Saya seorang buruh. Saya mengenal perjuangan dan mulai berorganisasi pertama-tama di serikat buruh berangkat dari kebutuhan untuk menuntut perbaikan nasib karena tertindas di tempat kerja. Bersama dengan kawan-kawan di serikat buruh kami banyak belajar, mulai dari mengkaji akar persoalan kesenjangan dan mencari landasan hukumnya dalam undang-undang perburuhan. Di serikat, kami juga melakukan rapat-rapat basis, mengkonsolidasikan anggota, mengorganisir, melakukan perundingan bipartit hingga melakukan aksi demonstrasi dan mogok. Salah satu pengalaman mogok yang paling menguras sumber daya saat itu adalah pemogokan di perusahaan BUMN di Gresik.
Serikat buruh bagi kami adalah organisasi tradisional yang paling dekat yang bisa kami gunakan untuk melawan penindasan di pabrik. Seiring berjalannya waktu, dan berangkat dari pengalaman-pengalaman yang telah saya lalui, saya mulai berpikir bahwa perjuangan hanya dalam batasan tembok pabrik tidaklah cukup dan terlalu kerdil untuk melawan kelas penindas yang telah mengakar dalam sistem. Untuk itu kami meluaskan perjuangan dan meningkatkannya ke level nasional dengan jalan menggabungkan diri dan beraliansi ke Gerakan Buruh dan Pekerja BUMN (Geber BUMN).
Pendek kata di Geber BUMN inilah saya dan teman-teman lain menemukan gaung perlawanan yang masif namun menguras energi, waktu, juga finansial. Singkatnya hampir semua sumber daya terserap ke sini. Aksi-aksi kami menyasar dari Kementerian BUMN, Menakertrans hingga DPR yang lalu menghasilkan diterbitkannya surat rekomendasi panja (panitia kerja) outsourcing – meskipun pelaksanaannya tak kunjung terealisasi.
Masalah-masalah seputar outsourcing kami angkat. Kekurangan upah dan kesenjangan kesejahteraan juga persamaan hak antara buruh kontrak dan buruh tetap perusahaan juga menjadi tuntutan kami. Perjuangan semakin tinggi intensitasnya manakala perusahaan semakin bersikap keras. Mereka melakukan berbagai upaya peredaman perlawanan mulai dari pemberangusan serikat, premanisme, PHK sepihak, dibuatnya serikat buruh tandingan hingga ancaman pidana pada kawan-kawan yang terus melawan.
Pada fase selanjutnya ancaman ini bahkan berubah menjadi kenyataan. Korlap-korlap aksi di-PHK. Ketua dan sekretaris kami harus mendekam di penjara. Semua buah kemenangan perjuangan yang kami raih sebelumnya jatuh satu persatu dan dirampas kembali. Bagaikan mendorong batu ke atas puncak bukit, ketika saya dan kawan-kawan mulai lelah dan kehabisan tenaga, batu yang coba kami dorong ke atas tadi justru meluncur ke bawah dan tanpa ampun menggilas kami. Mungkin inilah gambarannya.
Saya pernah baca sebuah tulisan, ditulis bahwa kesadaran manusia selalu tertinggal di belakang peristiwa-peristiwa. Namun cepat atau lambat kesadaran akan mengejar dengan lompatan-lompatan. Setelah semua perjuangan yang saya dan kawan-kawan lakukan, kami baru menyadari bahwa ada peran politik dari borjuasi-borjuasi yang sangat dominan. Meski sudah ada panja outsourcing, tidak serta merta kondisi pabrik berubah. Klik antara kelas penguasa dan para pengusaha tak terbantahkan lagi. Di sinilah titik balik dari kesadaran saya.
Saya sadar kelas penguasa dan para kapitalis itu dilindungi oleh sebuah sistem. Mereka dan sistem itu terus-menerus menghisap tenaga buruh – tenaga teman-teman saya. Saya sadar bahwa untuk melawan mereka semua tidak cukup hanya dengan persatuan serikat buruh. Yang dibutuhkan adalah partai buruh. Bila serikat buruh adalah sekolah dasar, maka partai buruh adalah lanjutannya. Namun partai tersebut belum ada hari ini.
Sekarang yang kita butuhkan adalah membangun partai buruh itu dengan segala keyakinan. Kita membutuhkan kepemimpinan dan program revolusioner. Membentuk partai buruh saja tidak akan bisa menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh kelas buruh bila tidak disertai dengan program dan strategi taktik yang bertujuan menumbangkan sistem yang menindas kelas buruh. Tetapi pembentukan partai buruh akan memberi kesempatan bagi kaum buruh untuk belajar bagaimana memformulasikan dan merealisasikan program perjuangan yang menyasar pada penumbangan sistem kapitalisme.
Selama kaum buruh tidak memiliki partainya sendiri, maka buruh akan terus menabrak tembok, seperti pengalaman saya sendiri di atas. Saya yakin saya bukan satu-satunya buruh yang sudah mulai menarik kesimpulan di atas, bahwa kaum buruh harus mulai beranjak dari serikat buruh ke partai buruh.