Seratus lima puluh tahun yang lalu, seorang teoretikus politik, ekonomi dan sosial ternama pernah mengatakan bahwa perkembangan kapitalisme akan menghasilkan “akumulasi kekayaan di satu kutub, dan pada saat yang sama akumulasi kesengsaraan, penderitaan kerja, perbudakan, kebodohan, brutalitas, degradasi mental, di kutub yang lainnya.” Kutub yang pertama adalah kutub kaum kapitalis, sementara kutub yang kedua adalah kutub rakyat pekerja – buruh, tani, dan kaum miskin. Sang teoretikus yang membuat pernyataan tersebut bernama Karl Marx, yang selama 150 tahun terakhir telah menjadi Bapa perjuangan kelas buruh di seluruh dunia. Walaupun sudah ribuan buku ditulis untuk membantah Karl Marx dan pemikiran-pemikirannya, namun realitas masyarakat kapitalis justru semakin hari semakin menyediakan pembenaran bagi pernyataannya di atas. Kebenaran sungguh adalah sesuatu konkret.
Hari ini, 85 orang terkaya di dunia memiliki kekayaan yang sebanding dengan kekayaan setengah dari populasi dunia, yakni sekitar 3,6 miliar orang. Namun yang terpenting bukan jurang yang besar ini, tetapi bagaimana jurang ini semakin membesar. Berbagai laporan ekonomi telah menyatakan secara konkret apa yang telah dirasakan oleh rakyat pekerja sepanjang hidupnya, yakni bahwa ketimpangan ekonomi antara yang kaya dan yang miskin semakin lebar. Ini adalah seperti bom waktu yang kapan saja siap meledak, dan kita telah saksikan sejumlah ledakan kecil yang meletup bertubi-tubi di seluruh dunia selama 5 tahun terakhir. Dunia sedang memasuki sebuah periode krisis yang akut dan panjang, sebuah krisis tidak hanya dalam ranah ekonomi, tetapi juga dalam ranah sosial, politik, militer, kebudayaan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan bahkan moral.
Situasi Ekonomi Politik Dunia
Di pusat kapitalisme dunia, yakni Amerika Serikat, di mana semestinya ini adalah tanah susu dan madu, kita saksikan ketimpangan ekonomi yang semakin dalam antara kaum buruh dan kaum kapitalis. Kemiskinan dan pengangguran hari ini adalah penyakit kronik yang menggerogoti masyarakat Amerika. Menurut seorang ekonom dari Harvard Universitas, Richard Freeman, selama dua dekade terakhir sekitar 80 persen keluarga Amerika pendapatannya telah mengalami stagnasi, sementara pendapatan kaum kaya melejit. Pendapatan median buruh AS hari ini, bila menghitung inflasi, lebih rendah daripada tahun 1989. Jadi bukan hanya ada jurang yang semakin lebar, tetapi standar hidup rakyat pekerja AS juga semakin memburuk.
Selama puluhan tahun Amerika Serikat adalah cahaya terang kapitalisme yang gemilang. Ia diusung sebagai contoh agung bagaimana kapitalisme bisa bekerja dengan baik dan memberikan hasil-hasil yang luar biasa bagi semua penduduknya. Menurut doktrin kapitalisme, kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi (pabrik, bank, perkebunan, tambang, dsb.) dan kompetisi pasar bebas adalah jalan menuju kemakmuran. Siapa pun yang bekerja keras dan jujur akan meraup kebahagiaan. Inilah yang kerap disebut sebagai “American Dream” (“Mimpi Amerika”). Tetapi mimpi ini sudah buyar dihantam oleh realitas kapitalisme yang kejam. American Dream telah berubah menjadi American Nightmare (Mimpi buruk Amerika). Mayoritas yang bekerja lebih keras justru mendapatkan hasil lebih sedikit, sementara segelintir pemilik modal yang tak bekerja meraup kekayaan tak terhingga.
