Artikel ini ditulis pada 14 Mei 2014, seminggu setelah kudeta yudisial pada 7 Mei 2014. Tidak lama kemudian, kudeta militer menyusul pada 22 Mei.
Ketegangan semakin tinggi di Thailand semenjak krisis politik yang telah berlangsung selama beberapa tahun ini mencapai puncaknya. Minggu lalu kudeta yudisial melengserkan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra dan beberapa menterinya.
Namun, Pemrotes oposisi, yang terdiri dari lapisan borjuis kecil perkotaan, menuntut agar seluruh pemerintahan disingkirkan dan diganti oleh sebuah badan yang tidak terpilih, dengan kewenangan untuk membersihkan sistem politik dari partai Pheu Thai yang terpilih secara demokratis. Meskipun dalam cara yang terdistorsi, konflik ini mengekspresikan divisi kelas di Thailand yang hanya dapat diselesaikan melalui gerakan buruh dan tani yang mandiri yang bertujuan untuk merebut kekuasaan untuk dirinya sendiri.
Sejarah Thailand: kudeta di atas, krisis bagi massa
Sejarah politik Thailand didominasi oleh kudeta-kudeta militer. Kekuasaan absolut monarki diakhiri pada tahun 1932 oleh sebuah manuver militer. Menyadari bahwa monarki dapat memainkan peran sebagai benteng reaksi, para pemimpin kudeta mendirikan sebuah rejim monarki konstitusional dengan Majelis Nasional yang setengah ditunjuk dan setengah terpilih secara tidak langsung. Pemilu demokratis secara penuh tidak diizinkan karena pihak militer menganggap massa terlalu bodoh untuk memilih pemerintah mereka sendiri – ini adalah mantra yang sekarang diulang oleh para pengunjuk rasa anti-pemerintah mengenai para petani di Thailand bagian utara.
Dalam cara Bonapartis yang khas, pemerintah militer ini bersandar pada otoritas Raja untuk menopang dirinya sendiri dan menghapus elemen-elemen radikal yang menyerukan nasionalisasi tanah. Namun, ketika konflik dengan monarki muncul, pemerintah tidak ragu-ragu untuk bersandar pada militer untuk menghancurkan kaum royalis dan memperkuat posisi mereka sendiri.
Kekuatan militer, monarki sebagai benteng reaksi, dan kebencian kelas penguasa terhadap demokrasi telah menjadi karakteristik politik Thailand sejak saat itu. Setelah Perang Dunia II di mana Thailand bersekutu dengan Jepang, negeri ini kemudian menjadi sekutu penting bagi Amerika Serikat dalam Perang Vietnam. Amerika Serikat selalu mengandalkan kediktatoran militer untuk menopang kelas penguasa Thailand dalam melawan sentimen revolusioner yang muncul dari lapisan bawah akibat kemiskinan yang menimpa rakyat (57% dari penduduk hidup dalam kemiskinan pada awal tahun 1960) dan meningkatnya ketidaksetaraan.
Kondisi kemiskinan yang dialami oleh petani, yang merupakan mayoritas penduduk Thailand, dan ketiadaan kebebasan politik menyebabkan pemberontakan petani dari awal tahun 1970-an dan pemberontakan mahasiswa pada tahun 1973, yang keduanya secara brutal dihancurkan oleh militer. Pada tahun 70-an terjadi ketidakstabilan lebih lanjut serta kudeta yang tujuan utamanya untuk menghapus ide-ide komunis, yang penyebarannya telah memberikan dorongan besar bagi petani dan pemberontakan mahasiswa pada awal dekade tersebut.
Kampanye anti-komunis tersebut membuka jalan bagi berkembangnya dominasi pasar bebas dan peningkatan jumlah warga miskin pada 1981-1988. Daerah pedesaan di Utara dan Timur-laut memiliki standar hidup terburuk, di mana pada awal 1990-an terdapat 85 % dari warga miskin yang tinggal di daerah-daerah tersebut, dan antara 1/5 sampai 1/7 dari penduduk di wilayah ini hidup di bawah garis kemiskinan. Hal tersebut masih terjadi kendati pertumbuhan ekonomi besar di Thailand dengan rata-rata 12,4 % per tahun antara 1985-1996. Yang kaya semakin kaya sementara yang miskin menjadi lebih miskin .
