Meninggalkan tahun 2017, laporan-laporan, statistik, dan berita-berita yang menunjukkan keberhasilan pemerintah dikeluarkan. Tidak sedikitpun laporan-laporan ini mengulas yang hal-hal buruk. Semua orang bisa bernafas lega melewati tahun 2017. Melihat angka-angka penurunan kemiskinan, mata mereka bisa menatap penuh optimis tahun yang akan datang. Tidak perlu ada yang dirisaukan; semua seolah biasa-biasa saja; dan tidak ada apa-apa. Abaikan yang buruk; ambillah yang baik. Begitulah sekilas apa yang digambarkan mereka. Laporan BPS menyebutkan bahwa tingkat kemiskinan dari Maret-September 2017 menurun. Ini ditandai dengan menurunnya penduduk miskin dari 26,77 juta pada Maret menjadi 26,58 juta pada September 2017. Semua bergembira melihat pencapaian ini. Bagaimanapun, di tengah kondisi perekonomian yang tidak stabil seperti ini, setiap pencapaian kecil akan sangat memuaskan bagi kelas penguasa. Selain itu, kabar seperti ini akan sangat berguna bagi kelas penguasa untuk memberikan penjelasan kepada rakyat tertindas bahwa sistem kapitalisme yang mereka pertahankan ini masih punya vitalitas.
Namun apa maksud dari penurunan angka kemiskinan ini? Apakah dengan menurunnya angka kemiskinan ini kapitalisme berhasil menyelesaikan kemiskinan dan ketimpangan? Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kita mengetahui fakta-fakta ini lebih jauh. Bila kita menggunakan kategori orang miskin menurut BPS, pada tahun 2017 kategori orang yang terbilang miskin jika pendapatan per kapita per bulan adalah Rp 375.000. Dengan kata lain, satu keluarga miskin, dengan dua orang anak, tidak akan disebut miskin bila penghasilannya di atas Rp 1,5 juta. Bila angka Rp 375.000 dibagi tiga puluh hari, maka satu orang dipaksa hidup dengan Rp 12.500 per hari. Ini ibaratnya memaksa seseorang untuk hidup dengan 4 buah pisang sehari. Jauh lebih buruk dibanding hidup orang utan yang ada di kebun binatang. Belum lagi ketika keluarga miskin dihadapkan dengan kebutuhan lain yang mendadak, seperti pendidikan, sakit, bencana alam, keluarga yang meninggal,dsb., mereka akan sulit bertahan dan seringkali mereka berhutang untuk menutupi kebutuhan ini. Seperti lingkaran setan, ketika kebutuhan mendadak ini berhasil diselesaikan, kebutuhan membayar hutang akan menambah beban baru bagi mereka. Ini membuat sulit bagi mereka untuk lepas dari jerat kemiskinan. Seringkali tindakan kriminalitas diambil untuk mengatasi kesulitan ekonomi ini. Bila buruh-buruh di perkotaan saja sulit bertahan hidup dengan angka di atas Rp 3 jutaan, bagaimana bisa BPS menetapkan angka Rp 375.000 ini? Bila kita mengacu pada batasan Bank Dunia, seseorang dikategorikan miskin apabila pendapatan per kapita per bulan Rp 780.000.Jadi kalau menggunakan batasan Bank Dunia angka kemiskinan di Indonesia jauh lebih besar daripada apa yang digambarkan pemerintah
Sementara si miskin terus hidup dalam deraan kemiskinan, berbeda dengan segelintir orang yang menikmati kekayaan. Data yang mencerminkan ketimpangan ekonomi, seperti persentase porsi kekayaan, rasio gini, serta penguasaan aset, menunjukkan perbaikan dalam rentang waktu 2-3 tahun terakhir. Artinya, kesenjangan berkurang. Namun, bila ditilik lebih jauh, angka-angka ini masih menunjukkan ketimpangan yang masih tinggi. Rasio gini, koefisien yang menunjukkan kesenjangan pendapatan dan kekayaan, misalnya, turun dari 0,414 pada Maret 2014 menjadi 0,393 pada Maret 2017. Angka ini tetap tinggi dibandingkan tahun 1999, yaitu 0,308. Itu artinya, kondisi ketimpangan masih tinggi dibanding periode paska krisis 1999.
Tidak hanya di Indonesia saja ketimpangan ini terjadi. Bahkan berdasarkan survei yang sama mengatakan bahwa 1% orang terkaya mengusai 49% kekayaan dunia. Pada tahun 2017, hasil survei Oxfam International menyebutkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke enam dalam kategori ketimpangan distribusi kekayaan terburuk di dunia. Mereka merilis laporan bahwa empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan yang sebanding dengan kekayaan 100 juta rakyat miskin. Itu artinya 45,4 persen porsi kekayaan di Indonesia dikuasai 1 persen orang terkaya ini.
