Debat pilpres kedua antara Jokowi dan Prabowo mengedepankan satu problem bangsa yang sejak kemerdekaan Indonesia masih belum terselesaikan, yakni masalah reforma agraria, atau lebih konkretnya kepemilikan tanah untuk kaum tani. Debat ini menjadi menarik ketika Jokowi menyentil Prabowo mengenai lahan seluas 340 ribu hektar miliknya di Kalimantan Timur dan Aceh Tengah. Fakta ini mengekspos kesenjangan kepemilikan tanah yang jadi problem mendasar problem agraria Indonesia.
Statistik pertanahan menunjukkan 56 persen aset properti, tanah dan perkebunan ada di tangan 0,2 persen penduduk Indonesia. Sementara 26 juta rumah tangga tani hanya menguasai lahan rata-rata 0,89 hektar. 14 juta rumah tangga lainnya hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar per keluarga. Ketimpangan ekstrem penguasaan lahan seperti inilah yang menjadi sumber konflik agraria. Setiap laju pembangunan dan investasi kapitalis – seperti ekspansi perkebunan sawit, tambang, dsb. – selalu berbenturan dengan kaum tani dan rakyat pedesaan. Setiap tahunnya tercatat ratusan konflik agraria yang memakan korban jiwa puluhan tani. Selama 2018, KPA melaporkan sedikitnya ada 410 konflik agraria, yang mencakup 800 ribu hektar tanah dan melibatkan lebih dari 85 ribu keluarga.
Maka dari itu di setiap pemilu kita selalu mendengar janji reforma agraria dari bakal calon presiden. Memenangkan kaum tani akan berarti memenangkan kekuasaan politik.
Jokowi mengumbar bagaimana pemerintahannya telah mengambil langkah besar dalam reforma agraria dengan membagi-bagi sertifikat tanah. Namun pada kenyataannya pembagian sertifikasi tanah tidaklah mengubah fakta ketimpangan penguasaan tanah yang sudah ada. Secarik kertas berstempel yang menyatakan bahwa lahan sempit di seberang sana adalah milik cak Joko, petani gurem asal Banyuwangi, tidak akan mengubah sempitnya lahan milik cak Joko tersebut atau fakta bahwa dia adalah petani gurem yang terhimpit oleh agribisnis raksasa dan pasar bebas. 0,2 persen kaum kaya yang menguasai lebih dari separuh tanah di Indonesia tidak akan terganggu gugat oleh sertifikat tanah sempit cak Joko. Dengan sertifikat tanah, yang akan kita saksikan – dan telah kita saksikan – adalah “legalisasi” penyerobotan tanah oleh korporasi. Ketika cak Joko, seperti petani miskin lainnya, sudah tidak bisa lagi bersaing dengan agribisnis-agribisnis raksasa, atau terjepit oleh kemelaratan, ia tidak punya pilihan lain kecuali menjual tanahnya dengan harga murah. Pendeknya, legalitas kepemilikan tanah petani miskin tidak akan dan tidak pernah jadi hambatan bagi ekspansi kapital besar dalam sektor pertanian, perkebunan, perhutanan, pertambangan dan real estate.
Program reforma agraria rejim Jokowi oleh karenanya adalah hoaks terbesar. Di sisi lain Prabowo setidaknya jujur kalau statusnya sebagai tuan tanah besar tidak memungkinkannya untuk berbicara mengenai reforma agraria. Ia tidak malu-malu mengungkapkan kalau rakyat pekerja akan lebih baik memiliki tuan tanah besar berkulit sawo matang daripada berkulit putih atau kuning. Di sini nasionalisme dan patriotisme menunjukkan sisi reaksionernya.
Reforma agraria telah menjadi jargon kosong yang tidak berarti di mulut politisi. Yang dibutuhkan sekarang sudah bukan lagi reforma agraria tetapi revolusi agraria. Reforma agraria hanya akan mengutak-atik kecil sistem penindasan kaum tani yang ada. Dalam kasus terbaik ia hanya akan jadi kebijakan tambal sulam yang tidak mengubah secara fundamental relasi kapitalis yang jadi sumber dari konflik-konflik agraria. Revolusi agraria, sebaliknya, menuntut penyitaan tanah agribisnis dan tuan tanah besar untuk menghancurkan ketimpangan penguasaan tanah yang ada. Tanah yang dinasionalisasi ini lalu akan dibagi-bagi ke kaum tani miskin dan dikelola oleh komune-komune tani atau desa secara demokratis, dengan memperhatikan adat dan tradisi yang berlaku.
Namun bagian terpenting dari revolusi agraria ini adalah penghancuran relasi kapitalis dalam pertanian dan perekonomian secara keseluruhan. Ini mensyaratkan revolusi sosialis yang dipimpin oleh kaum proletariat, yang tugas utamanya adalah menasionalisasi tuas-tuas ekonomi penting untuk dijalankan secara demokratik dan terencana. Tanah untuk tani, pabrik untuk buruh! Program seperti inilah yang tidak akan mungkin bisa dipenuhi oleh Jokowi ataupun Prabowo, karena mereka mewakili kepentingan kelas kapitalis dan tuan tanah. Selama rakyat pekerja tidak memiliki partai mereka sendiri, yang mengusung program revolusi agraria dan sosialisme, maka pemilu ini hanya akan jadi dagelan politik.