Krisis akut kapitalisme di AS tidak hanya terekspresikan dalam ranah ekonomi, tetapi juga dalam semua ranah. Beberapa bulan terakhir Amerika diguncang oleh kasus-kasus diskriminasi dan kekerasan polisi terhadap kaum kulit hitam, yang telah direspons dengan berbagai protes dan bahkan kerusuhan di berbagai kota. Gelombang protes menentang kekerasan polisi ini dipicu oleh kematian seorang remaja kulit-hitam berumur 18 tahun, Michael Brown, yang ditembak oleh seorang polisi berkulit putih di kota Ferguson. Remaja yang masih sangat muda ini tidak bersenjata, dan tidak sedang melakukan kejahatan atau kekerasan. Insiden ini lalu menyebabkan ledakan protes yang besar di kota kecil Ferguson, yang hanya berpenduduk 21 ribu, dan selama beberapa bulan terakhir telah menjadi berita nasional. Protes telah menyebar ke banyak kota di AS dan kekerasan polisi yang brutal telah menjadi sorotan publik.
Yang terjadi di kota kecil Ferguson ini bukanlah yang pertama kali. Pada kenyataannya, kasus-kasus kekerasan polisi terhadap kaum kulit hitam bukanlah sesuatu yang baru di Amerika. Kaum kulit hitam, kaum hispanik (keturunan Amerika Latin) dan juga kaum imigran secara umum (dari Amerika Latin, Timur Tengah, Asia, dll.), adalah lapisan masyarakat yang selalu menjadi korban diskriminasi dalam semua aspek: ekonomi, pendidikan, hukum, dsb. Tingkat pengangguran mereka dua kali lebih tinggi dibandingkan tingkat pengangguran nasional. Pendapatan mereka 35% lebih rendah dari rata-rata nasional. Tingkat kemiskinan mereka hampir 3 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan kaum kulit putih. Di penjara, populasi kulit hitam adalah 40 persen, padahal populasi mereka di seluruh AS hanya 12 persen.
Inilah wajah sesungguhnya dari kapitalisme AS, yang semestinya adalah representasi terbaik dari kapitalisme. Rasisme di AS adalah bagian integral dari kapitalisme itu sendiri, seperti kata Malcolm X, seorang revolusioner kulit hitam di AS: “Kau tidak bisa memiliki kapitalisme tanpa rasisme.” Akar dari rasisme yang begitu buruk di AS adalah kemiskinan dan ketidaksetaraan, yang merupakan fitur inheren dari kapitalisme itu sendiri. Seorang Presiden berkulit hitam, yakni Obama yang sebelumnya dielu-elukan bisa membawa perubahan pada masalah rasisme, ternyata tidak bisa melakukan apa-apa.
Krisis sosial yang disebabkan oleh rasisme ini juga telah menyentuh seluruh lapisan kelas pekerja di AS terlepas dari warna kulit mereka, terutama lapisan kaum muda. Anak-anak muda ini melihat kontradiksi antara realitas yang mereka saksikan dalam kehidupan sehari-hari mereka dengan mimpi-mimpi yang dijanjikan oleh kapitalisme. Bagaimana mungkin Amerika adalah “land of the free” (tanah kebebasan) kalau negeri ini memiliki tingkat populasi penjara paling tinggi di dunia? Bagaimana bisa pemerintahan AS berbicara mengenai “menyebarkan demokrasi ke seluruh dunia” kalau penduduknya sendiri ditembaki, dipukuli, dan dijebloskan ke penjara hanya karena miskin dan berkulit hitam? Apa artinya “kebebasan” kalau semakin banyak orang tidak bisa menemukan pekerjaan yang layak dengan upah yang layak? Bagaimana mungkin segelintir kapitalis terus memperkaya diri mereka di tengah krisis ekonomi yang menyeret jutaan lainnya ke lembah kemiskinan? Dan sebagainya, dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini memenuhi kepala banyak kaum muda. Kemunafikan kapitalisme terus mendorong semakin banyak kaum muda ke kesimpulan-kesimpulan revolusioner. Ada proses radikalisasi yang sedang berlangsung di bawah permukaan di antara lapisan muda kelas buruh Amerika. Kelas buruh Amerika adalah kekuatan yang paling menentukan di dalam perjuangan kelas buruh sedunia. Di pusat kapitalisme ini, bila buruh AS bergerak maka seluruh medan politik dunia akan berubah.
