Uni Eropa sekali lagi berada di tepi jurang dengan referendum Brexit yang akan diselenggarakan esok hari (23/6). Para pemimpin Uni Eropa baru saja pulih urat sarafnya dari ancaman Grexit (keluarnya Yunani dari Uni Eropa) setahun yang lalu, dan sekarang mereka dihadapi oleh prospek keluarnya Inggris, sebuah negeri dengan pengaruh ekonomi dan politik yang jauh lebih besar daripada Yunani, dari Uni Eropa. Nasib Uni Eropa, yakni persekutuan kapitalis yang sedang sakit-sakitan, akan ditentukan oleh referendum pada 23 Juni ini.
Para politisi, ekonom, dan siapapun yang dianggap penting, mereka semua bernyanyi dengan merdu dan harmoni bahwa Inggris harus tetap di Uni Eropa. Kalau tidak konsekuensinya akan fatal. Sementara, sayap borjuasi yang lainnya, Nigel Farage dan kawan-kawan Eropa Kontinentalnya, seperti Le Pen, melihat pecahnya Uni Eropa sebagai sebuah masa depan yang baik bagi mereka. Tetapi bagi kaum buruh dan kaum muda masa depan mereka adalah masa depan yang dipenuhi pemangkasan tanpa akhir, terlepas dari nasib Uni Eropa nantinya. Satu-satunya perbedaan yang sesungguhnya antara sayap “Tetap” dan “Keluar” dari kelas penguasa adalah cara mereka untuk menyajikan program pemangkasan ke kaum buruh.
Bergabung ke kamp “Tetap” adalah wajah yang sudah kita kenal, yakni ekonom super-star kita Yanis Varoufakis. Baru-baru ini dia menulis sebuah artikel untuk koran The Guardian dengan judul yang tidak menutup-nutupi apa tujuan dari sang penulis: Why we must save the EU (Mengapa kita harus menyelamatkan Uni Eropa). Bagi mereka yang telah membaca pengakuan dosa Varoufakis (Pengakuan dari seorang Marxis yang plin-plan), kegemarannya untuk menyelamatkan banyak hal bukanlah hal yang mengejutkan. Dia telah berikrar untuk mengemban tugas historis “menyelamatkan kapitalisme Eropa dari dirinya sendiri” dan kami telah memberikannya penitensi yang berat agar dia bertobat dari kebodohannya. (Baca Varoufakis’ mission “to save European capitalism from itself”)
Sekarang dengan Uni Eropa di tepi jurang disintegrasi, Varoufakis bergegas lagi mengajukan proposalnya untuk mencegah pecahnya Uni Eropa, yang menurutnya dapat “menciptakan pusaran akan melibas kita semua – sebuah replay dari periode 1930an [baca, kebangkitan fasisme]”. Selain himbauannya agar buruh dan kaum muda Inggris memilih tetap di Uni Eropa kecuali kalau mereka ingin “menderita konsekuensi mimpi buruk Pan-Eropa”, artikel terbaru dari Varoufakis ini adalah bacaan yang menarik bagi siapapun yang ingin memahami bagaimana seorang reformis berpikir. Walaupun kita sama sekali tidak tertarik untuk melakukan psikoanalisis terhadap labirin kompleks di dalam kepala seorang reformis, yang mana dia sendiri sering tersesat di dalamnya, penting untuk mengekspos kebuntuan reformisme ini supaya bisa dilihat oleh buruh.
Artikel Varoufakis dimulai dengan kisah masa kecilnya pada 1960an ketika junta militer berkuasa di Yunani. Di bawah lindungan selimut merah, Yanis kecil bersama ayah ibunya diam-diam mendengarkan siaran radio dari Jerman, Deutsche Welle. Siaran radio Jerman ini bagi Yani adalah corong suara nalar dan demokrasi selama tahun-tahun kegelapan kediktatoran militer, jendela ke Eropa yang demokratik. Hari-hari selimut merah ini adalah “memori yang tak terlupakan” bagi Yanis, seperti pengakuannya sendiri.
