Setiap tanggal 1 Desember kita mendengar pekik kemerdekaan yang dikumandangkan oleh rakyat Papua. Tahun ini tidak berbeda. Demonstrasi damai menuntut referendum penentuan nasib sendiri atas Papua bergema di seluruh Indonesia.
Seperti yang sudah bisa diduga, pihak otoritas merespons dengan persekusi dan penangkapan. Di Kupang 18 orang ditangkap, di Ambon 43 orang, di Ternate 99 orang, di Manado 29 orang. Di Surabaya demonstrasi mahasiswa Papua diserang oleh ormas reaksioner: 16 orang terluka dan tiga di antaranya kepalanya bocor. Ini disusul oleh penangkapan terhadap 233 mahasiswa Papua saat mereka sudah kembali ke asrama. Namun ini tidak menyurutkan semangat para demonstran. Di markas kepolisian Surabaya, massa tidak berhenti meneriakkan yel-yel “Papua…Merdeka! Papua…Merdeka!”. Mereka menari, menyanyi, berputar-putar memenuhi ruangan.
Semangat demonstrasi ini begitu besar sehingga membuat kewalahan pihak kepolisian. Mereka mengerahkan bus-bus besar untuk mengusir para demonstran ke tempat asal studi mereka. Tahun ini saja ada sekitar 500 lebih demonstran yang ditangkap di seluruh kota Indonesia. Belum lagi pada tahun-tahun sebelumnya, terutama pada tahun 2016 ada sekitar 3.900 orang yang ditangkap karena kasus yang sama. Suara-suara menuntut kebebasan semakin hari semakin besar dan ini sebanding dengan tingkat penangkapan terjadi. Tindakan yang semakin represif ini sesungguhnya merupakan cerminan bahwa pijakan kelas penguasa atas Papua semakin goyah.
Pemerintahan pusat Jakarta hanya bisa mempertahankan cengkeramannya terhadap Papua dengan kekerasan terbuka. Ini karena kekerasan, penjarahan, serta perkosaan selama puluhan tahun mengiringi eksploitasi sumber daya alam Papua. Rakyat Papua hidup dalam ancaman dan ketakutan setiap harinya. Komisi Hak Asasi Manusia Asia melaporkan ada 500 ribu orang tewas, ribuan lain diperkosa, disiksa dan dipenjara oleh militer Indonesia sejak 1969. “Sulit untuk menghitung jumlah korban karena insiden terjadi setiap minggu,” kata Andreas Harsono. Ada banyak peristiwa berdarah di Papua yang diabadikan dalam nama ‘Berdarah’, mulai dari Wamena Berdarah, Wasior Berdarah, Paniai Berdarah, dll.
Peristiwa-peristiwa ini dikenal baik oleh rakyat Papua meskipun berita mengenai ini tidak banyak terekspose di media-media arus utama. Kekerasan ini tersimpan bertahun-tahun di dalam memori rakyat Papua.
Kekerasan terstruktur lainnya adalah wabah penyakit campak dan gizi buruk yang tidak pernah terselesaikan, yang pada Januari lalu menewaskan puluhan anak-anak di Agats. Kekayaan yang dijarah Indonesia dari sumber daya alam Papua sangat melimpah tetapi rakyat Papua masih berkubang dalam kemiskinan, pendidikannya masih rendah, dan tingkat kematiannya tinggi. Kombinasi antara kekerasan dan kemiskinan membuat dukungan terhadap kemerdekaan Papua semakin meluas.
Suara yang terus hadir adalah suara menuntut kebebasan. Suara-suara ini menarik anak-anak muda Papua. Suara-suara ini tidak bisa diredam dengan represi dan kekerasan. Satu-satunya jalan adalah memberikan hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua. Kita sebagai kaum revolusioner di negeri penindas membela hak ini. Kita akan melawan kelas penguasa borjuasi di negeri kita yang bertanggung jawab atas penindasan nasional terhadap rakyat Papua. Dengan melawan kelas penguasa borjuasi di negeri kita sendiri, kaum revolusioner Indonesia akan membangun persatuan yang nyata antara seluruh rakyat tertindas di Indonesia dan Papua.
Berikan hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua!
Kaum tertindas di seluruh negeri bersatulah!