Krisis kapitalisme ini juga terekspresikan dalam bidang teknologi. Eksplorasi angkasa adalah usaha yang membutuhkan teknologi yang paling tinggi. Ia adalah alat ukur terbaik untuk kemajuan teknologi umat manusia secara keseluruhan. Tetapi selama beberapa dekade terakhir justru anggaran untuk eksplorasi angkasa terus dipotong. Sejak 1970, anggaran untuk NASA (badan eksplorasi angkasa Amerika Serikat) telah dipotong lebih dari 80%. Lebih dari $1 miliar telah dipotong dalam beberapa tahun terakhir saja. NASA mengirim manusia ke bulan pertama kalinya pada 1969, dan untuk terakhir kalinya pada 1972. Semenjak itu tidak ada lagi usaha untuk mengirim manusia ke bulan ataupun planet-planet lain. Kalau kita bisa mengirim manusia ke bulan pada 1969, maka kita seharusnya sudah bisa mengirim manusia ke berbagai planet di sistem tata surya kita dan menyelidiki rahasia-rahasia alam semesta kita. Masalahnya kapitalisme adalah sistem yang bobrok yang tidak mampu menggunakan seluruh potensi manusia. Ia hanya tertarik menghasilkan profit tertinggi.
Bersamaan dengan pemotongan anggaran eksplorasi angkasa, kita juga saksikan pemotongan secara sistematis anggaran pendidikan dan privatisasi pendidikan. Di Amerika saja, sejak 2008, anggaran pendidikan telah terpangkas sebesar 28 persen. Biaya pendidikan semakin tinggi dan semakin banyak rakyat pekerja yang tidak bisa mengenyam pendidikan tinggi. Pada saat yang sama kualitas pendidikan juga menjadi semakin rendah. Ini disebabkan oleh logika ekonomi kapitalisme. Kapitalisme tidak membutuhkan manusia-manusia yang cakap dalam berbagai bidang. Ia hanya membutuhkan pasukan buruh yang bisa melakukan satu atau dua hal yang sederhana di pabriknya. Kapitalisme tidak membutuhkan buruh-buruh yang memahami sastra, seni, musik, ilmu-ilmu fisika tinggi, ilmu matematika tinggi, ilmu sosial, ekonomi, dll. Kapitalisme hanya membutuhkan manusia satu-dimensi, dan dengan itu mengekang kemajuan umat manusia. Krisis kapitalisme oleh karenanya juga bukan hanya krisis ekonomi, tetapi juga adalah sebuah krisis peradaban manusia.
Di Inggris Raya, berbagai skandal telah mengguncang seluruh tatanan politik. Telah terungkap baru-baru ini berbagai skandal pelecehan seksual yang menjijikkan, yang dilakukan oleh para elit politik dan tokoh-tokoh masyarakat terhadap anak-anak kecil. Tidak hanya itu, pelecehan seksual ini telah berlangsung selama puluhan tahun dan ditutup-tutupi. Para pelaku dilindungi dari jerat hukum oleh kolega-kolega mereka, oleh koneksi-koneksi mereka di seluruh jajaran pemerintah. Inilah kebobrokan moral dari para elit politik borjuis, yang bau amisnya mulai tercium dan telah menyebabkan kegeraman yang semakin besar di antara rakyat pekerja Inggris. Bukan sebuah kebetulan kalau skandal-skandal pelecehan seksual ini terkuak sekarang, ketika negeri ini sedang didera krisis ekonomi yang paling serius di dalam sejarahnya. Taraf hidup kaum buruh Inggris sedang diserang. Ada rencana pemotongan anggaran publik sebesar 25-30 miliar pound (480-580 triliun rupiah) dalam 4 tahun ke depan, yang akan berakibat pada pemotongan pelayanan publik dan bantuan-bantuan sosial.