Gelembung “keajaiban ekonomi Asia”, di mana Thailand memainkan peran penting, meledak pada tahun 1997 dengan runtuhnya ekonomi di sekitar faksi-faksi penguasa yang bertengkar satu sama lain untuk menjarah ekonomi Thailand yang sedang berkembang. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Thailand, negara ini menghadapi krisis besar yang diselesaikan oleh kaum borjuis tanpa harus menggunakan kudeta militer. Hal ini bukan karena tidak ada faksi yang ingin mengambil kendali perekonomian yang telah menyusut 10,8% dalam satu tahun, bukan pula karena mereka ingin bertanggung jawab atas intervensi IMF dan syarat-syarat bailout IMF.
Krisis Keuangan Asia, yang disebabkan oleh meledaknya gelembung spekulatif dari uang panas dari Barat yang mengalir keluar masuk Asia Tenggara, merupakan gejala dari over-produksi global yang muncul pada saat itu, yang terekspresikan dalam sebuah krisis ekonomi internasional umum pada saat ini.
Non-intervensi militer pada saat itu sama sekali tidak membuat perbedaan bagi rakyat. Tanpa kendaraan politik partai buruh, tanpa organisasi serikat buruh yang sesungguhnya, dan kaum tani yang adalah mayoritas penduduk, membuat mereka tak berdaya dalam menghadapi serangan IMF. IMF diberikan hak untuk langsung campur tangan dalam perekonomian Thailand untuk memotong pengeluaran publik dan mereformasi lembaga-lembaga keuangan agar lebih kondusif untuk eksploitasi pasar bebas. Dengan kata lain, mereka diberi kebebasan untuk menyerang rakyat pekerja dan petani yang telah banyak menderita. Militer Thailand sangat senang meninggalkan pekerjaan kotor ini kepada IMF.
Sebuah titik balik: pemilu 2001
Pada awal abad ke-21, meskipun pertanian menyumbang PDB yang lebih rendah dibandingkan dengan 25 tahun sebelumnya, namun 51% dari populasi masih bekerja di bidang pertanian. Rumah tangga pedesaan pendapatannya 3,4 kali lebih sedikit daripada rata-rata rumah tangga di Bangkok, dan 25% populasi terkaya memiliki lebih dari 50% kekayaan dibandingkan seluruh penduduk lainnya.
Pertumbuhan perlahan-lahan pulih setelah krisis 1997 dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,4% pada tahun 2000 dan 2,2% pada tahun 2001. Dengan kondisi yang masih belum pulih dari keruntuhan ekonomi tahun 1997, dengan IMF yang terus menekan mereka, kelas penguasa mengadakan pemilihan umum pada tahun 2001.
Pemilihan pada tahun 2001 adalah pemilihan paling terbuka dan bebas korupsi yang pernah diadakan di Thailand dan terjadi penolakan besar-besaran atas intervensi neo-liberal IMF. Thaksin Shinawatra terpilih sebagai Perdana Menteri dengan 40% suara (mayoritas terbesar dalam pemilu Thailand terbuka) dengan kampanye menentang kebijakan ekonomi pemerintah sebelumnya dan melawan korupsi yang menyelubungi politik Thailand. Massa, yang telah menderita begitu lama, melihat kebijakan Thaksin sebagai tantangan terhadap sistem yang, meskipun sering terjadi perubahan pemerintahan, namun selalu gagal dalam melayani rakyat, dan hanya bisa memberikan penderitaan dan penindasan.
Fenomena Thaksin
Thaksin Shinawatra bukanlah pemimpin dari kelas buruh atau petani. Dia adalah raja telekomunikasi yang sangatlah kaya raya, yang lalu menjadi politisi. Memahami gerakan yang mendukung Thaksin, di mana saudara perempuannya adalah Perdana Menteri yang digulingkan pekan lalu, sangatlah penting untuk memahami situasi di Thailand pada saat ini.
