Banjir bandang, tanah longsor, dan angin kencang yang menghantam NTT telah memakan korban 69 orang tewas, dan kemungkinan besar jumlah ini akan terus bertambah karena banyak daerah yang masih belum bisa dijangkau oleh tim SAR. Sementara media dan pemerintah sibuk mengeluh mengenai betapa malangnya warga NTT yang tertimpa bencana, mereka dengan nyaman mengabaikan bahwa bencana yang menghantam rakyat NTT tidak hanya berdimensi alam, tetapi juga sosial dan ekonomi. Kemiskinan kronik dan ketertinggalan NTT dalam pembangunan, yang terus mencengkeram provinsi ini semenjak kemerdekaan 1945, menjadi faktor utama yang membuat dampak banjir bandang kemarin berlipat ganda.
Bila ada satu hal yang bisa kita semua pelajari dari pandemi Covid-19, tidak ada bencana yang murni alam. Dimensi ekonomi dan sosial memainkan peran penting dalam menentukan lapisan mana yang paling terdampak. Kesiapan dan ketangguhan seseorang dalam menghadapi bencana, serta kemampuannya untuk lalu pulih darinya, ditentukan oleh faktor-faktor sosio-ekonomi. Tingkat penularan dan kematian akibat Covid-19 misalnya berbanding terbalik dengan tingkat pemasukan seseorang. Perempuan lebih terdampak oleh pandemi, dan begitu juga kaum minoritas tertindas. Bencana alam hanya mengungkapkan dengan lebih terbuka ketimpangan-ketimpangan sosial yang sudah mengakar. Begitu juga dengan banjir bandang di NTT, yang hanya mengungkapkan kemiskinan dan ketertinggalan parah yang telah dialami oleh rakyat NTT selama bergenerasi.
Sang pemangku jabatan tertinggi di provinsi ini, Gubernur Viktor Laiskodat, pernah mengatakan bahwa kemiskinan di NTT itu karena rakyat yang bodoh dan malas. Seperti banyak politisi yang entah malas berpikir atau sesungguhnya membenci kelas bawah karena terlalu lama di atas, dia menjungkirbalikkan sebab dan akibat. Rakyat jadi bodoh karena dimiskinkan. Rakyat malas karena tidak disediakan lapangan pekerjaan serta pelatihan yang bisa membuat mereka produktif.
Investasi mengalir deras ke NTT, tetapi hasilnya dinikmati oleh segelintir orang kaya saja. Seperti banjir bandang, investasi yang mengalir deras biasanya juga menyapu keberadaan masyarakat adat. Penyerobotan tanah warga Besipae oleh Pemprov NTT demi kepentingan industri peternakan sapi dan perkebunan adalah satu contoh saja akan serangkaian konflik tanah di NTT.
Keindahan alam NTT yang diumbar oleh Jokowi dikapling oleh investor-investor asing dan domestik, dijadikan taman bermain orang kaya, dengan resor-resor mewah, sementara rakyat tetap berkubang dalam kemiskinan. Tidak ada yang mengucur ke bawah sama sekali. Pemeragaan busana adat NTT oleh Jokowi tampak hanya sebagai public stunt untuk menjual NTT ke siapa yang paling mampu membayar.
Pemerintahan pusat sampai saat ini belum menetapkan banjir di NTT sebagai bencana nasional. Ini secara efektif berarti menolak mengerahkan sumber daya nasional secara terpadu untuk menanggulangi bencana ini. Padahal masih banyak wilayah yang belum terjangkau dan ribuan rakyat masih menunggu bantuan, dan jelas sekali kapasitas pemerintahan daerah tidak memadai. Demikianlah elite-elite Jakarta selalu memandang remeh persoalan daerah-daerah di luar Jawa, dengan Jawa-sentrisme mereka yang begitu kental.
Pemerintah akan menghaturkan belasungkawa mereka serta menitikkan air mata buaya. Setelah pemeragaan sentimentil ini usai, mereka akan melanjutkan kebijakan pro-modal yang menciptakan dan melanggengkan ketimpangan sosial di sana.