Begitu juga di seluruh Eropa Barat. Pertumbuhan ekonomi terus melambat dan pemulihan ekonomi yang diharapkan tak kunjung tiba. Program penghematan dan pemotongan menjadi mantra utama dari seluruh pemerintahan di Eropa. Pencapaian-pencapaian yang telah dimenangkan oleh kelas buruh sedang dipreteli satu per satu: gaji layak, keamanan kerja, pendidikan gratis, pelayanan kesehatan gratis, tunjangan hamil, tunjangan pensiun, dan seribu satu layanan sosialnya. Kapitalisme sudah tidak bisa lagi membiayai model Negara Kesejahteraan (welfare state) semacam ini bahkan untuk buruh dari negeri-negeri kapitalis maju, apalagi untuk miliaran rakyat pekerja lainnya di negeri-negeri yang lebih terbelakang.
Bila pertumbuhan ekonomi di negeri-negeri maju mengalami stagnasi atau melambat, maka konsumsi dunia akan melambat pula. Ini berarti pukulan ekonomi bagi negeri-negeri berkembang yang mengekspor komoditas dan sumber daya alam, seperti Indonesia, Bangladesh, India, Brasil, China, dsb. Menurunnya permintaan dunia telah berimbas pada penurunan harga minyak dunia, yang hari ini telah anjlok ke $60 per barel, yakni anjlok hampir 50% semenjak Juni tahun ini. Para ekonom panik dan merasa putus asa. Semua usaha mereka untuk menggenjot kembali pertumbuhan ekonomi dunia tidak berhasil.
Sementara, di Timur Tengah situasi menjadi begitu kacau balau. Imperialisme kehilangan kendali atas wilayah ini. Pemerintahan-pemerintahan boneka yang didirikan di Irak, Afghanistan, dan Libya oleh imperialisme begitu tidak kompeten dan korup sehingga tidak memiliki legitimasi sama sekali. Perang saudara, kekerasan sektarian, Islam fundamentalisme, dan berbagai macam barbarisme tumbuh subur di sana. Sejak tahun 2003 ketika Amerika menjatuhkan rejim Saddam Hussein di Irak dan mendudukinya lewat pemerintahan boneka, lebih dari 130,000 rakyat Irak telah mati akibat berbagai kekerasan sektarian, konflik militer, bom bunuh diri, dsb. Sementara perang sipil masih berkecamuk di Suria, yang sampai hari ini telah menelan korban lebih dari 190,000 orang. Dari kekacauan seperti inilah kekuatan gelap seperti ISIS muncul, sebagai manifestasi buruk dari krisis kapitalisme yang begitu akut di wilayah ini. ISIS dan berbagai bentuk terorisme fundamentalis lainnya adalah tidak lain dari reaksi gelap hasil dari kebuntuan kapitalisme.
Meledaknya epidemik Ebola di Afrika Barat baru-baru ini juga merupakan gejala dari kebuntuan kapitalisme di benua ini. Rakyat Afrika telah hidup dalam situasi semi-barbar. Kapitalisme hanya tertarik menggali kekayaan alam dari benua ini. Kaum borjuasi Afrika yang begitu menghamba pada kapital asing tidak tertarik untuk mengembangkan benua ini. Tidak ada pelayanan kesehatan di banyak negeri ini. Infrastruktur sosial begitu lemah, sehingga tidak heran kalau epidemik penyakit menular begitu mudah meledak di sana, dari Ebola yang telah menelan koran 6.800 orang dalam waktu singkat sampai AIDS yang sampai hari ini telah memporakporanda Afrika, dengan korban 6000 jiwa per hari. Belum lagi malaria di Afrika, yang membunuh 1,300 anak kecil setiap harinya. Bagaimana mungkin sebuah negeri bisa berkembang kalau generasi mudanya setiap hari mati dalam jumlah ribuan akibat dari penyakit yang mestinya bisa disembuhkan?
