Menyusul apa yang kami tulis belum lama ini untuk menanggapi gagasan-gagasan keliru dari Indoprogress (Marxisme Mereka dan Marxisme Kami – Penutup Kritik Masalah Pemilu 2014), saya akan mencoba menyentuh lebih dalam proyek rekonstruksi Marxisme yang digagas oleh Martin Suryajaya, salah satu teoretikus utama dari situs Indoprogress. Tulisan terakhir Martin di kolom Logika (Penemuan Kembali Marxisme Kita) telah sangat dilebih-lebihkan oleh para koleganya. Mereka membayangkan bahwa apa yang kelak dihasilkan dari proyek rekonstruksi filsafat Marxis Martin akan menghasilkan sebuah kebaruan atas Marxisme. Bahkan saya tidak bisa tidak merasa jijik ketika ada yang mengatakan bahwa kerja yang dilakukan Martin adalah seperti kerja yang dilakukan Marx ketika merumuskan pandangan filsafatnya. Tidak ada yang perlu dilebih-lebihkan di sini karena sejak semula kita sudah mengetahui di sisi mana Martin melandaskan proyek filsafatnya, yang tidak lebih daripada pandangan dunia idealis.
Apakah juga bukan sebuah kebetulan kalau proyek rekonstruksi ini diluncurkan setelah gagasan-gagasan yang diluncurkan oleh Indoprogress di bawah naungan Coen dan Martin berhubungan dengan masa pemilu kemarin (konsep relawan, artikulasi politik, dukungan kritis, melawan fasisme, dsb.) telah terbukti keliru? Para akademisi Marxis kita jari-jarinya terbakar setelah mencoba bermain-main dengan realpolitik. Tidak ada satu pun prognosis dan perspektif mereka yang benar sama sekali. Tetapi, alih-alih merekonstruksi cara berpikir mereka yang sejak awalnya telah keliru, mereka justru ingin merekonstruksi Marxisme itu sendiri.
Sebelum kita melihat hasil dari proyek rekonstruksi ini marilah kita lihat apa yang ada di isi kepala Martin. Martin tidak lebih daripada seorang idealis. Segala sesuatu yang menyangkut keberadaan haruslah mematuhi Nalar atau Ide. Bila ia tidak mematuhi Nalar ini—begitu keinginan Martin—maka keberadaan segala hal patut dipertimbangkan, dilupakan, bahkan bila perlu dibuang dan kembali melahirkan ide-ide baru.
Sementara Marxisme adalah filsafat materialis. Dalam artian ini saja ide-ide Martin sangatlah berlawanan dengan filsafat materialisme. Materialisme menganggap bahwa perkembangan dari Ide manusia pada akhirnya tergantung realitas obyektif—atau dalam ungkapan Jacob Bohme—ia tergantung pada Materi. Ketika kita berbicara mengenai Marxisme berarti kita berbicara mengenai filsafat materialis dialektik, yang dalam hal capaiannya melebihi apa yang pernah dicapai oleh para filsuf materialis sebelumnya, bahkan oleh para pemikir besar sebelumnya. Oleh karenanya, sebelum kita bisa berbicara mengenai apa yang ingin dicapai dari proyek “penemuan kembali Marxisme” yang diluncurkan oleh Martin, kita terlebih dahulu harus melihat apa yang sudah dicapai oleh Marx.
Apa yang sudah dicapai oleh Marx?
Sejarah dari perkembangan filsafat adalah sejarah pertentangan antara ide dan keberadaan. Segala konflik filsafat terdahulu sampai sekarang adalah kepanjangan dari ini. Satu dari gagasan ini beranggapan bahwa ide-lah yang mendahului keberadaan, satu di antara yang lain menganggap bahwa keberadaanlah yang mendahului ide. Dalam perkembangannya, konflik kedua pemikiran ini saling melampaui satu sama lain; yang satu membawa penaklukan terhadap yang lain. Inilah dialektika di dalam perkembangan pemikiran manusia. Karena sejarah pemikiran manusia adalah juga sejarah masyarakat itu sendiri, maka ia senantiasa berubah seturut dengan capaian masyarakat. Jauh daripada menjadi sebab, seperti pandangan dunia idealis, ia tidak lebih menjadi akibat dari masyarakat itu sendiri. Inilah pokok dari filsafat materialisme.
