Di dalam karya ini, Trotsky memberikan gambaran umum dialektika perkembangan syarat-syarat untuk sosialisme. Di dalam karya ini, yang adalah saduran dari “Hasil dan Prospek” dimana Trotsky untuk pertama kalinya menjabarkan teori Revolusi Permanen, Leon Trotsky mencoba menjawab: Apa syarat-syarat yang dibutuhkan untuk menuju sosialisme dan apakah syarat-syarat tersebut sudah dipenuhi?
Marxisme mengubah sosialisme menjadi sebuah pengetahuan ilmiah, tetapi ini tidak menghalangi beberapa ‘kaum Marxis’ untuk mengubah Marxisme menjadi utopisme.
Rozhko[1], yang menentang program sosialisasi dan koperasi, mempresentasikan “syarat-syarat yang dibutuhkan untuk masyarakat masa depan, yang dijelaskan oleh Marx dengan tegas,” sebagai berikut:
“Apakah sudah ada syarat-syarat objektif material, seperti perkembangan teknik yang akan mengurangi motivasi untuk keserakahan pribadi dan kekhawatiran akan uang[?], usaha pribadi, inisiatif dan resiko, ke level yang minimum; dan yang akan kemudian mendorong produksi sosial ke depan? Level perkembangan teknik seperti ini berhubungan paling dekat dengan dominasi produksi skala-besar yang hampir-total[!] di semua[!] cabang-cabang ekonomi. Apakah tahapan ini sudah tercapai? Bahkan syarat-syarat subjektif dan psikologi masih belum terpenuhi, seperti halnya perkembangan kesadaran kelas di antara kaum proletar, yang berkembang sedemikian rupa sehingga mencapai kesatuan spiritual mayoritas rakyat. Ada asosiasi-asosiasi produsen seperti pabrik-pabrik gelas Prancis di Albi yang terkenal, dan beberapa asosiasi pertanian, juga di Prancis; akan tetapi pengalaman di Prancis menunjukkan bahwa bahkan kondisi di sebuah bangsa yang sangat maju ini masih belum cukup berkembang untuk dominasi sistem koperasi. Perusahaan-perusahaan ini hanyalah berukuran sedang, level tekniknya tidaklah lebih tinggi dari perusahaan-perusahaan kapitalis yang biasa, mereka tidak memimpin perkembangan industri, tetapi mendekati level rata-rata yang cukup baik.”
“Hanya ketika pengalaman dari tiap-tiap asosiasi produsen ini menunjukkan peran kepemimpinan mereka di dalam kehidupan ekonomi, maka kita dapat mengatakan bahwa kita sedang mendekati sebuah sistem yang baru; hanya dengan begitu kita bisa yakin bahwa kondisi-kondisi yang dibutuhkan untuk keberadaan sistem yang baru ini telah terpenuhi”[2]
Walaupun kita menghargai maksud baik kawan Rozhkov, dengan menyesal kita harus mengakui bahwa bahkan di dalam tulisan-tulisan kaum borjuasi kita jarang menemui kebingungan seperti ini mengenai syarat-syarat sosialisme. Kita harus memperjelas kebingungan ini, bila bukan untuk Rozhkov, setidaknya untuk memperjelas masalah ini.
Rozhkov mengatakan bahwa kita belum mencapai “perkembangan teknik yang akan mengurangi motivasi untuk keserakahan pribadi dan kekawatiran akan uang[?], usaha pribadi, inisiatif dan resiko, ke level yang minimum; dan yang akan kemudian memdorong produksi sosial ke depan.”
Cukup sulit untuk memahami arti dari kalimat ini. Rupanya Rozhkov ingin mengatakan bahwa, pertama-tama, teknologi moderen belumlah cukup untuk menyingkirkan tenaga-kerja manusia dari industri dan, kedua, untuk mencapai ini dibutuhkan dominasi perusahaan-perusahaan besar yang “hampir” total di semua cabang ekonomi, dan proletarianisasi yang “hampir” total dari seluruh populasi bangsa. Ini adalah dua syarat sosialisme yang katanya telah “dijelaskan oleh Marx dengan tegas”.
Mari kita coba bayangkan keadaan relasi-relasi kapitalisme yang, menurut Rozhkov, akan ditemui oleh sosialisme ketika ia tiba. “Dominasi produksi skala-besar yang hampir-total di semua cabang-cabang ekonomi”, di bawah kapitalisme berarti proletarianisasi semua produsen kecil dan menengah di pertanian dan industri, dalam kata lain mengubah seluruh populasi menjadi kaum proletar. Tetapi dominasi penuh teknik mesin di perusahaan-perusahaan besar ini akan mengakibatkan pengurangan penggunaan tenaga-kerja manusia ke level minimum, dan oleh karena itu mayoritas populasi bangsa – katakanlah 90% – akan berubah menjadi pasukan cadangan buruh (baca pengangguran) yang hidup dari Negara di rumah-rumah penampuangan sosial (workhouses) (Rumah penampungan sosial adalah sebuah institusi pemerintah dimana para pengangguran miskin diberi makan dan tempat tinggal, sebagai gantinya mereka bekerja tanpa gaji – Ed.) Kita mengatakan 90% dari populasi, tetapi tidak ada yang menghalangi kita untuk berpikir logis dan membayangkan situasi dimana seluruh produksi dijalankan oleh satu mesin otomatis, yang dimiliki oleh satu perusahaan dan hanya membutuhkan tenaga-kerja seekor Orang Utan yang terlatih. Seperti yang kita ketahui, ini adalah teorinya Profesor Tugan-Baranovsky[3]. Di bawah kondisi seperti ini, “produksi sosial” tidak hanya terdorong ke “depan”, tetapi juga memimpin seluruh bidang. Terlebih lagi, di bawah kondisi ini, konsumsi akan tersosialisasikan karena seluruh bangsa, kecuali 10% yang memiliki perusahaan tersebut, hidup di rumah-rumah penampungan sosial milik negara. Jadi, di belakang Rozhkov kita melihat wajah tersenyum Tugan-Baranovsky. Sosialisme sekarang dapat hadir. Rakyat keluar dari rumah-rumah penampungan sosial dan menyita kelompok para penyita. Tentu saja, revolusi atau kediktatoran kaum proletar tidaklah dibutuhkan.
