Setelah debu pertempuran reda, saatnya kita mencoba melihat ke belakang untuk mengevaluasi perlawanan rakyat pekerja dalam menentang kenaikan BBM beberapa minggu yang lalu. Perasaan emosional, apalagi perasaan kekecewaan dan demoralisasi karena gagal menghentikan kenaikan harga BBM ini, tidak boleh menjadi halangan untuk dapat melihat dengan jernih apa saja yang dapat kita pelajari dari perjuangan ini. Mundur secara teratur setelah terpukul kalah, yang salah satu komponennya adalah evaluasi, merupakan salah satu syarat terpenting untuk bisa maju menyerang lagi di hari depan.
Dasar ekonomi kenaikan harga BBM
Kenaikan harga BBM di Indonesia adalah bagian dari program penghematan kapitalis yang sekarang sedang digulirkan di seluruh dunia. Krisis kapitalis yang meledak pada 2007 sampai hari ini belumlah mereda dan justru menjadi semakin dalam. Bagi kapitalis dunia, tidak ada jalan keluar selain memaksa buruh membayar untuk krisis ini. Kapitalisme hanya bisa keluar dari krisisnya dengan menginjak punggung kaum buruh sampai remuk. Ini berarti memotong anggaran-anggaran sosial – yang merupakan bagian dari upah buruh – dan menyerang pencapaian-pencapaian yang telah dimenangkan oleh buruh. Di seluruh dunia semua pemerintahan kapitalis sedang memotong berbagai subsidi untuk rakyat, yang mereka lakukan dengan tempo yang berbeda-beda tergantung pada tingkat keakutan ekonomi dan situasi politik tiap-tiap negeri. Namun trennya jelas. Periode yang sedang kita masuki adalah periode penghematan. Tidak ada satupun pemerintah di dunia yang bisa bebas dari logika ekonomi kapitalisme. Bahkan di Brasil yang pemerintahannya dipimpin oleh Partai Buruh, mereka terpaksa menaikkan harga transportasi publik, yang lalu menyulut demonstrasi jutaan rakyat. Di Venezuela, pada awal tahun ini Chavez terpaksa melakukan devaluasi mata uang Bolivar, yang berimbas pada naiknya harga barang-barang pokok. Ekonomi Venezuela – terlepas dari kebijakan-kebijakan revolusioner pro-rakyat yang telah mengangkat jutaan rakyat dari lembah kemiskinan – masihlah beroperasi dalam logika kapitalisme karena revolusi ini belumlah menyelesaikan masalah kepemilikan alat-alat produksi. Bahkan kalau Revolusi Venezuela akhirnya berhasil menasionalisasi seluruh perekonomian bangsa dan menjalankannya dengan sistem ekonomi terencana yang demokratis, Venezuela yang sosialis ini masih akan ada di bawah tekanan logika kapitalisme karena ia masih ada di tengah-tengah perekonomian dunia yang masih bersifat kapitalis.
Indonesia bisa terus tumbuh pesat pada periode krisis ini bukanlah karena keunggulan para kapitalis Indonesia dibandingkan para kapitalis Eropa yang ekonominya sekarang terseok-seok, atau karena hebatnya dan pintarnya para penjabat kita. Justru krisis ekonomi dunia lah yang merupakan alasan mengapa ekonomi Indonesia bisa mencetak pertumbuhan 5-6%. Di hampir semua negeri-negeri kapitalis maju, kemandegan ekonomi berarti bahwa tidak ada lagi profit besar yang bisa mereka dapatkan dengan berinvestasi di negeri mereka masing-masing. Di Kanada, korporasi-korporasi besar duduk di atas tumpukan uang sebesar $500 milyar yang tidak mereka investasikan, sampai-sampai Gubernur Bank Kanada, Mark Carnery, mengkritik perusahaan-perusahaan tersebut agar menggunakan uang ini untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang hari ini sangat dibutuhkan. Perusahaan-perusahaan Amerika Serikat menyimpan cadangan uang sebesar $5000 milyar – yakni 5 kali lipat dari ekonomi Indonesia – yang tidak mereka gunakan. Begitu juga di seluruh Eropa. Tidak semua kapital ini duduk diam. Sebagian kecil kapital ini lalu mencari lahan investasi yang masih dapat memberikan keuntungan, dan Indonesia adalah salah satu lahan subur tersebut. Gaji buruh yang murah, serikat buruh yang relatif lemah karena baru lahir kembali setelah 1998, infrastruktur yang cukup kondusif; inilah beberapa alasan utama yang menyebabkan masuknya investasi asing yang besar. Pada 2009, investasi asing hanya sebesar $4,9 milyar, lalu menjadi $18,9 milyar pada 2011, dan lalu $23 milyar pada 2012. Inilah sumber dari pertumbuhan ekonomi 6% selama beberapa tahun terakhir ini, yakni meningkatnya investasi asing yang berarti juga semakin diperasnya nilai lebih dari keringat buruh.