Cukup instruktif kalau Varoufakis mengingat episode ini dan menceritakannya kembali ke para pembacanya sebelum berargumen mengapa Uni Eropa dan kapitalisme Eropa harus diselamatkan dengan cara apapun. Dia bermaksud menekankan bagaimana Eropa tahun 1960an, dan terutama Jerman tahun 1960an, adalah Eropa yang baik, Jerman yang baik, demokratik dan rasional, “kawan yang baik, tanahnya kaum demokrat,” tulisnya. Tetapi lima puluh tahun kemudian, ketika dia berangkat ke Berlin sebagai menteri keuangan Yunani dengan harapan mencapai persetujuan yang bisa diterima oleh Troika dan lalu ditolak mentah-mentah oleh Wolfgang Schauble, dia mengeluh bahwa “setengah abad yang berselang sejak hari-hari selimut merah saya … telah mengubah Eropa sampai tak aku kenali.”
Memang benar Eropa telah berubah. Era keemasan kapitalisme pada 1950-70an yang begitu memberi rasa hangat pada Yanis kecil telah berakhir. Kenyataan kalau Varoufakis begitu menyesali fakta ini, seperti halnya kaum reformis lainnya seperti dia, mengungkapkan cara berpikir dari kaum reformis, yang terjebak dalam waktu yang kaku. Boom kapitalisme pasca Perang Dunia Kedua adalah sebuah periode unik yang merupakan hasil dari kombinasi berbagai faktor yang tidak akan terulang kembali: luluh lantaknya Eropa yang menghancurkan alat-alat produksi yang berlebihan dan dengan demikian menyelesaikan untuk sementara kontradiksi over-produksi; menguatnya reformisme dan Stalinisme yang mengikat tangan dan kaki kaum buruh; dan perluasan tanpa-preseden perdagangan dunia. Kapitalisme yang sedang boom dapat memberikan konsesi ekonomi dan juga konsesi politik yang membuat kapitalisme tampak santun dan demokratik.
Namun seiring dengan berkembangnya krisis kapitalisme dalam skala dunia, dimana kapitalisme telah melangkah keluar dari era keemasannya dan memasuki periode “normal”nya, kaum reformis yang sebelumnya merasa kerasan tiba-tiba menjadi linglung. Mereka tidak bisa memahami situasi baru ini. Ini terpampang dengan begitu jelasnya oleh kekecewaan Varoufakis akan apa yang dianggapnya watak anti-demokratik dari negosiasinya dengan troika. Dia terkejut ketika para pemimpin Eropa tidak mau mendengarnya: “Datang dari dunia akademik dimana argumen dan nalar adalah hal yang bisa, realisasi yang paling mencolok mata yang saya dapati ketika menghadiri pertemuan dengan para pembuat keputusan tertinggi Eropa adalah absennya diskusi yang berarti. … Ketika saya mulai berbicara mengenai [rencana-rencana ekonomi saya], mereka melihat saya seperti saya sedang menyanyikan lagu kebangsaan Swedia.”
Varoufakis mengharapkan sebuah debati yang demokratik dan rasional, dimana semua pihak dapat mencapai persetujuan. Bukankah dia ke sana dengan maksud membantu Merkel dan Schauble untuk menyelamatkan kapitalisme? Bukankah dia juga memiliki di tangannya mandat demokratik dari rakyat Yunani? Tetapi dia diingatkan secara kejam oleh Schauble: “Pemilu tidak bisa diperbolehkan untuk mengubah program ekonomi dari negara anggota.” Pernyataan yang kategorikal dan jujur dari Schauble ini meluluh lantakkan ilusi masyarakat yang santun dan demokratik, Jerman sebagai “tanah air kaum demokrat”, yang dipegang erat oleh Varoufakis.
Varoufakis mengeluh dengan pahit: “Bagaimana tuan rumah saya [Schauble] bisa memahami bahwa saya tiba di kotanya dengan kepala saya penuh dengan memori masa kecil saya dimana Jerman adalah selimut pelindung saya?” Pengakuan ini – dan kami begitu senang kalau Varoufakis tidak malu untuk berbagi dengan para pembacanya perasaan-perasaan dia yang paling intim – mengungkapkan dengan begitu sempurna cara berpikir kaum reformis. Di satu pihak, sungguh adalah sebuah kejahatan kalau Varoufakis tiba di meja negosiasi Troika untuk mewakili nasib jutaan rakyat Yunani dengan kenaifan bocah enam tahun. Kendati semua klaimnya kalau dia memiliki rencana ekonomi yang brilian dan mutakhir yang akan menyelamatkan tidak hanya Yunani tetapi juga kapitalisme Eropa, pada akhirnya strateginya ditopang oleh memori masa kanak-kanaknya, yang dia bayangkan akan bisa menggerakkan dan menginspirasi hati para pemimpin dan birokrat Uni Eropa yang dingin. Tetapi dia dihadapkan dengan realitas yang keras, dan Schauble tua yang bijak merobek selimut merah dari tangan si Yanis kecil yang naif dan menghardiknya untuk bertingkah dewasa.
