Dalam masyarakat kita prostitusi disamakan dengan tindakan kriminal lainnya. Prostitusi dianggap sebagai kejahatan. Banyak upaya hukum untuk menghentikannya, tapi tidak pernah menghapuskannya. Kita sepakat pelacuran merupakan kejahatan, namun bukan dalam makna seperti yang dibayangkan oleh negara dan aparatus keamanannya, ataupun oleh kebanyakan orang hari ini. Ia adalah kejahatan karena korbannya adalah kaum perempuan itu sendiri, yang justru di mata hukum adalah kriminal. Moralitas dan hukum borjuis penuh dengan kemunafikan. Praktik ini ditutup-tutupi dengan mengkriminalkan, menghina bahkan melecehkan perempuan, sembari pada saat yang sama struktur ekonomi kapitalisme terus melahirkan pelacuran.
Prostitusi merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan yang berakar dari masyarakat kelas. Bentuk-bentuk penindasan terhadap kaum perempuan selalu berubah seiring dengan berubahnya susunan masyarakat kelas. Semenjak masyarakat terbelah menjadi kelas-kelas, posisi kaum perempuan tidak lebih dari alat produksi semata. Perempuan dijadikan obyek untuk keberlangsungan hak kepemilikan pribadi. Pada masyarakat pertanian awal (zaman Neolitik), jauh sebelum manusia mengenal konsep atas pertukaran komersial, perempuan sudah mulai ditukar dengan ternak sebagai hadiah perkawinan. Pada zaman feodalisme ada selir-selir selain istri sah bagi pria bangsawan. Namun seiring kemajuan kepemilikan pribadi, pertukaran komersial berkembang, dan kapitalisme mengubah kaum perempuan seperti komoditas lain yang bisa diperjual-belikan. Akhirnya prostitusi menjadi bisnis yang menghasilkan uang.
Bisnis prostitusi mewakili bisnis legal dan ilegal yang besar di dunia. Di Indonesia sendiri perputaran bisnis prostitusi mencapai Rp 32 triliun. Selain itu beberapa negara lain di ASEAN seperti di Thailand perputaran bisnis ini mencapai Rp 92,8 triliun dan Filipina Rp 87 triliun. Banyak perempuan memasuki bisnis ini dengan berbagai latar belakang. Sebagian besar alasan mereka memasuki prostitusi adalah karena kemiskinan. Yang lain karena jadi korban perdagangan manusia.
Kemiskinan menimpa keluarga miskin, antara laki-laki dan perempuan miskin. Sementara laki-laki bekerja keras menghidupi istri dan anak mereka, perempuan dipaksa mengambil sektor pekerjaan informal maupun pekerjaan domestik. Menurut Oxfam Internasional, pendapatan perempuan lebih rendah 23 persen dari pada laki-laki. Selain itu 75 persen perempuan berada sektor ekonomi informal dan kurang lebih 600 juta perempuan dalam pekerjaan yang tidak aman dan tidak pasti. Perempuan juga menanggung beban kerja domestik, yakni kerja perawatan anak dan rumah tangga yang tidak dibayar, dan sering kali beban kerja ini 10 kali lebih banyak dibanding kerja yang dibayar. Bila dinilai, menurut Oxfam pula, angka ini mencapai $10 triliun, atau setara seperdelapan PDB dunia.
Rendahnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan membuat perempuan sulit untuk keluar dari lingkaran penderitaan ini. Kondisi ini diperparah oleh ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki yang dipertahankan oleh kapitalisme melalui patriarki. Laki-laki dianggap sebagai kepala keluarga yang menegakkan kendali atas seksualitas perempuan dalam batas-batas pernikahan untuk meneruskan kepemilikan pribadi melalui garis laki-laki. Patriarki menguntungkan kelas kapitalis karena dengan mempertahankan perempuan dalam kondisi penindasannya, mereka mendapatkan suplai tenaga kerja tanpa membayar biaya reproduksi tenaga kerja itu sendiri (biaya perawatan anak, mengurusi rumah tangan, dsb.)
Dengan demikian kaum perempuan secara ekonomi ditempatkan pada posisi yang rentan terhadap pelacuran dan penindasan, sedangkan di pihak lain kaum perempuan dididik melalui patriarki selama berabad-abad untuk mengharap sokongan materi dari laki-laki, baik dalam pernikahan maupun di luar pernikahan. Inilah akar masalahnya. Inilah basis material prostitusi.
Banyak “pakar” dan kaum moralis beranggapan bahwa satu-satunya cara menghentikan praktik prostitusi adalah dengan mengkriminalkan pelakunya, menutup rumah-rumah bordil dan lokalisasi. Namun upaya mengkriminalkan praktik ini tidak banyak berpengaruh. Bahkan praktik prostitusi semakin menjamur dengan berbagai kedok dan penyamaran untuk menghindari penangkapan.