Thaksin dalam banyak hal merupakan seorang tokoh aksidental, yang menemukan dirinya mengekspresikan kemarahan kelas-kelas tertindas dalam masyarakat Thailand. Gerakan-gerakan politik di Thailand, yang tak henti-hentinya terhambat oleh kudeta militer, tidak pernah berkembang menjadi partai buruh dan tani. Namun massa tidak menunggu instrumen politik yang sempurna untuk mengekspresikan diri mereka sebelum mereka mengambil tindakan. Thaksin, mungkin tanpa disadari, menjadi kendaraan atas ketidakpuasan massa berkat manifestonya pada 2001 yang menjanjikan kesehatan universal gratis, moratorium hutang tiga tahun bagi petani dan penyediaan dana baru untuk membantu daerah pedesaan lokal. Untuk pertama kalinya, massa melihat seorang politisi berjanji akan melayani kepentingan mereka.
Milyarder Taipan ini tidak tertarik pada transformasi sosialis. Namun, ketika dia berkuasa ia menerapkan sejumlah langkah Keynesian untuk kepentingan kaum miskin, terutama kaum miskin pedesaan. Penghasilan di bagian timur-laut Thailand (daerah termiskin) meningkat sebesar 46% pada periode 2001-2006. Kemiskinan nasional turun dari 21,3% menjadi 11,3% dan koefisien Gini negara (ukuran ketimpangan) mengalami penurunan dalam periode empat tahun dari 2000 sampai 2004, setelah naik dalam empat tahun sebelumnya di bawah naungan IMF. Ini menjamin dirinya dukungan dari kaum tani, yang memperkuat basis dukungan partainya dalam menghadapi sejumlah lapisan kelas penguasa yang menentang ide-idenya.
Kendati pertumbuhan ekonomi sekitar 5-7% per tahun selama Thaksin berkuasa, sejumlah lapisan kelas penguasa berbalik melawannya karena ketakutan. Mereka takut, bukan dengan Thaksin, yang di atas permukaan tidak lebih dari seorang politisi borjuis yang secara cerdik berhasil bersandar pada kaum tani untuk menopang dirinya – namun mereka takut dengan massa yang berdiri di belakangnya, dan mereka takut bahwa Thaksin akan membangkitkan kekuatan progresif dan bahkan revolusioner yang tidak akan mampu dikendalikannya.
Namun, elemen-elemen kelas penguasa tersebut, yang berkumpul di sekitar monarki dan memusatkan serangan mereka pada Thaksin dengan tuduhan bahwa ia telah menghina Raja dan ingin menghapuskan monarki, merasa tidak cukup kuat untuk menggunakan metode kudeta tradisional mereka untuk menggulingkannya. Ini karena ia memiliki massa yang berdiri di belakangnya dan militer takut pada respon rakyat apabila Thaksin digulingkan. Dihadapkan dengan prospek gerakan massa yang melawan mereka, klik militer akan sulit atau bahkan tidak mungkin untuk melakukan kudeta. Mereka hanya bisa memangkur gigi mereka ketika Thaksin terpilih untuk masa jabatan kedua pada tahun 2005.
Keadaan seperti demikian bukanlah hal yang unik. Terdapat pemimpin populis lain yang telah meningkatkan kehidupan kaum miskin sebagai cara untuk mengamankan kekuasaan mereka, seperti Peron di Argentina dan Bhutto di Pakistan. Bahkan ada kesejajaran yang bisa ditarik dengan rezim Hugo Chavez di Venezuela, meskipun ia bergerak lebih jauh dibandingkan Thaksin, yang telah menunjukkan lagi dan lagi kekuatan rakyat jelata yang mampu berjuang melawan plot kudeta untuk mempertahankan pencapaian-pencapaian yang telah mereka raih di bawah rezim pemerintah progresif, meskipun tidak benar-benar sosialis, dan peran menyesakkan yang dimainkan oleh partai berkuasa yang tidak mau berjuang untuk sosialisme. Semua ini adalah contoh bagaimana masalah kelas di dalam masyarakat mengekspresikan diri mereka dalam bentuk yang tidak biasanya, yakni sebuah fenomena yang mencerminkan rendahnya tingkat gerakan buruh dan tani di negeri tersebut.