Filsafat materialisme sebelum Marx beranggapan bahwa perkembangan kesadaran manusia haruslah ditemukan di dalam lingkungan, masyarakat sipil, pendidikan, dan keadaan eksternal lain. Persoalan ini tentu saja tidak menjawab mengenai proses perkembangan kesadaran manusia. Bagaimana bisa kita menentukan bahwa perkembangan kesadaran manusia bergantung pada keadaan, pendidikan sementara melupakan bahwa manusialah yang mengubah keadaan dan bahwa pendidik itu sendiri memerlukan pendidikan.
Pernyataan tersebut telah mengandung di dalam dirinya sendiri sisi yang saling berkontradiksi, yang hanya bisa diselesaikan dalam bentuknya yang sudah diidealisasikan. Selanjutnya, akhir dari pemecahan kontradiksi ini menempatkan satu di antara manusia lebih unggul daripada yang lain. “Tetapi hanya makhluk rasional-lah yang dapat berperilaku sesuai konsepsi hukum-hukum”, begitulah Kant menyebut agen moral dalam perubahan ini. Inilah kelemahan materialisme abad ke-18. Ia mencampur materialisme dengan metafisisme. Alih-alih membuang Idealisme dari pintu depan, ia terbang masuk melewati jendela.
Apa yang tidak bisa dicapai oleh filsafat materialisme saat itu kemudian diambil tempatnya oleh idealisme Jerman. Perwakilan maju dari filsafat ini diambil oleh Hegel. Hegel melangkah lebih jauh dengan menemukan bahwa ada satu kekuatan yang pada akhirnya menentukan kesadaran manusia. Bila materialisme sebelum Marx kekuatan itu dapat ditemukan di dalam lingkungan, pendidikan, dsb., Hegel beranggapan bahwa kekuatan yang mengemudikan itu semua adalah “Roh” yang sebagai perwujudan dari sebuah Ide Absolut. Ia, Ide Absolut, adalah satu-satunya pencipta realitas.
Hegel tidak menyangkal realitas. Ia menunjukkan bahwa realitas tidak lebih daripada logika yang diterapkan. Pengakuannya terhadap gerak akhirnya menempatkan kembali dialektika di dalam ajaran filsafatnya. Gerak adalah dasar dari logika. Dialektika menunjukkan bahwa tidak ada yang abadi, yang absolut; semua yang ada layak untuk musnah. Dialektika bekerja dalam gerak dan berurusan dengan proses.
Ketika kita harus menjawab apakah tubuh itu bergerak pada titik tertentu dan pada saat tertentu tidak ada? Atau, ketika seseorang mengalami kerontokan rambut, apakah bisa dikatakan bahwa seseorang itu botak? Seluruh pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan logika formal: “iya adalah iya” dan “tidak adalah tidak”, karena seluruh rangkaian itu sedang dalam proses kemenjadian, yang kesemuanya dibutuhkan kuantitas tertentu untuk menjadi suatu kualitas. Tapi ketika ada yang mengajukan apakah planet itu ada, maka kita menjawab tanpa keraguan: “iya”, ada.
Dialektika tidak menyingkirkan logika formal, tetapi ia hanya menghilangkan hukum-hukum logika formal dari nilai-nilai yang absolut; yang metafisika. Hanya saja, dalam pengertian ini, Hegel menempatkan bahwa dialektika merupakan bangunan keseluruhan dari pengalaman, yang bila dihilangkan keseluruhan dasar dari bangunan ini maka bangunan dialektika Hegel akan runtuh. Inilah mengapa dalam perjalanannya banyak dari murid Hegel menyeberang ke kamp materialis.
Dialektika Hegel kemudian menjadi ajal bagi dasar bangunan filsafatnya. Nilai-nilai absolut dari idealisme berkontradiksi dengan dialektika itu sendiri. Dialektika Hegel tidaklah musnah, ia lebih pada mempersiapkan jalan bagi perkembangan filsafat selanjutnya. Seperti Idealisme Jerman yang jaya menggantikan Materialisme abad ke-18, maka berkebalikan dari itu, Materialisme sekarang menegakkan kepalanya di mana-mana.
