Trotsky dalam salah satu karya monumentalnya, Program Transisional, mengatakan bahwa: “Situasi politik dunia dalam keseluruhannya digambarkan oleh krisis kepemimpinan proletariat di dalam sejarah.”
Pernyataan ini bukanlah sebuah omong kosong, namun merupakan sebuah pengamatan yang berulang kali sudah terbukti secara positif oleh kemenangan Revolusi Rusia dan secara negatif oleh kegagalan banyak revolusi dalam sejarah perjuangan kelas (termasuk kegagalan revolusi di Indonesia). Situasi objektif untuk sosialisme sudahlah matang dan bahkan sudah membusuk. Rakyat pekerja di seluruh penjuru dunia sudah berulang kali menunjukkan keberanian dan kegigihan mereka dalam berjuang untuk mengubah kondisi mereka, dan berulang kali mereka gagal dan harus membayarnya dengan sangat mahal.
Rakyat pekerja gagal bukan karena mereka tidak cukup berani atau karena mereka tidak pantas untuk memimpin revolusi. Bukan! Rakyat pekerja gagal karena mereka tidak memiliki sebuah kepemimpinan revolusioner yang mampu menggiring mereka ke garis akhir revolusi sosialis. Kepemimpinan yang mereka miliki adalah kaum reformis yang menjual mereka ke kaum kapitalis. Di sini bukan tempatnya untuk mempertanyakan niat luhur dari para pemimpin reformis ini. Cukup banyak dari mereka tidak diragukan memiliki niat luhur yang sejati untuk membela rakyat pekerja. Tetapi niat luhur tidaklah cukup untuk memimpin sebuah revolusi. Sebaliknya, justru jalan ke neraka sering kali dibangun dengan niat luhur.
Apa itu kepemimpinan revolusioner?
Kepemimpinan yang revolusioner bukanlah satu atau dua orang yang karismatik dan revolusioner. Yang dimaksud di sini adalah sebuah partai revolusioner yang mampu menyatukan kehendak jutaan rakyat pekerja menjadi satu kehendak bersama untuk memenuhi tugas historis kelas buruh, yakni menumbangkan kapitalisme; sebuah partai revolusioner yang merupakan inti sari dari pengalaman perjuangan kelas pekerja sedunia dalam praktek dan teori.
Kepemimpinan kelas pekerja ini, yang tersatukan di dalam partai, datang bukanlah dari kelas asing tetapi dari kelas pekerja itu sendiri. Dimulai dari lapisan termaju kelas pekerja yang akan membentuk fondasi dari partai ini, dibangun di atasnya sebuah batalion pejuang kelas terbaik yang terdidik di dalam ideologi perjuangan kelasnya sendiri – yakni Marxisme – dan tersatukan di dalam aksi.
Ideologi dominan di dalam sistem kapitalisme ialah ideologi kapitalisme. Tidak ada seorangpun dan tidak ada satu organisasi mana pun yang tidak berada di bawah tekanan dari ideologi kapitalisme ini. Ideologi kapitalisme ini merasuk juga ke dalam ideologi perjuangan kelas buruh dalam bentuk reformisme, Stalinisme, sosial demokrasi, dan varian-varian lainnya. Dengan dilengkapi sejarah pengalaman perjuangan kelas pekerja di seluruh penjuru dunia dan metode Marxisme yang sejati, partai Marxis revolusioner akan memerangi ideologi-ideologi palsu tersebut dan mendidik kader pekerja yang berkualitas. Kita perlu mendidik kader-kader kelas pekerja secara sadar dan sistematis. Pendek kata, kita memerlukan kepemimpinan revolusioner yang bisa memanfaatkan situasi objektif yang sudah matang ini, terutama di saat krisis kapitalisme sekarang ini yang akan membuka satu periode baru yang menggairahkan.
Situasi objektif sudah mulai matang. Apakah kita, faktor subjektif, siap memetik buah yang matang ini?
