“To alter the position of woman at the root is possible only if all the conditions of social, family, and domestic existence are altered.” (Trotsky)
Diskursus pembebasan perempuan yang lahir dari feminisme liberal, yang hari ini sebagai diskursus mainstream, telah membawa angin segar bagi perubahan nasib perempuan di Indonesia. Paradigma berpikir feminisme liberal telah menginspirasi banyak gerakan perempuan di Indonesia untuk mencapai kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Tetapi ternyata, pola pikir dari arus feminisme yang lahir di Barat tersebut, ditinjau dari perspektif kelas, setidaknya, akan memunculkan dua cacat politik. Pertama, konsep ini akan menciptakan terpecahnya konsentrasi ‘perjuangan kelas’ dari perempuan kelas tertindas untuk membebaskan diri dari kapitalisme. Kedua, konsep ini akan membentuk perspektif dikotomik-gender yang tidak produktif, yakni sebuah perspektif yang memandang bahwa manusia yang berjenis kelamin laki-laki adalah musuh.
Feminisme liberal adalah bentuk modern dari feminisme. Feminisme liberal dikarakterisasikan dengan sebuah perjuangan yang individualistik mengenai kesetaraan. Menurut filsafat feminis ini, untuk menciptakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, tidak perlu melakukan perbaikan besar di dalam masyarakat, melainkan hanya perlu mengubah kebijakan hukum yang memberi kesempatan kepada perempuan untuk menjadi sama kedudukannya dengan laki-laki di dalam masyarakat. Bagi seorang feminis liberal, bukti kemajuan dalam perjuangan perempuan dilihat dari jumlah perempuan yang menempati posisi strategis-publik yang sebelumnya banyak ditempati oleh kaum laki-laki. Di Amerika Serikat dan di banyak negara Barat, arus feminisme ini, dengan sentuhan corak produksi kapitalis, akhirnya menjadi arus mainstream dalam gerakan pembebasan perempuan.
Paradigma berpikir di atas, dilihat dari perspektif kelas, tentu, sangat sempit dan parsial. Cara pandang tersebut tidak melihat bahwa struktur sosial kapitalistiklah yang mensubordinasi hak-hak perempuan. Logika sederhana yang bisa dikatakan, sebagai sebuah kritik, bahwa meskipun kaum perempuan tidak lagi bergantung pada laki-laki secara individual, mereka masih akan bergantung pada negara patriarkal ciptaan kapitalisme. Dengan begitu, perubahan institusional hasil perjuangan perempuan yang sering digembar-gemborkan sebagai suatu pencapaian, tetap bermakna parsial. Karena keberhasilan itu hanya melepas satu tali kekang saja, yakni tali kekang kaum laki-laki.
Dalam analisa Marxis, akar dari seluruh penindasan, termasuk penindasan perempuan – beserta seluruh subordinasinya – berawal dari sistem produksi kapitalis. Sifat tamak dari sistem produksi ini membuatnya bergerak dengan cara membabi-buta. Pada abad ke-19 lalu, Marx, dengan jelas, dalam tulisan-tulisannya, telah menunjukkan kepada dunia mengenai gerak anarkis kapitalisme. Untuk memperoleh keuntungan yang sangat besar, kapitalisme telah mengeksploitasi anak-anak dan perempuan. Dalam volume pertama Das Kapital, Marx menulis: “Kapitalisme sengaja mencari tenaga kerja perempuan dan anak-anak untuk mengoperasikan mesin … tanpa perbedaan usia. Kerja paksa untuk memperkaya kapitalis ini telah merampas banyak kesempatan, tidak hanya kesempatan bermain bagi anak-anak, tetapi juga telah merampas tenaga kerja gratis yang dalam batasan moderat berguna untuk mendukung ekonomi keluarga.”
Di mata kapitalis, kaum perempuan dipandang sebagai sumber tenaga kerja yang bisa dibayar murah. Yang lebih parah, kaum perempuan juga hanya dipandang sebagai tenaga kerja cadangan – yang akan dipekerjakan saat kerja produksi tertentu memerlukannya, dan dibuang ketika kebutuhan akan tenaga perempuan tidak memerlukannya lagi. Pada saat sekarang pun, di Indonesia, ketika gerakan-gerakan perempuan mengalami booming, jutaan tenaga kerja perempuan hanya mengisi pos-pos kerja produksi tertentu yang tidak stabil. Meskipun semua perempuan dari kalangan menengah tengah berbicara lantang mengenai “dunia perempuan” dan “girl power”, perempuan kelas pekerja tetap menjadi bagian yang paling tertindas.
