Selama 6 bulan terakhir, harga minyak yang rendah telah menimbulkan gonjang-ganjing di dalam perekonomian dunia, terutama negeri-negeri produsen minyak. Dalam waktu singkat harga minyak bumi anjlok lebih dari 50%. Semua pihak segera melayangkan jari telunjuk mereka pada Arab Saudi dan kartel minyak OPEC, terutama yang pertama ini, yang dituduh memainkan harga minyak dunia untuk kepentingan sempit mereka. Tentunya rejim monarki Saud punya kepentingan mereka sendiri yang ingin mereka lindungi, tetapi anjloknya harga energi memiliki sebab musabab yang lebih fundamental. Anjloknya harga minyak pada analisa terakhir disebabkan oleh melemahnya perekonomian dunia yang sejak krisis finansial 2008 masih belum menemukan pemulihannya. Ekonomi yang melemah berarti roda-roda pabrik berhenti berputar dan tidak lagi membutuhkan pasokan energi, sehingga permintaan akan minyak bumi pun menurun.
Mari kita coba periksa hubungan dialektis antara permintaan dan penawaran (suplai). Ketika ekonomi menguat dan ada permintaan yang besar akan migas (dan energi secara umum), maka para penyuplai energi ada di atas angin. Mereka dapat memiliki kontrol yang lebih besar atas harga. Bayangkan kalau ada bencana kelaparan, maka produsen roti yang mengontrol barang yang dicari-cari oleh banyak orang ini bisa mendikte harga roti dengan jauh lebih leluasa. Sebaliknya, bila yang terjadi sebaliknya, rakyat perutnya kenyang dan dapurnya penuh dengan roti – suatu mukjizat tentunya di bawah kapitalisme – sementara produksi dan suplai roti berkelimpahan, maka para produsen roti ada di dalam posisi yang lemah. Roti-roti mereka yang menumpuk di gudang harus dijual dengan harga murah. Mereka tidak memiliki ruang gerak yang banyak untuk memanipulasi harga lewat tuas-tuas produksi mereka.
Dalam kaitannya dengan harga minyak dunia, situasi ini diperparah dengan adanya banyak produsen minyak bumi yang kepentingannya saling berbenturan. Mereka saling bersaing untuk merebut pangsa pasar. Para pengamat ekonomi berlomba-lomba memberikan opini dan analisa mereka mengenai siapa-siapa saja yang mendapatkan keuntungan atau kerugian dari jatuhnya harga minyak ini. Akan tetapi siapapun pemenangnya, rakyat pekerja akan selalu menjadi pihak yang kalah.
Bagi negeri-negeri produsen minyak yang bergantung pada pendapatan penjualan emas hitam ini untuk membiayai anggaran mereka, ini akan berarti pemotongan anggaran. Kita tahu dengan segera bahwa yang akan dipotong pertama-tama bukanlah gaji para pejabat tinggi tetapi program-program sosial yang diperlukan oleh rakyat pekerja miskin. Sementara pemerintah ini akan terus memenuhi kewajiban mereka membayar miliaran dolar bunga pinjaman pada IMF dan Bank Dunia. Subsidi untuk korporasi-korporasi besar masih akan mengalir, dengan dalih untuk menarik investasi.
Selain itu, harga minyak yang anjlok berarti banyak perusahaan minyak yang harus menutup kilang minyak dan sumur mereka, serta menghentikan usaha eksplorasi minyak. Ini berarti hilangnya puluhan ribu pekerjaan bagi para buruh minyak. Sementara bagi para pemilik modal perusahaan-perusahaan minyak, mereka tidak akan jatuh ke lembah kemiskinan karena mereka telah meraup jutaan dolar sebelumnya yang tersimpan di pundi-pundi mereka di Swiss. Kalaupun mereka pailit, kita tahu pemerintahan mereka [yakni pemerintahan borjuasi] akan segera memberikan mereka bailout.
Di Indonesia, anjloknya harga minyak dunia telah memungkinkan pemerintahan Jokowi untuk menurunkan harga BBM bersubsidi, yang awalnya telah dinaikkan pada November lalu. Walau ini tampak seperti berkah bagi rakyat pekerja, namun ketika alasan mengapa harga BBM turun adalah karena aktivitas ekonomi dunia yang lemah maka berkah ini sangatlah elusif. Melemahnya aktivitas ekonomi dunia memiliki imbas yang negatif pada perekonomian Indonesia: tertekannya ekspor dan menurunnya investasi asing. Ekonomi Indonesia pada 2014 hanya tumbuh sebesar 5,02 persen, menurun dari 5,58 persen pada 2013, dan pertumbuhan terlambat dalam 5 tahun terakhir. Sementara nilai kurs rupiah terus melemah dan menembus Rp. 13,000 per dolar US – terburuk sejak 1998 – yang disebabkan oleh kekhawatiran akan melemahnya pertumbuhan ekonomi di Cina yang dapat memperburuk neraca perdagangan Indonesia. Karena banyak bahan kebutuhan rakyat sehari-hari diimpor, dan rakyat pekerja Indonesia hanya bisa memegang rupiah dan bukan dolar, maka kantong rakyat pekerjalah yang terpukul. Dalam kata lain, kondisi-kondisi ekonomi yang menyebabkan harga minyak rendah – yakni krisis ekonomi dunia yang kronik dan berkepanjangan – telah menciptakan kondisi-kondisi yang sulit bagi rakyat pekerja.
Karena rendahnya harga minyak, rejim Jokowi mendapatkan sedikit ruang gerak. Pemerintahannya bisa memotong anggaran subsidi BBM tanpa menaikkan harga BBM secara drastis seperti yang dilakukannya pada November lalu. Bisa kita bayangkan betapa leganya mereka tidak harus menghadapi rakyat yang geram karena BBM yang tinggi pada saat yang sama ketika drama politik KPK-Polri meledak. Akan tetapi berkah ini pun sangatlah elusif bagi kelas penguasa, karena seperti yang telah kita paparkan secara singkat di atas bahwa melatarbelakangi jatuhnya harga minyak adalah lesunya perekonomian dunia. Mesin kendaraan ekonomi kapitalisme sedang berjalan tersendat-sendat, dan semakin banyak buruh – kering kerontang berbasuh keringat – yang dipaksa mendorongnya dari belakang, sementara kaum kapitalis duduk nyaman di dalam kendaraannya ini.
Dalam skenario kapitalisme apapun, rakyat pekerja tidak akan pernah menjadi pemenang. Kemenangan rakyat pekerja yang sejati hanya bisa dicapai ketika kekuatan ekonomi dan politik kelas kapitalis telah disita oleh kelas buruh, dan diletakkan di bawah sistem ekonomi terencana yang demokratis. Inilah yang sedang kita perjuangkan.