Di sisi lain kaum liberal menganggap praktik prostitusi merupakan hak seksual bagi perempuan dan menuntut legalisasi praktik prostitusi ini sehingga meminimalisir kekerasan dan korban perdagangan perempuan. Dalam kata lain, mereka menuntut agar prostitusi dilihat sebagai bagian dari perdagangan komersial yang legal, sebagai tidak ubahnya pekerja layanan jasa. Tetapi apakah pendekatan ini menyelesaikan problem prostitusi? Contoh di Selandia Baru, sebagai salah satu negara yang telah mendekriminalisasi prostitusi, justru membuktikan sebaliknya. Perdagangan perempuan di rumah-rumah bordil legal dan ilegal di Selandia baru telah menjadi masalah serius. Hampir setiap rumah bordil resmi memiliki “pekerja” empat kali lipat dari rumah bordil ilegal. Perempuan-perempuan yang tidak beruntung, baik secara ekonomi dan sosial, memasuki bisnis ini karena tidak banyak menuntut keahlian. Itu berarti penjualan dan pembelian perempuan ramai terjadi, dan serangan kekerasan terhadap perempuan di rumah bordil adalah hal biasa.
Seperti sebuah bisnis lainnya, konsumen memiliki hak legal untuk memperlakukan apa yang telah dibelinya. Bila mereka tidak puas, mereka bisa komplain kepada muncikari, dan muncikari berhak melakukan apa saja kepada pekerjanya. Ketika perempuan yang dilacurkan menjadi “pekerja”, dan bagian dari “pasar tenaga kerja”, muncikari menjadi “manajer” dan “pengusaha bisnis”, dan para pria hidung belang hanyalah klien, maka prostitusi semakin dirawat atas nama hukum. Namun apa yang membedakan di sini “pekerja seks” tidak menjual hamburger, melainkan menjual dirinya secara fisik dan spiritual. Ia menjual jati dirinya yang paling mendalam. Oleh karenanya ada perbedaan yang mendasar dan fundamental antara kaum pekerja yang menjual kemampuan kerjanya (labour power) dan pelacur yang menjual dirinya sebagai obyek seks.
Kita mengakui kebebasan setiap individu menggunakan hak seksual mereka. Tapi apalah arti kebebasan ini bila setiap harinya perempuan atas desakan ekonomi dan budaya mengantarkan mereka ke pelacuran, ke dalam perbudakan. Prostitusi merupakan tindakan kekerasan terhadap perempuan demi kebutuhan hidup. Selama sistem yang menciptakan kekurangan kebutuhan hidup terutama bagi kaum perempuan tetap ada, maka upaya menghapuskan prostitusi sampai ke akar-akarnya tidak pernah bisa tercapai. Oleh karena itu, kebebasan seksual dalam sistem kapitalisme adalah seperti kebebasan kaum budak menjual diri mereka kepada tuannya.
Masalah prostitusi bukan masalah kaum perempuan saja yang terjerat dalam penindasan ini. Kaum pekerja perempuan dan laki-laki perlu bekerja sama dengan kaum perempuan korban prostitusi yang selama ini masih dibungkam untuk menyuarakan penindasannya. Selain itu penting bagi kaum perempuan untuk memahami prostitusi dan melawan bahaya dari prostitusi itu sendiri.
Untuk alasan ini, mengakhiri prostitusi berarti menciptakan lapangan kerja, mengakhiri kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan, dan menciptakan akses pendidikan yang luas bagi perempuan tanpa satupun biaya yang membebaninya. Selain itu pekerjaan domestik (perawatan anak, cuci pakaian, bersih-bersih rumah) semestinya digantikan oleh pekerjaan umum yang biayanya harus dibebankan pada negara. Dengan mengubah pekerjaan domestik menjadi tanggung-jawab negara, maka kaum perempuan tidak lagi terbelenggu dalam rumah tangga, dalam dapur dan persalinan, dan punya kebebasan untuk memajukan dirinya.
Semua pekerjaan ini harus dibiayai dan dijalankan oleh negara di bawah kontrol seluruh masyarakat yang bekerja. Ini adalah cara yang paling radikal untuk mengakhiri prostitusi. Cara ini membutuhkan revolusi. Pada akhirnya tugas mengakhiri prostitusi ini tidak bisa dilakukan dalam batas-batas kapitalisme. Tugas ini terikat dengan pekerjaan menggulingkan kapitalisme. Seperti apa yang terpatri dalam teks Manifesto Komunis, ‘teranglah dengan sendirinya bahwa hapusnya sistim produksi [kapitalisme] yang sekarang ini tentu mengakibatkan pula hapusnya hak-bersama atas kaum wanita yang timbul dari sistim tersebut, ialah hapusnya pelacuran baik yang resmi maupun yang tidak resmi.’