Di lain pihak, ini menggarisbawahi satu tema yang terus muncul, yakni usaha kaum reformis untuk memutar balik waktu, sebuah usaha yang telah dianggap mustahil oleh ahli fisika kecuali kalau kita ingin bertualang ke ranah fiksi sains. Dipersenjatai dengan “memori masa kecil dimana Jerman adalah selimut pelindung saya”, Varoufakis memohon pada Schauble dan Merkel untuk kembali ke Jerman tahun 1960an, seperti semua kaum reformis yang dengan kepala batu mereka memohon kepada yang berkuasa untuk kembali ke masa-masa keemasan kapitalisme dimana reforma-reforma banjir meluap. Tetapi waktu terus melangkah maju dengan kekeraskepalaan yang bahkan lebih membatu.
Setiap kaum reformis punya memori selimut mereka sendiri yang mereka pegang erat-erat, yang memberi mereka perasaan hangat di hati sanubari mereka akan masa lalu yang menyenangkan. Kita tidak keberatan sama sekali kalau mereka ingin hidup di masa lalu, karena mereka memang patut dijadikan sampah sejarah. Tetapi mereka juga ingin mengikat kelas buruh di masa lalu ini dan menghalangi langkah kelas buruh ke masa depan. Maka dari ini, implisit dalam reformisme adalah pengkhianatan. Apakah pengkhianatan itu dilakukan secara sadar atau tidak sadar tidaklah berpengaruh pada akibat dari pengkhianatan tersebut.
Polemik historis antara kaum reformis di satu sisi dan kaum Marxis revolusioner di sisi lain, yang telah berlangsung sejak jamannya Eduard Bernstein, selalu dapat direduksi ke pertanyaan ini: apakah kelas buruh siap merebut kekuasaan? Pertanyaan ini mengambil banyak bentuk dan mengekspresikan dirinya dalam berbagai konteks, tetapi secara fundamental selalu sama. Bagi kaum reformis, kelas buruh tidak pernah siap untuk memenuhi tugas historisnya dan oleh karenanya sosialisme adalah seperti gawang yang selalu bisa dimundurkan dan tidak pernah bisa dicapai. Kita akan kesulitan mencari dalam sejarah satu momen ketika seorang reformis secara heroik memproklamirkan kesiapan kelas buruh untuk merebut kekuasaan. Manifesto Basle mungkin adalah aksi heroik terakhir macam itu dari kaum reformis, sebelum mereka lalu gemetar ketakutan dan memvoting kredit perang, yang dengan demikian mendukung kaum borjuasi mereka sendiri untuk memasuki Perang Dunia Pertama.
Dalam kasusnya Varoufakis, dia tidak hanya berargumen kalau kelas buruh itu lemah tetapi juga kapitalisme itu sudah begitu rusak dan porak poranda sehingga kapitalisme harus diselamatkan terlebih dahulu dari dirinya sendiri sebelum buruh bisa bermimpi tentang sosialisme. Tugas kaum Kiri oleh karenanya adalah mengelola kapitalisme secara bertanggung jawab, sebuah tugas yang sudah dirangkul sepenuhnya oleh Perdana Menteri Yunani Alexis Tsipras. Kita boleh saja mengutuk Tsipras, tetapi dia punya keberanian untuk menarik logika reformisme sampai ke kesimpulan akhirnya, dengan memainkan peran mengelola kapitalisme, sebuah peran yang menuai kecaman. Sementara Varoufakis, walaupun dia memulai dari argumen yang sama seperti Tsipras bahwa kaum buruh tidak siap untuk mengubah masyarakat, menolak untuk menerima semua konsekuensi dari argumen tersebut. Varoufakis ingin menyelamatkan kapitalisme tetapi takut mengotori tangannya, karena satu-satunya cara untuk menyelamatkan kapitalisme hari ini adalah dengan menjadi mandor dari serangan terbesar terhadap taraf hidup buruh.