Benar, di negara-negara kapitalis maju, tempat bersemainya ideologi feminisme liberal, selama setengah abad terakhir, posisi perempuan telah mengalami peningkatan. Setidaknya, dalam arti formal, mereka memiliki hak hukum yang sama dengan laki-laki. Mereka memiliki akses yang sama terhadap pendidikan dan, sampai tingkat tertentu, telah mampu menjangkau tempat-tempat kerja strategis. Namun, di dunia bekas kolonial – seperti Indonesia – yang berisi dua pertiga dari umat manusia, hal itu tidak terjadi. Perbudakan perempuan terlihat semakin parah. Setiap tahun, sekitar 500.000 perempuan meninggal akibat komplikasi yang timbul dari kehamilan. Negara-negara bekas kolonial hanya menghabiskan sekitar 4 persen dari PDB untuk kesehatan, rata-rata hanya sebesar $ 41 per kepala, jauh bila dibandingkan dengan $ 1900 di negara-negara kapitalis maju. Diperkirakan sekitar 100 juta anak berusia 6 sampai 11 tahun tidak bersekolah. Dan dua pertiga dari mereka adalah perempuan.
Dominasi absolut dari imperialisme dan perusahaan multinasional raksasa telah memastikan bahwa tetes terakhir nilai lebih dengan tanpa ampun diperas dari perempuan tanpa perbedaan usia. Para orang tua yang hidup di ambang kelaparan tidak memiliki pilihan lain selain menjual anak-anak perempuan mereka sebagai budak di pabrik-pabrik, bahkan di dalam bisnis-bisnis prostitusi. Para kapitalis Barat, yang juga menjadi pendukung dan donatur dalam gerakan yang menuntut hak-hak dan harkat perempuan, telah meraup keuntungan yang banyak dari ‘nilai lebih’ tenaga kerja perempuan. Kaum borjuis memang sering berpura-pura empati dengan penderitaan, meskipun mereka mendapatkan keuntungan banyak dari penderitaan tersebut.
Perjuangan perempuan kelas pekerja Marxis harus mengungkap semua ini; mengungkap sebab-sebab kenapa perempuan harus melawan ketidakadilan, diskriminasi dan seluruh manifestasi dari penindasan – dalam perspektif kelas; kaum Marxis harus menjelaskan kepada perempuan kelas pekerja bahwa satu-satunya cara untuk benar-benar bisa mencapai emansipasi perempuan – dan seluruh lapisan tertindas lainnya – adalah dengan menghapus sistem produksi kapitalis. Dan setiap tendensi yang sengaja memunculkan isu perjuangan perempuan melawan laki-laki, atau sengaja membagi dan memisahkan perempuan kelas pekerja dari gerakan buruh atas nama “pembebasan perempuan”, atau atas nama apapun, merupakan tindakan politik yang reaksioner dan harus diperangi penuh semangat.
Marxisme berjuang untuk kemenangan kelas proletar – yang terlepas dari jenis kelamin, ras, warna, suku, bangsa, atau agama. Perjuangan perempuan kelas pekerja Marxis harus mampu membawa seluruh perjuangan perempuan kelas pekerja terpisah dari paradigma kepala batu feminisme liberal borjuis yang picik. Tendensi-tendensi tersebut, di mana mereka mendapatkan pengaruh dalam gerakan buruh, yang selalu bermain di elemen-elemen paling reaksioner, akan memainkan peran yang memecah-belah dan menciptakan kebingungan di dalam perjuangan perempuan kelas pekerja ke arah sosialisme. Dalam hal ini, sebagaimana juga dalam semua hal, perempuan kelas pekerja harus mengambil posisi kelas tegas. Seperti yang telah kita lihat, bagaimana partai Bolshevik dan Komunis Internasional, dalam resolusinya, selalu berbicara tentang perempuan kelas pekerja, dan bukan tentang perempuan pada umumnya. Karena perempuan kelas pekerja – yang hari ini menempati posisi paling besar dari jumlah perempuan secara keseluruhan – merupakan elemen kunci untuk mewujudkan pembebasan perempuan pada umumnya dari segala bentuk penindasan.
