Awal tahun 2020 dunia dihebohkan dengan munculnya “Parasite” sebagai film Korea pertama yang menang 4 kategori piala Oscar. Euforia ini tak luput juga dirayakan di Indonesia, tak terkecuali para aktivis kiri.
Film ini dinilai memiliki muatan kritik yang tajam terhadap kesenjangan sosial dalam masyarakat, di mana di satu sisi kaum kaya memiliki segala kemewahan sedangkan di sisi lain orang tak berpunya harus berjuang keras untuk sesuap nasi.
Beberapa media kiri dan progresif memuji ketajaman kritik yang termuat dalam film ini. Indoprogress misalnya memuat artikel “Parasite Wangi Bong Joo-Ho” memuji film ini dengan menggambarkan sutradaranya sebagai berikut: “Ada satu hal menarik dari sutradara Bong Joon-ho: film-filmnya tak pernah memperlihatkan simpati pada kaum kaya dan siapapun yang berumah di puncak hierarki sosial.”
Tapi yang menjadi pertanyaan adalah, apakah dampak film ini sebesar yang diduga aktivis kiri dan progresif?
Seorang teman penulis yang berlatar belakang pekerja kantoran memberikan komentar begini setelah menonton film “Parasite”: “Nggak setuju ah sama keluarga Kim Ki-taek. Jahat. Padahal bos sama PRT lamanya baik.”
Teman penulis lainnya yang juga pekerja kantoran memberikan komentar hampir serupa: “Jahat sih keluarga Kim Ki-taek. Karena mereka kan ngambil hak orang lain dan ada unsur aniaya juga.”
Lalu saat penulis tanyakan mengenai kontrasnya kehidupan keluarga Park dan keluarga Kim Ki-taek, dia menjawab, “Ya beda banget sih. Tapi gue nggak menemukan unsur yang membuat keluarga Park itu patut dirampok atau dibohongi.”
Teman penulis yang lain lagi juga memberikan komentar senada: “Keluarga Kim Ki-taek nggak tau diri.”
“Kalau masalah yang satu kaya banget dan yang satunya miskin banget, ya mau gimana lagi. Dia kan kaya karena hasil kerja kerasnya dia,” sambungnya.
Bahkan teman penulis yang ke-3 ini menilai bahwa yang parasit adalah keluarga Kim Ki-taek dan bukannya keluarga Park.
Teman penulis ke-4, seorang Office Boy, pun memberikan komentar serupa. Saat penulis bertanya bagaimana komentarnya melihat sikap keluarga Kim terhadap sopir dan asisten rumah tangga majikannya, ia pun menjawab, “Jahat banget sih.”
Kemudian, saat penulis bertanya tentang keluarga Park, ia hanya berkata, “Ya pelajaran aja mbak, jangan gampang percaya orang. Ini orang kaya kok gampang banget dibodohin.”
Sedangkan saat penulis bertanya bagaimana kontras nasib antara keluarga Park dan keluarga Kim, dia menjawab, “Ah, kena banjir mah gue juga sering.”
Betul bahwa survei yang penulis lakukan ini hanya melibatkan segelintir orang, dan hampir semuanya karyawan kantoran. Namun menurut penulis, sampel ini random dan oleh karenanya cukup mewakili mayoritas kaum pekerja yang masih awam perspektif kelas.
Mengapa penulis sebut sampel ini random? Karena orang pertama yang penulis wawancarai dari segi politik bisa dikatakan apatis terhadap politik. Sampel kedua cenderung melek politik dan gemar bertukar pikiran. Sampel ketiga adalah orang yang cukup tertarik dengan isu-isu politik, filsafat, dan kajian sosial. Sedangkan sampel keempat adalah apatis politik namun mengalami ketimpangan sosial yang paling kasat mata.
Jika 4 orang ini dianggap bisa mewakili mayoritas kelas pekerja yang masih awam perspektif kelas, maka bisa disimpulkan bahwa di benak mayoritas penonton awam tidak terpikir sama sekali bahwa “Parasite” membuka tabir ketimpangan sosial di masyarakat. Apa yang ada justru sebaliknya, masing-masing melihat protagonis Kim Ki-taek sekeluarga sebagai musuh yang jahat dan keluarga Park sebagai pihak lakon.