Namun, pertumbuhan ekonomi yang besar ini tidak bisa bertahan selamanya. Di tengah krisis ekonomi dunia, iklim investasi yang baik harus terus ditingkatkan karena negeri-negeri lain seperti Vietnam, Kamboja, Bangladesh, dll. juga terus membuat iklim investasi mereka lebih bersaing. Tiap-tiap negeri sekarang berebutan kapital atau modal yang semakin sulit didapati, dengan berbagai cara seperti menekan upah, melonggarkan UU perburuhan dan lingkungan, membangun infrastruktur industri dan ekonomi dengan mengorbankan anggaran sosial. Mereka semua, termasuk Indonesia, sekarang berlomba-lomba untuk menjadi lebih “kompetitif”.
Inilah basis ekonomi dari pemotongan subsidi BBM, agar anggaran ini dapat digunakan untuk membangun infrastruktur ekonomi dan industri demi kelancaran laba dan profit para pemilik modal asing dan domestik. Pilihannya adalah antara subsidi BBM (untuk kepentingan rakyat pekerja) atau subsidi infrastruktur (untuk kepentingan pemodal). Ini serupa dengan yang terjadi di seluruh dunia, yakni pemotongan subsidi rakyat untuk mensubsidi kapitalis dalam berbagai bentuk: bailout, pajak lebih rendah, pembangungan infrastruktur ekonomi dan industri, dll.
Oleh karenanya adalah kekeliruan besar kalau kita berpikir bahwa pemotongan subsidi ini adalah kebijakan titipan dari asing, seakan-akan kalau tidak ada titipan dari asing ini maka pemerintahan Indonesia bisa meneruskan subsidi BBM ini. Pemotongan subsidi ini adalah konsekuensi logis dari sistem kapitalisme yang hari ini sedang dalam krisis; ia adalah bagian dari periode penghematan yang sedang kita masuki. Lebih keliru lagi kalau kita berpikir subsidi dipotong karena pemerintah melakukan kebohongan terhadap rakyat, seakan-akan kalau pemerintah berlaku jujur maka harga BBM tidak akan naik. Atau, seperti yang diumbar beberapa teknokrat, ini karena pemerintah tidak pintar menyeimbangkan anggaran belanja mereka. Dapat kita temui berbagai rumusan mengenai hitung-hitungan harga BBM – dari yang mendukung sampai yang menentang kenaikan – seakan-akan kenaikan harga BBM ini adalah masalah rumusan mana yang lebih baik dan tepat.
Yang sedang kita hadapi adalah perjuangan antara buruh dan kapitalis untuk memperebutkan nilai lebih, sebuah pertempuran yang telah berlangsung ratusan tahun sejak lahirnya kapitalisme. Subsidi BBM adalah bagian dari upah buruh, bagian dari nilai lebih produksi. Pemotongan subsidi BBM adalah sama dengan pemotongan gaji buruh, sama dengan merebut nilai lebih dari buruh. Para periode krisis kapitalisme perjuangan perebutan nilai lebih ini menjadi lebih tajam karena kapitalis harus memeras lebih banyak nilai lebih dari keringat buruh.