Satu poin penting yang harus selalu ditekankan: tugas kaum revolusioner bukanlah menciptakan revolusi. Kapitalismelah, dengan kontradiksi-kontradiksinya, yang akan menciptakan revolusi. Tugas kaum revolusioner adalah untuk membawa revolusi ini ke garis akhir kemenangan, dan ini hanya bisa dilakukan bila kita mempunyai organisasi yang siap melaksanakan tugas ini. Dan organisasi ini harus dibangun secara sistematis, konsisten, dan sabar, bukan hanya dalam skala nasional tetapi juga dalam skala internasional.
Apa itu Partai Revolusioner?
Bila kita sudah memahami perlunya sebuah partai revolusioner, lalu bagaimana membangun partai ini? Seperti yang dijelaskan di dalam buku Bolshevisme: Jalan Menuju Revolusi oleh Alan Woods:
“Sebuah partai bukan hanya sebuah organisasi, sebuah nama, sebuah panji, sebuah koleksi individu-individu, atau sebuah aparatus. Bagi seorang Marxis, sebuah partai revolusioner adalah pertama-tama ide, program, metode, dan tradisi; dan hanya setelah itu sebuah organisasi dan aparatus (yang tidak diragukan kepentingannya) guna merealisasikan ide-ide tersebut ke dalam lapisan terluas rakyat pekerja. Partai Marxis, semenjak kelahirannya, harus mendasarkan dirinya pada teori dan program, yang merupakan ringkasan umum dari pengalaman historis kaum proletar. Tanpa ini, partai tersebut bukanlah apa-apa. Pembangunan sebuah partai revolusioner selalu dimulai dengan kerja mengumpulkan dan mendidik kader yang membutuhkan waktu yang lama dan melelahkan, dan kader-kader ini akan menjadi tulang punggung partai selama masa kehidupannya.”
Jadi sangatlah jelas kalau tugas pertama dan utama yang harus dilakukan oleh kader-kader awal partai revolusioner adalah menempa diri mereka dengan ide-ide Marxisme dan metode-metode Bolshevik. Ini dilakukan seiring dengan pembangunan aparatus partai (keuangan, penerbitan koran, fulltimer, dsb.) sesuai dengan sumber daya partai. Tetapi pembangunan aparatus partai ini harus selalu berdasarkan ide-ide Marxisme dan bukan sebaliknya. Kita harus fleksibel dalam taktik kita, tetapi dengan mempertahankan secara gigih prinsip-prinsip teori kita.
Satu tendensi yang sering kita jumpai di dalam gerakan di Indonesia adalah fetisme terhadap bentuk organisasi, yakni mengedepankan bentuk organisasi di atas segalanya. Sebaliknya, bagi kaum Bolshevik, bentuk dan metode organisasi adalah turunan dari perspektif politik. Hanya setelah kita mengetahui dengan jelas perspektif politik kita, maka bentuk organisasi akan disesuaikan dengan tujuan politik kita. Kita harus fleksibel dalam bentuk organisasi, tetapi teguh dalam prinsip politik kita. Lebih dari 150 tahun perjuangan kelas telah memberi kita satu gambaran mengenai bentuk organisasi yang dibutuhkan kelas pekerja untuk mengemban tugas historisnya, yakni bentuk organisasi Bolshevik.
Gerakan di Indonesia
Keberanian kaum muda dan buruh Indonesia tidak perlu lagi dipertanyakan. Di bawah cengkeraman kediktatoran Soeharto, kaum muda dan rakyat pekerja Indonesia melawan dan akhirnya menggulingkan rejim busuk ini. Namun, bila ada satu hal yang bisa kita pelajari dari kegagalan gerakan Reformasi 1998 adalah kurangnya pemahaman teori revolusioner dalam gerakan. Ini adalah satu kenyataan pahit yang harus kita terima, dan ini adalah sesuatu yang memang tidak terelakkan.
32 tahun periode reaksi di bawah Soeharto telah meremukkan level politik dan organisasi rakyat pekerja Indonesia. Satu generasi penuh terpisahkan dari sejarah perjuangan Indonesia yang penuh dengan pelajaran berharga. Ketika dihadapkan dengan momen-momen yang menentukan, kaum muda Indonesia, yang saat itu dipimpin oleh PRD sebagai partai pelopor termaju, tidak mampu memberikan kepemimpinan politik yang diperlukan. Akhirnya, revolusi Indonesia 1998 jatuh ke lembah reformisme.