Lalu dari mana beberapa aktivis kiri menilai film ini patut diapresiasi dari segi muatan kritiknya?
Kalau melihat dari komentar-komentar di atas, aktivis kiri bisa menilai “Parasite” bagus secara kritik sosial adalah karena mereka menilai film ini dengan tolok ukur level kesadaran kelas mereka. Bagi orang yang sudah paham perspektif kelas, sangat mudah menangkap elemen kritik sosial dalam film itu. Bahkan ketika pembuat film tidak memaksudkan filmnya dimaknai demikian, banyak aktivis kiri akan cenderung memaknainya demikian. Ini karena para aktivis kiri menaruh ekspektasi besar bahwa setiap film yang ditontonnya akan mengandung pesan-pesan perjuangan kelas.
Mungkin para aktivis kiri kita akan bertanya bagaimana dengan adegan di mana Kim Chung-sook (ibu keluarga Kim) berkata, “Jika aku punya semua uang ini, maka aku juga akan jadi baik. Bahkan lebih baik.”? Bukankah adegan tersebut memberikan pemahaman kepada penonton awam bahwa kejahatan dan kriminalitas disebabkan karena kemiskinan dan bukan karena watak asli orang miskin?
Sekilas, ini memang tampak menohok. Umumnya orang akan menilai bahwa orang baik tetaplah akan menjadi baik, baik saat hidupnya berkelimpahan maupun saat hidupnya kekurangan. Namun oleh karakter Kim Chung-sook, anggapan ini dipatahkan dengan mengatakan bahwa seseorang menjadi baik bukan karena memang wataknya baik namun karena hidupnya sudah berkecukupan. Dan sebaliknya, orang yang aslinya baik pun akan menjadi jahat ketika hidupnya kekurangan.
Tapi pertanyaannya: apakah ini sudah cukup memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa kejahatan dan kriminalitas terjadi karena himpitan hidup?
Tak berselang lama setelah film “Parasite” diumumkan menang Oscar, seorang influencer di bidang digital marketing yang tulisannya diikuti oleh banyak orang menulis: “Berbuat baik itu nggak harus nunggu kaya. Justru karena berbuat baiklah kamu bisa jadi kaya.”
Dan kita bisa menebak seperti apa komentar para follower-nya. Hampir 100% mengiyakan tulisan tersebut.
Kalau segelintir follower ini mewakili sebagian besar masyarakat kita yang masih terjebak dalam pandangan kapitalistik, maka kita bisa simpulkan bahwa sebagian besar orang juga akan setuju dengan pandangan bahwa berbuat baik itu bisa dilakukan oleh siapa pun, tak peduli status sosialnya. Atau malah, justru dari berbuat baik orang bisa menjadi kaya. Yang artinya, justru orang-orang kaya-lah yang baik. Baik pangkal kaya. Orang menjadi kaya karena baik.
Melihat fakta yang terjadi sangat kontras dengan yang digambarkan dalam film “Parasite”, juga menimbang komentar penonton awam tentang film tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa film ini telah gagal sebagai kritik sosial. Karena untuk mengukur seberapa berhasil sebuah kritik sosial, kita perlu melihatnya dari pengaruhnya terhadap kesadaran rakyat luas, setidaknya kalau kita peduli pada perubahan sosial dan bukan hanya untuk mengelus dada sendiri lalu pergi tidur merasa puas telah memahami “kritik sosial” sebuah film.
Kalau diamati, alih-alih menyadarkan masyarakat tentang adanya ketidakberesan dalam sistem ekonomi kapitalisme yang menyebabkan kesenjangan sosial yang amat besar, “Parasite” justru berpotensi semakin menegaskan prasangka yang berlaku di masyarakat bahwa kemiskinan justru muncul dari watak individunya yang malas dan licik. Ini tergambar dari sepak terjang keluarga Kim Ki-taek yang mencurangi bos dan para pekerja lamanya.
