Beberapa hari terakhir masyarakat dikejutkan dengan pernyataan Jokowi bahwa kita perlu berdamai dengan Covid-19. Ini menandakan perubahan arah kebijakan negara dalam menghadapi pandemi yang telah menyebar di dunia ini. Menyusul pernyataan tersebut, juga telah diumumkan pelonggaran PSBB secara bertahap mulai Juni 2020, yang pada akhirnya akan membuka kembali semua aktivitas perekonomian.
Ini adalah era “New Normal” atau “Kenormalan Baru”, demikian kata para pejabat negara menanggapi kebijakan “berdamai dengan covid”. “Pemenang mencari kesempatan, bukan kekurangan. Buat generasi muda, ayo cari apa kesempatan yang ada,” kata Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wisnutama.
Kenormalan baru berarti cara hidup normal kita sudah berubah. Kalau sebelumnya kita pergi ke mana-mana tak perlu masker, kini kita harus memakai masker. Kalau sebelumnya tidak ada ancaman infeksi virus korona, jatuh sakit dan mati ketika bekerja atau beraktivitas di luar, kini setiap hari ancaman liang kubur selalu menanti. Dan ini sudah bukan lagi karena kondisi darurat, namun karena memang inilah hari-hari normal yang kita hadapi saat ini. Jadi intinya, kita dipaksa untuk beradaptasi dengan situasi corona yang berkepanjangan.
Jika ditelusuri, alasan mengapa kebijakan berdamai ini diberlakukan adalah karena penemuan vaksin masih membutuhkan waktu lama dan virus ini tidak akan hilang, seperti yang dinyatakan WHO. Sementara, kaum kapitalis sudah tak bisa lagi menahan diri untuk tidak mendulang profit, seperti yang diakui oleh ketua APINDO, Hariyadi Kamdani, bahwa para pelaku usaha hanya bisa bertahan sampai Juni 2020.
Pembukaan kembali aktivitas perekonomian tidak hanya dilakukan di Indonesia. Negara-negara lain pun memberlakukan hal yang sama dalam waktu dekat (bahkan sudah ada yang memulai) seperti Inggris, Amerika Serikat, Italia, dst. Jelas sekali bahwa di balik kebijakan ini adalah kepentingan kelas kapitalis untuk terus menumpuk profit mereka.
Pemerintah Indonesia berdalih bahwa untuk memastikan masyarakat tetap terlindung dalam kondisi New Normal, maka pelonggaran PSBB akan dilakukan setelah kurva Covid-19 menurun dan protokol kesehatan yang telah ditetapkan akan terus dilanjutkan. Namun sejumlah pakar meragukan ini.
Pertama, karena Indonesia sendiri sejatinya belum memiliki Kurva Covid-19. Peneliti dari Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU), Iqbal Elyazar, mengatakan, “Masalah utamanya, sudah 68 hari setelah kasus pertama Covid-19 diumumkan, Indonesia belum menampilkan kurva epidemi Covid-19 yang sesuai dengan standar ilmu epidemiologi.” Pakar epidemiologi UNAIR (Universitas Airlangga) Dr. Windhu Purnomo menyatakan bahwa wacana untuk membuka perekonomian mulai Juni adalah langkah yang sangat tidak tepat karena ditakutkan akan ada gelombang kedua bahkan ketiga penularan. Anggota Gugus 4 Pelaksanaan PSBB Jawa Timur mengakui vitalnya kurva epidemi dalam mengukur tingkat penurunan kasus Covid di masyarakat, namun mengakui bahwa kurva tersebut belum diproduksi di level pusat. Intinya, data untuk menganalisis kurva epidemi ini sangatlah tidak memadai.
Itu baru satu faktor yakni kurva epidemi. Lalu bagaimana faktor yang kedua, yaitu, protokol kesehatan? Kita telah melihat sendiri bagaimana fakta di lapangan protokol kesehatan dijalankan, mulai dari kurangnya APD, ventilator, dan minimnya tes covid, tidak akuratnya alat tes, juga minimnya fasilitas kesehatan di ruang-ruang publik. Banyak pihak yang terpaksa merogoh kocek sendiri untuk menyediakan fasilitas-fasilitas tersebut. Meskipun saat ini BUMN mengaku tengah memproduksi APD dan ventilator, namun seberapa jauh peningkatan fasilitas kesehatan ini dapat menjangkau seluruh kalangan masyarakat sangatlah diragukan. Ini bisa dilihat dari alokasi anggaran kesehatan yang amat minim.
