Hari Buruh Sedunia baru saja diperingati. Gaungnya masih terdengar. Di Jakarta, puluhan ribu buruh memadati sepanjang jalan mulai dari Istora Senayan hingga Istana Merdeka. Di seluruh Indonesia, 160 ribu kabarnya turun ke jalan. Mereka mengibarkan spanduk-spanduk besar berwarna merah. Mereka meneriakkan yel-yel anti kapitalis; meneriakkan slogan-slogan anti penindasan; meneriakkan tuntutan-tuntutan pengurangan jam kerja, penghapusan “outsourcing” dan upah murah, dll; juga tuntutan-tuntutan politik: yakni menuntut SBY-Boediono mundur karena telah terbukti menjadi antek kapitalis.
May Day tahun ini terasa berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Indikator utamanya tidak hanya pada meningkatnya jumlah massa aksi, tetapi juga pada isu-isu yang diangkat oleh kaum buruh. Di sini terlihat sekali terjadi ada pergerakan kesadaran politik dan kelas yang cukup kuat. Kaum buruh mulai memahami bahwa May Day memiliki signifikansi politik yang sangat besar bagi kelas buruh dan bahwa May Day merupakan momentum yang tepat untuk menyatukan seluruh elemen buruh.
Massa aksi yang terlibat dalam perayaan May Day terdiri dari berbagai serikat buruh yang memiliki platform politik yang berbeda-beda. Platform politik tersebut bisa dikategorisasikan ke dalam dua “warna” politik: serikat buruh kuning (reformis) dan serikat buruh merah. Serikat buruh kuning – seperti KSPSI, KSBSI, KSPI, dll. – dalam hal tuntutan masih bersifat reformis. Sedangkan untuk serikat-serikat buruh merah – yakni serikat-serikat buruh yang bernaung di dalam Sekber Buruh – memiliki slogan-slogan politik yang lebih jelas dan bertendensi sosialis: tolak kenaikan harga BBM, hancurkan rejim kapitalis SBY, dan rebut kekuasaan untuk kaum buruh.
Dari semua ini, satu momen yang cukup berarti adalah persatuan 3 konfederasi dan 8 federasi buruh ke dalam Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI). Persatuan ini membawa 5 juta buruh ke bawah satu payung. Momen ini patut diapresiasi dengan serius, terlepas dari motif mayoritas para pemimpin reformis di serikat-serikat buruh tersebut.
Manifesto politik yang dibacakan oleh tiga konfederasi besar tersebut, yang bertempat di Gelora Bung Karno, memuat berbagai tuntutan kesejahteraan yang isinya tidak hanya terbatas untuk buruh dan pekerja saja, tetapi juga untuk lapisan-lapisan lainnya. Ini artinya kaum buruh mulai menancapkan kakinya di garis depan perjuangan rakyat dan memimpin perjuangan seluruh rakyat tertindas. Ini bisa dilihat sebagai kelanjutan dari aksi dan kepemimpinan buruh menentang kenaikan BBM pada bulan Maret lalu, yang mana buruh mulai bergerak di luar batas gerbang pabrik mereka.
Buruh-buruh yang tergabung di MPBI harus menggunakan momentum deklarasi MPBI ini sebagai alat untuk semakin memperkuat persatuan dan perjuangan mereka. Tidak cukup hanya pemimpin-pemimpin serikat saja yang mendeklarasikan MPBI saja dan meninggalkan segala sesuatunya kepada mereka. 5 juta anggota tiga konfederasi ini harus segera dilibatkan untuk mendiskusikan secara kritis dan mendalam isi dari manifesto politik tersebut dan bagaimana mencapai tuntutan-tuntutan tersebut, agar manifesto ini tidak hanya jadi deklarasi kosong semata yang lalu dilupakan. Sama parahnya adalah bila MPBI ini justru ditunggangi oleh para politisi borjuasi untuk kepentingan politik mereka. Indikasi ini sudah terlihat jelas ketika kita saksikan para politisi borjuasi dan juga Apindo berlomba-lomba memberikan selamat kepada Hari Buruh, memuji-muji para pemimpin serikat buruh reformis, dan terus menekankan bahwa buruh, pengusaha, dan pemerintah harus jadi mitra kerja.
Juga, serikat-serikat buruh yang ada di dalam MPBI harus mulai dikonsolidasikan, tidak hanya secara organisasional tetapi juga secara politik, untuk berjuang demi tuntutan-tuntutan yang ada di dalam manifesto politik MPBI. Kita tahu dari sejarah bahwa tuntutan-tuntutan buruh hanya dimenangkan lewat perjuangan sengit, dan bukan pemberian dari pemerintah dan para pemilik modal. Empat kado yang diberikan oleh SBY hanyalah untuk mengalihkan perhatian buruh saja, untuk meninabobokan mereka.
Selain itu harus diperhatikan dengan baik bahwa krisis kapitalisme yang menjangkiti seluruh dunia ini tidak akan mengijinkan terpenuhinya tuntutan-tuntutan MPBI dengan mudah. Di negara-negara maju saja, seperti Eropa dan AS, hak-hak dan pencapaian-pencapaian buruh di sana – yang banyak diidam-idamkan oleh buruh Indonesia – sudah mulai diserang habis-habisan. Justru dalam banyak kesempatan pemimpin-pemimpin serikat buruh reformis disana membantu pemerintah dan pemilik modal untuk mengikis pencapaian-pencapaian kesejahteraan buruh. Tanpa perspektif sosialis, pemimpin buruh manapun akan terseret ke dalam logika kapitalis hari ini: bahwa satu-satunya jalan keluar dari krisis hari ini adalah program penghematan dan menyerang kaum buruh.
Kapitalisme sedang memasuki krisis yang akut. Indonesia tidak imun dari ini. Tuntutan-tuntutan reforma atau normatif semata bahkan sudah tidak cukup lagi sebenarnya. Ini karena kapitalisme sudah tidak bisa lagi memberikan reforma kepada buruh. Manifesto MPBI mengandung tuntutan-tuntutan yang memang dikehendaki oleh buruh dan rakyat tertindas lainnya. Namun ia kurang satu hal: yakni bagaimana memenuhi tuntutan-tuntutan reforma tersebut di saat kapitalisme sedang sakit keras. Ketika ekonomi kapitalis sedang kesulitan, hanya ada satu jalan keluar di dalam kerangka kapitalisme: memotong standar hidup kaum buruh. Di luar kerangka kapitalisme, jalan yang terbentang adalah sosialisme, yakni nasionalisasi alat-alat produksi dan perbankan di bawah kontrol buruh. Pada akhirnya buruh dihadapi oleh dua pilihan: barbarisme (akibat krisis kapitalisme) atau sosialisme.