Seperti yang digambarkan dalam film itu, ketika Ki-taek khawatir akan nasib sopir lama keluarga Park setelah dipecat dari pekerjaan mereka, anak sulung Ki-taek pun menjawab, “Tenang saja, dia masih muda dan punya fisik yang bagus. Sekarang pasti dia sudah dapat pekerjaan.” Yang lalu dibalas oleh si Bungsu, “Ayah, jangan pikirkan si sopir itu. Pikirkan kita. Bukan Yoon. Tapi aku.” Dan semua orang di keluarga Kim pun setuju.
Kemalasan ini juga digambarkan dengan kontrasnya sosok ayah dalam keluarga Park dan keluarga Kim. Sosok ayah dalam keluarga Park (keluarga kaya) digambarkan jarang sekali berkumpul dengan keluarga karena saking sibuk dan seriusnya bekerja. Sedangkan sosok ayah dari keluarga Kim digambarkan sebagai sosok yang tidak serius bekerja.
Kebetulan penulis punya 2 teman yang bekerja sebagai asisten rumah tangga. Mereka memiliki pengalaman yang hampir mirip dengan film “Parasite”. Sebagai pembantu lama di rumah majikannya, mereka merasa sangat dirugikan dengan kehadiran pembantu baru karena sifat dan tingkah laku pembantu baru ini, yang menurut mereka sangat licik, manipulatif, dan pandai mencari muka.
Kedua teman penulis ini sudah menonton film “Parasite”. Dan ketika ditanya mengenai film tersebut, mereka menjawab, “Jadi inget pembantu barunya si bos. Meskipun kelicikannya nggak sama persis tapi sama-sama liciknya. Orang kayak gitu mah nggak bakal sukses.”
Lalu ketika ditanya bagaimana menurut mereka adegan ketika rumah keluarga Ki-taek kebanjiran sedangkan rumah keluarga Park aman-aman saja, mereka menjawab: “Ya gimana lagi. Itulah hidup. Kalau mau hidup enak ya harus kerja keras.”
Ini menunjukkan bahwa penggambaran kesenjangan sosial dengan kontrasnya kehidupan keluarga Ki- taek dan keluarga Park belum cukup membuat masyarakat terguncang kesadarannya tentang adanya masalah serius dalam sistem ekonomi yang sekarang berlaku.
Sejujurnya, tanpa digambarkan lewat film pun, kontras kesenjangan antara kaum miskin dan kaum kaya terpampang nyata dan sangat jelas di masyarakat.
Kenyataan pahit ini tak pernah berhenti dirasakan oleh misalnya, seorang asisten rumah tangga yang bekerja di keluarga kelas atas. Kenyataan pahit ini juga sangat familiar bagi pekerja sektor pabrik dan perkantoran.
Bahkan hampir setiap hari, media selalu mencekoki rakyat kelas bawah dengan tontonan berupa harta kekayaan orang-orang kelas atas (seringnya dari kalangan selebriti) yang sangat tidak terjangkau. Media borjuis hampir setiap hari mempertontonkan mobil mewah, rumah mewah, hingga jam tangan, sepatu, tas, dan berbagai koleksi dan kebiasaan mahal orang-orang kelas atas. Intinya, masyarakat kita sudah begitu hafal dengan kesenjangan ini karena itulah kenyataan yang mereka rasakan sehari-hari.
Artinya, jika kesenjangan sosial yang tajam ini sudah sangat dipahami masyarakat dan ini tak membuat masyarakat mempertanyakan bagaimana kesenjangan ini muncul, maka penggambarannya lewat film pun tidak akan memiliki dampak apapun, kecuali penonton/masyarakat merasakan cerita film tersebut relatable atau sangat mewakili kehidupan mereka. Tidak lebih dan tidak kurang. Penggambaran ini hanya akan jadi pengulangan dari realitas sehari-hari yang mereka rasakan.
Malahan, penggambaran ini yang disertai dengan cerita tentang kejahatan sebuah keluarga kelas bawah seperti yang digambarkan di film “Parasite” justru malah akan semakin menegaskan bahwa terkadang kemiskinan hadir sebagai akibat dari perangai para individunya; bahwa terkadang orang miskin menjadi miskin karena jahat dan licik.