Dari total alokasi anggaran penanganan Covid sebesar Rp 405,1 triliun, hanya sebesar Rp 75 triliun yang diberikan untuk bidang kesehatan. Sedangkan stimulus untuk pengusaha, alokasinya 3 kali lipat lebih besar, yaitu sebesar Rp 220,1 triliun.
Melihat alokasi anggaran kesehatan yang begitu minim, cukupkah anggaran tersebut digunakan untuk mengoptimalkan protokol kesehatan? Anggaran sebesar 75 triliun ini cukup untuk berapa lama? Satu bulan? Dua bulan? Kita semua tahu siapa yang akan didahulukan ketika rakyat miskin di satu sisi dan para pejabat serta orang-orang kaya di sisi lain menderita Covid -19 atau penyakit lain. Pada akhirnya dari total anggaran kesehatan yang diberikan, sangat kecil sekali yang akan diterima oleh rakyat pekerja.
Belum lagi penerapan protokol kesehatan yang tebang pilih. Baru kemarin kita melihat bagaimana di tengah PSBB, manajemen McDonald Sarinah mengadakan acara penutupan yang dikunjungi kerumunan orang, tanpa tindakan dari pihak aparat sama sekali. Baru kemarin juga kita saksikan bagaimana di tengah PSBB, DPR mengesahkan RUU Minerba dan terus melanjutkan pembahasan Omnibus Law. Sedangkan untuk warung-warung kecil dan juga aksi jalanan (demonstrasi, mogok, dst) kaum pekerja langsung ditindak tegas. Bisa ditebak apa yang akan terjadi saat pelonggaran PSBB terjadi. Situasi New Normal akan tetap menjadi pembenaran bagi pemerintahan kapitalis Jokowi untuk menindak setiap aksi demonstrasi kaum pekerja dan untuk semakin bertindak represif terhadap rakyat kecil.
Sejatinya, isi dari kebijakan berdamai dengan virus korona adalah keleluasaan kapitalis untuk mengeksploitasi dan mengorbankan nyawa kaum pekerja demi profit. Pelonggaran PSBB dengan dalih kita memasuki kondisi New Normal mengindikasikan bahwa pemerintahan borjuis akan lepas tangan terhadap tanggung jawab untuk menjamin kesehatan masyarakat.
Kaum kapitalis beserta para pejabat akan sangat mudah terhindar dari virus ini. Kalau pun mereka terjangkit, mereka akan didahulukan penanganannya di rumah sakit. Sehingga, mereka tak perlu khawatir akan keselamatan mereka ketika PSBB dilonggarkan. Ini sangat kontras dengan kaum pekerja yang meskipun sudah tersedia anggaran kesehatannya, tapi masih sering dilempar ke sana-kemari bahkan pada saat pemeriksaan sekalipun. Belum lagi minimnya safety di tempat kerja.
Beradaptasi atau mengubah lingkungan?
New Normal berarti kita, kaum pekerja, diharuskan beradaptasi dengan Covid, yang berarti menyerahkan nyawa di hadapan virus mematikan ini demi profit para bos, tanpa jaminan kesehatan dan keselamatan. Tapi benarkah tidak ada jalan keluar lain selain beradaptasi atau menyerah dengan keadaan?
Pakar arkeologi Gordon Childe dan pakar biologi Steven Rose, setelah meneliti kehidupan masyarakat melalui disiplin keilmuan mereka masing-masing, berkesimpulan bahwa manusia mampu bertahan hidup bukan hanya dengan beradaptasi dengan lingkungan namun juga mengubah lingkungan atau kondisi di sekitarnya. Dalam sejarah, manusia telah berulang kali menumbangkan tatanan lama yang sudah tidak lagi memadai, dan membangun yang baru di atas reruntuhan yang lama. Manusia telah mengubah secara radikal lingkungan di sekitarnya.