Sebuah angkatan bersenjata yang baik adalah mereka yang mampu mundur dengan teratur guna mengkonsolidasikan dirinya untuk serangan selanjutnya. Kegagalan Reformasi 1998 menyebabkan demoralisasi yang besar. Kurangnya pemahaman teori menciptakan kebingungan yang besar, dan PRD dan organ-organ kiri lainnya tidak mampu mundur secara teratur setelah kekalahan yang mereka alami. Perpecahan-perpecahan terjadi. Karena tidak mampu memberikan jawaban politik terhadap masalah yang mereka hadapi, kaum Kiri akhirnya jatuh ke intrik-intrik personal. Rumor, gosip, dan intrik meracuni gerakan.
Bila ada satu pelajaran dari semua ini yang bisa kita tarik, tugas selanjutnya yang harus diemban oleh kaum revolusioner Indonesia adalah melakukan pendidikan politik secara sabar dan sistematis. Dengan kader-kader yang tertempa, kegagalan bukannya menciptakan kebingungan dan kekacauan tetapi justru menguatkan karena pelajaran yang bisa kita tarik dari kegagalan tersebut. Dengan kader-kader yang terlatih, ketika dihadapkan dengan momen-momen yang menentukan, kita akan bisa membawa revolusi ke garis akhir.
Superaktivisme
Tendensi superaktivisme adalah satu tendensi yang sangat kuat di Indonesia, yakni tendensi untuk selalu ingin aktif di lapangan dan mengabaikan pendidikan politik yang sistematis. Selalu ada sentimen bahwa kita sudah terlalu banyak membangun wacana dan yang harus dilakukan sekarang adalah untuk aktif, aktif, dan aktif. Tetapi justru yang kurang dalam gerakan adalah wacana. Kegagalan Reformasi 1998 dan akibatnya telah memberikan gambaran yang jelas mengenai kurangnya teori dalam gerakan.
Ketika kita berbicara mengenai wacana, kita bukan berbicara mengenai pembangunan wacana yang serampangan, atau seraya mengadakan diskusi ngalor-ngidul. Pembangunan wacana (pendidikan politik) harus dilakukan dengan sistematis, dan satu-satunya alat untuk pembangunan wacana secara sistematis adalah partai. Partai adalah memori kolektif perjuangan kelas buruh, dan kita telah memiliki 150 tahun pengalaman perjuangan buruh, dari Marx, Engels, Lenin, Trotsky, Tan Malaka, John Connolly, Rosa Luxemburg, Ted Grant, dan seterusnya. Hanya melalui partai maka pendidikan politik bukan hanya menjadi acara diskusi serampangan tetapi menjadi kelas politik guna mempersiapkan kelas pekerja untuk merebut kekuasaan politik dan ekonomi. Hanya partai yang dapat memberikan satu kesatuan politik dan satu pemahaman bersama akan tugas yang perlu kita lakukan.
Teori bukan hanya untuk kaum intelektual. Ketika Marx dan Engels menulis, mereka bukan menulis untuk kaum intelektual. Mereka menulis untuk kaum buruh. Mereka yang mengeluh bahwa berteori hanyalah kerja kaum intelektual sebenarnya justru menghina kapasitas berpikir kaum buruh. Bila kita tidak percaya bahwa buruh bisa mempelajari teori-teori Marxis, bagaimana kita bisa percaya kalau kelas buruh akan bisa menaklukkan kekuasaan dan menjalankan masyarakat lebih baik daripada kelas kapitalis.
Selalu dalam gerakan, semenjak jamannya Marx, ada mereka yang mengatakan bahwa kaum buruh cukup diberikan tuntutan-tuntutan ekonomi karena politik adalah terlalu rumit untuk mereka. Tendensi ini, yakni tendensi “ekonomisme”, justru membodohi rakyat pekerja. Kita harus selalu menghubungkan tuntutan sehari-hari dengan perspektif perebutan kekuasaan politik oleh rakyat pekerja. Tugas kita adalah untuk menjelaskan dengan sabar kepada saudara-saudari kelas kita.
