Menjelang pilpres 2019 mendatang, rakyat pekerja dihadapkan dengan satu permasalahan yang sama yang telah merudungnya cukup lama: tidak adanya partai politik yang sungguh adalah miliknya dan mewakili kepentingannya. Sejak berdirinya Orde Baru, dan bahkan setelah runtuhnya kediktatoran ini pada 1998 yang seharusnya mengantarkan kita ke jaman demokrasi, rakyat pekerja tidak pernah punya partai mereka sendiri. Demokrasi macam apa ketika rakyat pekerja hanya bisa memilih di antara berbagai pencoleng yang berbeda?
Dalam beberapa kesempatan masalah pembentukan partai politik buruh massa telah muncul dan jadi pembicaraan hangat di antara buruh yang ingin mencari terobosan baru dalam gerakan. Konferensi Gerakan Rakyat Indonesia pada April lalu adalah satu lagi momentum ini. Letih dengan perjuangan ekonomis semata dan merasa terkungkung dalam sempitnya serikat-buruh-isme, ada dorongan dari bawah akan perlunya perjuangan politik. Tugas kita hari ini adalah merumuskan bagaimana gerakan buruh dapat melangkah maju ke arena politik, yaitu ke arena kekuasaan.
Partai Sebagai Sekolah Politik
Tidak jarang ketika kita berbicara mengenai partai, satu hal yang biasanya langsung jadi bahan diskusi adalah mengenai perihal legalitas partai ini: bagaimana partai ini bisa terdaftar untuk bertarung di pemilu selanjutnya, bagaimana partai ini bisa memenuhi persyaratan UU Pemilu yang ketat, dan sebagainya. Namun hal-hal administratif dan birokratis ini sebenarnya sekunder dan hanya tampak seperti rintangan bagi mereka-mereka yang melihat partai semata sebagai mesin elektoral untuk pencapaian segera dalam pemerintah.
Partai bagi buruh pertama-tama adalah sekolah politik. Ketika sudah lebih dari 50 tahun tidak memiliki organisasi politik, maka tugas pertama dan terutama dari pembentukan partai buruh adalah untuk belajar perjuangan politik. Di sini kita bukan berbicara mengenai politik dalam makna sempit – yakni selak beluk teknis peluncuran kampanye pemilu, bagaimana jadi anggota parlemen, dsb. – tetapi politik dalam makna luas, yakni perjuangan untuk kekuasaan buruh.Partai jadi tempat pendidikan buruh untuk melihat keluar dari batas-batas sempit gerbang pabrik mereka, PUK mereka, dan PKB (Perjanjian Kerja Bersama) mereka, dari batas-batas serikat-buruh-isme yang hanya berkutat pada perjuangan normatif sehari-hari.
Partai akan mendidik para anggotanya mengenai masalah-masalah bangsa – dan juga dunia – yang tidak melulu masalah upah dan kerja kontrak saja. Lewat partai kaum buruh akan dididik untuk menanggapi masalah pendidikan, kesehatan, opresi terhadap kaum perempuan, diskriminasi terhadap kelompok minoritas, hak-hak demokrasi, masalah kebangsaan Papua, kebijakan luar negeri, relasi dan diplomasi internasional, dsb. dari perspektif kelas. Mereka akan belajar bagaimana merumuskan program politik dan memahami bagaimana semua permasalahan dalam masyarakat hari ini terkait pada sistem kapitalisme.
Demikianlah fungsi primer dan mendesak dari partai buruh hari ini. Masalah bertarung di pemilu dan masuk ke parlemen adalah sekunder dan akan mengalir dari fungsi primernya. Oleh karenanya perhatian kita tidak boleh teralihkan ke hal-hal yang sekunder.
Ideologi Partai: Sosialisme
Sebelum partai ini didirikan, kita harus jelas terlebih dahulu apa yang menjadi basis ideologinya. Tidak boleh ada keragu-raguan dalam hal ini. Ketika Deklarasi Bersama Konferensi Gerakan Rakyat Indonesia tertanggal 20 April 2018 menyatakan bahwa “Kapitalisme-Imperialisme adalah sumber utama dari persoalan kerakyatan” maka ideologi yang harus terpatri jelas di panji partai adalah sosialisme.
