Pemilu tahun ini telah selesai. Jokowi telah menang kembali kendati protes absurd dari Prabowo dan para pendukungnya, yang mengulang komedi 5 tahun lalu.
Banyak hal yang sama, tetapi juga banyak hal yang berbeda dari pemilu tahun ini.
Kubu yang bertarung masih sama, Jokowi dan Prabowo. Namun koalisi partai telah mengalami perubahan, dengan PPP dan Golkar menyeberang ke Jokowi sementara PD yang sebelumnya netral kini bersandingan dengan Prabowo. Tidak sedikit pula tokoh-tokoh yang mondar mandir, seperti Dahlan Iskan, Mahfud MD yang hampir jadi cawapres Jokowi sebelum ditelikung, dan banyak lainnya. Seperti pintu berputar, tidak ada kawan atau lawan abadi dalam perpolitikan kelas penguasa. Yang ada hanya kepentingan saja. Para politisi memang cepat bertukar kulit layaknya bunglon.
Corak pilpres pun berubah, dari yang sebelumnya mengandalkan pesan-pesan nasionalis kini menggunakan politik agama Islam. Politik agama telah dipersiapkan jauh hari untuk jadi basis kampanye Prabowo, khususnya setelah ditest-drive lewat “gerakan 212” dengan mendongkel Ahok di pilgub Jakarta. Tetapi Jokowi melakukan kup terbesar yang merusak rencana kubu Prabowo ini, dengan merangkul ketua MUI Ma’ruf Amin sebagai cawapres, MUI yang sebelumnya jadi salah satu sponsor utama 212.
Pada akhirnya agama dijadikan alat politik untuk mendulang suara, tidak hanya oleh Prabowo tetapi juga oleh Jokowi. Di tengah semua itu adalah rakyat pekerja yang dipecah belah, yang kepercayaan agamanya diperdaya oleh para “pemuka” agama entah di kubu 01 atau pun di kubu 02.
Serikat-serikat buruh juga digiring ke sana ke mari oleh para pemimpinnya. Slogan “Buruh go politik” dipelintir bukannya untuk tujuan membangun kemandirian politik buruh dengan membangun partainya sendiri tetapi untuk dijual ke parpol penguasa ini atau itu.
Dari hasil quick count yang ada, Jokowi kemungkinan besar akan memenangkan sekitar 52-54 persen suara, yang tidak berbeda jauh dengan hasil pilpres sebelumnya. Ini menunjukkan satu kesimpulan utama dari rejim ini, yang telah digadang-gadang oleh banyak pendukungnya sebagai rejim paling progresif, bahwa tidak ada perubahan fundamental yang datang dari rejim ini bagi rakyat pekerja. Selama 5 tahun berkuasa rejim ini tidak memenangkan lapisan pendukung yang baru dari rakyat pekerja. PP78, penyerobotan tanah, penggusuran, penindasan rakyat Papua, dan secara umum tingkat kemiskinan yang akut di satu sisi dan penumpukan kekayaan di tangan segelintir di sisi lain, semua ini terus menghantui pemerintahan Jokowi.
Apa arti Golput?
Ini membawa kita ke lapisan golput pada pilpres kali ini. Secara statistik, tidak ada perubahan besar dalam jumlah rakyat yang tidak memilih 01 ataupun 02. Namun herannya tahun ini kedua kubu begitu berisik mengecam golput. Hantu golput yang membuat takut para politik kelas penguasa ini bukanlah angka semata berapa banyak yang tidak memilih, tetapi sentimen sinisme yang semakin menyebar di antara rakyat pekerja yang bisa dirasakan oleh yang berkuasa. Rasa tidak percaya, rasa muak, rasa geram dan juga rasa tidak berdaya di hadapan sistem ekonomi dan politik yang terus menggerus mereka secara fisik dan spiritual, inilah basis sentimen golput yang ada, bahkan di antara rakyat pekerja yang mayoritas mencoblos.
Ada perasaan bahwa siapapun yang mereka pilih tidak akan mengubah kehidupan mereka. Bahkan sentimen “memilih terbaik dari yang terburuk” – dimana kubu Jokowi dilihat sebagai lesser evil – menunjukkan bahwa banyak yang sebenarnya tidak percaya pada Jokowi tetapi di bawah kondisi politik yang ada terpaksa memilihnya. Ini bukan basis yang kuat untuk rejim Jokowi di hari depan.
