Kasus kekerasan seksual terhadap Agni (bukan nama sebenarnya), seorang mahasiswi dari Universitas Gajah Mada (UGM), dengan cepat meluas dan memicu perbincangan mengenai kekerasan seksual terhadap kaum perempuan umumnya. Tidak hanya media lokal, media nasional pun ikut mengangkat tema ini. Kasus yang pertama kali diangkat oleh Balairung, sebuah pers mahasiswa UGM, menuai berbagai tanggapan, yang setidaknya memberi kita gambaran bagaimana masyarakat kita hari ini merespons masalah kekerasan seksual. Ada yang mengutuk. Tapi umumnya lebih banyak yang menyalahkan korban.
Kasus kekerasan seksual terhadap Agni diselesaikan oleh para petinggi UGM dalam bingkai yang memandang perempuan turut menyumbang terjadinya insiden ini. Ini menimpa hampir semua kaum perempuan yang jadi korban pelecehan seksual, entah dari yang relatif kecil seperti cat-calling (siul-siul goda) sampai ke pemerkosaan. Keluar malam, cara berpakaian, cara berbicara dengan lawan jenis dan lain-lain dianggap sebagai andil oleh si perempuan yang menggugah nafsu hewani laki-laki.
Penyalahan korban seperti ini kita jumpai dari apa yang disampaikan salah satu pejabat Departemen Pengabdian kepada Masyarakat UGM terkait kasus Agni, yang mengatakan bahwa kucing bila diberikan ikan asin tentu saja akan mencium-ciumnya dulu sebelum akhirnya dimakan. Kaum perempuan dia analogikan sebagai ikan asin. Alih-alih bersimpati dengan korban kekerasan seksual, sang pejabat kampus justru memaklumi pelaku sebagai kucing yang tidak berdaya di hadapan ikan asin.
Secara umum ada pandangan dalam masyarakat kita yang menganggap bahwa perempuan yang berhubungan badan di luar nikah adalah kotor, bahkan bila mereka adalah korban pemerkosaan. Para korban tidak hanya akan mendapat pandangan sinis seperti ini di lingkungan sekolah atau kampusnya, tetapi juga lingkungan keluarga yang tidak jarang turut menyalahkan korban. Wajar bila akhirnya korban memerlukan waktu lama untuk melaporkan apa yang dialaminya. Di sebagian besar kasus, korban bahkan tidak melaporkan dan memendamnya karena alasan malu, tidak ingin aib diketahui publik, dan takut disalahkan.
Sudah terlampau banyak kasus kekerasan seksual yang tumbuh subur di lingkungan kampus dan menumpuk tanpa ada proses penyelesaian. Kasus-kasus ini melibatkan tidak hanya sesama mahasiswa tetapi juga dosen pengajar atau orang yang punya otoritas di universitas. Ini bukan hanya masalah seorang yang khilaf atau kerasukan setan, seperti yang biasanya diberitakan. Kalau ini masalah khilaf, kenapa biasanya laki-laki saja yang khilaf dalam melecehkan perempuan? Kenapa perempuan umumnya tidak pernah kerasukan setan dan melakukan kekerasan seksual terhadap laki-laki? Ini berarti kekerasan seksual terhadap kaum perempuan bersumber dari tatanan masyarakat yang ada.
Kekerasan seksual terhadap kaum perempuan adalah bagian tak terpisahkan dari tatanan patriarki dalam masyarakat yang telah mengakar selama ribuan tahun, dimana kaum laki-laki mendominasi kaum perempuan dalam segala aspek. Tatanan patriarki muncul bersamaan dengan munculnya masyarakat kelas yang membagi manusia menjadi kaum penindas dan kaum tertindas, kaum yang memegang kendali atas alat-alat produksi (ekonomi) dan kaum yang tidak memiliki. Engels dalam karya maha besarnya, “Asal Mula Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara” mengupas dengan rinci dan menyeluruh basis-basis material yang mendasari munculnya patriarki dan masyarakat kelas. Dalam masyarakat kelas hari ini, yang kita sebut kapitalisme, patriarki tidak hanya menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua, tetapi juga sebagai komoditas atau barang dagangan yang bisa dieksploitasi.
Dalam patriarki, perempuan ditempatkan di bawah jempol laki-laki yang dianggap sebagai manusia utama dan pemegang kekuasaan. Laki-laki tidak hanya menguasai kepemimpinan politik, tetapi juga otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti. Dalam lingkup yang lebih kecil kita bisa melihat praktiknya dalam keluarga, dimana suami adalah sosok yang menguasai istri, dan belum lama yang lalu di banyak negeri istri dianggap properti milik suami.