Pada deklarasi yang sama dinyatakan bahwa “persatuan gerakan rakyat dan kekuatan politik alternatif menjadi kebutuhan mendesak bagi gerakan rakyat untuk melawan rejim kapitalisme-imperialisme yang berkuasa.” Namun yang dibutuhkan bukan hanya “melawan” kapitalisme tetapi menumbangkan kapitalisme dan menggantikannya dengan sosialisme. Penghapusan kapitalisme di bumi Indonesia dan penegakan sosialisme harus menjadi asas dasar partai.
Kapitalisme menciptakan kemiskinan, kesengsaraan, kerusakan lingkungan, dan berbagai persoalan kerakyatan lainnya karena ia adalah sistem ekonomi yang motif utamanya adalah pengejaran profit dan berdasarkan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Segelintir pemilik modal atau kapitalis yang menguasai ekonomi mengeksploitasi rakyat pekerja dan alam untuk mengakumulasi profit di tangannya. Mereka menjalankan ekonomi bukan untuk pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohaniah manusia tetapi untuk pemenuhan pundi-pundi mereka. Kekuatan ekonomi yang begitu besar bukannya digunakan untuk menyelesaikan problem-problem utama rakyat, tetapi “diputar”, dispekulasi, dan ditumpuk di bank demi patung berhala mereka: profit. Maka tidak heran kalau ada akumulasi kekayaan di satu kutub secara ekstrem dan akumulasi kesengsaraan, kemiskinan, dan kebodohan di satu kutub lainnya, yakni di antara rakyat pekerja yang sesungguhnya menciptakan kekayaan ini.
Tidak ada jalan keluar dalam batas-batas kapitalisme. Untuk menghentikan eksploitasi, kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh kelas kapitalis harus diambil alih oleh kelas buruh. Kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi harus diubah menjadi kepemilikan publik. Ekonomi tidak lagi dijalankan untuk profit segelintir orang, tapi untuk pemenuhan kebutuhan umat manusia. Ekonomi tidak lagi didikte oleh “pasar bebas” – yang biasanya hanya berarti kebebasan para pemilik modal untuk meraup profit – tapi dijalankan dengan sistem perencanaan yang demokratik. Inilah sosialisme. Inilah yang harus jadi asas dasar partai kita. Program tuntutan partai lalu akan mengalir dari asas dasar ini.
Basis Kelas Kepemimpinan Partai
Dalam pernyataan Gerakan Rakyat Indonesia didaftarkan dengan cukup panjang lapisan-lapisan yang berkepentingan dalam membangun “kekuatan politik alternatif (partai alternatif/blok partai alternatif”. Mereka adalah: “Buruh Indonesia, Petani Indonesia, Kaum Muda Indonesia, Perempuan Indonesia, dan Para Pejuang Demokrasi, HAM, Lingkungan dan Anti Korupsi.”
Dari semua lapisan yang beragam ini hanya ada satu yang, berkaitan dengan tugas penumbangan kapitalisme dan penegakan sosialisme, memiliki bobot ekonomi, sosial dan politik yang lantas memberinya posisi kepemimpinan. Ia adalah buruh, dan kita tidak hanya berbicara mengenai mereka yang bekerja di pabrik atau yang kerap disebut pekerja kerah biru. Buruh adalah mereka yang menjual kemampuan kerja mereka untuk upah sebagai penghasilan utama mereka. Ini mencakup buruh pabrik, buruh bangunan, pegawai negeri, pegawai kantor, sopir, insinyur, teknisi, ilmuwan, tenaga pengajar, pekerja media, pelayan toko dan restoran, pekerja hotel, dsb.
Karena relasi mereka dengan alat-alat produksi, buruh memiliki posisi ekonomi penting yang bila digunakan dapat menghantam dan menumbangkan kapitalisme. Roda perekonomian kapitalis hanya bisa berputar bila buruh bekerja. Bila buruh mogok maka kapital akan tersendat dan mati. Fakta sederhana inilah yang menjadikan kelas buruh pemimpin revolusioner dalam perjuangan seluruh rakyat tertindas melawan kapitalisme.