Capaian yang hanya sampai pada “persamaan hak” secara formal, tanpa mengubah relasi di dalam struktur sosial, seperti daun yang tak akan pernah bisa menyentuh akar. Bahkan hari ini, gerakan-gerakan feminis liberal, yang pos-pos pentingnya diduduki oleh kaum perempuan dari kelas borjuis kecil, yang dulu sangat gencar menyuarakan “perbaikan-perbaikan” pada posisi perempuan, pada kenyataannya, hanya sebagai kendaraan untuk kemajuan karir lapisan borjuis kecil tersebut. Setelah mereka mendapatkan posisi strategis di parlemen, di perusahaan-perusahaan, di lembaga-lembaga sosial, di institusi-institusi akademis, suara mereka mulai tak nyaring lagi. Kenapa demikian? Sebab mereka, kaum feminis yang sbegaian besar berasal dari kelas menengah tersebut, telah mendapatkan apa yang mereka minta.
Itulah sebabnya kenapa Marxisme sangat menentang gerak sempit dari feminisme liberal borjuis. Karena perjuangan mereka jelas bukan untuk perempuan kelas pekerja yang mati-matian berjuang demi membebaskan diri dari eksploitasi kapital. Perjuangan kaum perempuan kelas menengah ini hanya untuk memecahkan persoalan pribadi mereka sendiri di dalam batas-batas kapitalisme. Mereka akan melupakan nasib dari 99 persen perempuan yang sedang ditindas dengan keji di dalam pabrik-pabrik, di dalam rumah-rumah mewah sebagai pembantu rumah tangga, di restoran-restoran yang sedang melayani para bos yang gemar memburu makanan; setelah mendapatkan posisi strategis, mereka kaum perempuan kelas menengah yang dulu gencar bersuara tentang “kesetaraan perempuan” akan meninggalkan 99 persen perempuan tertindas tersebut dan bergabung di jajaran para penghisap. Ini bukan pernyataan yang hanya berdasarkan asumsi-asumsi. Fenomenanya telah muncul di mana-mana di negeri kita ini.
Akhirnya, sebuah paradigma yang tepat dan harus dibangun dalam perjuangan perempuan kelas pekerja adalah berjuang untuk membebaskan seluruh perempuan dari penindasan, dan pada akhirnya pula, berjuang untuk membebaskan seluruh manusia dari penindasan kapitalisme dan membangun tatanan kemanusiaan yang sejati – bukan untuk kelompok ini atau itu; bukan untuk jenis kelamin ini atau itu. Ini bukan berarti bahwa perempuan harus menyingkirkan perjuangannya untuk segera memperoleh hak-haknya. Sama sekali bukan. Tetapi gerakan perempuan harus terlibat aktif dalam gerakan pembebasan seluruh manusia dari penindasan kapitalisme agar segera terbentuk relasi yang tidak saling mendominasi antara laki-laki dan perempuan. Karena perjuangan perempuan di bawah kapitalisme – dengan perbaikan seprogresif apapun – akan berkarakter parsial, terdistorsi dan tidak stabil; juga, secara terus-menerus, akan terancam oleh krisis sistem dan pembusukan kondisi sosial, moral serta budaya.
Tentu, luka psikologis akibat penindasan kapitalisme tidak akan lenyap dalam waktu semalam. Sebuah periode waktu harus dilalui hingga semua kotoran lama itu menghilang. Tetapi relasi yang tidak saling mendominasi antara laki-laki dan perempuan sudah bisa terjadi. Tekanan ekonomi yang selama ini mendistorsi seluruh relasi manusia akan dihapuskan segera – dengan memperkenalkan pekerjaan yang layak, membangun perumahan dan memberikan pendidikan untuk seluruh rakyat.
Penghapusan masyarakat kelas – dan akhirnya penghapusan mentalitas budak yang mengalir dari selokan kotor masyarakat kelas – akan mengarah pada penciptaan manusia baru dan seorang perempuan baru: yakni manusia bebas, yang hidup bersama secara harmonis; sebagai orang bebas, yang sepenuhnya bebas dari psikologi budak.
Hidup perjuangan perempuan kelas pekerja!
Hidup sosialisme!