Yang kita dapati dari gambaran ini adalah ketidakmampuan kapitalisme untuk memajukan dunia secara keseluruhan. Kapitalisme bukan hanya sebuah sistem yang menindas buruh secara ekonomi dengan menekan upahnya dan memperpanjang jam kerjanya. Kapitalisme adalah sebuah sistem ekonomi-politik yang menindas seluruh lapisan kelas pekerja dalam berbagai aspek. Ia tidak hanya menindas manusia, tetapi juga menjadi penghambat atas kemajuannya, dan kalau dibiarkan bahkan bisa melemparkan seluruh dunia ke dalam jurang neraka kalau memang kapitalis merasa ada profit/laba di dalam neraka ini. Tidak ada jalan keluar dari krisis kapitalisme, kecuali dengan semakin menekan taraf hidup rakyat pekerja. Kelas kapitalis hanya bisa keluar dari lubang krisis hari ini dengan menginjak punggung kelas buruh, dan inilah yang sedang dilakukannya dengan berbagai program pemotongan, penghematan, dan privatisasi.
Kelas Buruh Sebagai Pembebas Umat Manusia
Ada satu kelas yang bisa membebaskan umat manusia dari kegilaan kapitalisme ini. Ia adalah kelas buruh. Karena kelas buruhlah yang sesungguhnya menggerakkan roda ekonomi dengan kerjanya. Kaum buruh juga adalah kelas yang paling terorganisir. Insting kelasnya mendorong mereka untuk membentuk serikat buruh untuk perjuangan ekonomi, dan lalu partai politik untuk perjuangan politik. Tidak ada kelas yang lebih terorganisir daripada kelas buruh. Dari posisi ekonomi dan sosial inilah lahir tugas historis kelas buruh: merebut kekuasaan dari kelas kapitalis dan menghancurkan seluruh tatanan kapitalisme ini, dan menggantikannya dengan sosialisme. Kalau kapitalisme adalah sistem yang berdasarkan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi, maka sosialisme adalah berdasarkan kepemilikan kolektif (oleh buruh) atas alat-alat produksi. Kalau kapitalisme motor penggeraknya adalah laba dan profit untuk segelintir kapitalis, maka sosialisme motor penggeraknya adalah ekonomi yang direncanakan secara demokratis untuk kebutuhan manusia dan pengembangan manusia seutuhnya.
Untuk bisa memenuhi tugas historis ini, kaum buruh harus mampu melampaui batas-batas gerbang pabrik yang sempit, harus mampu melampaui tuntutan-tuntutan upah dan normatif sehari-hari. Kaum buruh harus menjadi garda terdepan dari semua gerakan yang menentang penindasan kapitalisme dalam segala bentuknya: protes-protes kaum tani atas penyerobotan tanah, kasus Lapindo, penentangan kenaikan BBM, ekspose korupsi pejabat, penyelesaian kasus Munir, dan segala bentuk ketidakadilan lainnya. Hanya dengan demikian maka kaum buruh dapat membangun kesadaran politik revolusioner yang memadai untuk memenuhi tugas historisnya. Dengan melibatkan dirinya dalam semua medan perjuangan melawan penindasan kapitalisme, dan menunjukkan lewat perbuatan bahwa program-programnya akan dapat membebaskan seluruh rakyat tertindas, maka kelas buruh akan dapat merangkul semua lapisan tertindas dan memimpinnya.
Untuk bisa melakukan hal-hal di atas secara konkret, dibutuhkan sebuah partai kader. Serikat buruh adalah sekolah yang baik untuk membangun kesadaran perjuangan kelas pada tahapan awal. Tetapi untuk melangkah lebih jauh ke kesadaran politik revolusioner, kita membutuhkan sebuah partai politik. Kalau serikat buruh bisa disamakan seperti sekolah dasar, maka partai kader adalah perguruan tinggi. Lewat partai kader ini, buruh dan juga kaum muda bisa mendapatkan pendidikan teori-teori. Selain itu, partai kader juga menjadi organisasi sentral yang bisa mengorganisir perjuangan-perjuangan politik di seluruh Indonesia.
Sedikit mengenai situasi politik Indonesia.
