Gebrakan May Day tahun ini sungguh tidak main-main. 200 ribu buruh melumpuhkan daerah Jakarta Pusat, dan 500 ribu turun di seluruh Indonesia. Pabrik-pabrik tutup, bandara terblokir, dan penguasa pun ketakutan – presiden kita lari ke Surabaya daripada menemui 200 ribu buruh yang mengepung istananya. Dia juga menjanjikan 1 Mei tahun depan sebagai libur nasional, karena para penguasa memilih lebih baik meliburkan hari tersebut daripada buruh secara aktif dan sadar melakukan mogok pada 1 Mei untuk bisa aksi. Dengan meliburkan 1 Mei mereka berharap dapat meredam radikalisasi massa dan menyalurkan aksi Hari Buruh ke saluran-saluran yang aman.
Sementara, sebuah editorial dari koran Jakarta Globe, bacaan kaum kelas menengah ke atas (dokter, pengacara, manajemen, akademisi atau elit terdidik, pedagang dan pengusaha menengah, dll.) mengeluh mengenai kelas menengah yang diam saja, apatis, dan impoten di hadapan masalah-masalah bangsa yang semakin pelik. Di lain pihak, massa buruh sedang bergerak, mencoba tidak hanya menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri (upah dan outsourcing) tetapi juga masalah-masalah bangsa secara umum (kenaikan BBM, masalah demokrasi yakni RUU Kamnas, dan masalah kesehatan rakyat).
Ini semua menunjukkan kekuatan buruh sebagai kelas yang dapat – dan harus – memimpin bangsa ini. Lihat saja, kelas atau sektor lain mana yang bisa melakukan aksi massa sebesar buruh, yang terorganisir dan disiplin, yang mampu menggoncang seluruh bangsa? Apa kelas menengah yang lemah dan tidak bertulang punggung? Saudara-saudara tertindas kita yang lain pun – seperti tani, nelayan, dan kaum miskin kota – tidak mampu menandingi kekuatan buruh yang masif ini. Ini bukan berarti kita lalu sombong dan mengecilkan saudara-saudara tertindas lainnya, tetapi ini berarti tanggung jawab yang lebih besar bagi kita untuk merangkul kelas-kelas tertindas lainnya dan menunjukkan bahwa kelas buruh lah yang dapat, secara konsisten dan jujur, memimpin perjuangan seluruh kelas tertindas. Hanya dengan kemenangan kelas buruh atas pemilik modal maka seluruh permasalahan bangsa ini dapat terselesaikan. Hanya dengan buruh berkuasa, secara ekonomi dan politik, maka rakyat dapat sejahtera. Gelombang buruh pada 2 tahun belakangan ini harus membuat kita semua semakin sadar akan tugas historis kelas buruh: berkuasa! Semua perjuangan kita, semua kegiatan kita, dari yang kecil dan tampak membosankan sampai yang besar, semua kemenangan dan bahkan kekalahan kita dan pelajaran yang kita dapati darinya, semua ini harus mempersiapkan kita untuk tugas historis ini.
Krisis kapitalisme global yang meledak pada 2008 belumlah surut juga, dan bahkan semakin mendalam. Negeri-negeri besar di Amerika dan Eropa, yang selama puluhan tahun tampak jaya dan tidak dapat tergoyahkan, sekarang seperti orang pesakitan, mati segan hidup tak mau. Seluruh Uni Eropa ekonominya akan menyusut 0,4% tahun ini, dengan tingkat pengangguran 12%. Di Yunani dan Spanyol, pengangguran sudah tembus 25%. Bayangkan satu dari empat orang yang kamu kenal menganggur. Di Amerika, tingkat pengangguran adalah sebesar 7,5% dan tidak beranjak turun sejak 2008. Tidak ada satupun pemerintahan yang dapat duduk tenang. Mereka cemas dan tidak tahu bagaimana dapat keluar dari krisis ini. Satu-satunya cara bagi mereka adalah menyerang kelas buruh dengan program penghematan, dan ini sudah menyebabkan gejolak sosial besar. Saudara-saudari kelas kita di sana sudah mulai bergerak juga, walau dengan tempo yang berbeda-beda.
Indonesia, di tengah krisis dunia ini, tampaknya tidak terpukul keras dibandingkan banyak negara-negara lain. Pertumbuhan ekonomi 3 tahun belakangan sekitar 6% per tahun, yang sangat menggiurkan bagi kapitalis Eropa dan AS yang ekonomi negaranya sedang stagnan dan bahkan menyusut. Inilah mengapa terjadi peningkatan investasi asing di Indonesia dalam 2 tahun terakhir, karena krisis di AS dan Eropa membuat para pemodal disana melirik pasar-pasar lain (Indonesia, Vietnam, dll.) yang lebih dapat memberikan profit.