Kudeta 2006
Menyusul kemenangan pemilu keduanya, kampanye reaksioner keji terhadap Thaksin diintensifkan. Para kritikus meluncurkan tuduhkan korupsi, meskipun mungkin benar, terhadap Thaksin dan usahanya untuk memprivatisasi BUMN disambut dengan perlawanan oleh lapisan tertentu dari kelas pekerja. Dalam beberapa kesempatan, kaum sosialis dan kaum royalis bergabung dalam protes anti-Thaksin. Fenomena kontradiktif ini adalah akibat dari posisi kontradiktif Thaksin dalam masyarakat Thailand – seorang pengusaha borjuis yang mewujudkan harapan lapisan masyarakat yang paling tertindas.
Tetapi kenyataannya adalah bahwa Thaksin masih sangat populer di daerah pedesaan, di antara lapisan yang paling tertindas, di mana ia mampu memobilisasi aksi unjuk rasa ratusan ribu orang dari seluruh daerah di Utara dan Timur laut Thailand. Bagi orang-orang yang paling tertindas ia masih dianggap sebagai harapan terbaik mereka untuk untuk mewujudkan perubahan mendasar.
Dengan pemilu yang dijadwalkan akhir tahun 2006, militer memutuskan untuk bertindak menggunakan protes yang dilakukan oleh kaum “Blue-Blood Jet-Set”, sebuah kelas istimewa di Bangkok, untuk menutupi kudeta terhadap Thaksin. Kudeta ini terjadi meskipun dengan hanya 3000 pengunjuk rasa yang berada di luar Gedung Pemerintah pada saat itu dan dengan hanya 26% dari populasi di Bangkok, apalagi daerah pedesaan, yang mendukung pengunduran diri Thaksin.
Kaos kuning vs Kaos Merah
Kudeta ini memicu ketidakstabilan politik dan konflik antara kaum royalis reaksioner, yakni kubu Kaus Kuning, dan para pendukung Thaksin, Kaus Merah, yang berlangsung selama lima tahun berikutnya. Tahun 2007 partai pro-Thaksin memenangkan pemilu namun kemudian dilarang menduduki jabatannya oleh keputusan pengadilan tahun 2008, yang sebenarnya adalah kudeta yudisial.
Selama periode tersebut, titik kritis terjadi pada tahun 2010 ketika pengunjuk rasa kaos merah menggelar demonstrasi besar menentang pemerintahan terpilih, Abhisit Vejjajiva. Ini secara brutal diremukkan dengan aksi kekerasan oleh kaum monarkis. Untuk analisis Marxis untuk peristiwa tahun 2010 selengkapnya lihat di sini (Revolusi dan Konter Revolusi di Thailand, oleh Alan Woods).
Dalam kondisi kacau, kaum penguasa terpaksa menggelar pemilu baru pada bulan Juli 2011 yang membawa Yingluck Shinawatra ke tampuk kekuasaan dengan platform yang memperlihatkan kedekatannya dengan Thaksin, sebuah kredensial yang jelas karena mereka adalah saudara kandung.
Dia melanjutkan kebijakan-kebijakan untuk melayani kepentingan masyarakat miskin pedesaan, dengan subsidi beras yang memberikan jaminan harga yang lebih tinggi bagi para petani Thailand untuk hasil panen mereka daripada yang akan diterima dari pasar internasional. Meskipun Thailand digambarkan sebagai negeri industri baru, namun pertanian masih merupakan sektor penting ekonomi, oleh karena itu kebijakan ini memiliki dampak yang sangat besar di seluruh negeri.
Yingluck Shinawatra
Yingluck, seperti kakaknya, tidak lebih dari seorang populis dan demagog – di mana ia mencoba langkah-langkah Keynesian serupa dengan yang diterapkan oleh Thaksin. Namun, tidak seperti kakaknya, ia dihadapkan dengan situasi ekonomi global yang sama sekali berbeda. Perekonomian dunia berada dalam krisis dan dampaknya sangat buruk terhadap Thailand, yang perekonomiannya yang sangat bergantung pada ekspor yang menyediakan dua pertiga dari total PDB. Pada tahun 2011 pertumbuhan ekonomi Thailand hanya 0,1 % dan pada kuartal pertama tahun 2014 pertumbuhan hanya 0,6 % .