Membangun Partai Kader
Pada tahapan awal ini, organisasi revolusioner kita masihlah sebuah embrio. Kenyataan ini yang akan mendikte perspektif tugas organisasi kita untuk masa mendatang. Tugas kita selanjutnya adalah menguatkan embrio ini, mendidik anggota-anggota yang sudah ada untuk menjadi kader. Apa itu seorang kader? Seorang kader adalah anggota Partai yang bukan hanya sudah mengabdikan hidupnya untuk partai tetapi juga mereka yang telah tertempa secara politik dan organisasi, yang memahami secara penuh ide-ide Marxis dan garis politik organisasi.
Oleh karena itu, pendidikan adalah aktivitas utama organisasi revolusioner pada tahap awal ini. Pertemuan ranting harus difokuskan untuk pendidikan politik. Kelas-kelas politik harus diselenggarakan secara teratur dan sistematis. Setiap anggota harus menyisihkan waktu untuk membaca karya-karya Marxis, bahkan bila ini berarti mengurangi aktivitas di lapangan. Terapi syok semacam ini perlu dilakukan untuk melunturkan tendensi superaktivisme dalam gerakan.
Ranting/sel adalah nyawa dari sebuah partai. Di dalam pertemuan ranting, anggota memperoleh pemahaman bersama akan gol politik dan organisasi mereka. Oleh karena itu, pertemuan ranting yang reguler adalah syarat dari sebuah partai yang sehat. Di dalam pertemuan sel semua aspek kehidupan partai dibicarakan: pendidikan, orientasi politik, kerja politik, dsb. Tradisi pertemuan ranting yang reguler harus menjadi prioritas nomor satu. Anggota organisasi revolusioner adalah mereka yang secara terlibat secara aktif membangun partai, dan secara konkret ini berarti menghadiri pertemuan ranting secara reguler. Dalam tahap awal ini, prioritas utama dari partai kita adalah memastikan pertemuan ranting yang reguler. Ini tradisi yang harus kita bangun. Tanpa pertemuan ranting yang reguler, tugas pendidikan anggota akan menjadi mustahil. Tanpa pendidikan, maka pemahaman bersama akan ide-ide Marxisme tidak akan bisa tercapai. Tanpa pemahaman bersama ini, maka tidak ada partai, karena bagi kita partai pertama-tama adalah ide, program, metode, dan tradisi.
Seiring dengan pendidikan politik dan pertemuan sel yang reguler, maka perlahan-lahan anggota-anggota dapat mulai membawa kegiatan politik mereka ke dalam pertemuan sel, dan mendiskusikannya secara kolektif. Pada tahap awal ini, setiap anggota kebanyakan memiliki kegiatan politik mereka masing-masing. Secara perlahan-lahan ini bisa kita bawa ke dalam partai. Dengan kekuatan kita yang kecil, maka prioritas kita adalah bagaimana menyatukan seluruh kekuatan kita ke satu titik untuk mendapatkan hasil yang lebih efektif. Kita adalah kaum revolusioner yang serius, dan kita tidak melakukan kegiatan politik secara sembarangan dan serampangan. Melalui partai, kita bisa mendiskusikan kerja politik kita secara kolektif dan melaksanakannya bersama. Ini satu hal yang secara perlahan-lahan akan kita lakukan.
Koran
Tugas-tugas yang dihadapi oleh Bolshevik lebih dari 100 tahun yang lalu adalah tugas-tugas yang secara fundamental sama dengan yang kita hadapi di Indonesia sekarang – yakni membangun sebuah jaringan nasional kader-kader dan sel-sel yang terdidik secara teori dan disiplin secara organisasi, yang secara aktif mengintervensi gerakan dan menanamkan akar yang dalam di kelas pekerja. Peran koran dalam tugas ini adalah utama. Seperti yang Lenin jelaskan mengenai tugas kaum Marxis Rusia di dalam karyanya Where to Begin?:
“Akan tetapi, peran koran tidak terbatas pada penyebaran ide-ide, pendidikan politik, dan penyatuan sekutu-sekutu politik. Sebuah koran tidak hanya melakukan propaganda dan agitasi kolektif, tetapi juga harus menjadi organisator kolektif. Dalam hal terakhir ini mungkin bisa disamakan dengan rancah yang mengelilingi bangunan dalam proses konstruksi, yang menandai bentuk struktur bangunan dan memudahkan komunikasi di antara para pembangunnya, sehingga mereka bisa mendistribusikan pekerjaan dan meninjau hasil-hasil yang dikerjakan oleh tenaga mereka yang terorganisir.”