Namun setiap mimpi indah harus berakhir. Hari ini (4/5) sebuah institusi finansial dunia (S&P) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia, dari “positif” menjadi “stabil”. Ini membuat pemerintah kebakaran jenggot. Wakil Menteri Keuangan, Mahendra Siregar, berujar: “Kita terlalu cepat berpuas diri dengan pencapaian yang diperoleh di tengah krisis global.” S&P menurunkan proyeksi ekonomi Indonesia karena pemerintah Indonesia belum juga menaikkan harga BBM.
Pemilik modal, domestik dan asing, mengharapkan laba yang tinggi ketika berinvestasi di Indonesia. Mereka menginginkan pemerintah untuk membangun infrastruktur-infrastruktur yang mereka perlukan, supaya produksi mereka lebih efisien dan murah. Dalam kata lain, supaya mereka bisa memeras keringat buruh dengan lebih efisien. Untuk infrastruktur ini, pemerintah membutuhkan anggaran besar dan ini hanya bisa didapat melalui program penghematan (atau pemotongan subsidi, terutama subsidi BBM). Jadi pada akhirnya, pilihannya adalah dua: subsidi BBM (untuk kepentingan rakyat pekerja) atau “subsidi” infrastruktur (untuk kepentingan pemodal).
Di tengah krisis global ini, bila Indonesia ingin terus dapat tumbuh, maka ia harus membuat iklim investasi sangat baik, dalam kata lain harus terus membuat kebijakan yang memungkinkan setiap tetes keringat buruh dapat diperas. Krisis global ini, oleh karenanya, akan membuat kontradiksi di Indonesia semakin menajam. Kalau subsidi BBM tidak dicabut maka ekonomi akan menurun, dan ini dapat menciptakan gejolak sosial. Bila subsidi BBM dicabut, ini juga dapat – dan hampir dipastikan – menciptakan gejolak sosial. Jadi kelas penguasa kita ada dalam situasi yang sangat sulit, terjepit di antara dua batu. Pada akhirnya rakyat pekerja juga yang akan menderita.
Tuntutan awal gerakan buruh jelas harus menolak kenaikan BBM, dan memimpin gerakan ini seperti Maret lalu. Tetapi berhenti di sini saja tidak cukup karena seperti yang dijelaskan di atas logika kapitalisme tidak memberikan jalan keluar bagi rakyat pekerja. Bila subsidi BBM tidak dipotong, investasi modal akan semakin melambat – dan ekonomi menurun – karena pemilik modal menginginkan pemerintah membangun infrastruktur untuk mereka dengan menggunakan uang subsidi BBM. Inilah logika kapitalisme yang hanya memberikan dua pilihan bagi kita: subsidi BBM atau “subsidi” infrastruktur.
Kita harus mempersiapkan barisan kita dengan menjelaskan bahwa ada pilihan lain, bahwa kita bisa terus mempertahankan subsidi BBM dan pada saat yang sama mempertahankan pembangunan infrastruktur untuk kepentingan rakyat pekerja. Pilihan alternatif ini hanya memungkinkan kalau kita bertindak di luar logika kapitalisme. Kalau ada seorang penjahat mengancam kita dengan pistol, cara terampuh untuk melawan mereka adalah merebut senjata mereka. Senjata utama pemilik modal adalah modal atau kapital mereka, dan dengan modal ini mereka mengancam rakyat pekerja. Kalau tidak potong subsidi BBM, kita akan mogok kapital dan tutup pabrik; seperti biasa mereka mengancam tutup pabrik kalau buruh menuntut upah layak. Jadi kita harus merebut modal dari tangan mereka dan menciptakan pilihan kita sendiri dan tidak didikte oleh mereka. Dengan ekonomi di tangan rakyat, yang lalu direncanakan secara demokratis dan bukan berdasarkan pasar bebas, kita bisa terus mensubsidi BBM dan kebutuhan rakyat lainnya, dan pada saat yang sama membangun infrastruktur dan pabrik-pabrik. Inilah kesimpulan yang harus kita capai dan harus kita jelaskan kepada buruh luas.
Sebuah benturan baru sedang dipersiapkan. Buruh telah bersiap mogok nasional pada 16 Agustus nanti kalau tuntutan-tuntutan mereka tidak dipenuhi, dan mereka juga sudah siap menolak segala bentuk kenaikan BBM. May Day ini buruh telah menunjukkan taring mereka sekali lagi, dan kelas penguasa harus berpikir seribu kali sebelum bisa melakukan serangan terbuka terhadap kepentingan buruh. Tetapi kita jangan berpuas diri. May Day ini kita jadikan batu pondasi untuk tujuan yang lebih besar dan mulia, yakni berkuasanya buruh secara revolusioner.