Menghadapi krisis semacam ini, Keynesianisme bukanlah pilihan. Kelas penguasa tidak dapat menawarkan reforma-reforma seperti subsidi beras. Kaum borjuasi terdesak, dan satu-satunya jalan keluar bagi mereka adalah mengambil kembali konsesi-konsesi kecil yang telah diberikan kepada lapisan tertindas di Thailand oleh Thaksin dan Yingluck, serta meremukkan massa demi kepentingan laba.
Ini membuat Yingluck berada dalam situasi yanbg sulit, terjebak di antara harapan rakyat pedesaan di mana kepada mereka ia bergantung untuk mendapatkan dukungan, dan kepentingan kapitalisme, yang dalam analisis akhir, diwakilinya. Jelas sekali bahwa selama dia berkuasa dia telah mengakui kelemahannya dan telah membuat konsesi terhadap monarki dan militer – yakni lembaga-lembaga yang selalu menentang kebijakan Thaksin
Protes baru-baru ini
Tetapi sikap lemah ini justru mengundang agresi dan pada November 2013 timbul protes yang dipicu oleh usulan Yingluck untuk menawarkan amnesti kepada semua orang yang dihukum selama kekerasan politik tahun 2010, yang memicu para demonstran Kaos Kuning sekali lagi turun ke jalan-jalan di Bangkok.
Yingluck segera menyerah kepada demonstran. Dia tidak hanya membatalkan kebijakan amnestinya, namun ia juga menyerukan pemilihan baru pada bulan Februari 2014. Tetapi alih-alih membuat puas kaum borjuis kecil dan kaum monarkis ini, sikap mengalahnya justru membuat mereka semakin berani.
Karakter kelas dari para demonstran ini terungkap dengan tuduhan terhadap Yingluck dan tuntutan-tuntutan mereka. Mereka menuduh Yingluck menjadi corong dari Thaksin, yang telah tinggal di pengasingan sejak kudeta tahun 2006, dan mereka berdua dituduh bersekongkol untuk menggulingkan Raja serta sistem monarki secara keseluruhan.
Para demonstran menuntut agar pemerintahan yang terpilih secara demokratis tersebut disingkirkan dan digantikan dengan dewan rakyat yang tidak terpilih, yang bertugas untuk membersihkan politik Thailand dari semua sisa-sisa partai Thaksin, partai Pheu Thai. Singkatnya, para demonstran yang berbasis pada monarki reaksioner, menuntut agar semua konsesi terhadap lapisan tertindas dibatalkan dan rakyat harus membayar untuk krisis ekonomi.
Serangan Kaos Kuning terhadap demokrasi
Keterusterangan dari pihak kaus kuning dalam menyerukan tuntutan anti-demokratis mereka mungkin tampak mengejutkan pada awalnya, tetapi sebenarnya mereka hanya mengatakan apa yang ada dalam pikiran kaum borjuis internasional. Di tengah krisis ekonomi kelas kapitalis tidak mampu mempertahankan demokrasi karena kepentingan-kepentingan antara 1% dan 99% bertentangan. Jika diberi pilihan, massa rakyat tidak akan memilih untuk kepentingan kapitalisme. Oleh karena itu demokrasi sejati bagi para buruh dan petani tidak sesuai dengan kepentingan modal.
Di tempat lain kelas penguasa takut kalau-kalau sebuah alternatif terhadap krisis dan penghematan mungkin ditawarkan kepada massa, tetapi mereka iri dengan Thailand di mana kelas penguasa Thailand dapat menggunakan kudeta hanya dengan dalih demo-demo kecil ketika mereka berhadapan dengan gerakan populis yang berbahaya.