“Dengan bantuan koran dan melalui koran, sebuah organisasi yang permanen akan berkembang secara alamiah. Organisasi ini akan berperan tidak hanya dalam aktivitas lokal, tetapi dalam pekerjaan umum yang reguler, dan akan melatih para anggotanya untuk mengamati peristiwa-peristiwa politik secara telaten, menafsir pengaruh mereka pada berbagai macam lapisan rakyat, dan mengembangkan taktik-takik efektif bagi partai revolusioner itu untuk mempengaruhi peristiwa-peristiwa tersebut. Pekerjaan teknis seperti mempersiapkan berita-berita buat koran ini serta mempromosikan dan menyebarluaskannya akan memerlukan sebuah jaringan kerja anggota-anggota partai yang tersatukan, yang akan berkomunikasi secara teratur satu sama lain, selalu mengetahui keadaan-keadaan politik secara keseluruhan, terbiasa untuk menjalankan fungsi-fungsi mereka secara rinci dan teratur di seluruh Rusia, dan menguji kekuatan mereka dalam menggelar berbagai aksi revolusioner.”
“Jaringan anggota ini akan membentuk kerangka sebuah organisasi yang kita butuhkan – yang cukup besar untuk mencakup seluruh bangsa; yang cukup luas dan memiliki kemampuan yang berbeda-beda untuk menjalankan sebuah pembagian kerja yang teliti dan terperinci; dan sangat kuat supaya mampu meneruskan pekerjaannya secara mandiri dalam keadaan apa pun, bahkan di hadapan perubahan yang sangat mendadak, atau situasi yang amat sulit. Di satu sisi, ia harus cukup fleksibel untuk menghindari perang terbuka melawan musuh yang sangat kuat ketika musuh itu memusatkan seluruh kekuatan mereka di satu titik; tetapi di sisi lain mampu mengambil kesempatan dan menyerang musuhnya ketika mereka tidak menyadarinya … Tingkat kesiapan untuk bertempur yang demikian hanya dapat dibangun di atas basis pasukan reguler yang beraktivitas secara konsisten. Jikalau kita menggabungkan kekuatan untuk memproduksi satu koran bersama, maka pekerjaan demikian akan melatih dan mendorong ke depan para propagandis yang paling terampil dan juga organisator-organisator yang paling cakap, para pemimpin partai politik yang paling berbakat dan mampu meluncurkan, pada saat yang tepat, slogan pertempuran yang menentukan serta memimpinnya.”
Seperti yang dikatakan oleh Lenin, koran adalah alat politik dan organisasi yang paling penting dalam membangun partai. Koran adalah wajah publik kita. Koran adalah alat untuk berkomunikasi dengan rakyat pekerja, menjelaskan kepada mereka ide, perspektif, analisa, dan aktivitas kita. Koran adalah medium dari mana kita menjelaskan dan menghubungkan ide kita dengan gerakan rakyat pekerja. Di setiap koran kita tertulis poin-poin utama dari program kita, dan setiap artikel meluaskan dan menjelaskan secara konkret poin-poin tersebut. Dengan demikian, koran kita adalah alat utama untuk merekrut anggota baru: persetujuan dengan program kita adalah langkah pertama untuk menjadi anggota. Terlebih lagi, di sebuah negara seluas Indonesia, koran adalah alat untuk menyatukan kamerad-kamerad kita yang tersebar dan menyatukan kerja kita secara nasional dan internasional.