Ketika Hegel melihat Napoleon, ia mengatakan bahwa dia sedang menyaksikan ‘Roh Dunia’ sedang menunggang kuda. Ia melihat sejarah ditentukan oleh ‘Roh Dunia’ atau dalam kata lain dikemudikan oleh Ide Absolut. Memang dalam sejarah, individu-individu yang berpengaruh tersebut dapat mengubah fitur-fitur tertentu dari peristiwa, namun ia tidak dapat mengubah tren umum dari kekuatan-kekuatan lain. Kekuatan itu pulalah yang pada akhirnya menentukan seluruh bangunan ide-ide dari manusia, yang kesemuanya dapat ditemui di dalam hubungan-hubungan produksi dan pertukaran, dan yang kesemuanya pada akhirnya tergantung pada perkembangan kekuatan produksi masyarakat.
Hanya Marx yang kemudian menempatkan dialektika pada tempat yang seharusnya. Ia menempatkan dialektika pada fondasi materialis. Bila dialektika Hegel ditopang oleh metafisika, maka dialektika Marx ditopang oleh doktrin materialis. Pada dasar ini pula lah Marx telah memecahkan problem filsafat antara ide dan keberadaan. Baginya, Ide adalah refleksi dari dunia material yang diterjemahkan dalam bahasa pemikiran. Kontradiksi-kontradiksinya yang ada dalam fenomena adalah sehubungan dengan sifat kontradiktif dasar dari sifat materi tersebut, yakni gerak. Inilah karakter revolusioner dari dialektika yang setelah dilepaskan dari selubung metafisisnya. Inilah capaian Marx, capaian Marxisme itu sendiri. Dari cara pandang inilah kita melandaskan diri kita.
Apa yang ingin dicapai oleh Martin?
Mari kita periksa bagaimana teoretikus Marxis Indonesia kita ini ingin “menemukan kembali” Marxisme:
“Kita tidak bisa lagi berangkat dari problematik klasik Marxisme: dialektika, materialisme, dan perjuangan kelas. Sebagai sistem filsafat, Marxisme yang saya bayangkan [italik dari saya] mesti dapat memberi ruang pada apa-apa yang berada ‘di luar’ domain diskursus Marxisme tradisional: permasalahan-permasalahan di luar ilmu sosial seperti Ada, esensi, kebenaran, makna, kesadaran, dsb. Rekonstruksi atas Marxisme sebagai sistem filsafat kontemporer mesti dimulai dari ‘luar’ domain Marxisme tradisional.”
Tentu saja seorang Marxis perlu membawa maju filsafatnya kepada penaklukan-penaklukan terbaru, melakukan kritik terhadap kekeliruan cara pandang filsafat sebelumnya dan bahkan cara pandang filsuf kontemporer serta pemikir yang mengklaim dirinya Marxis tapi mendistorsikannya. Namun apa yang dilakukan Martin bukanlah membuang air keruh di dalam bak bayi,tapi melemparkan bak mandi beserta bayi yang ada di dalamnya. Ia melempar Materialisme dan sesungguhnya beralih memeluk Idealisme. Dalam eksposisinya yang panjang mengenai usaha untuk “menemukan kembali” Marxisme, gagasan-gagasan dibicarakan seakan-akan mereka berdiri secara terpisah di atas kondisi-kondisi material yang menciptakan mereka, berdiri terpisah dari perkembangan historis masyarakat itu sendiri. Apa ini kalau bukan Idealisme? Dari cara berpikir Idealis seperti inilah maka Martin bisa berbicara mengenai apa yang ada di dalam dan di luar “domain Marxisme tradisional”, di mana Martin ingin berdiri di “luar domain Marxisme tradisional”. Yang tidak dipahami oleh Martin adalah bahwa “domain Marxisme tradisional” dan “problematik klasik Marxisme: dialektika, materialisme, dan perjuangan kelas” adalah fungsi dari perkembangan sejarah manusia itu sendiri, adalah fungsi dari kondisi-kondisi objektif material.
Belum cukup itu saja, ia ingin menemukan “… Marxisme yang lahir baru, yang telah disucikan dari segala kekeliruan dan keruwetan konseptualnya selama ini”. Tapi apa yang dimaksud Martin mengenai kekeliruan dan keruwetan Marxisme? Apakah kekeliruan dan keruwetan Marxisme ini dibuat sesuai Nalar, dan benar sesuai Nalar yang dipikirkan oleh Martin?Oh, betapa mahakuasanya Nalar pemikiran manusia ini.