Para demonstran memboikot dan mengacaukan pemilu pada Februari 2014, walaupun jumlah mereka yang kecil berarti mereka memiliki pengaruh yang kecil dan partai Yingluck mendapatkan suara mayoritas. Kaus Kuning belum pernah memenangkan pemilu yang bebas dan adil. Mereka hanya pernah mengambil alih kekuasaan dengan kudeta dan intervensi militer. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau mereka menolak untuk berpartisipasi dalam pemilu.
Sepanjang demonstrasi ini, kaum kelas atas yang menjadi inti dari para demonstran menyatakan bahwa para petani terlalu bodoh untuk mengerti apa yang mereka pilih. Ini digunakan untuk membenarkan tuntutan-tuntutan anti-demokratis dari Kaos Kuning. Fitnah tersebut memicu kemarahan rakyat di daerah pedesaan miskin, di mana seorang wanita di desa Nhong Huu Ling mengatakan: “Yah, aku tahu mereka memiliki pendidikan yang lebih dari saya, tapi setidaknya aku mengerti apa itu demokrasi. Orang-orang di Bangkok, yang telah ke universitas atau belajar di luar negeri, kenapa mereka tidak mengerti demokrasi?” Kenyataannya adalah bahwa mereka memahami dengan sangat baik apa itu demokrasi, dan inilah mengapa mereka tidak dapat memberikannya sekarang.
Mahkamah Konstitusi, senjata cadangan di dalam gudang reaksi yang digunakan pada tahun 2008 untuk melakukan kudeta yudisial, lagi-lagi digunakan untuk menyatakan bahwa pemilu Februari tidak sah karena adanya protes-protes kekerasan dari para demonstran Kaos Kuning. Meskipun para demonstran ini jumlahnya semakin berkurang, yang terpusat hanya pada satu titik di Bangkok, namun Yingluck kembali menyerah, dan menyerukan pemilu baru untuk bulan Juli 2014. Tapi kelemahannya mengundang agresi dan mahkamah konstitusi kembali menyerang minggu lalu dengan meminta dia untuk mundur sebagai Perdana Menteri karena praktek korupsi yang diduga dilakukannya pada tahun 2011 (tuduhan yang munafik, mengingat rekam jejak korupsi dari monarki, pengadilan dan kaum Kaos Kuning) .
Dengan melengserkan Yingluck bersama dengan sembilan menterinya, pengadilan kembali menggelar kudeta yudisial, meskipun mereka tidak memenuhi tuntutan penuh kaum kaus kuning yang ingin membentuk sebuah dewan yang tak terpilih, yang ditunjuk untuk memulai pekerjaan pembersihan politik progresif dari Thailand dan melancarkan serangan terhadap kaum tani.
Di mana Kaus Merah?
Sepanjang semua peristiwa ini, Yingluck memiliki kartu as di tangannya, dan dia menolak untuk memainkannya. Berkat kekhasan perkembangan gerakan politik di Thailand, Yingluck berdiri di atas massa petani pedesaan yang mendukung dirinya dan kakaknya sebagai satu-satunya politisi dalam sejarah Thailand yang telah menerapkan langkah-langkah politik yang menguntungkan mereka.
Kaum Kaos Merah menunjukkan kekuatan mereka di tahun 2010, ketika elemen kekuasaan ganda mulai muncul di Thailand di belakang protes pro-Thaksin mereka – protes yang hancur hanya karena ketidaktegasan kepemimpinan dan kurangnya program yang jelas. Meskipun Yingluck telah berulang kali mengancam akan memanggil pendukungnya untuk membela pemerintah melawan serangan dari kubu kaus kuning dan mahkamah konstitusi, dia tidak pernah benar-benar melakukannya. Dia lebih memilih untuk mundur, menyerah dan memberikan konsesi kepada oposisi. Mengapa dia tidak memanggil Kaos Merah untuk membela dirinya?
Beberapa pengamat berpendapat bahwa Yingluck takut untuk menciptakan situasi di mana demonstrasi massa akan saling berhadap-hadapan, seperti yang terjadi pada tahun 2010, karena ini akan memberikan alasan bagi militer untuk melakukan intervensi dan mengadakan kudeta untuk menggulingkannya. Mengingat sejarah Thailand, ini sepertinya merupakan suatu keprihatinan yang sah.