Kaum kapitalis pun telah mengubah masyarakat feodal yang lama, lewat serangkaian revolusi: Revolusi Belanda 1568, Revolusi Inggris 1642, dan yang terkemuka dari semuanya, Revolusi Prancis 1789. Revolusi-revolusi ini mengubah lingkungan dari corak produksi feodalisme ke corak produksi kapitalisme. Kaum kapitalis tidak berdamai atau tidak beradaptasi pada alam feodal, tetapi mereka mengubah corak masyarakat yang ada. Tanpa revolusi, kaum borjuis tidak akan mampu mempertahankan kepentingan mereka di bawah masyarakat feodal.
Namun, hari ini kaum kapitalis, melalui “orang-orang pintar” bayaran mereka, selalu mengajarkan kepada kita agar beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada. Ini tak lain berarti pasrah untuk hidup menderita dieksploitasi kelas kapitalis, tak terkecuali dalam situasi pandemi sekarang.
Jadi, dalam kaitannya dengan mengatasi bahaya virus korona, kaum pekerja harus mengubah kondisi yang ada dan bukan berdamai dengannya. Sistem kapitalisme yang telah gagal dalam menjaga kesehatan dan keselamatan rakyat selama pandemi Covid-19 – harus diubah menjadi masyarakat sosialis, dengan cara merebut kekuasaan ekonomi dan politik dari tangan kelas kapitalis.
Sosialisme berarti perekonomian yang terencana di mana aktivitas produksi direncanakan secara demokratis oleh seluruh kaum pekerja dan ditujukan bukan untuk menumpuk profit – seperti kapitalisme hari ini – melainkan untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh masyarakat. Dan ini dilakukan dengan cara mengambil alih pabrik-pabrik, alat-alat produksi yang ada di pabrik-pabrik, menasionalisasi bank-bank, rumah sakit-rumah sakit, dan tanah-tanah yang dikuasai oleh korporasi untuk dijalankan secara demokratis oleh kaum pekerja (baik di kota maupun di desa).
Hari ini seluruh kehidupan masyarakat dan bahkan keputusan-keputusan pemerintah dikendalikan kapitalis di ruang-ruang direksi dan bursa-bursa saham. Kepemilikan kapitalis atas pabrik-pabrik, bank-bank, dan semua alat-alat produksi adalah kunci bagaimana para kapitalis bisa mendominasi kehidupan kita. Oleh karenanya, untuk menghentikan kebijakan mereka yang mengorbankan nyawa kelas pekerja demi profit, maka kelas pekerja harus memegang kendali pabrik-pabrik, alat-alat produksi dan menerapkan kontrol buruh.
Untuk bisa selamat dari pandemi ini umat manusia tidak boleh berdamai dengan kapitalisme, tidak boleh berdamai dengan tatanan yang ada. Yang diperlukan adalah mengubah sistem perekonomian kita yang hari ini di bawah kontrol pemilik modal menjadi di bawah kontrol buruh.
Pengalaman Revolusi Rusia dan Kontrol Buruh
Kaum proletariat punya pengalaman penting dalam menerapkan kontrol buruh atas ekonomi, yakni di Rusia pada tahun 1917 ketika kaum buruh Rusia berhasil menggulingkan pertuan-tanahan dan kapitalisme serta membentuk negara sosialis berdasarkan soviet-soviet (dewan-dewan pekerja). Negara buruh yang baru ini segera menerapkan kontrol buruh atas ekonomi demi pemenuhan kebutuhan buruh dan tani.
Leon Trotsky, salah satu pemimpin Revolusi Rusia, menggambarkan bagaimana kontrol buruh dijalankan di negara buruh Soviet sebagai berikut:
“[Dengan kontrol buruh] maksud saya adalah kita akan memastikan agar pabrik-pabrik dioperasikan bukan untuk tujuan mendapatkan laba melainkan secara demokratis dijalankan untuk kesejahteraan sosial. Misalnya, kita tidak akan membiarkan kapitalis menutup pabriknya untuk menundukkan buruh dengan ancaman kelaparan atau karena pabrik ini tidak memberinya profit. Bila pabrik ini menghasilkan produk yang dibutuhkan secara ekonomi, maka pabrik ini harus terus beroperasi. Bila kapitalis mencampakkannya, pabrik ini akan diambil alih sepenuhnya dan dewan direksi akan dipilih oleh buruh dan akan menjalankannya …
“Lagi, ‘kontrol buruh’ berarti bahwa pembukuan dan korespondensi perusahaan akan dibuka untuk publik, sehingga dengan demikian tidak ada lagi rahasia-rahasia industri. Jika perusahaan ini menemukan proses produksi atau mesin yang lebih baik, penemuan ini akan dikomunikasikan kepada perusahaan-perusahaan lain …, sehingga publik akan dengan cepat merealisasikan manfaat semaksimal mungkin dari penemuan ini. …”
“‘Kontrol buruh’ juga berarti bahwa bahan-bahan kebutuhan penting yang jumlahnya terbatas, seperti batu-bara, minyak, besi, baja, dsb., akan dialokasikan pada pabrik-pabrik lain yang membutuhkannya, sesuai dengan kegunaan sosial mereka.”