Lalu apa yang diingini oleh Martin setelah meraih senjata yang mahakuasa ini?Inilah yang diinginkan Martin: “Kita mesti turun ke medan perdebatan yang steril dari Marxisme dan merumuskan simpulan-simpulan yang kita temukan—bersenjatakan nalar semata—sebagai benar adanya.” [Italik dari saya] Ini adalah idealisme yang semurni-murninya. Untuk ini salah bila menganggap Martin adalah seorang Marxis. Apakah dengan cara demikian ia bisa membawa langkah maju terhadap filsafat? Tidak. Martin seperti seorang tentara yang heroik menuju perang menolak senjata modern hanya untuk menggunakan bambu runcing,dan metodenya sama seperti seorang menolak mesin uap hanya untuk menggunakan mesin pintal tradisional.
Selanjutnya, setelah di muka kita sudah memberikan gambaran mengenai apa itu materialisme dan apa itu idealisme,kita akan membahas apa yang sepertinya membuat Martin bosan dengan ketidakpahamannya mengenai perjuangan kelas sehingga menganggap bahwa ini hanyalah diskursus tradisional.
Filsafat dan perjuangan kelas
Banyak yang mengatakan bahwa Marxis selalu saja mengaitkan apapun dengan perspektif perjuangan kelas, seakan-akan mendeduksikan semua hal dari ini. Saya menambahkan bahwa tidak hanya dalam hal itu saja, bahkan pada masalah filsafat kita mengambil bentuk perjuangan kelas. Namun bentuk deduksi ini tidak berangkat dari hal yang dangkal dan idealis. Ia berangkat dari pemahaman umum mengenai sejarah masyarakat itu sendiri.
Sejarah susunan masyarakat dari primitif ke modern adalah juga karya manusia. Namun perpindahan susunan masyarakat dari satu ke yang lain bukanlah atas kehendak-kehendak ideal dari manusia itu sendiri. Bila begitu halnya, mungkin masyarakat primitif tidak akan bergerak ke fase masyarakat perbudakan, karena bisa saja mereka melangkah pada susunan masyarakat yang mereka idealkan itu. Apa yang benar dan ideal pada satu masa kemudian akan menjadi relatif, yang kesemuanya itu tergantung pada capaian masyarakat itu sendiri.
Masyarakat kapitalis adalah tatanan ideal sebelum ia menghabiskan seluruh potensi kekuatannya untuk membawa maju masyarakat. Ia bahkan digambarkan oleh para filsuf terdahulu sebagai tatanan yang paling rasional. Tetapi kapitalisme menjadi tidak ideal lagi ketika ia justru menjadi belenggu bagi kekuatan produksi masyarakat. Begitu pula dengan perkembangan capaian teori evolusi Darwinian yang diterima menjadi kebenaran pada jamannya kini telah menjadi kebenaran relatif karena berbagai penyelidikan menemukan bahwa perkembangan evolusi biologi tidak hanya berjalan statis dan gradual, tapi di saat tertentu mengalami lompatan-lompatan kualitatif. Ide Darwin tidaklah dinegasikan karena ia masih sahih sampai sekarang, namun ia lebih dilengkapi dengan penemuan-penemuan terbaru. Ide-ide manusia tidak bisa melampaui apa yang ada di luar keberadaan dirinya sejauh masyarakat itu sendiri belum menyediakan basis bagi perkembangan ide-ide tersebut. Inilah dasar dari pemahaman kita melihat sejarah pemikiran filsafat-filsafat sebelumnya. Ini juga sekaligus pukulan telak terhadap mereka-mereka yang menjunjung tinggi kerajaan Nalar.
Dasar hubungan produksi masyarakat primitif niscaya tidak menciptakan kelas-kelas di masyarakat. Kekuatan produksi masyarakat tersebut masih belum mencukupi untuk membagi masyarakat menjadi kelas-kelas. Hanya setelah manusia mengembangkan teknik dari berburu dan meramu menuju ke pertanian maka masyarakat mampu menghasilkan kelebihan produksi. Kekuatan produksi yang dibangkitkan dari masyarakat pertanian ini kemudian berbenturan dengan hubungan-hubungan produksi lama, yang dengan demikian mengubah susunan masyarakat itu sendiri. Di sini pula timbul kelas-kelas di dalam masyarakat. Mula-mula kelebihan produksi ini digunakan untuk menjaga masyarakat di saat terjadi bencana alam dan sebagainya. Namun seiring dengan semakin besarnya kekuatan produksi ini maka ia mengharuskan memelihara minoritas-minoritas tak bekerja (seperti kepala-kepala adat, pemuka-pemuka agama dan sebagainya), yang dari ini semakin besar kekuatan produksi, semakin terpusatlah kekuasaan ke tangan-tangan minoritas ini. Kelas-kelas yang telah memusatkan kekuasaan ke tangannya sendiri ini tidak cukup hanya dengan menguasai nilai lebih masyarakat yang telah diterima dari kedudukan istimewanya. Untuk menjaga hak-hak istimewa yang didapatnya dari kepemilikan atas alat-alat produksi ia perlu menciptakan segala tata aturan, hukum-hukum, seperangkat ide-ide untuk mendukung kedudukannya agar tetap berjalan sesuai dengan cara pandang kelas penguasa tersebut.