Di sisi lain adalah kaum revolusioner dengan kepercayaan mereka yang tak tergoyahkan terhadap kelas buruh dan kapasitasnya untuk mentransformasi masyarakat secara radikal. In bukan berarti kelas buruh selalu siap meluncurkan revolusi setiap saat, lengkap dengan pakaian baja dan senjata di tangan, dan siap diperintah kapanpun untuk maju ke garis depan. Ini adalah kesalahan ultra-kiri yang kekanak-kanakan. Kaum Marxis menanam kepercayaan mereka terhadap kelas buruh dengan usaha yang telaten dan prinsipil dalam membangun kepemimpinan revolusi, yang akan siap memimpin kelas buruh ke medan perang dan merebut kemenangan. Kaum Marxis berjuang untuk reforma bukan untuk menyelamatkan kapitalisme dari dirinya sendirii tetapi untuk melatih kelas buruh selama proses perjuangan ini supaya mereka bisa melihat dan memahami tugas historisnya untuk menumbangkan kapitalisme. Varoufakis dan kawan-kawannya di seluruh dunia melihat ke masa lalu dengan harapan untuk kembali ke sana. Kaum Marxis melihat ke masa lalu untuk mempersiapkan jalan ke masa depan.
Varoufakis melengkapi himbauannya kepada kelas buruh Inggris untuk tetap di Uni Eropa dengan sebuah proposal dimana di dalam Uni Eropa kita akan bisa “membentuk sebuah aliansi kaum demokrat lintas-negara … dengan harapan untuk melahirkan sebuah dorongan demokrasi di seluruh penjuru Eropa.” Tetapi siapa kaum demokrati ini? Mari kita periksa pertanyaan ini. Menurut Varoufakis, kaum demokrat ini beragam rupanya, “dari kaum aktivis radikal sampai manajer hedge fund”; mereka bukan hanya “ribuan demonstran anti-penghematan di alun-alun Syntagma di Athena”, “anak-anak sekolah di Yunani yang miskin dan daerah suburban Amerika”, dan “aktivis Syriza di Thessaloniki”, tetapi juga “staf Federal Reserve Bank di New York”, “analis Bloomberg di London dan New York”, dan “perusahaan-perusahaan hedge fund di Manhattan dan London.” Daftarnya bisa sepanjang yang Anda impikan. Ini karena bagi Varoufakis krisis hari ini bukan hanya “ancaman bagi buruh” tetapi juga “bagi bankir”. Krisis ini melampaui “kelas-kelas sosial”. Ini adalah krisis seluruh peradaban. Oleh karenanya, untuk menyelamatkan peradaban ini, dan ini tidak bisa tidak adalah peradaban kapitalis, dia siap untuk “membentuk aliansi strategis bahkan dengan kaum Sayap Kanan.”
Manifesto Diem25 (Gerakan Demokrasi Eropa 2025) adalah “aliansi kaum demokrat lintas negara” yang ingin dibangun oleh Varoufakis. Diem25 menyerukan persatuan di antara semua orang dari semua “partai politik”, “ideologi” dan “kepercayaan dan konsepsi masyarakat yang baik”[!]. Tetapi anehnya anggota Diem25 – yang di dalamnya dapat kita temui tokoh-tokoh seperti Noam Chomsky, idolanya kaum anarkis; Toni Negri, penggagas super-imperialisme; dan Slavoj Zizek, contoh terbaik dari Marxisme akademik – sangatlah kekurangan kaum Sayap Kanan, manajer hedge fund, bankir, dan analis Bloomberg. Seperti Front Popular Spanyol (pada Perang Sipil Spanyol pada 1930an), Diem25 hanya dapat menemukan bayang-bayang dari “kaum demokrat” ini – atau “kaum borjuis patriotik” seperti yang disebut oleh Zizek, yang menurutnya “memiliki kepentingan yang ikhlas untuk memproduksi demi rakyat” dan tugas kaum Kiri adalah “membuat hidup lebih mudah” bagi mereka. (Baca Slavoj Zizek: Apologist for the Social Democratic turn of SYRIZA). Kendati seruan terus menerus dari Varoufakis dan Zizek agar para bankir dan borjuasi patriotik bergabung dengan mereka dalam aliansi kaum demokratik ini, kendati semua usaha mereka untuk membuat program mereka setumpul dan sekabur mungkin dan oleh karenanya tidak berbahaya, tidak ada seorangpun sampai hari ini yang bergabung dengan mereka. Dan para bankir tidak merasa perlu bergabung ke front popular yang menyedihkan ini karena bahkan tanpa perlu bergabung ke dalamnya kaum reformis di dalamnya telah berikrar untuk menyelamatkan kapitalisme.
