George Floyd, satu lagi dari sekian banyak korban rasisme di AS. “Saya tidak bisa bernapas! Jangan bunuh saya,” tangisnya pada polisi yang melutut lehernya, sebelum menghembuskan nafas terakhirnya. Pembunuhan di siang bolong ini, yang terekam dan langsung viral, telah memercikkan aksi demo yang telah membakar kota Minneapolis 3 hari 3 malam. Kantor polisi diamuk massa yang membakarnya, yang dengan tepat melihat kepolisian sebagai pengejawantahan utama dari rasisme di AS. Demo ini juga telah menyebar bak api liar ke banyak kota besar.
Ketika kita berbicara mengenai rasisme atau white supremacy (supremasi kulit putih), biasanya ini diasosiasikan dengan para politisi dan pejabat Republiken, dengan Trump, dengan MAGA (Make America Great Again). Sementara, Partai Demokrat digambarkan sebagai antitesanya, partai yang anti-rasis, yang bersahabat pada perjuangan kaum kulit hitam. Ini salah satu argumen utama dari banyak kaum Kiri liberal terutama untuk pilpres dan pileg mendatang pada November 2020. Mereka katakan, mengalahkan Trump dan Partai Republiken adalah di atas segala-galanya kalau kita tidak ingin white supremacy menguat. Maka dari itu, Kiri harus mendukung Joe Biden, bahkan bila ini bukan pilihan ideal bagi sebagian kaum Kiri. Ini terbaik dari yang terburuk, atau minus malum.
Namun, satu hal yang luput dari perhatian banyak orang mengenai pembunuhan George Floyd adalah ini terjadi di kota dan negara bagian yang dikendalikan oleh Partai Demokrat. Minneapolis telah dipimpin oleh walikota dari Partai Demokrat berturut-turut dari 1975. Bahkan sejak 1945, yakni selama 75 tahun terakhir, hanya 9 tahun Minneapolis dipimpin walikota non-Demokrat. Negara bagian Minnesota kini dipimpin oleh Gubernur dari Partai Demokrat. Ini tidak menghentikan sama sekali keberadaan departemen kepolisian dan sistem peradilan yang rasis. Ini bukan hanya masalah satu dua apel yang busuk. Seluruh pohonnya busuk sampai ke akar-akarnya.
Sebelum Trump, kita dianugerahi dengan presiden Demokrat kulit hitam pertama, yakni Barack Obama. Dua masa kepresidenan Obama tidak menghasilkan perubahan fundamental sama sekali pada rasisme dan brutalitas polisi terhadap kaum kulit hitam. Justru pembunuhan terhadap kaum kulit hitam memuncak selama kepresidenan Obama, yang lalu memicu meledaknya gerakan Black Lives Matter. Inilah yang terbaik yang bisa ditawarkan oleh Partai Demokrat.
Rasisme, brutalitas terhadap kaum kulit hitam, dan white supremacy bukanlah monopoli Partai Republiken dan Trump. Partai Demokrat — dengan cara yang lebih halus, pintar dan sistematis — juga telah melanggengkan white supremacy. Tidak bisa tidak, karena rasisme merupakan fondasi keseluruhan bangsa AS. Tanpa perbudakan kulit hitam, tidak akan ada Amerika Serikat. Bukan tanpa alasan Malcolm X mengatakan: “Tidak ada kapitalisme tanpa rasisme.” Brutalitas rasisme mengakar dalam kapitalisme.
Namun para pembela minus malum mungkin akan berargumen, kita dukung Demokrat terlebih dahulu untuk kalahkan Republiken, dan baru setelah itu kita berjuang melawan kapitalisme. Ini sungguh proposisi yang sangat menggoda, tetapi hancur berkeping-keping ketika dibenturkan dengan realitas. Untuk bisa memeriksa kebenaran proposisi ini, kita harus memahami kesejarahan sistem dua-partai AS dan fungsinya
Kelas penguasa AS telah menyempurnakan mesin negara mereka, parlementerisme mereka, yakni sistem dua-partai ini, untuk melanggengkan kekuasaan modal. Secara umum, sistem dua-partai AS berfungsi seperti ini: ketika Partai Republiken berkuasa, para politisi Republiken akan menyerang rakyat pekerja dengan cara yang vulgar dan blak-blakan. Mereka akan katakan dengan tanpa malu-malu, orang kulit hitam itu miskin karena mereka malas, bodoh, dan kriminal; rakyat AS kehilangan pekerjaan karena kaum imigran yang mencuri pekerjaan mereka; pabrik-pabrik hengkang ke China karena adanya serikat buruh yang serakah, dan oleh karenanya perlu diberangus; dsb. Pada pemilu selanjutnya, rakyat yang geram akan mendepak Partai Republiken dan memilih Partai Demokrat, yang berjanji akan mengatasi ketidakadilan yang ada. Tetapi, ternyata Partai Demokrat tidak melakukan apapun. Mereka justru meneruskan kebijakan rasis, anti-imigran, dan anti-buruh yang sama. Tetapi perbedaannya dengan Partai Republiken, mereka melakukannya dengan lebih halus, lebih terselubung, dan lebih pintar. Melihat ini, pemilih Demokrat menjadi kecewa, dan pada pemilu selanjutnya, mereka entah golput atau justru memilih Republiken. Lalu Partai Republiken naik lagi ke tampuk kekuasaan, dan cerita yang sama terulang lagi, ad infinitum. Dengan sistem dua-partai ini, Partai Republiken dan Demokrat bergilir berkuasa dengan rapi. Batas-batas dapil juga telah diatur sedemikian rupa oleh kedua partai ini sehingga mereka bisa terus bergilir memerintah.