Setelah hingar bingar pemilu telah lewat, dengan cepat kita melihat bagaimana euforia dan ilusi terhadap Jokowi buyar. Sejak awal kita telah mengatakan bahwa buruh tidak boleh menggantungkan harapannya pada kaum borjuasi, tidak peduli kalau dia berbicara banyak mengenai Berdikari ini dan Berdikari itu, Trisakti ini dan Trisakti itu. Selama 2 tahun terakhir kita disuguhi dengan fenomena populisme Jokowi, yang katanya akan membawa politik baru dan perubahan untuk rakyat Indonesia. Tidak sedikit buruh yang juga jatuh pada ilusi ini, dan tugas kita adalah menjelaskan dengan sabar kepada mereka. Hari ini setelah realitas dari rejim Jokowi telah terungkap, ini semakin mempermudah kita untuk membongkar ilusi terhadap Jokowi.
Kemunculan tokoh populis seperti Jokowi adalah gejala krisis politik di Indonesia. Rakyat luas sudah tidak lagi mempercayai partai-partai politik dan pemimpin-pemimpin politik yang ada, sehingga mereka mencari-cari sosok yang sungguh-sungguh baru, yang tidak datang dari jajaran elit lama. Dari sinilah sosok populis seperti Jokowi datang. Tidak hanya itu saja, untuk bisa menangkap imajinasi publik, Jokowi juga harus menggunakan jargon-jargon Soekarno. Begitu juga Prabowo, dan juga banyak elit politik lainnya. Tiba-tiba semua orang menjadi Soekarnois.
Kelas penguasa Indonesia membayangkan mereka bisa membeli legitimasi politik mereka dengan mendorong ke depan sosok seperti Jokowi yang ndeso, jujur dan bersih. Mereka membutuhkan sosok yang lebih dipercaya rakyat, dengan harapan rakyat akan lebih bisa menelan pil-pil pahit pemotongan subsidi, upah rendah, privatisasi, dll. Tidak lama setelah dilantik, rejim Jokowi ini melakukan apa yang memang menjadi logika dari sistem kapitalisme, yakni menaikkan harga BBM. Ini segera direspons dengan gelombang protes dari kaum muda dan kaum buruh. Sementara, pada pertemuan APEC, Jokowi meyakinkan para kapitalis asing bahwa iklim investasi Indonesia sangatlah baik dan upah buruh di sini “kompetitif”.
Banyak orang yang lalu mengeluh kalau Jokowi membohongi rakyat. Tetapi ini bukan masalah jujur atau tidak. Ini adalah masalah kepentingan kelas. Kalau kita hanya berbicara masalah kejujuran, maka kita akan terjebak pada logika “mencari pemimpin yang jujur”. Tetapi kalau kita paham bahwa ini adalah masalah kepentingan kelas, yakni Jokowi dan seluruh elit politik adalah perwakilan kelas kapitalis, maka ini berarti kita harus menggantikan kepemimpinan kapitalis ini dengan kepemimpinan kelas buruh. Sejak awal, kalau kita tidak membiarkan mata dan telinga kita dikaburi oleh kilau dan suara bising euforia Jokowi, kita sudah bisa melihat bagaimana Jokowi dan kubunya mewakil kepentingan kelas kapitalis. Kalau kaum buruh luas tidak bisa melihat ini, maka adalah tugas kita untuk menjelaskan dengan sabar. Tetapi kalau ada pemimpin buruh dan aktivis Kiri yang mendukung Jokowi (atau Prabowo), maka kekeliruan fatal seperti ini – yang jelas-jelas adalah pengkhianatan – harus kita ungkap dan lawan.
Kenaikan BBM baru-baru ini telah memicu gelombang protes, terutama di antara kaum muda. Tetapi gelombang protes ini tidak cukup besar untuk membatalkan kenaikan ini. Kaum muda sendiri saja tidak cukup kuat untuk mematahkan kebijakan ini. Dibutuhkan mobilisasi luas dari kaum buruh, sampai pada pemogokan nasional. Akan tetapi, bagaimana bisa memobilisasi massa buruh kalau para pemimpinnya setahun terakhir ini telah menggadaikan kemandirian kelas buruh, entah dengan mendukung Jokowi atau Prabowo? Kaum buruh bukan seperti bohlam yang bisa dihidupkan dan dimatikan sekehendak hati. Kebijakan kolaborasi kelas dari serikat-serikat buruh besar ini telah mematahkan semangat banyak kaum buruh. Ia telah menciptakan banyak kebingungan dan kekecewaan di antara buruh, sehingga ketika dibutuhkan untuk perjuangan melawan kebijakan kenaikan BBM dan juga perjuangan UMK 2015, kekuatan buruh ini sudah tidak lagi memiliki momentum.
