Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, sudah menginstruksikan kepada semua gubernur, bupati dan wali kota di seluruh Indonesia untuk melakukan sosialisasi terhadap rencana kenaikan harga BBM. Instruksi Menteri ini bukan semata-mata agar masyarakat mengetahui bahwa dalam waktu dekat pemerintah akan merealisasikan rencana kenaikan BBM, tetapi juga sebagai langkah antisipasi dan penanganan terhadap gejolak sosial yang akan terjadi.
Ya, gejolak sosial pasti akan terjadi karena kebijakan pemerintah ini sungguh tidak populer. Gerakan buruh yang dalam satu tahun belakangan ini telah menjadi semakin besar sudah mengancam akan turun untuk menentang kenaikan BBM. Penjelasan yang paling logis pun, menurut pemerintah, mengenai penghapusan subsidi BBM tetap tidak masuk akal di mata dan pikiran rakyat. Persepsi sederhana dari rakyat mengenai Negara adalah bahwa Negara harus tetap memberi subsidi pada kebutuhan-kebutuhan vital. Alasan Presiden bahwa “jika beban subsidi BBM tidak dikurangi maka akan mempengaruhi kondisi keuangan Negara” jelas-jelas merupakan argumentasi yang tidak pro rakyat. Sementara pemakluman yang diberikan oleh DPR kepada pemerintah mengenai rencana ini terlihat sarat dengan kepentingan, terutama terkait dengan anggaran untuk DPR. Ucapan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik, mengenai kaitan antara kenaikan harga BBM dan gaji pejabat negara tentulah menjadi pertimbangan tersendiri bagi rakyat untuk membiarkan atau memberi pemakluman kepada pemerintah. “Apabila BBM subsidi tak dinaikkan,” Ucap Jero Wacik, “maka gaji pejabat negara maupun anggota DPR, termasuk para menteri, tidak bisa dibayar oleh negara.”
Masyarakat merespon persoalan ini dengan logika yang sederhana, bahwa penuntasan semua kasus korupsi dapat menyelamatkan keuangan negara; bahwa dengan memberi gaji dan tunjungan yang tidak berlebihan kepada DPR dan pejabat negara, termasuk menteri, juga akan menuntaskan defisit keuangan negara — jika alasan utama kenaikan harga BBM karena kondisi keuangan negara. Jadi di mata rakyat, persoalan ini merupakan persoalan yang mudah diselesaikan jika ada “political will” dari para penyelenggara negara.
Tapi kebijakan ekonomi pro rakyat seperti ini sudah bisa dipastikan tidak akan dijalankan oleh pemerintah. Sistem kapitalisme, terutama ketika ia sedang memasuki krisis global, tidak mengijinkan kebijakan ekonomi yang memberikan konsesi kepada rakyat pekerja. Justru sebaliknya yang kita lihat di seluruh dunia adalah kebijakan penghematan. Kapitalisme, sebagai sistem yang menjunjung tinggi kepemilikan pribadi, akan tetap berpijak di atas logika bisnis dan pasar—untuk kepentingan pribadi—yang disponsori dan diintervensi oleh pemerintah di bawah tekanan kapitalisme global.
Rencana kenaikan harga BBM tak lepas dari kepentingan kapitalisme global untuk membangun lahan investasi yang subur di Indonesia. Untuk bisa mendapatkan profit yang lebih tinggi, para kapitalis membutuhkan sarana dan prasarana ekonomi yang baik, di satu piahk UU yang mendukung investasi (termasuk UU perburuhan) dan di lain pihak adalah infrastruktur ekonomi. Inilah alasan utama dari kenaikan BBM, yakni untuk menciptakan ruang di dalam anggaran pemerintah yang lalu dapat digunakan untuk membangun infrastruktur ekonomi yang diperlukan oleh kaum kapitalis untuk bisnis mereka. S&P, yakni institusi finansial dunia, telah memberikan peringatan kepada pemerintahan Indonesia bahwa bila BBM tidak naik – dan tidak ada investasi infrastruktur yang serius – maka tingkat pertumbuhan ekonomi tidak akan terjamin. Ini bukanlah akal-akalan atau tipuan, tetapi adalah logika kapitalisme. Pada krisis global hari ini, walaupun Indonesia tidak terimbas langsung dan secara besar, ia tetap harus mengikuti logika kapitalis. Subsidi untuk rakyat pekerja harus dikorbankan untuk diberikan kepada kaum kapitalis, untuk menjamin profit mereka. Inilah yang ada di balik semua program penghematan di seluruh dunia hari ini.
Lalu bagaimana? Ya, fakta telah membentuk kesadaran politik kaum buruh. Borjuasi dengan segala program “baik”nya tetap bukan sebagai tempat yang tepat untuk menaruh harapan kaum buruh. Logika dari akumulasi kapital tetap akan menciptakan nilai lebih dengan cara mengeksploitasi kaum proletar; dan menjadikan kaum buruh sebagai komoditas—baik sebagai komoditas di dalam aktifitas ekonomi maupun politik.
Rencana kenaikan harga BBM yang akan direalisasikan dalam waktu dekat bukan saja sebagai bukti ketidakberhasilan pemerintah ataupun seorang pemimpin, tetapi ketidakberhasilan suatu kelas, yakni borjuasi. Jadi penyelesaian fundamental dari persoalan ini bukan dengan mengganti pemimpin atau mencari-cari pemimpin ideal, tetapi dengan menghancurkan sistem yang lama dan diganti dengan sistem yang baru—oleh perjuangan kelas buruh!
Hari ini adalah momentum besar bagi kaum buruh untuk mengkonsolidasi kekuatannya, dengan memberikan kepemimpinan terhadap gerakan menentang kenaikan harga BBM. Pada tahun lalu buruh bisa memukul mundur pemerintah, maka hari ini ketika gerakan buruh telah berlipat ganda dalam jumlah dan kualitas, maka tidak ada alasan mengapa gerakan buruh tidak bisa memukul mundur pemerintah hari ini. Ketidakpercayaan rakyat terhadap kebijakan pemerintah; rasa skeptis rakyat terhadap partai-partai politik yang ada; menurunnya antusiasme rakyat terhadap pemilu 2014; dan juga fakta mengenai gelombang pemogokan buruh yang masif akhir-akhir ini bisa menjadi titik pijak bagi proletariat Indonesia untuk mengambil kepemimpinan politik seluruh bangsa. “Sebuah pemogokan politik kaum proletar harus berubah menjadi sebuah demonstrasi politik massa,” tulis Trotsky, “ini merupakan syarat pertama untuk kesuksesan.”
Energi revolusioner yang sangat besar sudah mulai terbentuk. Energi ini harus dijaga agar tidak menguap begitu saja. Energi ini tidak boleh dihamburkan oleh proletariat di dalam agenda-agenda politik borjuis; tidak boleh dihabiskan untuk kesemarakan pemilu borjuis 2014. Proletariat yang paling maju harus terus mengkonsentrasikan kegeraman, kemarahan, protes-protes, kegusaran, dan kebencian rakyat ke arah pemenuhan tugas historis proletariat, yakni perebutan kekuasaan. Proletariat harus bisa menyatukan seluruh elemen tertindas dengan slogan yang sama, dengan tujuan yang sama, dan di bawah kepemimpinan buruh. Bila perjuangan ini tercapai, maka, setidaknya, setengah revolusi telah tercapai.