Fungsi Partai Demokrat dalam sistem dua-partai ini adalah untuk menyalurkan kemarahan rakyat ke jalur yang aman, agar tidak menjadi ledakan yang dapat mengancam keseluruhan sistem kapitalisme. Para politisi mereka manis mulutnya, terlatih untuk berpidato dengan retorika kiri, dengan retorika merakyat, tetapi dalam praktik tidak mengubah apapun. Kalaupun mereka memberi konsesi, ini karena desakan besar dari bawah. Justru tugas Partai Demokrat adalah mengebiri tuntutan massa yang datang dari bawah, dan memastikan agar kegeraman rakyat tidak menjadi kegeraman terhadap kapitalisme.
Kita tidak bisa mengatakan pada rakyat: “Pilih Demokrat dulu sekarang, nanti baru setelah itu bergabunglah dengan kami untuk melawan Demokrat dan menumbangkan kapitalisme.” Atau “Pilih Demokrat dulu untuk sekarang. Nanti baru kita bicarakan bangun partai alternatif.” Politik dan kesadaran rakyat pekerja tidak bergerak seperti itu. Ini hanya imajinasi Kiri pendukung Demokrat selama 100 tahun terakhir, yang mencoba mengakali sistem dua-partai tetapi justru mereka-lah yang diakali. Setelah rakyat kecewa dengan Demokrat, mereka tidak akan lantas bergabung dengan Kiri yang sebelumnya telah menyarankan mereka untuk memilih Partai Demokrat.
Kemarahan rakyat Amerika atas terbunuhnya George Floyd akan terus meningkat. Terutama dengan latar belakang krisis ekonomi yang dipicu pandemi, rakyat akan melihat bahwa ini bukan hanya masalah rasisme saja, tetapi juga kegagalan kapitalisme secara keseluruhan. Rakyat akan mulai melihat titik-titik kesimpulan yang mengarah ke apa yang dikatakan oleh Malcolm X: “Tidak ada kapitalisme tanpa rasisme.” Mesin politik Partai Demokrat sudah mulai bergerak untuk mengalihkan kemarahan ini ke jalur yang aman. Narasi politik yang tengah mereka bangun adalah rasisme ini bukanlah karena kapitalisme, tetapi karena cuitan-cuitan Trump dan kolega-koleganya yang tidak bertanggung jawab. Demokrat kini tengah menitikkan air mata buaya dan berjanji akan mereforma kepolisian dan sistem peradilan.
Andrew Cuomo, gubernur New York dari Partai Demokratik, mengatakan “Saya berdiri bersama para demonstran”, dan berbicara panjang lebar mengecam rasisme. Tetapi belum lama yang lalu, kepolisian New York melakukan kekerasan terhadap kaum kulit hitam dalam menerapkan peraturan social distancing, seperti yang tertangkap dalam video yang viral. Penerapan peraturan sosial distancing juga rasis, karena sekitar 90 persen orang yang ditangkap atau kena tilang karena peraturan social distancing adalah kulit hitam atau hispanik. Tetapi ini tidak menghentikan kemunafikan Andrew Cuomo.
Barack Obama juga mengutuk apa yang terjadi di Minneapolis. Tetapi, bukankah selama dia menjabat sebagai orang terkuat di Amerika Serikat brutalitas polisi terhadap kaum kulit hitam tidak berkurang sama sekali?
Bila kita sungguh-sungguh ingin menghapus rasisme di AS, dan memastikan agar tidak ada lagi George Floyd, maka tidak ada lagi ruang untuk politik minus malum. Kita harus pecah sepenuhnya dari Partai Demokrat dan sistem dua-partai di AS, dan membangun partai buruh massa. Amarah rakyat harus mendapatkan ekspresi politik yang jelas, dengan partai politiknya sendiri, dan bukan digiring lagi dan lagi ke Partai Demokrat untuk dipadamkan.