Satu-satunya aliansi lintas-negara yang perlu kita dirikan adalah aliansi proletariat, yakni kelas yang menanggung beban krisis kapitalisme. Bila saja Varoufakis menghabiskan waktunya untuk meyakinkan kaum proletar akan pentingnya kemandirian kelas dan revolusi, alih-alih mencoba meyakinkan para politisi Uni Eropa akan skema ekonominya yang katanya akan menyelamatkan kapitalisme, dia akan menemukan bahwa kelas buruh siap bertempur. Tetapi tidak ada yang lebih buta daripada mereka yang menolak untuk melihat. Mobilisasi massa buruh dan kaum muda Yunani yang terus menerus, munculnya Podemos di Spanyol, jutaan yang mendukung Bernie Sanders dan pesan revolusi politiknya melawan kelas milyader, transformasi radikal Partai Buruh Inggris dengan terpilihnya Jeremy Corbyn, dan gerakan pemogokan yang sekarang berlangsung di Prancis untuk menentang hukum anti-buruh yang telah melumpuhkan seluruh negeri; ini semua adalah peristiwa yang tidak ingin dilihat dan diakui oleh Varoufakis dan kaum reformis lainnya. Kelas buruh siap berjuang sampai titik darah penghabisan kalau mereka memiliki kepemimpinan yang percaya padanya dan dipersenjatai dengan program sosialis. Kepemimpinan semacam ini hanya dapat dibangun dan ditempa oleh api perjuangan di jalanan dan pabrik, bukan di bawah hembusan dingin AC di ruang rapat di Brussel.
Tugas kamu Kiri bukanlah menyelamatkan Uni Eropa dan kapitalisme. Agenda Varoufakis untuk menyelamatkan kapitalisme “didasarkan pada asumsi bahwa kaum Kiri sudah kalah”, tetapi dia tidak menjelaskan bahwa justru karena obsesi historis dari kaum Kiri – yakni kaum sosial demokrat dan Stalinis – untuk menyelamatkan kapitalisme yang membuatnya kalah bahkan sebelum bertempur. Kaum Bolshevik bisa menang karena tidak seperti Kiri lainnya mereka tidak pernah membayangkan barang sedetik pun bahwa tugas mereka adalah menyelamatkan kapitalisme dari dirinya sendiri. Kaum buruh Inggris tidak membutuhkan anjuran dari individu seperti Varoufakis, yang terus mengatakan kepada mereka bahwa mereka terlalu lemah untuk melakukan apapun mengenai situasi buruk yang mereka hadapi di bawah kapitalisme dan oleh karenanya harus menerima status quo.
Tidak ada masa depan bagi rakyat Inggris di dalam dan di luar Uni Eropa selama sistem yang ada adalah kapitalisme. Referendum yang akan datang adalah pilihan palsu dari kelas penguasa, dimana kedua kamp dipenuhi dengan reaksi. Kaum muda dengan insting mereka telah menolak referendum ini. Jajak pendapat baru-baru ini menunjukkan hanya 52 persen kaum muda yang mengatakan mereka akan memilih di referendum. Kaum buruh dan muda Inggris tidak membutuhkan nasihat dari Yanis kecil yang memeluk erat-erat selimut pelindung merahnya dan memimpikan kembalinya semacam Eropa yang demokratik dari masa lalu. Kita tidak membutuhkan pemimpin yang berlindung ketakutan di bawah selimut merah. Rakyat Inggris juga harus menghindari nasihat dari kaum Kiri yang melihat keluarnya Inggris dari Uni Eropa sebagai obat bagi masalah yang dihadapi buruh. Seluruh referendum ini harus ditolak dan dipertentangkan dengan posisi kelas yang independen. Tolak Uni Eropa dan Tolak Inggris Kapitalis! Perjuangkan Inggris yang Sosialis sebagai bagian dari Persekutuan Eropa Sosialis! Hanya dengan slogan-slogan ini kaum buruh bisa menyelamatkan diri mereka dari kengerian kapitalisme.