Para pemimpin serikat-serikat ini mencoba menghidupkan kembali MPBI yang mereka sendiri bubarkan tahun lalu, tetapi tanpa hasil. Mogok nasional yang dijanjikan ternyata hanya macan kertas. Ia dibatalkan dan dijadikan unjuk rasa nasional. Perjuangan UMK 2015 gagal memenuhi target-targetnya, dan bahkan intensitas perlawanannya sangat kecil dibandingkan 2 tahun terakhir. Pengalaman ini akan diresap oleh banyak kaum buruh. Selapisan dari mereka akan menarik kesimpulan-kesimpulan yang dibutuhkan: yakni pentingnya menjaga kemandirian kelas buruh, dan perlunya mengadopsi politik revolusioner.
Di sini kita harus tekankan sekali lagi bahwa ini bukan masalah amanah, keberanian, atau tekad dari para pemimpin buruh ini. Ini bukan karena para pemimpin ini “tidak bersedia berjuang sampai titik darah penghabisan”. Ini karena gagasan yang dipegang oleh para pemimpin buruh ini adalah gagasan reformisme. Reformisme adalah gagasan bahwa buruh bisa meraih kesejahteraan di bawah sistem kapitalisme, bahwa kita tidak perlu menumbangkan kapitalisme dan cukup melakukan perubahan-perubahan di dalamnya. Ini berlawanan dengan politik revolusioner yang telah kita paparkan di atas: bahwa kapitalisme adalah jalan buntu bagi seluruh umat manusia dan oleh karenanya harus dilampaui. Karena para pemimpin buruh yang reformis ini tidak memiliki tujuan akhir untuk menumbangkan kapitalisme, maka niscaya mereka akan melakukan berbagai kompromi dengan kapitalis. Ini adalah logika dari posisi reformis mereka.
Kaum reformis tidak lagi mempercayai bahwa kapitalisme bisa ditumbangkan. Mereka tidak mempercayai tugas historis buruh dalam menumbangkan kapitalisme dan membangun sosialisme. Dan dari sinilah lahir pengkhianatan dari kaum reformis. Tidak peduli sejujur apapun mereka, seamanah apapun mereka, selama mereka beroperasi di dalam kerangka kapitalisme maka mereka akan didikte oleh logika kapitalisme. Sepanjang sejarah kita telah melihat bagaimana pemimpin buruh yang reformis ketika mereka ada di dalam pemerintahan kapitalis mereka justru menjadi instrumen untuk menjalankan kebijakan-kebijakan kapitalis.
Pukulan pertama sudah dihantarkan oleh rejim kapitalis Jokowi ini, dan ini menjadi seruan untuk perjuangan kelas yang lebih tajam di hari depan. Benturan besar antara rejim Jokowi dan rakyat pekerja mungkin akan datang lebih cepat daripada yang kita perkirakan. Ini karena Indonesia tidak luput dari pengaruh krisis kapitalisme dunia. Pemotongan subsidi dan penghematan adalah program kerja kaum kapitalis dunia hari ini untuk bisa keluar dari krisis. Tidak ada lagi ruang yang bisa diberikan oleh rejim kapitalis untuk peningkatan kesejahteraan buruh. Untuk setiap jengkal, kaum buruh harus berjuang dengan metode yang semakin militan. Akan tiba saatnya dimana mogok nasional 1 atau 2 hari tidak akan lagi memadai untuk memenangkan tuntutan mereka, dan buruh harus menggunakan metode-metode aksi yang bahkan lebih dalam dan luas, yang mengarah pada perebutan kekuasaan. Sampai momen menentukan ini tiba, kita harus mempersiapkan diri kita, dengan sebuah organisasi revolusioner yang berisikan kader-kader buruh dan muda terbaik, yang berpegang teguh pada ide, program, metode dan tradisi revolusioner.