Syarat ekonomi kedua dari kematangan sebuah negeri untuk sosialisme, menurut Rozhkov, adalah kemungkinan dominasi sistem produksi koperasi di dalam negeri tersebut. Bahkan di Prancis, koperasi pabrik-pabrik gelas di Albi tidaklah lebih maju daripada perusahaan-perusahaan kapitalis lainnya. Produksi sosialis hanyalah mungkin ketika koperasi berada di garis depan perkembangan industri sebagai perusahaan pemimpin.
Seluruh argumen Rozhkov dari awal hingga akhir adalah terbalik. Koperasi tidak dapat memimpin progres ekonomi, bukan karena perkembangan ekonomi tidaklah cukup maju, tetapi justru karena perkembangan ekonomi telah terlalu maju. Tidak diragukan, perkembangan ekonomi menciptakan basis untuk koperasi, tetapi koperasi macam apa? Koperasi kapitalis, yang berdasarkan kerja-upahan – setiap pabrik menunjukkan gambaran koperasi kapitalis macam ini. Dengan perkembangan teknologi, signifikansi dari koperasi macam ini juga berkembang. Tetapi, bagaimana caranya perkembangan kapitalisme bisa meletakkan asosiasi-asosiasi koperasi “di garis depan industri”? Apa basis dari harapan Rozhkov bahwa asosiasi-asosiasi koperasi dapat menyingkirkan sindikat-sindikat dan perserikatan perusahaan (trusts), dan menggantikan mereka sebagai pemimpin industri? Bila ini terjadi, asosiasi-asosiasi koperasi akan dengan mudah sudah mengekspropriasi semua perusahaan kapitalis, dan setelah itu mereka tinggal mengurangi jam kerja buruh guna menyediakan pekerjaan bagi seluruh rakyat, dan mengatur jumlah produksi di berbagai cabang-cabang industri guna menghindari krisis. Dengan cara ini, karakter-karakter utama sosialisme akan tercapai. Sekali lagi, revolusi atau kediktatoran kelas buruh tidaklah dibutuhkan.
Syarat ketiga adalah psikologi: dibutuhkannya “kesadaran kelas di antara kaum proletar, yang berkembang sedemikian rupa sehingga mencapai kesatuan spiritual dari mayoritas rakyat”. Karena dalam hal ini “kesatuan spiritual” kemungkinan besar berarti solidaritas sosialisme secara sadar, maka dapat disimpulkan bahwa kawan Rozhkov berpendapat bahwa syarat psikologi untuk terwujudnya sosialisme adalah bergabungnya ‘mayoritas besar rakyat’ ke dalam Partai Sosial-Demokrat. Rozhkov jelas-jelas berasumsi bahwa kapitalisme, yang melempar para produsen kecil menjadi kaum proletar, dan massa kaum proletar menjadi pengangguran, akan menciptakan sebuah peluang bagi Sosial Demokrasi untuk menyatukan dan menyadarkan mayoritas besar (90 persen?) rakyat.
Ini adalah mustahil di dalam dunia kapitalisme yang barbar, sama mustahilnya bagi dominasi koperasi di dunia kompetisi kapitalisme. Tetapi bila ini mungkin, dan tentu saja ‘mayoritas besar’ rakyat yang sadar dan tersatukan secara spiritual akan dengan mudah menghancurkan para kapitalis besar dan mengorganisir ekonomi sosialis tanpa revolusi atau kediktatoran.
Tetapi di sini masalahnya timbul. Rozhkov menganggap Marx sebagai gurunya. Akan tetapi Marx, yang telah menggarisbawahi ‘syarat-syarat utama sosialisme’ di dalam “Manifesto Komunis”, menganggap bahwa revolusi 1848 sebagai prolog segera untuk revolusi sosialis. Tentu saja setelan 60 tahun kita tidak perlu berpikir terlalu dalam untuk melihat bahwa Marx salah, karena dunia kapitalis masihlah eksis. Tetapi, bagaimana mungkin Marx membuat kesalahan ini? Apakah dia tidak menyadari bahwa perusahaan-perusahaan besar belumlah mendominasi semua cabang industri; bahwa koperasi-koperasi produsen belumlah memimpin industri-industri besar; bahwa mayoritas besar rakyat belumlah tersatukan di atas basis ide-ide yang tertulis di “Manifesto Komunis”? Bila kita tidak melihat hal-hal ini sekarang, bagaimana mungkin Marx tidak menyadari bahwa hal-hal ini tidaklah eksis pada 1848? Ternyata, Marx pada 1848 adalah seorang pemuda yang utopis dibandingkan dengan banyak kaum Marxis hari ini yang sempurna!
Maka dari itu, kita melihat bahwa walaupun kawan Rozhkov bukanlah pengkritik Marx, dia telah sepenuhnya menyingkirkan revolusi proletar sebagai sebuah syarat utama sosialisme. Karena Rozhkov telah secara konsisten mengekspresikan pandangan-pandangan yang juga dimiliki oleh cukup banyak kaum Marxis di partai kita, maka kita perlu memeriksa prinsip dan metode dari kekeliruannya.