Setiap tahapan yang dilalui oleh masyarakat merupakan hal yang diperlukan sejauh ia dapat mengembangkan kekuatan produksi masyarakat. Ia berubah dan senantiasa berubah ketika hubungan produksi itu sudah tidak bisa lagi menampung kekuatan produksi yang dibangkitkan dari hubungan produksi sebelumnya. Begitu pula dengan masyarakat kapitalisme sekarang, ia sudah tidak bisa lagi mengendalikan apa yang dia sendiri ciptakan itu. Kapitalisme telah mengubah seluruh populasi menjadi pekerja upahan bagi mereka. Kita bisa melihat bahwa seluruh operasi-operasi dari perkereta-apian, telekomunikasi, pertambangan, dan pembangunan dalam skala besar dikendalikan oleh kelas pekerja. Hari ini kelas kapitalis tidak melakukan fungsi lain selain daripada mengeruk keuntungan.
Modernisasi teknologi yang telah diperkenalkan kapitalisme yang seharusnya mampu untuk mengurangi jam kerja dan mengatasi pengangguran kini justru melemparkan masyarakat ke dalam jurang pengangguran dan semakin memperpanjang jam kerja. Kelebihan barang kebutuhan yang merupakan hasil dari anarki produksi ini tidak terkonsumsi karena upah riil kelas pekerja senantiasa diturunkan. Kapitalisme sudah tidak bisa lagi mengontrol kekuatan yang dibangkitkan oleh dirinya sendiri, sehingga membuat dirinya sendiri tenggelam dari satu krisis ke krisis yang lain. Seperti ungkapan Engels, bila pemintal-tangan ditakdirkan pelan-pelan mati-kelaparan, maka sistem kapitalis ditakdirkan mati tenggelam karena terlampau banyak makan. Sistem kapitalisme yang telah kehabisan potensi hidupnya ini telah menenggelamkan capaian pemikiran masyarakat sebelumnya. Persis seperti Zaman Kegelapan menenggelamkan capaian pemikiran di bawah dogma Gereja; kapitalisme menenggelamkan capaian pemikiran manusia ke dalam altar suci kapital.
Sebagian berpendapat bahwa sudah seharusnya kita meninggalkan filsafat karena capaian teknologi sudah lebih dari mampu menerangkan gejala-gejala fisika dan kimia sifat-sifat mikroba, partikel-partikel materi, dsb. Sebagian lagi beranggapan bahwa kita perlu membawa maju filsafat dari keterkungkungannya terhadap formula-formula lama. Mereka mengungkapkan keberatan-keberatan yang sesungguhnya mereka sendiri yang sedang mengalami jalan buntu. Memecahkan masalah ini menuntut bagi kita untuk memahami masyarakat manusia itu sendiri. Kapitalisme yang sedang mengalami jalan buntu mustahil membawa maju pemikiran umat manusia. Kebuntuan masyarakat berarti pula kebuntuan filsafat. Hal ini tercermin di dalam bentuk-bentuk kesimpulan pemikir jaman ini yang bukannya justru membawa penaklukan baru filsafat dan teknologi, namun membawa mundur ke belakang di bawah capaian para filsuf terdahulu.