Kelas penguasa sering kali lebih sadar kelas dibandingkan kelas tertindas. Mereka paham posisi mereka sebagai kelas yang menindas, dan oleh karenanya selalu harus memperhatikan sentimen rakyat tertindas yang mereka kangkangi. Inilah alasan mengapa mereka begitu getolnya mengecam golput, karena bersembunyi di belakang sentimen golput ini adalah benih ketidakpercayaan pada sistem yang satu hari dapat bersemi menjadi pemberontakan.
Siapa yang menang?
Dalam beberapa minggu ke depan rakyat akan disajikan dengan komidi putar siapa pemenang pilpres. Namun, siapapun yang memang sesungguhnya hanya ada satu pihak yang kalah: buruh, tani dan kaum miskin kota.
Mereka kalah karena sekali lagi mereka dipecah belah. Kepentingan kelas mereka dikaburkan oleh agama dan politik identitas.
Mereka kalah karena kemandirian kelas dan politik mereka digadai oleh para penjaja politik, yang tidak sedikit datang dari Kiri pula. Tanpa partai politik mereka sendiri, mereka terombang-ambing dalam badai politik.
Siapapun yang menang dalam pemilu ini, pemerintahan yang ada akan tetap menjadi pemerintahan yang membela kepentingan kaum pemilik modal. Kepentingan pemilik modal hanya bisa dipertahankan dan diperluas dengan mengorbankan kepentingan kelas pekerja. Inilah kebenaran yang harus terus kita luaskan di antara rakyat pekerja, kebenaran yang semakin hari semakin terungkap di depan mata rakyat.
Masa depan kita
Tetapi tidak semuanya ada dalam kemuraman. Ada lapisan muda baru yang sangat kritis terhadap rejim yang ada dan secara aktif menolak semua politisi borjuasi. Tidak seperti para aktivis 98 yang sudah tua dan lelah, yang sudah menyerah dan menjual diri mereka, lapisan muda ini akan jadi cikal bakal perjuangan sosialisme di hari depan. Mereka tidak takut sendirian memegang teguh prinsip revolusioner mereka. Mereka tidak gentar dicaci maki oleh para tetua mereka.
Histeria anti-golput yang ada juga jadi indikator jelas bahwa sentimen ketidakpercayaan pada rejim sudah mulai membuat resah kelas penguasa. Satu-satunya cara kaum Kiri dapat menghimpun sentimen ketidakpercayaan pada sistem ini dan mengobarkannya menjadi sentimen perlawanan adalah dengan teguh memperjuangkan kemandirian kelas buruh secara ideologis, politik dan organisasional. Tidak boleh ada satupun konsesi politik dalam hal ini, entah dengan dalih “dukungan sementara” atau “membendung fasisme”. Masalah fasisme ini telah kita jawab dengan negatif, bahwa tidak ada bahaya fasisme di Indonesia hari ini (Apa ada bahaya fasisme di Indonesia?). Fasisme adalah momok paling populer yang kerap digunakan oleh kaum oportunis untuk membenarkan pilihan mereka.
Masalah pembentukan partai buruh sekali lagi menjadi titik lemah dalam gerakan kita. Selama buruh tidak memiliki partainya sendiri, yakni sebuah partai dengan program sosialis yang dapat merangkul dan memimpin lapisan tertindas lainnya, maka selama itu pula rakyat pekerja akan jadi bulan-bulanan dari para politisi kelas penguasa. Usai pemilu, masalah pembentukan partai buruh harus jadi fokus utama dari setiap buruh yang sadar kelas, tidak hanya untuk berlaga dalam pemilu tetapi terutama sebagai sekolah politik lebih lanjut bagi buruh.
Krisis kapitalisme yang tak kunjung usai niscaya mendorong semua pemerintahan di dunia untuk melanjutkan serangannya terhadap rakyat pekerja. Periode ke depan adalah periode penajaman perjuangan kelas, dan terkutuklah mereka yang tidak siap menghadapi ini. Pendekatan yang rutinis dalam perjuangan harus dicampakkan. Dalam momen May Day ini, yang akan membuka pemerintahan yang baru terpilih ini, kita harus panjatkan seruan ini dengan lebih lantang: Bangun Partai Buruh!