Kita perlu mengetahui bahwa argumen Rozhkov mengenai nasib koperasi adalah argumen dia tersendiri. Kita tidak pernah menemui kaum sosialis yang percaya dengan gagasan progres konsentrasi produksi dan proletarianisasi rakyat yang sangatlah sederhana ini, dan pada saat yang sama juga percaya dengan dominasi koperasi sebelum revolusi proletar. Sangatlah lebih sulit untuk menggabungkan kedua syarat tersebut di dalam ekonomi dibandingkan di dalam kepala kita; walaupun menggabungkan kedua syarat tersebut di dalam kepala selalu tampak mustahil bagi kita.
Tetapi mari kita periksa dua “syarat” lainnya yang lebih merupakan prasangka-prasangka yang lebih tipikal. Tidak diragukan kalau konsentrasi produksi, perkembangan teknologi, dan pertumbuhan kesadaran massa adalah syarat-syarat penting bagi sosialisme. Tetapi proses-proses ini berlangsung secara simultan, dan bukan hanya saling mendorong, tetapi juga saling memperlambat dan membatasi. Tiap-tiap proses ini pada level yang lebih tinggi membutuhkan perkembangan proses yang lain pada level yang lebih rendah. Perkembangan yang sempurna dari salah satu proses ini bertentangan dengan perkembangan sempurna dari proses yang lain.
Perkembangan teknologi menemukan batasan idealnya di dalam sebuah mesin otomatis tunggal yang mengambil bahan-bahan mentah dari rahim bumi dan mengeluarkan produk-produk konsumsi yang sudah jadi. Bila keberadaan sistem kapitalis tidak dibatasi oleh relasi-relasi kelas dan perjuangan revolusioner yang lahir dari sistem kapitalis ini, kita memiliki basis untuk berasumsi bahwa teknologi yang mendekati ideal sebuah mesin otomatis tunggal dalam kerangka sistem kapitalis akan secara otomatis mengakhiri kapitalisme.
Konsentrasi produksi yang timbul karena hukum kompetisi mempunyai tendensi alami untuk mendorong proletarianisasi seluruh populasi. Mengisolasi tendensi ini, kita memiliki alasan untuk berasumsi bahwa kapitalisme akan menyelesaikan proses proletarianisasi ini, bila proses ini tidak diinterupsi oleh sebuah revolusi. Tetapi revolusi adalah tak-terelakkan karena relasi kekuatan-kekuatan kelas tertentu, jauh sebelum kapitalisme mengubah mayoritas populasi menjadi buruh cadangan (penganggur) yang terkurung di barak-barak seperti penjara.
Terlebih lagi, kesadaran massa, karena pengalaman perjuangan sehari-hari dan usaha-usaha dari partai-partai sosialis, niscaya tumbuh secara progresif. Dan bila kita mengisolasi tendensi ini, kita dapat di dalam imajinasi kita mengikuti pertumbuhan kesadaran ini sampai mayoritas rakyat tergabung di serikat-serikat buruh dan partai-partai politik, tersatukan oleh jiwa solidaritas dan kesatuan tekad. Bila proses ini dapat benar-benar meningkat secara kuantitatif tanpa berubah secara kualitatif, maka sosialisme dapat tercapai secara damai melalui ‘aksi sipil’ oleh seluruh rakyat secara serentak dan secara sadar di kemudian hari di abad ke-21 atau 22.
Tetapi kenyataannya adalah bahwa proses-proses ini, yang merupakan syarat historis bagi sosialisme, tidaklah berkembang secara terisolasi, tetapi saling membatasi satu sama lain. Dan ketika mereka mencapai satu tahapan tertentu, yang ditentukan oleh banyak kondisi – yang jauh dari limit matematika dari proses-proses tersebut – mereka mengalami sebuah perubahan kualitatif, dan di dalam kombinasi kompleks mereka mengakibatkan apa yang kita sebut revolusi sosial.
Kita akan mulai dengan proses pertumbuhan kesadaran massa. Seperti yang kita ketahui, proses ini tidaklah terjadi di sekolah-sekolah, dimana secara artifisial kita mungkin bisa menahan kaum proletar selama 50, 100, atau 500 tahun. Tetapi proses ini terjadi di dalam kehidupan masyarakat kapitalis, di dalam perjuangan kelas yang tidak pernah berhenti. Pertumbuhan kesadaran kaum proletar mengubah perjuangan kelas ini, memberikannya sebuah karakter yang lebih dalam dan lebih tegas, yang kemudian mengakibatkan reaksi dari kelas yang mendominasi. Perjuangan kelas proletar dalam melawan kelas borjuasi akan mencapai kesimpulan akhirnya jauh sebelum perusahaan-perusahaan besar mulai mendominasi semua cabang industri.
Terlebih lagi, tentu saja benar bahwa pertumbuhan kesadaran politik tergantung pada pertumbuhan jumlah kaum proletar, dan kediktatoran kaum proletar mensyaratkan jumlah kaum proletar yang cukup besar untuk bisa mengatasi perlawanan kontra-revolusi kaum borjuasi. Tetapi ini sama sekali bukan berarti bahwa ‘mayoritas besar’ rakyat haruslah menjadi kaum proletar dan ‘mayoritas besar’ kaum proletar haruslah menjadi kaum sosialis yang sadar. Tentu saja pasukan proletar revolusioner yang sadar-kelas haruslah lebih kuat daripada pasukan kapital kontra-revolusioner, dan pada saat yang sama, lapisan rakyat yang ragu-ragu atau acuh-tak-acuh harus berada di posisi dimana rejim kediktatoran proletar akan menarik mereka ke sisi revolusi dan tidak mendorong mereka ke sisi musuh mereka. Kebijakan kaum proletar haruslah mempertimbangkan hal ini.
Semua ini mensyaratkan hegemoni industri atas pertanian, dan dominasi kota atas desa.
