Demonstrasi pecah di Amerika Serikat menyusul kematian George Floyd. Ratusan ribu orang turun ke jalan-jalan. Selama berhari-hari gerakan #Blacklivesmatter mencengkeram Amerika Serikat. Jauh dari surut gerakan ini meluas, dan bahkan semakin menajam seiring terbunuhnya satu lagi warga kulit hitam Rayshard Brooks.
TV dan media sosial dipenuhi dengan video polisi dan demonstran saling bentrok. Kantor-kantor polisi dibakar. Patung-patung simbol perbudakan dirobohkan. Menyusul besarnya demonstrasi ini pemerintah memberlakukan jam malam. Gerakan demonstrasi ini memaksa sang presiden Trump bersembunyi di bungker bawah tanah. Melihat luasnya eskalasi protes ini, akan sulit sekali mengendalikan amarah massa yang telah tumpah ruah di jalan-jalan. Pemerintah kewalahan namun justru terus menyiram bensin ke api.
Merespons ini Presiden Donald Trump mengumumkan bahwa ia akan mengerahkan militer AS untuk menghentikan kerusuhan di seluruh negeri. Trump mengatakan bahwa gubernur harus mengerahkan Garda Nasional dalam jumlah besar sehingga mereka dapat “mendominasi jalanan”. “Jika sebuah kota atau negara menolak untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan dan properti penduduk mereka, maka saya akan mengerahkan militer Amerika Serikat dan dengan cepat menyelesaikan masalah bagi mereka,” kata Trump.
Sayangnya kata-kata berani ini muncul ketika dirinya bersembunyi di bawah bunker. Donald Trump terus mengoceh tanpa henti dan memprovokasi situasi. Salah satu kepala polisi, Avecado, dengan geram membalas Trump: “Tolong, jika Anda tidak memiliki sesuatu yang konstruktif untuk dikatakan, tutup mulut karena Anda menempatkan pria dan wanita di awal usia 20-an dalam risiko. Ini bukan Hollywood.”
Namun tidak hanya kepala polisi saja yang mulai merasakan ancaman di bawah lutut mereka. Joe Biden dari Partai Demokrat yang akan menjadi penantang dari Trump pada pemilu November 2020 mendatang juga merasakan hal yang sama. Biden menganggap demonstrasi ini tidak lebih dari kekacauan dan kerusuhan, serta menyarankan untuk menembak demonstran di kaki alih-alih di jantung. Baik Trump dan Biden sama-sama setuju menembaki demonstrasi, terlepas posisi tembakan mana yang dipilihnya. Inilah watak dari kedua figur dari partai kapitalis yang sama-sama setuju dalam niatnya untuk memadamkan demonstrasi.
Demonstrasi ini telah melampaui pembunuhan George Floyd dan telah mengedepankan sebuah pertanyaan yang besar untuk mengubah institusi kepolisian. Tapi merombak institusi kepolisian tidak pernah cukup untuk menghentikan kekerasan polisi terhadap warga kulit hitam. Bertahun-tahun setelah peristiwa Ferguson 2015, bahkan sampai terpilihnya presiden kulit hitam pertama Barack Obama, kasus kekerasan terhadap warga kulit hitam dan rasisme tidak pernah dihapuskan. Walaupun sudah banyak politisi dan selebriti-selebriti kulit hitam yang mencapai posisi atas masyarakat, bagi mayoritas kaum kulit hitam situasinya tidak lebih baik dan bahkan memburuk. Dari kurun waktu 2013 sampai 2019 kita mendapati 305 warga kulit hitam menjadi korban pembunuhan oleh polisi. Pembunuhan George Floyd hanyalah puncak dari gunung es. Ini bukan masalah satu atau dua apel yang busuk. Seluruh keranjang apel dan pohon apelnya sudah membusuk sampai ke akar-akarnya. Tidak ayal tuntutan para demonstran telah mencapai proporsi yang revolusioner, yakni telah membawa tuntutan ini pada pembubaran institusi kepolisian.