Namun, sejarah Thailand juga menunjukkan bahwa militer tidak pernah menunggu adanya sebuah alasan untuk merebut kekuasaan, dan mereka telah mengambil langkah lebih awal daripada sekarang. Alasan mengapa militer ragu mengambil langkah sekarang sama seperti saat Krisis Asia pada tahun 1997, dalam arti bahwa tidak ada pihak yang mau bertanggung jawab untuk langkah-langkah yang harus diambil dalam rangka menyelamatkan kapitalisme Thailand.
Tapi faktor yang jauh lebih penting dari itu adalah bahwa militer takut dengan kekuatan Kaos Merah, serta reaksi mereka terhadap tersingkirnya Yingluck dan partainya. Ini juga merupakan alasan mengapa mahkamah konstitusi tidak merasa mampu menyingkirkan partai Pheu Thai dalam satu pukulan. Kelas penguasa mengingat dengan baik gerakan Kaos Merah pada tahun 2010, di mana dengan program yang jelas dan kepemimpinan yang militan gerakan ini bisa berkembang menjadi gerakan revolusioner yang sukses. Mereka takut kalau-kalau mereka membangkitkan gerakan tersebut kembali.
Pada kenyataannya, ini juga merupakan alasan kenapa Yingluck belum memobilisasi Kaos Merah untuk membelanya. Ia juga bisa melihat potensi revolusioner massa pedesaan dan juga merasa khawatir dengan hal itu. Ia adalah gangster borjuis seperti kakaknya, meskipun dia adalah seorang borjuis yang sedikit memahami rakyat. Dia telah menghabiskan hidupnya membangun kekayaan pribadi dan sekarang tidak ingin membangkitkan kekuatan revolusioner yang dapat merampas semua itu darinya.
Bahkan saat ini ketika ia telah digulingkan sebagai Perdana Menteri, dia sangat berhati-hati dalam bertindak. Pada tanggal 10 Mei ia menyerukan demonstrasi Kaos Merah namun aksi tersebut digelar 40 km dari pusat Bangkok di mana demonstran oposisi berdemonstrasi. Sejauh ini ia tampaknya hanya menawarkan sedikit strategi atau rencana untuk mengadakan serangan balik terhadap kubu kaus kuning dan kudeta yudisial yang telah menggulingkannya. Seperti yang telah terjadi secara konsisten selama enam bulan terakhir ini, ia telah meninggalkan inisiatif kepada kaum reaksioner karena dia lumpuh oleh ketakutan terhadap para pendukungnya sendiri .
Keseriusan potensi revolusioner di Thailand telah membuat kesan pada para investor luar negeri, serta Yingluck dan musuh-musuhnya. Moody, agen kredit asing mengatakan bahwa pekan lalu Thailand berada dalam kredit-negatif dan perkiraan PDB merosot drastis sejak Desember 2013. Credit Suisse telah merevisi pertumbuhan 2014, yang turun menjadi 2%, sementara Bank of America menempatkan proyeksi pertumbuhan sebesar 1,1 % . Toyota telah memperingatkan bahwa krisis ini kemungkinan akan membahayakan investasi masa depan di negeri ini dan Honda telah mengumumkan bahwa mereka akan menunda pengembangan pabrik dengan menarik kembali dana sebesar $530 juta untuk setidaknya enam bulan.
Jelas, tidak seperti pada periode sebelumnya di mana kerusuhan belum pernah terlalu besar menggoyahkan pasar, saat ini para investor internasional percaya bahwa kali ini ada potensi untuk pergolakan serius, tidak hanya perubahan pemerintah. Kaum borjuis internasional, serta kelas penguasa Thailand, juga akan berharap bahwa Yingluck tidak melepaskan massa yang berdiri di belakangnya .
Perlunya Gerakan independen
Jika Yingluck tidak akan memobilisasi pendukungnya, maka Kaus Merah harus memobilisasi diri mereka sendiri. Hanya dengan aksi mandiri oleh buruh dan tani maka mereka akan dapat mengalahkan klik militer, monarki dan kaum reaksioner Kaos Kuning. Gerakan kaos merah yang cair dan terpecah belah ini, yang terutama terdiri dari kaum tani, harus bersatu dengan kelas buruh di kota-kota, yang sampai sekarang belum memainkan peran sama sekali. Mereka harus membentuk gerakan buruh dan tani di bawah kepemimpinan proletariat.