Sekarang kita akan menganalisa syarat-syarat sosialisme satu per satu dengan urutan yang semakin kompleks:
1. Sosialisme bukanlah hanya mengenai distribusi yang merata tetap juga produksi yang terencana. Sosialisme, yang merupakan produksi koperasi dalam skala besar, hanyalah mungkin ketika perkembangan kekuatan produksi telah mencapai tahapan dimana perusahaan besar lebih produktif daripada perusahaan kecil. Semakin produktif perusahaan besar dibandingkan perusahaan kecil – dalam kata lain semakin tinggi perkembangan teknologi – maka semakin lebih unggul produksi sosialisme secara ekonomi, dan semakin lebih tinggi level kebudayaan seluruh populasi sebagai akibat dari distribusi merata yang berdasarkan produksi terencana.
Syarat objektif pertama dari sosialisme sudahlah eksis sejak lama – semenjak pembagian kerja secara sosial memunculkan pembagian kerja di pabrik-pabrik manufaktur. Syarat ini telah terpenuhi bahkan lebih sempurna semenjak manufaktur digantikan dengan mesin-mesin produksi. Perusahaan-perusahaan besar menjadi semakin unggul, yang juga berarti bahwa sosialisasi perusahaan-perusahaan besar ini akan membuat masyarakat lebih makmur. Sangatlah jelas kalau transisi semua industri kerajinan tangan ke kepemilikan bersama tidak akan membuat rakyat semakin kaya, sedangkan transfer pabrik-pabrik ke tangan buruh – atau lebih tepatnya, transfer semua alat produksi besar ke tangan seluruh populasi – akan meningkatkan kemakmuran rakyat; dan semakin tinggi tahapan yang dicapai oleh produksi skala-besar, semakin tinggi level kemakmuran ini.
Di dalam literatur-literatur sosialis, dapat ditemukan kutipan dari anggota parlemen Inggris, Bellers[4] yang pada 1696 (satu abad sebelum Konspirasi Babeuf) menyerahkan sebuah proposal kepada Parlemen untuk membentuk asosiasi-asosiasi koperasi yang akan memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri secara independen. Menurut proposal ini, koperasi-koperasi produsen ini akan terdiri dari dua hingga tiga ratus orang. Kita tidak dapat menguji argumen Bellers, dan kita tidak perlu mengujinya. Yang penting adalah bahwa ekonomi kolektif, walaupun ini hanya direncanakan untuk kelompok-kelompok yang terdiri dari 100, 200, 300, atau 500 orang, sudah dianggap unggul dari sudutpandang produksi pada akhir abad ke-17.
Pada permulaan abad ke-19, Fourier[5] memformulasikan rencananya untuk membentuk asosiasi-asosiasi produsen-konsumen (yang disebut ‘phalanstere’), dan tiap asosiasi ini beranggotakan 2000 sampai 3000 orang. Kalkulasi Fourier tidaklah terkenal karena akurasinya; akan tetapi, perkembangan industri manufaktur saat itu memberikannya inspirasi pembentukan ekonomi kolektif yang lebih luas dibandingkan contoh di atas (Bellers). Akan tetapi, sangat jelas kalau asosiasi-asosiasi John Bellers and ‘phalanstere’nya Fourier lebih dekat dengan karakter komune-komune ekonomi bebas yang dimimpikan oleh kaum Anarkis, sebuah utopisme yang bukan karena ‘kemustahilan’ mereka atau karena ini ‘melawan hukum alam’ – komune-komune komunis di Amerika menunjukkan kalau ini adalah mungkin – tetapi karena mereka tertinggal 100 atau 200 tahun di belakang progres perkembangan ekonomi.
Perkembangan pembagian kerja secara sosial pada satu pihak dan perkembangan produksi mesin di pihak lain telah menciptakan situasi dimana hari ini satu-satunya badan koperasi yang dapat mendayagunakan keunggulan sistem produksi kolektif dalam skala besar adalah Negara. Juga, produksi sosialis, untuk alasan ekonomi dan politik, tidak dapat dibatasi dalam satu negeri.
Atlanticus[6], seorang kaum sosialis Jerman yang tidak mengadopsi sudut pandang Marxisme, pada akhir abad yang lalu (abad ke-19) membuat kalkulasi keunggulan ekonomi yang dapat diperoleh dari implementasi ekonomi sosialis di satu negeri seperi Jerman. Atlanticus bukanlah seorang yang penuh imajinasi. Gagasan-gagasannya biasanya berkisar sekitar rutinitas ekonomi kapitalisme. Dia mendasarkan argumen-argumennya dari tulisan-tulisan para ahli agronomi dan ahli teknik moderen terkemuka. Ini tidak melemahkan argumennya, sebaliknya ini merupakan kekuatannya, karena ini menjaganya dari optimisme yang tidak beralasan. Atlanticus meraih kesimpulan bahwa, dengan organisasi ekonomi sosialis yang tepat, dengan implementasi sumberdaya-sumberdaya teknologi pertengahan tahun 90an abad ke-19, pendapatan kaum buruh dapat meningkat dua atau tiga kali lipat dan jam kerja dapat dipotong hingga setengah saja.
Akan tetapi, kita tidak boleh berpikir bahwa Atlanticus adalah orang yang pertama kali menunjukkan keunggulan ekonomi sosialis. Produktivitas tenaga kerja yang lebih tinggi di perusahaan besar di satu pihak, dan di pihak yang lain perlunya perencanaan produksi, yang dibuktikan oleh krisis ekonomi, adalah bukti yang lebih meyakinkan dibandingkan pembukuan sosialis Atlanticus. Kontribusi dari Atlanticus adalah dia mengekpresikan keunggulan-keunggulan ekonomi sosialis dengan angka-angka statistik.
Dari semua yang sudah kita paparkan, kita dibenarkan untuk meraih kesimpulan bahwa perkembangan teknologi manusia yang semakin tinggi akan membuat sosialisme semakin lebih unggul; bahwa syarat-syarat teknologi yang memadai untuk produksi kolektif sudah eksis selama 100 atau 200 tahun, dan pada saat ini sosialisme unggul secara teknik bukan hanya dalam skalan nasional tetapi juga dalam skala global.