Karena tekanan massa yang besar dan kemustahilan menghapus institusi kepolisian, kelas penguasa mencoba memberikan reforma-reforma kecil. Semisal wacana untuk membubarkan kepolisian di kota Minneapolis yang bertanggung jawab atas terbunuhnya George Floyd. Seperti dalam sejarah lain, reforma acap kali adalah hasil sampingan gerakan revolusioner karena kelas penguasa takut akan ancaman revolusi dari bawah. Tapi apa artinya ini? Kelas penguasa jelas tidak ingin benar-benar membubarkan institusi kepolisian. Sampai sekarang, ini hanya janji di mulut saja dan belum ada langkah konkret ke sana. Kemungkinan besar, kepolisian Minneapolis hanya akan berubah kemasannya saja. Itu artinya bila kita benar-benar ingin membubarkan kepolisian, bukan hanya di atas kertas saja, kita perlu menghapus kapitalisme.
Ya, benar bahwa massa belajar dari pengalaman. Melalui pengalaman ini mereka memahami ABC Marxisme mengenai apa itu negara, yakni badan bersenjata milik kelas penguasa. Tapi setelah ABC ada abjad lain, yakni bagaimana caranya menghapus institusi kepolisian yang merupakan instrumen kekerasan dari negara. Kita tidak dapat menghapus negara tanpa menghapus kapitalisme sebagai akarnya. Situasi ini mengedepankan program revolusioner menghapus kapitalisme dan di atas itu semua mengedepankan pertanyaan mengenai partai buruh massa revolusioner di AS.
Semua potensi ini telah ada. Bertahun-tahun jejak pendapat mengatakan bahwa lebih dari 50 persen kaum muda di Amerika tidak menginginkan hidup di bawah kapitalisme. Sosialisme menjadi topik pembicaraan utama di antara kaum muda. Kondisi ini memaksa sebagian politisi yang datang dari partai borjuasi, yakni Partai Demokrat, menggunakan retorika sosialis untuk meraih kapital politik pada pemilu mendatang. Jelas, massa pertama akan melihat mereka. Tapi massa belajar dari pengalaman. Mereka akan menguji setiap kelompok dan partai sampai mereka menemukan saluran yang paling revolusioner. Gerakan #Blacklivesmatter hanyalah sinyal bahwa massa tidak perlu menunggu sampai pemilu presiden pada November 2020 untuk mengubah kondisi hidup mereka dan untuk alasan ini pulalah massa jelas lebih siap pecah dengan dua partai utama kelas kapitalis.
Amerika Serikat adalah negeri paling reaksioner di dunia dengan Donald Trump di kepalanya. Semua orang akan mengira gerakan yang besar tidak mungkin ada di AS. Bahkan Kiri-kiri yang ada sebelumnya telah membesar-besarkan kenaikan sayap Kanan di negeri ini, sementara membutakan diri terhadap kenyataan bangkitnya gerakan akar rumput melawan status quo. Tapi AS tidak kebal terhadap gelombang protes yang melanda dunia pada saat ini. Untuk melihat bagaimana insiden pembunuhan George Floyd menjadi gerakan yang besar adalah perlu melihat akar dari kondisi dunia yang melatari gerakan di Prancis, Hong Kong, Chile dan Sudan tahun lalu. Faktanya, gelombang protes #Blacklivesmatter merupakan manifestasi kekecewaan yang telah mengakar bertahun-tahun. Ledakan demonstrasi besar ini tidak hanya diakibatkan oleh penindasan rasial bertahun-tahun dari warga kulit hitam, tapi juga hasil langsung dari kemiskinan, pengangguran dan ketidakmampuan kelas penguasa AS mengakhiri pandemi. Semua kondisi ini merupakan hasil dari pembusukan kapitalisme.
Lenin suka mengatakan “Ada dekade dimana tidak ada satu halpun yang terjadi, dan ada minggu dimana dekade itu terjadi”. Kondisi dunia hari ini menyediakan bahan yang mudah terbakar untuk ledakan sosial. Satu percikan api saja bisa membawa gelombang kejut di seluruh dunia, seperti gelombang gerakan #Blacklivesmatter. Dalam situasi seperti ini ledakan sosial bisa pecah kapan saja dan di mana saja. Untuk alasan ini menjadi urgensi bagi kaum revolusioner untuk mempersiapkan dirinya, membangun organisasi guna menggulingkan kapitalisme yang pembusukannya sudah terasa di semua sendi kehidupan. Tugas kita tidak hanya menyiapkan api, tapi juga mempersiapkan pembakarannya. Bila Amerika Serikat terbakar, kapitalisme harus dibakar!