Buruh Bergerak
Perlawanan menentang kenaikan harga BBM ini jelas dipimpin oleh gerakan buruh. Walau ada keterlibatan lapisan rakyat lainnya, tetapi kepemimpinan dan mayoritas massa jelas datang dari buruh. Kelas menengah yang berpendidikan, yang sebelumnya pada gerakan reformasi 1998 adalah sebuah kekuatan politik, hari ini sudah tidak lagi kelihatan sama sekali. Hanya kaum muda mereka saja (kaum mahasiswa) yang terlihat, dan inipun secara sporadik saja dan tidak signifikan. Unsur-unsur kaum miskin kota tercerai berai tidak berbentuk dan tidak terorganisir, yang memang merupakan karakter alami mereka.
Tren ini memang sudah terlihat dalam 1 tahun belakangan ini, dimana kekuatan buruh semakin menunjukkan dirinya sebagai kepemimpinan dalam gerakan rakyat luas. Mereka yang memukul balik rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM pada Maret lalu. Dengan mogok nasional 2 juta buruh, gelombang pemogokan yang semakin militan, aksi May Day 2012 dan 2013 yang masif, buruh menjadi pusat oposisi serius terhadap rejim kapitalis ini. Pengharapan terhadap gerakan buruh untuk dapat memukul mundur pemerintah pun menjadi sangat besar.
Akan tetapi, gerakan buruh bukanlah sesuatu yang bergerak dalam garis lurus, yang dapat terus naik. Pasang naik dan surut adalah sesuatu yang wajar, dan belakangan ini memang sudah terlihat pasang surut gerakan buruh. Namun ini bukan karena massa buruh yang tidak berani. Ini adalah persoalan kepemimpinan. Radikalisasi massa buruh – terutama yang ada di dalam serikat-serikat besar – terbentur dengan kepemimpinan mereka. Adalah sebuah hukum di dalam gerakan buruh dimanapun, bahwa dengan semakin radikalnya massa buruh maka akan menjadi semakin konservatif pemimpin mereka. Ini bahkan dapat terjadi di antara serikat-serikat merah.
Di bawah tekanan dari para anggota mereka, pemimpin-pemimpin reformis ini memobilisasi massa besar-besaran, dengan gerakan sweeping, grebek pabrik, deklarasi MBPI, May Day yang masif, dan sampai pada mogok nasional 2 juta buruh. Namun setelah melepaskan kekuatan buruh ini, para pemimpin reformis dan birokrat ini menjadi khawatir kalau-kalau mereka telah melepaskan sebuah kekuatan revolusioner yang tidak dapat mereka kendalikan dan bendung. Oleh karenanya tidak mengherankan setelah gelombang pemogokan buruh pada tahun lalu kita lihat sejumlah perangkat serikat mulai mencoba membendung luapan militansi anggota mereka. Mereka isolasi dan singkirkan para biang kerok di dalam serikat-serikat mereka, yang mereka tuduh sebagai pembuat onar dan pemecah persatuan. Tentunya “persatuan” yang mereka maksud adalah “persatuan” di bawah otoritas mereka. Di dalam serikat-serikat besar ini mulai terjadi polarisasi antara elemen yang lebih militan (yang mayoritas adalah dari lapisan bawah) dan elemen yang lebih konservatif (yang mayoritas adalah perangkat).
Harus kita tekankan lagi kalau ini bukan masalah karakter ini atau itu dari para pemimpin buruh, bukan masalah apakah para pemimpin ini amanah atau tidak, bijak atau tidak, pemberani atau pengecut. Pada akhirnya ini adalah pertempuran ideologi, antara ideologi revolusioner (Marxisme) dan reformisme di dalam gerakan buruh, yang terjadi secara sadar maupun tidak sadar. Ratusan ribu buruh yang bergerak mulai menemukan kekuatan mereka sendiri, dan secara insting mulai bergerak ke gagasan-gagasan revolusioner dan menggedor batas-batas reformisme. Mereka mulai menuntut aksi-aksi yang lebih luas, lebih militan, dan lebih revolusioner. Para pemimpin buruh yang tidak punya perspektif revolusi, dan hanya perspektif reforma di dalam batasan kapitalisme, tidak dapat memahami gerak kesadaran buruh dan lantas menjadi hambatan perkembangan kesadaran buruh itu sendiri.