Akan tetapi, hanya keunggulan teknik sosialisme tidaklah cukup untuk merealisasikannya. Selama abad ke-18 dan ke-19, keunggulan produksi skala-besar menunjukkan dirinya bukan dalam bentuk sosialisme, tetapi dalam bentuk kapitalisme. Proposal Bellers and Fourier tidaklah terlaksanakan. Kenapa tidak? Karena saat itu tidak ada kekuatan sosial yang siap dan mampu merealisasikannya.
2. Sekarang kita akan meninggalkan syarat-syarat teknologi-produksi dari sosialisme dan menuju ke syarat-syarat sosial-ekonomi. Bila kita memiliki sebuah masyarakat yang tidak terpecahkan oleh antagonisme kelas, tetapi justru sebuah komunitas yang homogen yang secara sadar memilih bentuk ekonominya, maka kalkulasi Atlanticus niscaya akan cukup untuk memulai konstruksi sosialisme. Dari sudut pandang inilah Atlanticus, yang sendirinya adalah seorang sosialis yang vulgar, menilik karyanya sendiri. Hari ini, sudut pandang tersebut hanya bisa diimplementasikan di dalam batasan perusahaan swasta milik satu orang atau satu perusahaan. Kita dibenarkan untuk berasumsi bahwa skema-skema reforma ekonomi apapun (seperti penggunaan mesin-mesin baru, bahan mentah baru, manajemen tenaga kerja baru, atau sistem pengupahan baru) akan diterima oleh para pemilik bisnis bila skema-skema ini dapat memberikan sebuah keunggulan komersil. Tetapi dalam ekonomi seluruh masyarakat, ini tidaklah cukup. Di sini, kepentingan-kepentingan yang bertentangan akan saling berbenturan. Apa yang menguntungkan bagi satu pihak adalah tidak menguntungkan bagi pihak yang lain. Keegoisan satu kelas tidak hanya merugikan keegoisan kelas yang lain, tetapi juga merugikan seluruh komunitas. Oleh karena itu, untuk merealisasikan sosialisme, kita membutuhkan sebuah kekuatan sosial – dari kelas-kelas antagonistik di dalam kapitalisme – yang berminat untuk merealisasikan sosialisme karena posisi objektifnya; dan yang cukup kuat untuk mengatasi kepentingan dan perlawanan musuh.
Salah satu jasa penting dari sosialisme ilmiah adalah menemukan kekuatan sosial tersebut di dalam kelas proletar, dan menunjukkan bahwa kelas ini, yang niscaya berkembang seiring dengan kapitalisme, hanya dapat menemukan pembebasannya di dalam sosialisme, bahwa posisi kelas proletar mendorongnya ke sosialisme dan bahwa doktrin sosialisme akan menjadi ideologi kelas proletar di kemudian hari.
Oleh karena itu, mudah untuk memahami keterbelakangan Atlanticus ketika dia menyatakan bahwa: kalau sudah terbukti bahwa “dengan memindahkan alat-alat produksi ke tangan Negara, kemakmuran rakyat dapat terjamin dan hari-kerja berkurang, maka tidaklah penting sama sekali bila teori konsentrasi kapital dan menghilangnya kelaskelas menengah terbukti atau tidak”.
Menurut Atlanticus, segera setelah keunggulan sosialisme telah terbukti, “tidaklah berguna sama sekali untuk memikirkan perkembangan ekonomi, kita harus memulai investigasi-investigasi yang luas dan memulai [!] persiapan yang luas dan teliti untuk transisi dari sistem produksi swasta ke sistem produksi ‘sosial’ atau negara.”[7]
Dengan menentang taktik-taktik oposisi kaum Sosial Demokrat dan menyarankan segera ‘memulai’ persiapan transisi ke sosialisme, Atlanticus lupa bahwa kaum Sosial Demokrat masih belum memiliki kekuatan untuk melakukan hal tersebut, dan bahwa Wilhem II, Bülow[8], dan mayoritas di Reichstag[9] Jerman, walaupun mereka memiliki kekuasaan di tangan mereka, tidak memiliki keinginan sama sekali untuk memperkenalkan sosialisme. Rencana sosialisnya Atlanticus tidaklah meyakinkan Hohenzollern[10] seperti halnya rencananya Fourier tidaklah meyakinkan Bourbon[11]. Walaupun rencananya Fourier berdasarkan fantasi di bidang teori ekonomi, sedangkan rencana politik utopisnya Atlanticus berdasarkan pembukuan filistin.
Sedalam apa diferensiasi sosial harus tercapai supaya syarat kedua untuk sosialisme dapat terpenuhi? Dalam kata lain, seberapa besar jumlah relatif kaum proletar yang dibutuhkan? Apakah kaum proletar harus berjumlah setengah, duapertiga, atau 90% dari populasi? Adalah mustahil untuk mencoba menetapkan limit aritmetika dari syarat kedua ini. Pertama-tama, dalam usaha kita untuk menetapkan jumlah kaum proletar yang dibutuhkan, kita harus menentukan siapa yang masuk ke kategori ‘kaum proletar’. Apakah kita harus mengikutsertakan kelas semi-proletar dan semi-tani yang besar? Apakah kita harus mengikutsertakan pasukan proletar cadangan di kota (para penganggur) – yang pada satu pihak melebur dengan kaum lumpenproletar parasit pengemis dan pencuri, dan pada pihak yang lain memenuhi jalan-jalan kota sebagai pedagang-pedagang kecil yang memainkan peran parasit dalam sistem ekonomi secara keseluruhan? Pertanyaan ini bukanlah pertanyaan yang mudah sama sekali.