Menulis, mendiskusikan, dan menjual koran kita tidak boleh dilihat sebagai kegiatan “ekstra” atau sekunder. Mereka adalah salah satu aktivitas utama dalam membangun sel dan organisasi. Kerja kita dalam memproduksi, mendistribusi, dan menjual koran harus menjadi tulang punggung kerja publik kita. Mengembangkan kerja koran dengan baik membutuhkan konsistensi yang hebat, karena tidak cukup hanya menjual satu dua koran di sana atau di sini dan menulis artikel secara sembarangan. Dengan aktivitas penjualan koran yang konsisten dan teratur, kita akan dilihat sebagai sebuah organisasi politik yang serius dan konsisten, yang secara aktif mengintervensi gerakan. Dengan menulis berita mengenai perjuangan-perjuangan lokal dan berdiskusi dengan mereka yang terlibat di dalam perjuangan tersebut, kita bisa menancapkan akar kita ke gerakan kelas pekerja, dan walhasil bisa merekrut elemen-elemen terbaik dari gerakan kelas pekerja.
Koran sebagai organisator kolektif menjadi semakin penting terutama pada tahapan awal organisasi kita sekarang. Usaha penerbitan koran dan distribusinya akan merapatkan barisan kita secara organisasional dan politik. Dan mengingat ukuran dan kemampuan logistik organisasi kita, maka koran kita pada saat ini akan lebih bersifat teoritis, guna menyebarkan gagasan-gagasan kita secara mendalam ke lapisan termaju kelas buruh dan merekrut mereka ke barisan kita. Penjualan koran juga harus menjadi fokus kerja kolektif kita. Jumlah koran yang kita jual adalah ukuran konkret seberapa popular ide kita dan juga seaktif apa kamerad kita dalam mendorong ide-ide kita ke dalam gerakan.
Keuangan
Di dalam partai revolusioner, masalah keuangan adalah masalah politik, bukan masalah pembukuan semata. Tugas-tugas organisasi lahir dari perspektif politik, dan rencana keuangan lahir dari tugas-tugas organisasi yang harus kita emban. Tidak peduli seberapa gemilang perspektif dan ide kita, bila kita tidak memiliki sumber daya untuk menerapkannya maka ide-ide yang paling revolusioner pun hanya akan jadi obrolan sambil lalu di warung kopi. Oleh karena itu, setiap organisasi revolusioner, baik itu partai politik maupun serikat buruh, harus mempunyai sikap yang serius terhadap masalah keuangan.
Tradisi keuangan revolusioner dalam gerakan Indonesia saat ini sungguh lemah. Padahal sejarah pergerakan Indonesia mempunyai tradisi keuangan yang kuat. Kita bisa lihat bagaimana partai massa buruh dan organ-organnya di Indonesia sebelum 1965 bisa memiliki aparatus yang kuat (kantor-kantor, koran, percetakan, dll.) dengan hanya mengandalkan iuran-iuran dari anggotanya yang notabene kaum buruh dan petani miskin. Ini karena sejak awal terbentuknya mereka dengan serius mengadopsi metode Bolshevik dalam hal keuangan. Setelah lebih dari 30 tahun di bawah rejim Soeharto yang dengan sengaja menghancurkan semua organisasi massa di Indonesia beserta tradisi-tradisinya, pergerakan Indonesia kehilangan tradisi ini. Ini diperparah oleh hegemoni individualisme borjuis yang semakin kental dan kehadiran NGO yang membanjiri gerakan dengan uang-uang mereka.
Dari mana kita mendapatkan uang, ini akan menentukan garis politik kita karena pada akhirnya tak ada uang yang datang tanpa tekanan politik. Organisasi revolusioner yang bertujuan membebaskan kaum buruh dan tani selayaknya mengandalkan keuangannya dari kelas yang dibelanya. Dengan demikian partai tersebut akan bertanggungjawab kepada kaum buruh dan kaum tani.
Tidak ada alasan sebenarnya untuk tetap bergantung pada dana-dana NGO (atau donatur-donatur kaya). Alasan-alasan bahwa rakyat buruh dan tani terlalu miskin untuk mendanai organisasinya sendiri adalah konyol. Bagaimana dulunya Bolshevik di Rusia yang sangat terbelakang dan miskin (jauh lebih miskin bahkan dibandingkan Indonesia sekarang ini) mendanai dirinya sendiri? Bagaimana organisasi-organisasi revolusioner sebelum masa Orde Baru dulu mampu memiliki aparatus organisasi yang besar hanya mengandalkan iuran anggota-anggotanya, kaum buruh dan tani yang miskin?