Terkait dengan masalah pembangunan partai, maka organisasi-organisasi buruh harus mengambil tongkat kepemimpinan. Serikat-serikat buruh – sebagai organisasi rakyat yang paling bersifat nasional, dengan massa luas dan aparatus organisasi yang terkuat – harus berani mengambil langkah pertama dalam menyerukan pembentukan partai buruh. Lapisan-lapisan rakyat tertindas lainnya sedang menunggu kaum buruh untuk mengambil langkah ini dan akan mengikuti kaum buruh. Inilah esensi dari kepemimpinan revolusioner kelas buruh.
Partai Buruh dan bukan “Partai Alternatif”
Konferensi Gerakan Rakyat Indonesia dihadiri oleh berbagai macam organisasi seperti yang terdaftar di Deklarasi Bersama. Tetapi dari semuanya, yang sungguh adalah organisasi massa kelas hanyalah serikat buruh. Yang lainnya terdiri dari kelompok politik, NGO, organisasi media, lembaga hukum, kelompok advokasi, kelompok seni, organisasi muda dan lain sebagainya. Karakter dari partai yang ingin kita bangun tidak bisa didasarkan atas yang belakangan ini. Hanya organisasi massa – yakni serikat buruh – yang bisa jadi tulang punggung dari partai yang kita perlukan.
Kata “kekuatan politik alternatif”, “partai alternatif” dan “blok politik alternatif” mewarnai deklarasi Gerakan Rakyat Indonesia sebagai bentuk organisasi yang ingin dibangun. Namun di sini kita harus mengatakan bahwa ada kekeliruan besar. Seperti yang telah kita jelaskan di atas, kelas buruh adalah satu-satunya kelas revolusioner yang bisa jadi pijakan dari partai yang kita perlukan untuk menumbangkan kapitalisme. Yang perlu kita bangun adalah Partai Buruh, yang akan merangkul dan memimpin seluruh lapisan rakyat tertindas. Kita harus jelas dengan karakter kelas dari partai yang ingin kita dirikan, dan kata “alternatif”justru mengaburkan itu.
Organisasi-organisasi non-massa-buruh dapat memainkan peran pendukung yang aktif dalam partai ini, tapi mereka tidak bisa disamakan dengan serikat buruh. Serikat-serikat buruh-lah yang harus jadi komponen utama dari partai ini.
Langkah ke depan
Diskusi mengenai pembangunan partai buruh harus segera dibawa ke akar rumput untuk melibatkan semua anggota serikat dan rakyat pekerja luas. Kaum buruh dan rakyat pekerja telah mendengar mengenai Konferensi Gerakan Rakyat Indonesia ini dan mereka menunggu dengan antusias kelanjutannya ke bawah. Segera bentuk lingkaran-lingkaran diskusi di seluruh tingkatan serikat, dengan undangan terbuka untuk rakyat pekerja luas, guna mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan di seputar masalah pembangunan partai buruh ini: Apa itu partai buruh? Mengapa dibutuhkan partai buruh? Apa saja program yang harus diusungnya? Bagaimana membangunnya? Hanya dengan keterlibatan aktif dan demokratik dari buruh luas maka partai ini akan sungguh kokoh.
Setelah itu semua diskusi akar-rumput ini harus dikerucutkan kembali ke atas, ke konferensi-konferensi tingkat daerah, provinsi dan akhirnya nasional. Jangan sampai lingkaran-lingkaran diskusi ini menguap begitu saja tanpa resolusi nyata dan tindakan konkret. Kita tidak berlebihan ketika mengatakan bahwa masa depan seluruh rakyat Indonesia akan ditentukan oleh keberadaan partai buruh ini.
Pemilu 2019 akan sekali lagi jadi karnival demokrasinya kelas penguasa. Rakyat pekerja hanya jadi lumbung suara untuk memenuhi ambisi sempit dari politisi ini atau itu, dari partai ini atau itu. Tetapi tidak harus demikian untuk selamanya. Pembangunan partai buruh akan secara radikal mengubah peta politik yang ada dan memberi rakyat pekerja pilihan yang sesungguhnya. Tidak ada yang lebih ditakuti oleh kelas penguasa daripada kaum tertindas yang paham akan masalah kekuasaan.