Kekuatan kaum proletar tergantung sepenuhnya pada peran yang mereka mainkan di produksi skala besar. Dalam perjuangannya untuk mendapatkan dominasi politik, kaum borjuasi mengandalkan kekuatan ekonominya. Sebelum mereka mampu mengamankan kekuatan politik, mereka mengkonsentrasikan alat-alat produksi bangsa ke tangannya sendiri. Inilah yang menentukan bobot sosialnya di dalam masyarakat. Sedangkan kaum proletar akan dilucuti kepemilikan alat-alat produksinya sampai tiba saatnya revolusi sosialis. Kekuatan sosial kaum proletar datang dari kenyataan bahwa alat-alat produksi yang ada di tangan kaum borjuasi hanya bisa dijalankan oleh kaum proletar. Dari sudut pandang kaum borjuasi, kaum proletar juga merupakan salah satu alat produksi, yang bersama-sama dengan alat-alat produksi lainnya membentuk sebuah mekanisme tunggal. Akan tetapi, kaum proletar adalah satu-satunya bagian non-otomatis dari mekanisme ini, dan tidak ada usaha apapun yang dapat mengubahnya menjadi otomatis. Posisi ini memberikan kaum proletar kekuatan untuk menghentikan seluruh atau sebagian fungsi ekonomi masyarakat melalui mogok umum atau mogok parsial. Dari sini, jelas kalau kekuatan kaum proletar – dengan jumlah yang sama – meningkat seiring dengan jumlah kekuatan-kekuatan produksi yang mereka gerakkan. Dalam kata lain, bila semua kondisi adalah sama, maka seorang proletar di sebuah pabrik besar mempunyai bobot sosial yang lebih besar dibandingkan seorang pekerja pengrajin tangan; dan seorang buruh di kota mempunyai bobot sosial yang lebih besar dibandingkan seorang buruh di desa. Dalam kata lain, peran politik kaum proletar menjadi semakin penting seiring dengan semakin besarnya dominasi produksi skala-besar atas produksi kecil, semakin besarnya dominasi industri atas pertanian, dan semakin besarnya dominasi kota atas desa. Bila kita ambil sejarah Jerman atau Inggris pada periode dimana proporsi kaum proletar di negeri-negeri ini sama dengan proporsi kaum proletar di Rusia, kita akan melihat bahwa kaum proletar Jerman atau Inggris saat itu bukan hanya tidak memainkan, tetapi juga karena keadaan objektifnya, tidak mampu memainkan peran yang dimainkan kaum proletar Rusia sekarang ini.
Kita juga melihat hal yang sama dalam peran kota-kota. Ketika di Jerman populasi kota hanyalah 15% dari seluruh populasi negeri – seperti halnya hari ini di Rusia – kita tidak dapat membayangkan kota-kota Jerman memainkan peran ekonomi dan politik seperti yang dimainkan oleh kota-kota Rusia hari ini. Konsentrasi institusi-institusi industri dan komersial yang besar di kota-kota, dan komunikasi antara kota-kota dan provinsi-provinsi melalui sistem rel kereta api, telah memberikan kota-kota kita sebuah pengaruh yang jauh lebih besar daripada jumlah penduduknya. Perkembangan pengaruh mereka telah jauh melebihi pertumbuhan populasinya, dan pertumbuhan populasi di kota telah melebihi pertumbuhan populasi bangsa secara keseluruhan … Di Itali pada 1848, jumlah pengrajin tangan – bukan hanya kaum proletar tetapi juga para ahli-tukang independen – adalah sekitar 15% dari populasi, tidak kurang dari proporsi para pengrajin tangan dan kaum proletar di Rusia sekarang ini. Tetapi peran yang dimainkan oleh mereka sangatlah lebih kecil dibandingkan peran yang dimainkan oleh kaum proletar industri moderen Rusia.
Dari apa yang sudah dipaparkan, jelas bahwa usaha untuk menentukan terlebih dahulu proporsi kaum proletar yang dibutuhkan untuk menaklukkan kekuasaan politik adalah usaha yang sia-sia. Sebagai gantinya, kita akan memberikan beberapa statistik kasar yang menunjukkan kekuatan numerikal relatif dari kaum proletar di negeri-negeri maju sekarang ini. Populasi Jerman yang bekerja pada tahun 1895 adalah 20.500.000 (tidak termasuk tentara, pegawai negeri, dan orang-orang tanpa pekerjaan yang jelas). Dari angka tersebut, ada 12.500.000 proletar (termasuk pekerja-upahan di cabang pertanian, industri, komersial, dan pelayanan domestik); jumlah buruh industri dan buruh tani adalah 10.750.000. Dari 8.000.000 yang tersisa, banyak yang juga merupakan kaum proletar, seperti buruh di industri-industri domestik, buruh anggota keluarga, dsb. Jumlah pekerja-upahan di pertanian adalah 5.750.000. Populasi pertanian adalah 36% dari jumlah populasi bangsa. Angka-angka ini adalah untuk tahun 1895. Sebelas tahun telah berlalu, dan perubahan besar niscaya telah terjadi – yang meningkatkan proporsi populasi urban dibandingkan populasi pertanian (pada 1882, populasi pertanian adalah 42%), yang meningkatkan proporsi buruh proletar industri dibandingkan buruh proletar tani, dan akhirnya, yang meningkatkan jumlah kapital produktif per buruh industri dibandingkan pada 1895. Tetapi, bahkan statistik tahun 1895 menunjukkan bahwa kaum proletar Jerman sudah merupakan kekuatan produksi dominan di negerinya.