Ini akan menjadi sebuah gerakan berbasis kelas, yang bebas dari kontrol demagog borjuis dan mampu bertindak secara tegas dan mandiri terhadap kelas penguasa di Thailand. Ini adalah satu-satunya cara untuk mempertahankan dan meningkatkan standar hidup bagi massa rakyat di Thailand. Menempatkan kepercayaan pada orang lain daripada pada diri mereka sendiri hanya akan menyebabkan penderitaan bagi rakyat di tangan kaum borjuis .
Sebuah gerakan buruh dan tani independen bisa membuat eksplisit posisi anti-monarki yang selalu laten dalam gerakan Kaus Merah. Tidak ada keraguan bahwa monarki adalah, baik di Thailand dan di tempat lain, benteng reaksi dan senjata cadangan bagi kelas penguasa untuk melawan gerakan rakyat. Dalam sebuah monarki konstitusional, peran monarki terbatas pada peran ritual selama periode kekuasaan borjuis stabil – sebuah pengalihan perhatian yang berguna dan simbol konservatisme yang dapat digunakan untuk memperkuat nilai-nilai borjuis ke dalam kesadaran bangsa .
Namun institusi yang dibangun oleh kelas penguasa sebagai tubuh mistik dan independen dalam periode stabil ini tersebut memiliki signifikansi yang lebih besar dalam periode kekacauan revolusioner dan perang kelas terbuka. Raja memiliki kekuasaan konstitusional penting yang dapat diluncurkan sebagai perlindungan ketika prosedur demokratis memberikan kaum borjuis jawaban yang tidak dikehendaki. Dalam hal ini, monarki merupakan titik pusat bagi semua kekuatan reaksioner dalam masyarakat.
Penghapusan monarki dan nasionalisasi seluruh aset harus menjadi komponen utama dari program buruh dan gerakan tani. Ini harus menjadi bagian dari tuntutan untuk menulis ulang konstitusi, memberikan kontrol demokratis penuh kepada para buruh dan petani dengan membentuk majelis konstituante dan menasionalisasi semua tanah dan perusahaan besar.
Kelas penguasa telah memiliki banyak pengalaman dalam melaksanakan kudeta dan tindakan kontra-revolusioner, sehingga untuk mempertahankan pencapaian gerakan Kaos Merah diperlukan langkah untuk mempersenjatai rakyat demi menghadapi militer dan memperjuangkan hak rakyat Thailand untuk mengambil kontrol atas kehidupan mereka sendiri.
Potensi Revolusioner
Sebuah gerakan Kaos Merah yang diorganisir di sepanjang garis-garis ini, dengan kepemimpinan yang berani dan program sosialis yang jelas, akan menjadi tak terbendungkan. Namun demikian tanpa gerakan seperti itu, perang sipil dapat terjadi. Sementara berbagai faksi borjuis melakukan manuver, perjuangan kelas akan terus berkembang. Situasi ini tidak bisa bertahan lama.
Kedua belah pihak dalam konflik kelas tersebut telah belajar dari peristiwa 2010. Meskipun memori ketakutan atas peristiwa-peristiwa tersebut mendekam dalam tubuh kelas penguasa, krisis ekonomi akan memaksa mereka untuk bertindak melawan kaum buruh dan tani dalam jangka waktu yang cukup cepat. Namun massa juga sudah mencicipi kekuatan mereka sendiri.
Seperti yang dikatakan oleh seorang perempuan: “Kami tidak akan menerima kudeta lagi, seperti pada saat itu, kami akan berjuang untuk mempertahankan pemerintah yang kami pilih. Dan jika militer mencoba melakukan kudeta lagi, kami siap untuk keluar, untuk mati demi demokrasi.” Benih-benih revolusi telah hadir di Thailand. Tugas kita adalah untuk membangun sebuah gerakan buruh dan tani Marxis yang akan membuat benih ini tumbuh dan mekar.