Berbagai pemberitan korupsi tidak henti-hentinya menghiasi media kita. Bahkan rakyat sudah terlalu bosan dijejali dengan berbagai upaya penyelesaian yang tak ada ujung pangkalnya. Skandal Bank Century dan skandal korupsi yang terkuak akhir-akhir ini mengguncang partai-partai borjuis dan yang lebih hangat lagi kasus skandal suap yang melanda partai borjuis Islamis – sebut saja PKS. Partai yang mengusung jargon Bersih dan Peduli pun tidak lepas dari wabah skandal suap. Bekas Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang juga menjabat sebagai Anggota Komisi Pertahanan DPR, Luthfi Hasan Ishaaq, diduga telah menerima suap terkait dengan impor daging sapi. Bukan hal yang asing lagi bahwa bisnis gelap ini banyak mengisi kantong-kantong kas para penjabat.
Seluruh aktivitas percaloan bisnis sampai percaloan impor daging sapi justru dikuasai oleh mereka yang duduk di kursi pemerintahan. Mungkin kedengarannya sepele mengenai impor daging sapi. Tetapi, di tengah mahalnya harga kebutuhan pokok, khususnya melonjaknya harga daging yang tidak terjangkau oleh rakyat, perdagangan daging sapi menjadi sasaran yang empuk bagi para importir. Harga daging di pasaran bisa menembus sekitar Rp. 85.000,- per kilogram, sedangkan daging impor lebih murah, yakni Rp. 65.000,- per kilogram. Inilah yang membuat pengusaha import daging mulai melirik pasar Indonesia, yang lantas membuat sedikit banyak membuat peternak sapi mengalami pukulan yang telak karena semua pasar dibanjiri oleh daging import.
Suap dan disuap adalah pemandangan dari aktivitas dari para politisi borjuis kita. Untuk mempermudah akses masuk daging import, pengusaha harus merogoh kocek untuk melicinkan jalan bisnis-bisnisnya. Tidak hanya permasalahan daging saja, bahkan kebanyakan kasus seperti proyek-proyek kontruksi besar (perumahan, jembatan, jalan tol, dsb), para pengusaha kontruksi perlu membeli penjabat-penjabat pemerintahan untuk mempermudah izin pembangunan. Agar kontrak diberikan, penjabat tertentu harus disuap. Jika pengusaha ingin mendapatkan konsesi dalam pembangunan proyek, mereka harus membangun koneksi dengan penjabat tinggi lainnya sehingga jalannya dipermudah. Istilahnya, politisi borjuis dan pengusaha sama-sama menikmati keuntungan ini. Hal inilah yang membuat pengusaha menggunakan ekses-ekses di dalam institusi borjuis, yakni Negara. Hubungan antara kaum borjuasi dengan Negara adalah hubungan borjuis dengan institusinya. Kondisi ini menegaskan kembali bahwa “Eksekutif negara modern,” seperti Marx dan Engels jelaskan, “hanyalah sebuah komite untuk mengelola urusan umum dari seluruh kaum borjuis”.
Kasus yang akhir-akhir ini terkuak menambah sederetan permasalahan korupsi yang tak kunjung usai yang tidak hanya menambah akumulasi kegeraman di antara massa tetapi juga mulai mengusik sendi-sendi demokrasi borjuis dan institusinya, meskipun sudah ada usaha untuk membersihkan aparatur negara dari korupsi. Hadirnya KPK adalah wujud dari ketakutan kaum borjuasi akan nasib negara yang dipertahankannya. Meskipun KPK mampu menahan beberapa koruptor, tetapi para koruptor masih menikmati hak-hak istimewa walaupun dalam penjara. Proses pengadilan yang lama dan berbelit-belit kadang juga lolos dari proses pengadilan, berbeda dengan proses pengadilan bagi kasus Rasminah, seorang nenek pembantu rumah tangga dari Tangerang yang harus menjalani hukuman penjara karena dituduh mencuri piring. Kontras yang nyata mengungkapkan dengan jelas bahwa di bawah kapitalisme hanya ada satu hukum untuk orang kaya dan satu lagi untuk orang miskin. Rakyat cukup mengetahui ini dengan baik. Cepat atau lambat, keabsahan Negara akan dipertanyakan.
Demokrasi borjuis hanya dinikmati oleh segelintir dari mereka yang mempunyai uang. Demokrasi ini menekan semua partisipasi rakyat dan menguntungkan bagi mereka yang mampu membelinya. Tidak ayal setiap pemilihan elektoral biaya politik ini sangat besar. Usaha-usaha untuk memperbaiki demokrasi ini adalah seperti percikan air di tengah samudra yang luas. Demokrasi ini telah cacat di mata rakyat dan sudah selayaknya dikirim ke museum sejarah.
Merosotnya angka pemilih dalam pemilu mendatang menghantui para politisi borjuis ini. Mereka takut kalau partainya tidak mampu meraup kapital politik pada 2014 mendatang. Ketidakpercayaan rakyat terhadap partai-partai borjuis ditunjukkan di dalam data survey yang menunjukkan pada akhir tahun lalu menempatkan Golkar pada urutan teratas dengan persentase 21,3 persen, disusul PDIP 18,2 persen, di posisi ketiga Demokrat dengan 8,3 persen, Gerindra 7,2 persen, dan PKB 5,6 persen. Presentase ini bukan presentase yang final bahkan tingkat presentase ketidakpercayaan rakyat terhadap partai-partai politik borjuasi ini bisa jauh lebih besar.
Partai Demokrat sebagai partai klas penguasa meyumbang lebih besar ketidakpuasan rakyat karena kebijakan-kebijakan penghapusan subsidi BBM dan juga kasus korupsi yang menjerat Ketua Umumnya sebagai tersangka. Reputasi partai ini terancam turun dalam pemilihan elektoral 2014 mendatang yang membuat cemas di dalam jajarannya.
Hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa tingkat ketidakpercayaaan rakyat terhadap partai-partai borjuis akan bertambah lebih besar. Hal ini tereflesikan baru-baru ini melalui Jokowi-Ahok yang dianggapnya bersih dan mewakili kepentingan rakyat Jakarta. Tapi seluruh politisi borjuis dari yang paling bersih adalah mereka yang mewakili kepentingan klas mereka, didikte oleh perspektif ekonomi mereka, yang akan segera menemui konflik dengan rakyat pekerja ketika rakyat pekerja menyatakan tuntutan yang mengusik hak-hak istimewanya.
Legitimasi demokrasi borjuis sudah mulai berguguran dan di atas semua itu juga legitimasi terhadap sistem. Rakyat yang mulai tidak percaya kepada politisi mereka lambat laun akan dapat ditemui di dalam pergeseran kesadaran.
Tugas-tugas mengakhiri semua permasalahan negeri ini terletak di punggung kelas buruh sebagai garda depan bangsa. Mengganti semua institusi borjuis dengan institusi kelas buruh. Tidak ada ilusi bagi rakyat untuk perjuangan kembali pada demokrasi borjuis. Demokrasi yang selalu menempatkan minoritas pemilik alat-alat produksi yang berkuasa atas masyarakat. Setiap perjuangan demokrasi yang sejati harus dimulai dari pengambilalihan perusahaan-perusahan besar yang menguasai hajat hidup orang banyak di bawah kontrol rakyat pekerja dan direncanakan secara demokratis. Dengan cara ini perjuangan untuk melawan korupsi dan terhadap institusi borjuis terikat dengan perjuangan emansipasi rakyat pekerja dan sosialisme.
6 Februari 2013