Belgia, dengan populasi 7 juta, adalah murni negara industri. Dari setiap seratus orang yang bekerja, 41 orang benar-benar bekerja sebagai buruh industri, dan hanya 21 orang bekerja di pertanian. Dari kira-kira 3 juta orang yang bekerja, kira-kira 1,8 juta atau 60% adalah proletar. Angka-angka ini akan tampak lebih jelas bila kita tambahkan ke kaum proletar Belgia elemen-elemen sosial yang berhubungan dengannya – yakni yang disebut sebagai produsen-produsen “independen” yang hanya independen dalam bentuk saja tetapi sebenarnya diperbudak oleh kapital, birokrat-birokrat bawahan, tentara, dll.
Tetapi ranking pertama untuk industrialisasi ekonomi dan proletarianisasi populasi harus diberikan kepada Inggris. Pada 1901, jumlah penduduk yang bekerja di pertanian, perhutanan, dan perikanan adalah 2.300.000, sedangkan di industri, komersil, dan transportasi adalah 12.500.000. Maka dari itu, kita lihat bahwa di negeri-negeri Eropa utama populasi kota lebih besar daripada populasi pedesaan. Tetapi keunggulan utama dari populasi urban bukan hanya datang dari jumlah kekuatan produksi yang dimilikinya, tetapi juga dari komposisi kualitatifnya. Kota menarik dari desa elemen-elemen yang paling enerjetik, paling mampu, dan paling pintar. Untuk membuktikan ini secara statistik adalah sulit, walaupun perbandingan komposisi usia antara kota dan desa adalah bukti tidak langsung untuk ini. Di Jerman pada 1896, ada 8 juta orang yang bekerja di pertanian dan 8 juta orang di industri. Tetapi bila kita membagi populasi ini berdasarkan kelompok umur, kita melihat bahwa untuk kelompok umur 14-40, jumlah buruh industri 1 juta lebih banyak daripada buruh tani. Ini menunjukkan bahwa hanya “orang tua dan anak-anak” yang tinggal menetap di pedesaan.
Semua ini mendorong kita ke kesimpulan bahwa perkembangan ekonomi – yakni pertumbuhan industri, pertumbuhan perusahaan-perusahaan besar, pertumbuhan kota-kota, dan pertumbuhan kaum proletar secara umum dan kaum proletar industri khususnya – telah mempersiapkan arena bagi kaum proletar bukan hanya untuk perjuangan politik tetapi juga untuk perebutan kekuasaan politik.
3. Sekarang kita tiba pada syarat ketiga sosialisme, yakni kediktatoran proletariat. Politik adalah sebuah arena dimana syarat-syarat objektif sosialisme bersinggungan dengan syarat-syarat subjektif sosialisme. Di bawah kondisi-kondisi sosial-ekonomi tertentu, sebuah kelas secara sadar merangkul sebuah tujuan – yakni perebutan kekuasaan politik; ia menyatukan kekuatan-kekuatannya, mengukur kekuatan musuhnya dan mengukur situasi. Bahkan di dalam syarat ketiga ini, kaum proletar tidaklah sepenuhnya bebas. Selain faktor-faktor subjektif – kesadaran kelas, kesiapan, dan inisiatif, yang perkembangannya mempunyai logikanya tersendiri – kaum proletar dalam melaksanakan kebijakannya akan dihadapkan dengan faktor-faktor objektif seperti kebijakan kelas penguasa dan institusi-institusi Negara (seperti tentara, sekolah, dan gereja), hubungan internasional, dsb.
Kita akan membahas pertama-tama kondisi subjektif: kesiapan kelas proletar untuk revolusi sosialis. Tentu saja, tidaklah cukup kalau tingkat teknologi sudah membuat ekonomi sosialisme lebih unggul dari sudut pandang produktivitas tenaga kerja sosial. Juga, tidaklah cukup kalau diferensiasi sosial yang berdasarkan tingkat teknologi ini telah menciptakan kelas proletar yang merupakan kelas utama karena jumlah dan peran ekonominya, dan yang secara objektif tertarik pada sosialisme. Kelas ini juga harus sadar akan kepentingan-kepentingan objektifnya; kelas ini juga harus memahami bahwa tidak ada jalan keluar baginya kecuali melalui sosialisme; kelas ini juga harus bersatu di dalam sebuah pasukan yang cukup kuat untuk menaklukkan kekuasaan politik di dalam perang terbuka.
Akan sangat bodoh bila sekarang kita menyangkal perlunya kaum proletar untuk mempersiapkan dirinya dengan cara ini. Hanya kaum Blanquist[12] yang ketinggalan jaman yang dapat mengharapkan pembebasan melalui inisiatif organisasi konspirasi yang mengambil bentuk secara independen dari massa; atau kebalikan dari kaum Blanquist, yakni kaum anarkis, yang mengharapkan kebangkitan massa yang spontan dan alami, yang akhir ceritanya tidak ada yang tahu. Kaum Sosial-Demokrat berbicara mengenai penaklukan kekuasaan sebagai aksi sadar dari sebuah kelas revolusioner.
Tetapi banyak ideolog-ideolog sosialis (ideolog dalam arti yang buruk, yakni mereka yang menjungkirbalikkan semuanya) berbicara mengenai mempersiapkan kaum proletar untuk sosialisme dengan memperbaharui nilai moral kaum proletar. Kaum proletar, dan bahkan ‘umat manusia’ secara umum, pertama-tama harus menyingkirkan tabiat egoisnya, dan kebajikan harus menjadi nilai yang utama di dalam kehidupan masyarakat, dsb. Karena kita masih jauh dari ini, dan ‘tabiat manusia’ berubah dengan sangat lambat, maka sosialisme harus ditunda untuk beberapa abad. Sudut pandang seperti ini mungkin tampak sangat realistis dan evolusioner, dsb., tetapi sebenarnya ini hanyalah moralisasi yang dangkal.
