Selama beberapa tahun terakhir, berita 10 juta tenaga kerja asing dari Tiongkok yang akan — atau sedang, atau sudah, tergantung dari sumber yang ada — menyerbu Indonesia mencuat di sana sini di antara kaum buruh. Konon TKA Tiongkok ini bahkan mendapat gaji sampai 10 juta per bulan. Tak ayal lagi banyak buruh yang pekerjaannya selalu diselimuti ketidakpastian, yang upahnya tak memadai untuk memenuhi kebutuhannya, atau bahkan sama sekali menganggur karena baru diPHK, merasa teramat khawatir. Tidak peduli kalau berita ini benar atau tidak. Perut yang lapar dan tangis anak yang terus meraung karena demam tak terobati menutup rapat-rapat semua pancaindera dan nalar mereka.
Rumor penyerbuan TKA ini tumbuh subur di tengah kemunduran gerakan buruh. Mengapa tidak? Ketika gerakan buruh melangkah maju dengan penuh kepercayaan diri, dengan mogok dan aksi massa yang berani dan militan, serta meraih kemenangan, buruh merasa bahwa nasib mereka ada di tangan mereka sendiri. Mereka percaya kalau kehidupan mereka bisa menjadi lebih baik lewat perjuangan. Tetapi ketika gerakan buruh mengalami kemunduran seperti yang kita saksikan selama 2-3 tahun terakhir ini, massa buruh mulai kehilangan kepercayaan akan kekuatan mereka sendiri. Ketidakberdayaan meradang, dan mereka mulai mencari penyebab kesulitan mereka dari faktor-faktor yang tampak di luar kendali mereka: entah ini adalah cobaan Allah atau, dalam kasus di atas, kekuatan asing jahat yang bersekongkol melawan mereka.
Para petinggi serikat buruh reformis, yang karena konservatisme mereka bertanggung jawab atas mengendornya gerakan buruh, dengan bersuka cita menyambut rumor serbuan tenaga kerja asing. Rumor ini dibesar-besarkan, dilipat gandakan, dikemas ulang dengan rapi dan apik, untuk menutupi inkompetensi mereka yang juga sama besarnya. Kesulitan buruh bukan disebabkan oleh inkompetensi kepemimpinan serikat buruh dalam mengorganisir perlawanan untuk mematahkan PP78, tetapi disebabkan oleh tenaga kerja asing Tiongkok; begitu pesan yang ingin disampaikan oleh mereka.
Lebih mudah bagi para perangkat serikat untuk mengarahkan keresahan buruh ke ancaman 10 juta TKA Tiongkok daripada ke ancaman pemilik modal yang menggaji rendah buruh dan memPHK buruh seenaknya. Yang pertama adalah ancaman fiktif yang tidak mengganggu gugat kepentingan kapitalisme untuk memeras profit dari keringat buruh, yang tidak membutuhkan mobilisasi massa dan cukup bersandar pada apatisme dan prasangka terbelakang buruh. Yang kedua adalah ancaman riil yang kalau dihadapi dengan konsekuen akan berarti berbenturan dengan kepentingan kapitalisme, akan membutuhkan mobilisasi massa dan aksi mogok, dan dengan demikian tidak sesuai dengan karakter konservatif dan kepengecutan dari para pemimpin buruh ini.
Akan tetapi, kita tidak bisa menyangkal kenyataan bahwa investasi asing yang datang dari Tiongkok juga disertai dengan masuknya TKA dari Tiongkok, secara legal maupun ilegal, walau jauh sekali dari jumlah fantastis 10 juta yang marak disebar luas. Tidak jarang perusahaan atau pemerintah asing yang menyuntik dana ke sebuah negeri lain – entah dalam bentuk investasi langsung atau pinjaman – memaksakan persyaratan-persyaratan yang menguntungkan pihak investor atau kreditor, misalnya harus membeli mesin dari negeri investor, harus memberikan tax holiday (bebas pajak), harus memangkas bea impor dari negeri investor, dan juga harus menggunakan tenaga kerja dari negeri investor. Bagi Tiongkok, yang belakangan ini adalah bagian dari kebijakan ekonomi mereka untuk tidak hanya mengekspor kapital tetapi juga mengekspor pengangguran dari negeri mereka sendiri. Investasi asing di bawah sistem kapitalisme akan selalu datang dengan persyaratan-persyaratan yang merugikan bagi negeri penerima investasi, karena tentunya yang memiliki kapital akan selalu lebih dominan dari negeri yang miskin kapital.
