan juga mengambil bentuk yang lebih luas, menggunakan tangan kedua, melalui tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat, para politisi lokal dan nasional, melalui media-media (lokal maupun nasional), melalui para intelektual, para ahli hukum, dsb, untuk membenarkan dan merasionalisasi tatanan sosial dan ekonomi yang sedang berlangsung. Singkatnya, struktur ekonomi yang diciptakan oleh Freeport di tanah Papua telah membentuk suprastruktur politik yang berpihak kepadanya. Struktur ekonomi kapitalistik ini akhirnya juga membentuk kesadaran kelas di tingkat buruh dan masayarakat, kesadaran identitas, kesadaran politik dan kesadaran untuk bergerak secara massif di atas kepentingan bersama.
Perlawanan buruh Freeport terhadap korporasinya, dan rakyat Papua (dengan front politiknya, Papua Merdeka) terhadap pemerintah Indonesia telah mengambil bentuk perjuangan kelas. Isu perlawanan buruh Freeport tidak boleh berhenti pada isu ekonomik normatif semata, tetapi harus berlanjut menuju isu-isu politik: hak kemerdekaan dan pengambilalihan pabrik oleh buruh sebagai wujud nyata merebut kembali kekayaan tanah papua ke tangan rakyat pekerja Papua. Gerakan Papua Merdeka juga didorong ke arah perjuangan kelas, mendukung kelas buruh mengambil alih kekuasaan ekonomi dan politik di Papua. Gerakan Papua Merdeka harus hati-hati dengan munculnya jalan semu yang ditawarkan oleh para elit politik borjuasi Papua yang bertujuan ingin menyabotase perjuangan rakyat Papua demi kepentingan kelas mereka. Garis kelas harus ditarik sedini mungkin di dalam gerakan perjuangan rakyat Papua untuk menuntut kemerdekaannya. Rakyat pekerja Papua harus mandiri secara organisasi, politik, dan ideologi.
Forum solidaritas untuk buruh Freeport dan rakyat Papua yang dimotori oleh Partai Rakyat Pembebasan kemarin harus menghasilkan bentuk solidaritas yang berkuatan politik revolusioner dan dibangun di atas perspektif kelas. Tentu elemen-elemen revolusioner tidak ingin mengulangi peristiwa penipuan yang dilakukan oleh “kaum borjuis progresif” terhadap perjuangan kelas buruh. Forum solidaritas ini harus menyingkirkan elemen-elemen oportunis dan reformis, yang keberpihakan dan kepeduliannya hanya berdasar atas sentimen emosional semata dan oleh karenanya luluh lantak ketika dihadapkan dengan revolusi yang akan datang.
Mari kita bentuk wadah solidaritas untuk buruh Freeport dan rakyat Papua ini secara riil dan berkekuatan politik revolusioner – yang secara kontinyu mengekspos kebangkrutan rejim borjuis Indonesia. Peristiwa berdarah di Papua hari ini bisa menjadi momentum untuk membangun ikatan kuat antara rakyat pekerja Papua dan Indonesia untuk bersama-sama melawan rejim borjuis Indonesia.