Ini berasumsi bahwa psikologi sosialisme harus dikembangkan sebelum datangnya sosialisme, dalam kata lain adalah mungkin bagi rakyat untuk memperoleh psikologi sosialisme di bawah kapitalisme. Di sini kita tidak boleh membingungkan perjuangan menuju sosialisme dengan perjuangan menuju psikologi sosialisme. Perjuangan menuju psikologi sosialisme mensyaratkan ketiadaan motif egois di dalam kehidupan ekonomi; sedangkan perjuangan menuju sosialisme lahir dari psikologi kelas kaum proletar. Seberapa banyakpun titik kontak antara psikologi kelas proletar dan psikologi sosialis masyarakat tanpa-kelas, sebuah jurang yang dalam memisahkan mereka.
Perjuangan bersama melawan eksploitasi telah melahirkan tunas-tunas muda idealisme, solidaritas kamerad dan pengorbanan-diri yang luarbiasa. Tetapi pada saat yang sama, perjuangan tiap-tiap orang untuk hidup, jurang kemiskinan yang dalam, perbedaan strata di dalam kelas buruh sendiri, tekanan dari massa rakyat yang bodoh, dan pengaruh korupsi dari partai-partai borjuis tidak mengijinkan tunas-tunas muda ini untuk berkembang sepenuhnya. Akan tetapi, walaupun mereka tetap bodoh dan egois, dan ‘kemanusiaannya’ tidak melampaui wakil-wakil kelas borjuasi, rata-rata kaum buruh tahu dari pengalamannya bahwa kebutuhan dasar dan keinginan alaminya hanya bisa dipenuhi di atas reruntuhan sistem kapitalisme.
Kaum idealis membayangkan sebuah generasi masa depan yang jauh yang layak meraih sosialisme seperti halnya orang Kristen membayangkan komunitas Kristen yang pertama.
Apapun psikologi penganut Kristen yang pertama (kita tahu dari kitab rasul adanya kasus-kasus penggelapan barang milik komunal), ketika agama Kristen menjadi lebih tersebar ia bukan hanya gagal memperbaharui jiwa-jiwa orang, tetapi sendirinya menjadi bangkrut, menjadi materialistik dan birokratik; dari ajaran penuh rasa persaudaraan ia berubah menjadi ajaran papalism (kePausan)[13], dari pengemis pengembara menjadi kebiaraan yang parasitik. Pendek kata, agama Kristen tidak hanya gagal untuk mengubah kondisi sosial, tetapi ia sendiri diubah oleh kondisi-kondisi sosial dimana ia menyebar. Ini bukan karena ketidakmampuan para pendeta dan guru Kristen atau keserakahan mereka, tetapi ini adalah konsekuensi dari hukum yang tidak terelakkan: ketergantungan psikologi manusia pada kondisi-kondisi kehidupan sosial dan ekonomi, dan para pendeta dan guru Kristen ini menunjukkan ketergantungan tersebut di dalam diri mereka.
Bila sosialisme bertujuan untuk menciptakan sebuah tabiat manusia yang baru di dalam batasan sistem kemasyarakatan yang lama, maka sosialisme tidaklah lebih dari utopia moralis tipe baru. Sosialisme tidak bertujuan untuk menciptakan sebuah kesadaran sosialis sebagai sebuah syarat untuk menciptakan sosialisme, tetapi sosialisme bertujuan untuk menciptakan kondisi-kondisi kehidupan sosialis sebagai syarat untuk membentuk kesadaran sosialis.
Disadur dari “Hasil dan Prospek”, Bab 7: Syarat-Syarat Sosialisme. Leon Trotsky, 1906.
[1] Nicolas Rozhkov (1868-1927) adalah seorang profesor sejarah di Universitas Moskow
[2] N. Rozhkov, Mengenai Masalah Agraria, hal. 21 dan 22 – L.T.
[3] Mikhaylo Tugan-Baranovsky (1865-1919) adalah seorang profesor ekonomi dari Ukrania. Ia menyatakan bahwa krisis over-produksi tidaklah mungkin terjadi di rejim kapitalis.
[4] John Bellers (1654-1725) bukanlah seorang anggota parlemen Inggris, ia adalah anggota Quaker yang mempublikasikan rencananya di sidang parlemen – Proposals for Raising a College of Industry of All Useful Trades and Husbandry, 1695.
[5] Charles Fourier (1772-1837) adalah seorang sosialis utopis dari Prancis. Ia menunjukkan kontradiksi antara retorika “liberty, fraternity, and equality” dengan realitas kapitalisme.
[6] Nama samaran Karl Ballod, seorang ahli ekonomi Jerman.
[7] Atlanticus, The State of the Future, dipubikasikan oleh Deylo, St. Petersburg 1906, hal. 22 dan 23 – L.T.
[8] Bernhard von Bülow (1849-1929) adalah Kanselir dari Kerajaan Jerman dari tahun 1900 hingga 1909
[9] Reichstag adalah gedung parlemen Jerman.
[10] Hohenzollern adalah keluarga bangsawan yang memegang kekuasaan di Prusia, Jerman, dan Rumania semenjak 1100. Di Jerman dan Prusia, tahta kerajaan mereka ditumbangkan oleh Revolusi Jerman 1918. Di Romania, pada 1947 mereka ditumbangkan oleh gerakan Komunis.
[11] Bourbon (1272 – ) adalah sebuah keluarga bangsawan Eropa yang memegang takhta kerajaan di Prancis, Spanyol, Naples, Sicily, dan Parma.
[12] Kaum Blanquist adalah orang yang mempercayai bahwa sebuah kelompok revolusioner yang kecil, yang bersifat konspirasi, dapat menumbangkan sosialisme dan membawa sosialise. Ini adalah tren pemikirin di dalam gerakan sosialis yang dipimpin oleh Louis Auguste Blanqui.
[13] Papalism adalah sebuah frase yang digunakan untuk mengindikasikan kebangkrutan gereja Katolik, dimana gereja Katolik menjadi semacam kediktatoran di bawah Paus dan bawahannya.