Untuk membawa keluar filsafat dan seluruh capaian pemikiran manusia yang selama ini terbelenggu, dengan kata lain, merevolusionerkan pemikiran manusia, pertama-tama adalah perlu untuk merevolusionerkan masyarakat itu sendiri. Sistem kapitalisme yang berjalan tidak rasional harus diganti dengan sistem yang rasional, yakni sebuah sistem yang direncanakan secara rasional atas kehendak manusia. Sistem ini adalah sistem sosialisme. Perjuangan untuk mewujudnyatakan ini tidak bisa lain dan tidak bisa tidak mengambil bentuk perjuangan kelas, yakni perjuangan melawan prasangka-prasangka, pemikiran-pemikiran masyarakat lama. Dalam bentuk saat ini perjuangan itu adalah perjuangan antara kelas borjuasi yang mewakili masa lalu dan kelas proletariat yang mewakili masa depan.
Tidak sedikit Kiri di seberang sana yang mengatakan bahwa kita hanya berdebat di antara kita sendiri, dan lebih baik kita bersatu karena musuh kita adalah kapitalisme. Apakah dengan mengatakan ini mereka lupa bahwa perjuangan proletariat untuk mencapai pembebasannya adalah juga perjuangan melawan pemikiran-pemikiran borjuasi yang merasuki – dan tujuannya memang demikian – gerakan itu sendiri, yang untuk ini kita tidak pernah bisa berdamai barang sejengkal tanah pun? Mereka mengatakan ini dengan keberatsebelahan. Hal ini justru sangat disukai oleh para borjuasi: Anda boleh berjuang anti kapitalisme tapi jangan pernah sekali-kali menyentuh kepemilikan pribadi; apalagi sosialisme. Mereka yang menyerukan persatuan tanpa pemahaman yang jelas mengenai perjuangan kelas sebenarnya adalah para demokrat kiri borjuasi.
Marxisme merupakan pemikiran yang mendasarkan dirinya pada satu-satunya kelas yang mewakili masa depan, oleh karenanya Marxisme adalah revolusioner. Dan gagasan-gagasan borjuasi adalah reaksioner karena ia mewakili masa lalu. Akan menjadi hal yang skolastik belaka bila mengandaikan bahwa perkembangan Marxisme di kemudian hari akan berganti menjadi doktrin lain ketika proletariat menang—ketika tidak ada lagi kelas di masyarakat. Serta sangat reaksioner bila berusaha membuang Marxisme dan kembali memeluk Idealisme, seperti yang telah berhasil dilakukan oleh Martin sekarang.
Demikianlah, pada pokok yang paling mendasar pandangan Martin sangatlah berlawanan dengan Marxisme. Martin selalu berangkat dari hal abstrak mengenai fenomena. Ia tidak bisa membedakan antara kulit luar dan isi sebuah materi; mencoba membuktikan bahwa Nalar ini sesuai dengan materi dan bahwa fenomena ini mengikuti Nalar yang mahakuasa tersebut. Ini tepat seperti pengingkarannya terhadap perjuangan kelas sebagai sebuah gerak sejarah masyarakat, yang pada kesimpulan akhirnya mencari bentuk-bentuk perjuangan lain (artikulasi politik, relawan dan lain-lain, asal bukan perjuangan kelas).
Perjuangan proletariat di dalam sejarah tidaklah berangkat dari asas-asas yang abstrak tersebut. Ia membutuhkan sebuah pemahaman ilmiah terhadap sejarah masyarakat. Karena proletariat bertujuan menghapuskan kelas di masyarakat maka bentuk-bentuk perjuangan yang diajukan oleh Martin hanyalah sebuah reforma kapitalis, ia tidak revolusioner, yang oleh karenanya keliru. Kesimpulan Martin tidak bisa membawa jauh perjuangan kelas proletariat pada perebutan kekuasaan karena metodenya sendiri pun sangatlah impoten. Perjuangan proletariat untuk menghapuskan kelas di masyarakat hanya bisa dilakukan perjuangan yang konsisten di bawah partai massa revolusioner proletariat yang bersendikan sebuah teori revolusioner yang ini terkandung di dalam Marxisme. Hanya dengan memahami Marxisme sebagai metode perjuangan proletariat, maka kita tidak bisa diombang-ambingkan oleh segala fenomena-fenomena yang terjadi di alam maupun masyarakat. Karena berbagai interpretasi-interpretasi manusia sering kali melayani ideologi kelas penguasa, tentu perlu untuk mengikatkan diri kita pada perjuangan proletariat, mengikatkan diri pada Marxisme. Dengan itulah—dan satu-satunya jalan itu pulalah—kita bisa memecahkan selubung-selubung ilmu pengetahuan dan filsafat dari prasangka kelas penguasa.