Logika inilah yang akhirnya melemahkan aksi penolakan kenaikan harga BBM. Para pemimpin reformis menjadi sangat berhati-hati dalam memobilisasi massanya, kalau-kalau nanti kehilangan kendali seperti yang sempat terjadi pada tahun lalu, dengan gerakan sweeping dan grebek pabrik yang tidak semuanya didukung mereka dengan sepenuh hati. Hanya beberapa ribu massa – sampai kira-kira 10 ribuan – yang diorganisir oleh para pemimpin MPBI untuk aksi penolakan ini, kendati mereka telah mengancam akan melakukan mogok 10 juta buruh kalau BBM dinaikkan. Kekuatan serikat-serikat buruh merah sendirian tidaklah cukup besar dan kuat untuk dapat memukul mundur pemerintah.
Dengan semakin menajamnya perjuangan kelas antara buruh dan kapitalis, akan semakin tajam juga pertentangan antara elemen radikal-revolusioner dan elemen konservatif-reformis di dalam gerakan buruh. Ini adalah sebuah keniscayaan. Perjuangan kita bukan hanya melawan musuh di luar, yakni para kapitalis, tetapi juga elemen-elemen reformis-birokratis di dalam gerakan yang melemahkan kita. Mereka tidak hanya ditemui di dalam serikat-serikat kuning, tetapi juga di dalam gerakan secara umum, yang membungkus dirinya dalam berbagai bentuk. Bahkan dapat dikatakan bahwa satu-satunya alasan mengapa kapitalisme masih terus hidup bercokol adalah karena elemen reformisme di dalam gerakan, yang kerap menumpulkan perjuangan buruh. Reformisme – dan birokratisme yang adalah dua sisi dari koin yang sama – adalah penyelamat kapitalisme, terutama ketika ia sedang memasuki krisis. Reformisme dan birokratisme hanya dapat dilawan dengan gagasan revolusioner atau Marxisme. Ini bukan masalah amanah atau karakter seseorang, tetapi masalah gagasan. Oleh karenanya penempaan politik revolusioner buruh lewat kelas-kelas ekopol atau lingkaran-lingkaran diskusi adalah syarat penting untuk pembebasan buruh dari penindasan kapital.
Akhir Kata
Perlawanan terhadap kebijakan kenaikan harga BBM sudah dilakukan dengan gagah berani oleh buruh. Walaupun BBM tetap naik, tetapi di sisi lain buruh sudah menunjukkan kepemimpinan mereka. Ini adalah satu pencapaian penting untuk hari depan, untuk pemenuhan tugas historis buruh sebagai pemimpin bangsa. Aksi ini, walau gagal, telah menunjukkan bahwa hanya kelas buruh yang dapat memimpin revolusi Indonesia. Segala usaha untuk bersandar pada kelas lain oleh karenanya adalah reaksioner.
Rakyat luas mungkin hari ini tidak bergerak, walaupun mereka mengeluh ketika mengantri di pom bensin, ketika harga sayur naik di pasar. Tetapi mereka melihat di berita-berita bahwa kaum buruh yang terorganisir telah memberikan perlawanan, dan ini akan membekas di kesadaran mereka, dan lalu jadi modal untuk kepemimpinan buruh di hari depan. Fakta ini penting untuk dijelaskan ke kaum buruh, karena setiap kemenangan dan bahkan kekalahan harus dijadikan batu pijakan ke arah kepemimpinan buruh dalam perebutan kekuasaan, dalam menuju sosiailsme.