Dalam bentuk masyarakat kelas sebelumnya, seperti perbudakan dan feodalisme, secara umum kaum perempuan dikungkung dalam keluarga dan peran utamanya (yang kerap disebut kodrat perempuan) adalah mengurusi masalah-masalah kerja rumah tangga. Perkembangan kapitalisme mengubah ini. Kapitalisme membutuhkan cadangan tenaga kerja yang bisa diupah lebih murah. Pada proses ini kapitalisme mendobrak warisan patriarki lama dan “membebaskan” perempuan dari kungkungan rumah tangga untuk masuk ke dalam dunia kerja. Namun ini bukan berarti patriarki berakhir sepenuhnya. Perempuan justru terpaksa memainkan peran ganda, terlibat dalam proses produksi kapitalis sebagai buruh dengan upah murah dan sekaligus dibebani tugas menyiapkan buruh-buruh prima yang akan menjadi cadangan tenaga kerja baru di masa depan, yang tidak lain adalah anak-anak mereka sendiri. Mereka kini ditindas tidak hanya di dapur yang pengap tetapi juga di pabrik-pabrik.
Marx menjelaskan bahwa ekonomi adalah faktor dominan dalam perkembangan sosial. Dalam arti, kapitalisme sebagai model ekonomi berperan sebagai fondasi yang menentukan “suprastruktur” di atasnya, seperti agama, hukum, seni, sosial, dan budaya. Dalam hal ini maka sistem ekonomi kapitalisme juga menjadi fondasi yang melanggengkan budaya patriarki. Dalam negeri kapitalis yang paling maju dan demokratis sekali pun, kaum perempuan masih merupakan warga kelas kedua. Ini karena kapitalisme selalu membutuhkan upah murah untuk bisa meraup laba besar.
Kaum perempuan, yang merupakan setengah populasi buruh, adalah tenaga kerja yang dapat digaji lebih murah oleh kapitalis. Dengan alasan bahwa kaum perempuan itu lebih lemah, tidak secakap dan sepintar buruh laki-laki, dan secara umum lebih inferior daripada kaum laki-laki, maka mereka digaji lebih murah untuk kerja yang serupa. Menurut Badan Pusat Statistik, rata-rata upah buruh laki-laki pada 2017 adalah sekitar Rp. 2,95 juta per bulan, sedangkan perempuan Rp 2,27 juta. Inilah mengapa patriarki – yakni pemikiran bahwa laki-laki itu lebih superior dibandingkan perempuan – terus langgeng dalam kapitalisme. Apapun yang menjaga profit besar bagi kapitalis tentunya adalah hal yang baik.
Selama kapitalisme dan masyarakat kelas masih ada, maka patriarki akan terus mengakar. Perjuangan pembebasan perempuan oleh karenanya tidak bisa dipisahkan dari perjuangan melawan kapitalisme.
Perkara Agni menunjukkan bagaimana bahkan dalam lingkungan yang semestinya paling maju sekalipun – yakni dalam universitas, tempat berkumpulnya orang-orang yang paling terdidik – kaum perempuan masih sangat direndahkan. Ini terefleksikan dalam tidak adanya prosedur jelas di banyak universitas bagaimana menangani perkara kekerasan seksual dan tidak adanya program khusus untuk memerangi kekerasan seksual dalam kampus. Organisasi-organisasi mahasiswa, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa dan Senat Mahasiswa, juga jarang mengangkat masalah kekerasan seksual. Padahal BEM atau Senat bisa saja menjadi lembaga di tingkatan kampus yang mengambil peran terdepan untuk memerangi kekerasan seksual.
Kaum mahasiswa tidak boleh menunggu para petinggi kampus untuk bertindak. Mereka harus mengorganisir diri untuk menuntut dengan segera agar universitas mengambil dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan konkret untuk melindungi kaum perempuan dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan. Perumusan dan implementasi kebijakan ini harus melibatkan kaum mahasiswa secara langsung dan demokratis. Kita tidak boleh percayakan proses ini pada para petinggi kampus, yang telah menunjukkan inkompetensi dan ketidakseriusan mereka.
Kasus Agni adalah puncak gunung es dari budaya patriarki dalam masyarakat kita. Namun budaya patriarki ini bukanlah kodrati dalam benak laki-laki dan perempuan. Seperti halnya kaum perempuan bukan ikan asin, maka kaum laki-laki juga bukan kucing. Kita adalah manusia dengan kesadaran yang dibentuk oleh lingkungan sekitar kita. Patriarki bukanlah sesuatu yang telah eksis selama-lamanya. Ia lahir dengan munculnya kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi (ekonomi) dan masyarakat kelas. Akhiri kedua hal belakangan ini maka basis untuk berdirinya patriarki akan menghilang pulang.