Setidaknya, inilah kesimpulan dua teman penulis yang bekerja sebagai asisten rumah tangga di atas. Setidaknya, ini jugalah kesimpulan seorang influencer digital marketing yang tulisan-tulisannya diikuti banyak orang (bisa dibilang mayoritas follower-nya berasal dari kelas pekerja dan juga borjuis kecil yang masih berharap suatu saat bisa membangun bisnis mereka sendiri).
Lalu kenapa kritik terhadap kritik sosial dalam film “Parasite” ini penting?
Pertama, karena cerita dalam film itu sendiri yang menggambarkan kejahatan kelas pekerja dan kebaikan kelas borjuis. Ini tentu sangat mengkhawatirkan karena di tengah kebangkitan kaum pekerja dalam melawan tirani kelas borjuis yang jahat dan merusak, masyarakat, terutama kelas pekerja, kaum lumpen, kaum miskin, dan borjuis kecil malah disuguhi film yang mendiskreditkan kelas pekerja.
Tidak menutup kemungkinan setelah menonton film ini elemen-elemen yang dekat dengan perjuangan kelas pekerja seperti kaum miskin kota, buruh tani, nelayan kecil, dan borjuis kecil justru akan melihat kelas pekerjalah biang kerusakan dan ketimpangan ekonomi kelas mereka sendiri. Kelas buruh Indonesia sudah cukup mendapatkan stigma buruk dari masyarakat luas terkait tuntutan-tuntutan ekonomis mereka.
Sering kita dengar hujatan-hujatan yang dilayangkan kepada kaum pekerja saat mereka melakukan aksi demo untuk menuntut hak mereka. “Dasar pemalas. Nggak bersyukur. Tamak, ngerasa kurang terus,” demikian penilaian masyarakat luas dengan adanya aksi demo yang dilakukan kaum buruh.
Caci-makian seperti itu terjadi karena kalau dilihat dari permukaan, memang tidak ada yang keliru dengan kebijakan pemerintah yang pro-modal. Ketimpangan besar antara yang miskin dan yang kaya dilihat sebagai akibat wajar dari persaingan. Dan oleh karenanya ketika kaum buruh menuntut hak mereka, ini dianggap sebagai ketidak-sportifan mereka dalam menghadapi persaingan ekonomi.
Kedua, karena euforia dan penerimaan aktivis kiri dalam memandang kritik sosial dalam film ini yang sangat berlebihan. Euforia dan penerimaan berlebihan ini sangat berbahaya karena, ini bisa mengilusi kita bahwa rakyat pekerja sudah tercerahkan, bahwa rakyat pekerja sudah naik kesadaran kelas mereka berkat film ini.
Kesimpulan
Dengan pemaparan barusan, bisa penulis simpulkan bahwa kritik sosial dalam film “Parasite” hanya menemukan gaungnya di antara para aktivis. Mereka menakar film tersebut dari kesadaran kelas mereka sendiri. Sedangkan bagi penonton awam, film ini tidak meningkatkan kesadaran kelas mereka sama sekali, bahkan justru berpotensi mendiskreditkan perjuangan kelas pekerja dalam menuntut hak-hak mereka dan berpotensi memecah-belah kaum pekerja. Maka, film ini telah gagal sebagai kritik sosial, kalau kita pahami kritik sosial dari kegunaannya untuk memblejeti sumber ketimpangan ekonomi dan sosial di hadapan mata rakyat pekerja.
Melihat komentar-komentar masyarakat awam yang belum berkesadaran kelas tentang film “Parasite”, dan juga menimbang komentar-komentar masyarakat tentang perjuangan kelas pekerja yang sering termanifestasi dalam aksi demo dan mogok, maka yang diperlukan bukanlah mengulang-ulang kisah jurang ketimpangan sosial dalam masyarakat, melainkan menjelaskan dengan gamblang dan detail mengapa jurang ini hadir dan mengekspos kebangkrutan kelas borjuis.