Yang diperlukan adalah menanamkan kembali tradisi keuangan revolusioner ke dalam gerakan. Ini bukan pekerjaan yang mudah, tetapi tidak ada yang mudah di dalam gerakan. Organisasi revolusioner sejak masa embrionya harus ditempa dengan ide, perspektif, metode, dan tradisi yang tepat. Hanya dengan ini maka aparatus organisasi tersebut dapat berdiri dengan kokoh.
Iuran anggota bukanlah hanya sebuah formalitas tanda keanggotaan seseorang. Iuran adalah satu bentuk kesetiaan dan dedikasi politik. Iuran adalah alat ukur politik. Pengumpulan iuran tidak boleh menjadi rutinitas belaka tetapi harus selalu dilakukan secara politis. Pada setiap langkah harus dijelaskan gol-gol politik di belakang pengumpulan iuran. Bukan pengumpulan iuran terlebih dulu lantas tujuan-tujuan politik dan organisasi ditentukan, tapi justru sebaliknya. Garis-garis politik menentukan tugas-tugas organisasi, yang lalu menentukan target-target keuangan untuk memenuhi tugas-tugas tersebut.
Semaoen pernah berkata: “Berani membayar iuran yang besar berarti berani untuk memerdekakan kaum buruh.” Inilah semangat yang harus kita pupuk di partai kita. Dari sejak awal pembentukan sebuah organisasi, tradisi iuran harus menjadi prioritas utama. Ia harus menjadi satu disiplin yang merefleksikan disiplin buruh. Lebih baik iuran berjumlah kecil tetapi dibayar secara reguler dan disertai dengan pemahaman politik yang kuat akan arti penting iuran tersebut.
Penutup
Situasi ekonomi dan politik dunia hari ini telah membuka sebuah era yang baru bagi kaum Marxis, dan pada saat yang sama ada urgensi. Bila kita tidak dapat mampu membawa krisis kapitalisme ini menuju jalan sosialis, maka jalan yang lainnya adalah barbarisme.
Seperti yang Marx katakan, kapitalisme menciptakan penggali kuburnya sendiri. Setiap kali kapitalisme memasuki krisis, ia akan mendorong rakyat pekerja untuk bergerak. Krisis kapitalisme kali ini akan menciptakan gerakan massa yang dahsyat yang tak pernah kita saksikan dalam sejarah. Tetapi, gerakan massa sebagai unsur objektif tidak pernah secara otomatis dan spontan meraih kesimpulan revolusioner. Bila ini ada benarnya, maka kita hanya perlu ongkang-ongkang kaki saja sambil minum kopi dan revolusi akan terjadi sendirinya. Buat apa partai? Buat apa program?
Gerakan massa hanyalah unsur objektif saja. Kita membutuhkan unsur subjektif. Di sinilah peran organisasi revolusioner dengan ide dan perspektif yang mampu memberikan ekspresi yang terorganisir bagi gerakan massa. Gerakan massa adalah seperti air mendidih yang menghasilkan uap; bila uap tersebut tidak digunakan, ia akan menghilang begitu saja. Sedangkan organisasi revolusioner adalah seperti kotak piston yang akan memusatkan kekuatan uap tersebut menjadi tenaga gerak yang akan menghancurkan segala rintangan. Di sinilah letak peran sebuah partai.
Sudah terlalu banyak contoh dalam sejarah gerakan buruh dimana ketiadaan organisasi revolusioner mengakibatkan gagalnya gerakan tersebut. Seperti yang Trotsky katakan di Program Transisional: “Situasi politik dunia dalam keseluruhannya digambarkan oleh krisis kepemimpinan proletariat dalam sejarah”. Kelas pekerja telah menunjukkan keberanian mereka. Yang diperlukan sekarang adalah sebuah partai yang dapat memberikan sebuah kepemimpinan yang tepat kepada gerakan massa.
Mari bersama-sama kita bangun kepemimpinan revolusioner ini!
28 Februari, 2009