[Semua ini akan dilakukan bukan] berdasarkan tawar-menawar antar kapitalis, melainkan berdasarkan statistik yang dikumpulkan secara menyeluruh dan seksama.”
Lebih jauh, dengan membuka laporan keuangan perusahaan kapitalis, kita dapat mengecek berapa profit yang sudah ditumpuk bertahun-tahun. Sering kali pengusaha berdalih bahwa mereka merugi dan ini digunakan untuk membenarkan penyerangan terhadap kelas buruh seperti pemotongan gaji, pemecatan, pemotongan THR, penihilan jaminan keselamatan kerja, dan peningkatan jam kerja.
Yang tidak kalah penting adalah memeriksa pendapatan dari setiap perusahaan untuk menentukan pendapatan nasional dari setiap kapitalis dan pendapatan kelas tersebut secara keseluruhan. Kontrol buruh juga bertugas untuk menunjukkan pemborosan tenaga kerja manusia dan pengejaran profit kotor, dan juga mengekspose transaksi-transaksi rahasia, penipuan, dan korupsi yang sudah inheren dalam sistem kapitalisme.
Ringkasnya, beberapa poin penting dalam kontrol buruh adalah:
- Kontrol buruh harus dijalankan secara demokratis di pabrik-pabrik, baik secara langsung oleh semua pekerja di satu pabrik maupun melalui pemilihan wakil-wakil mereka secara demokratis.
- Wakil-wakil buruh yang terpilih bisa diganti sewaktu-waktu dan dihukum jika ternyata menjadi kaki tangan kapitalis dan atau menjalankan kontrol buruh untuk kepentingannya sendiri (misal dengan menggelapkan bahan baku, bekerja sama/memeras bos dengan imbalan akan menghancurkan kontrol buruh, melakukan transaksi jual-beli demi menumpuk profit, dst.)
- Wakil-wakil buruh yang terpilih akan digaji sama dengan buruh-buruh lainnya, dan tidak diberi privilese apapun.
- Kontrol buruh harus dijalankan untuk memenuhi kepentingan sosial, bukan untuk menumpuk profit.
- Di bawah kontrol buruh, pabrik bukanlah semata milik buruh-buruh yang ada di pabrik tersebut, tetapi adalah milik bersama seluruh rakyat pekerja. Kontrol buruh bukan untuk kepentingan satu pabrik saja, tetapi untuk kepentingan ekonomi seluruh bangsa dan pemenuhan kebutuhan seluruh rakyat. Oleh karenanya kontrol buruh harus dilaksanakan dalam kerangka perencanaan ekonomi nasional.
Mengambil kendali atas nasib sendiri
Kontrol buruh pada akhirnya berarti buruh mengambil kendali atas nasib sendiri. Dalam hal penanganan pandemi Covid-19, kontrol buruh berarti tidak bersandar para pemerintah dan kapitalis yang jelas tidak memikirkan keselamatan rakyat pekerja. Dengan kebijakan berdamai dengan virus korona, pemerintah jelas telah memasrahkan nyawa rakyat pekerja.
Kita tidak ingin berdamai dengan Covid-19, karena berdamai dengannya berarti berdamai dengan liang kubur. Kita ingin memeranginya. Kapitalisme jelas tidak punya kapasitas untuk memeranginya. Motivasi profit kapitalis berbenturan keras dengan usaha memerangi pandemi Covid-19. Hanya dengan sosialisme dan kontrol buruh atas ekonomi maka kita punya peluang riil untuk mengalahkan pandemi ini dan menyelamatkan nyawa ratusan ribu rakyat.
Tolak berdamai dengan virus korona!
Sosialisme jalan satu-satunya untuk memerangi pandemi!