Angka ketimpangan ini juga tercermin dalam Laporan Distribusi Simpanan Bank Umum Lembaga Penjamin Simpanan. Sekitar 64 persen dari total Rp 5.279 triliun simpanan yang ada di perbankan Indonesia dikuasai oleh 0,2 persen segelintir orang kaya. Bahkan, bila melihat data Forbes, laju pertumbuhan 40 orang terkaya di Indonesia empat kali lebih cepat daripada pertumbuhan ekonomi nasional pada 2006-2016. Pada periode yang sama juga, jumlah pundi-pundi 40 orang terkaya di Indonesia tercatat tumbuh 317 persen, sementara pendapatan per kapita masyarakat hanya tumbuh 52 persen. Jurang yang begitu dalam ini menunjukkan bahwa sebagian besar kekayaan masyarakat mengalir ke segelintir orang ini. Inilah masyarakat kelas, di mana sekarang kita hidup.
Marx mengatakan bahwa akumulasi kekayaan di satu kutub pada saat yang sama adalah akumulasi penderitaan di kutub yang lain. Pernyataan ini telah diungkapkan lebih dari 150 tahun yang lalu dalam bukunya Kapital. Bila pernyataan ini menggambarkan fenomena kapitalisme selama Marx hidup, maka bisa dikatakan, situasi kapitalisme hari ini tidak banyak berubah. Justru kontradiksi-kontradiksi ini semakin menajam. Kontradiksi utama dalam sistem kapitalisme adalah kepemilikan pribadi dan sifat sosial dari produksi yang dilahirkan oleh kapitalisme itu sendiri. Kapitalisme telah mengubah sifat-sifat individu dari sebuah komoditas. Bila dulu pengerjaan sebuah komoditas jadi, jaket misalkan, itu dilakukan dalam satu bengkel produksi, maka sekarang kita akan sulit menemukan hal demikian. Sekarang sebuah komoditas tidak bisa diklaim sebagai milik individu, karena setiap partikel komoditas dikerjakan secara terpisah di pabrik-pabrik tertentu yang melibatkan banyak buruh. Kaum borjuis sekarang hanya menikmati aliran laba mereka, karena setiap detail dari produksi dilakukan oleh kaum buruh. Kelas ini hanya hidup dari menghisap keringat dan darah kelas buruh. Hak kepemilikan pribadi yang melekat pada kelas ini merupakan halangan terbesar bagi kemajuan umat manusia. Bila kekayaan kelas ini digunakan untuk kesejahteraan sosial, maka sangat mungkin ketimpangan dan kemiskinan bisa dihapuskan. Oleh karenanya ketimpangan dan kemiskinan hanya bisa dihancurkan bila kelas-kelas sosial dalam masyarakat dihancurkan.
Selama lebih dari dua abad kekuasaannya kapitalisme tidak mampu menyelesaikan ketimpangan ini. Alih-alih menyelesaikan, kapitalisme semakin menajamkan jurang ketimpangan ini. Alat-alat produksi dan bahan-bahan kebutuhan hidup tersedia. Semua unsur produksi dan kekayaan masyarakat ada dan berlimpah. Tapi karena mereka tunduk pada kepemilikan borjuis, maka segala barang kebutuhan ini tidak diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Barang-barang kebutuhan ini diproduksi secara anarki. Bila upah atau standar hidup mayoritas masyarakat dipangkas, maka tingkat konsumsi menurun. Bila demikian, barang-barang ini menjadi berlimpah, dan justru karena berlimpah, dalam sistem kapitalisme, seperti apa yang dikatakan Fourier, “kelimpahan menjadi kesengsaraan dan kekurangan”.
Kekuatan produksi yang besar seperti ini, tidak bisa dikendalikan di tangan kepemilikan borjuis. Kekuatan ini mengharuskan kontrol masyarakat terhadap alat-alat produksi. Kekuatan produksi yang besar ini, bila ia mengabdi pada umat manusia akan menjadi sumber pembebasan umat manusia sesungguhnya. Bedanya ialah, seperti apa yang dikatakan Engels, “seperti antara kekuatan merusak dari listrik pada badai halilintar, dengan listrik yang terkendali pada telegraf dan lampu bohlam; antara kebakaran besar, dengan api yang mengabdi pada manusia”. Inilah sebenarnya tujuan dari revolusi sosialis: membebaskan umat manusia dari belenggu penindasan dan ketimpangan dengan membebaskan kekuatan produksi masyarakat ini dari anarki kapitalisme dan meletakkannya ke dalam tangan kelas buruh, satu-satunya kelas yang bekerja dan menciptakan kekayaan.