Pada sebuah acara talkshow iNews beberapa bulan yang lalu (23/12), Mirah Sumirat, presiden ASPEK (Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia) mengatakan demikian: “Kami tenaga kerja Indonesia tidak anti terhadap investasi asing. Silakan datang sangat terbuka tangan kami, namun apabila Investasi Asing ini berubah menjadi invasi Asing sudah barang tentu ini menjadi tugas dan kewajiban kami sebagai warga negara untuk melawan ini.” Hal yang serupa disampaikan pula oleh Said Iqbal dan banyak pemimpin lainnya. Pemimpin serikat buruh seperti Mirah Sumirat mengharapkan investasi asing yang adil, tetapi kenyataan bahwa Indonesia membutuhkan investasi asing untuk menciptakan lapangan pekerjaan sudah meletakkan Indonesia dalam posisi yang subordinat dalam negosiasi, dalam posisi yang “tidak adil”. Di bawah sistem ekonomi kapitalisme, investasi asing bukanlah kerja kemanusiaan tetapi usaha untuk menguasai pasar dan menancapkan pengaruh ekonomi, dalam kata lain investasi asing niscaya menjadi invasi asing.
Pemerintah dan kapitalis lokal, yang ingin mendapat jatah kue penjarahan, dengan senyum ramah dan tangan terbuka menerima investasi asing serta persyaratan-persyaratan yang menyertainya. Lolosnya PP78 tidak lain adalah bagian dari kebijakan tersebut, karena cara terbaik untuk membangun iklim investasi yang baik adalah menekan ongkos produksi, yang bagian terutamanya adalah upah buruh.
“Saya tidak mengerti perjanjiannya [perjanjian investasi antara Indonesia dan Tiongkok yang disetujui rejim Jokowi] kok seperti ini?” tanya Mirah Sumirat di kesempatan lain, yang hanya mengekspos ketidakpahaman sang pemimpin buruh ini akan mekanisme kapitalisme yang berlaku hari ini. Tetapi belakangan ini memang tidak dibutuhkan terlalu banyak kepintaran untuk bisa menjadi pemimpin serikat buruh. Yang diperlukan hanya kemampuan bersandar pada prasangka terbelakang anti-Cina buruh, alih-alih mematahkannya dan membangun solidaritas kelas.
Kalaupun semua TKA ilegal di Indonesia diusir – seperti tuntutan utama dari demo yang diorganisir KSPI pada 6 Februari nanti – ini tidak akan menyelesaikan masalah pengangguran dan upah murah yang ada. Ada lebih dari 7 juta penganggur yang terdata di Indonesia, dan puluhan juta lainnya yang terpaksa bekerja di sektor informal. Sementara mereka yang bekerja pun mayoritas tidak menerima UMK seperti yang sudah ditetapkan. Tuntutan “Usir TKA Cina Ilegal” mengalihkan perhatian dari apa yang seharusnya perlu dilakukan oleh gerakan buruh: mengorganisir buruh untuk melawan sistem outsourcing, kerja kontrak, upah murah dan PP78 dengan metode mogok pabrik, mogok daerah, sampai mogok nasional.
Kenyataan kalau APINDO dan KADIN – yakni corong suara kapitalis lokal – tidak cemas dengan tuntutan buruh untuk mengusir TKA Cina ilegal, dan bahkan ikut-ikutan “khawatir”, menunjukkan bahwa mereka tidak merasa terancam kalau buruh mengalihkan fokus perjuangan mereka pada masalah TKA ilegal. Kelas penguasa paham kalau isu TKA ilegal ini adalah isu yang memecah belah buruh dan melemahkan perjuangan buruh.
Isu TKA Cina seperti durian runtuh bagi pemimpin buruh yang enggan berbenturan dengan pemilik modal. Mereka bisa berpura-pura seperti melakukan sesuatu tanpa sebenarnya melakukan apapun. Buruh bisa dibodohi, tetapi tidak untuk selamanya. Mata mereka cepat atau lambat akan mampu melihat menembus tabir kebohongan dan kebodohan yang disebar oleh kelas penguasa. Realitas penindasan yang keras kepala akan membawa mereka ke kesimpulan bahwa musuh mereka bukanlah TKA Cina, atau TKA manapun, legal atau ilegal, tetapi pemilik modal serta pemerintahan mereka. Sementara para pemimpin buruh yang membodohi mereka dengan isu TKA akan terekspos sebagai pelayan kapital.
Hari ini lapisan buruh maju yang menentang politik pecah-belah sedang melawan arus, tetapi arus ini akan dengan cepat berbalik. Keteguhan mempertahankan prinsip persatuan kelas buruh yang tidak memandang suku, ras, nasion, dan agama, walau hari ini tampak tidak praktis, akan membangun fondasi gerakan buruh yang lebih kokoh dan militan di hari depan ketika massa buruh mulai bergerak lagi. Alih-alih terseret pada gelombang reaksi ini, tugas bagi lapisan termaju kaum buruh adalah mengedepankan persatuan kelas dan menunjukkan siapa musuh sebenarnya yang dihadapi: para pemilik modal – asing maupun domestik – serta pelayan-pelayan setia mereka entah dalam pemerintah maupun serikat buruh. Slogan kita bukanlah usir TKA Cina, tetapi usir kapitalisme! Usir pemilik modal dari pabrik-pabrik dan bank-bank! Usir politisi busuk dari Rumah Rakyat! Usir para pemimpin yang konservatif, birokratis dan reaksioner dari organisasi buruh!