Beberapa waktu yang lalu publik digemparkan dengan pemberhentian sejumlah pegawai KPK setelah hasil Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) mereka dinyatakan tidak lolos. Kontroversi ini membuat banyak pakar berpendapat bahwa TWK tidak lain adalah usaha untuk melemahkan KPK dan oligarki ada di balik usaha ini. Tetapi, siapa oligarki yang kini sering disebut-sebut itu, dan kepentingan sosio-ekonomi apa yang berada di baliknya, ini semua sangat kabur.
Untuk bisa memahami rentetan sandiwara pelemahan KPK, yang telah dimulai sejak KPK itu lahir, dan dengan itu bagaimana mengenyahkan korupsi dari masyarakat kita, diperlukan analisa yang mengarah pada basis sosio-ekonomi dari praktik korupsi. Ini bukan semata masalah kerakusan dan keserakahan sejumlah oknum, atau kurangnya penegakan hukum. Penjelasan “Oligarki” yang dilemparkan banyak pakar pun tidak memadai, seperti yang akan kami tunjukkan di bawah.
Permainan oligarki?
Menanggapi kasus ini, sejumlah pengamat dan politikus menduga bahwa pelemahan KPK ditujukan untuk kepentingan memperkuat oligarki. Namun, tidak ada kejelasan sama sekali mengenai siapa oligarki ini. Semisal, ekonom Faisal Basri merujuk pada “perusahaan para oligarki” tertentu, “terutama tambang batu bara.” Adnan Topan Husodo dari Indonesia Corruption Watch (ICW) merujuk pada politisi-politisi tertentu yang sedang berusaha untuk mengumpulkan pendanaan pemilu 2024. Banyak aktivis anti-korupsi merujuk pada 55 persen anggota DPR yang merupakan pengusaha. Sementara, Fadli Zon dari Gerindra menggunakan oligarki untuk merujuk pada Jokowi dan pemerintahannya, yang secara implisit mengatakan bahwa dia dan Partai Gerindra bukanlah bagian dari oligarki. Ungkapan oligarki oleh karenanya hanya berarti oknum tertentu, entah satu atau dua pejabat yang nakal, politisi yang nakal, atau pengusaha yang nakal. Dan dalam kasus Fadli Zon, oligarki adalah lawan politiknya.
Kata oligarki datang dari bahasa Yunani: oliogi yang berarti “segelintir” dan arkhein yang berarti “berkuasa”; singkatnya “segelintir yang berkuasa”. Ini tidak menjelaskan datang dari kelompok sosial mana orang segelintir ini, mengapa mereka bisa berkuasa, bagaimana mereka berkuasa dan melanggengkan kekuasaan mereka, dan relasi sosial dan ekonomi seperti apa antara yang berkuasa dan yang dikuasai.
Untuk bisa memahami akar korupsi, kita harus terlebih dahulu memeriksa masyarakat kita dan kelas-kelas yang ada di dalamnya. Karl Marx menjelaskan bahwa “Sejarah masyarakat yang ada hingga saat ini adalah sejarah perjuangan kelas,” yakni antara kelas yang menindas dengan kelas yang ditindas; antara kelas-kelas yang kepentingan ekonominya saling bertentangan dan hanya bisa diselesaikan dengan menindas salah satu dari keduanya. Tiap-tiap bentuk masyarakat, dari perbudakan sampai kapitalisme hari ini, memiliki moda produksi tertentu dengan sistem relasi kelas-kelas tertentu pula yang menyertainya, yang lalu membagi masyarakat dalam kelas-kelas.
Untuk memfasilitasi penindasan satu kelas oleh kelas lain, inilah fungsi Negara. Seperti kata Lenin, “Negara adalah suatu alat dari kekuasaan kelas, suatu alat untuk menindas kelas yang satu oleh kelas lainnya; adalah ciptaan ‘susunan tata-tertib’ yang mengesahkan dan mengekalkan penindasan ini dengan melunakkan bentrokan antarkelas.” Jadi, tidak seperti yang banyak dipahami, negara bukanlah penengah kepentingan antarkelas, tetapi justru alat dari satu kelas, yakni kelas yang berkuasa, untuk menindas kelas yang di bawahnya. Dalam konteks Indonesia yang corak produksinya kapitalistik, negara Indonesia adalah alat kekuasaan kelas borjuasi untuk menindas kelas pekerjanya.
Cara bagaimana negara melayani kepentingan kelas borjuis untuk menindas kelas pekerja adalah lewat aparatur kekerasan (polisi dan tentara), sistem peradilan, berbagai perangkat hukum, bahkan sampai institusi pendidikan. Dan, kepentingan kelas borjuis tidak lain adalah menghisap sebesar mungkin nilai surplus dari kerja yang dilakukan oleh kelas pekerja, atau menghasilkan profit sebesar mungkin dengan menekan ongkos produksi sekecil mungkin.
Kelas kapitalis Indonesia tidaklah produktif dan terbelakang dibandingkan saudara-saudari kelasnya di Barat, sehingga salah satu cara terbaik mereka untuk bisa meraup profit besar adalah dengan mengangkangi berbagai regulasi yang ada, yang memungkinkan mereka membayar upah di bawah UMK, menyerobot tanah tani dan masyarakat adat, merusak lingkungan hidup tanpa konsekuensi, dsb.
Selain itu borjuasi Indonesia bergantung kepada modal asing. Untuk memperlancar arus investasi ini, pemerintah telah mensahkan Omnibus Law dan merevisi UU Minerba. Tetapi masalahnya, tidak hanya Indonesia saja yang butuh investasi, melainkan juga negara-negara dunia ketiga lainnya. Sehingga artinya Indonesia harus berkompetisi dengan negara-negara tersebut untuk memperebutkan investasi. Ini menuntut pemerintahan Indonesia untuk memberikan iming-iming yang jauh lebih menarik daripada negara lain. Dan, pelemahan KPK akan menjadi salah satu iming-iming tersebut, sehingga modal asing bisa meraup super-profit dengan tidak mengindahkan berbagai UU. Seperti yang jelas dinyatakan Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, bahwa keberadaan KPK bisa mengganggu investasi. “Lembaga KPK bisa menghambat upaya investasi. Ini yang tidak dipahami masyarakat,” kata Moeldoko
Dengan pemahaman bahwa negara adalah alat kekuasaan kelas borjuis untuk memuluskan kepentingannya, dan kepentingan kelas borjuis adalah mendulang profit, maka kita bisa melihat bahwa pelemahan KPK memiliki fungsi untuk melayani kepentingan ekonomi kelas borjuis, bukan semata-mata untuk kepentingan sempit oligarki atau oknum-oknum tertentu saja.
KPK sendiri didirikan bukan atas inisiatif negara, melainkan atas desakan dari rakyat pasca diturunkannya Suharto oleh rakyat. Ini menunjukkan bahwa sejak awal, kelas kapitalis yang diwakili oleh negara memang tidak berkepentingan untuk menindak praktik korupsi. Sebaliknya, praktik korupsi adalah integral dalam penghisapan yang mereka lakukan. Ini terbukti dengan APINDO dan KADIN (dua asosiasi pengusaha terbesar di Indonesia) yang mendukung pelemahan KPK dengan mendukung revisi undang-undang lembaga anti-rasuah tersebut. Ini semakin menunjukkan bahwa pelemahan KPK memang dilakukan untuk melayani kepentingan kapitalis.
Apakah korupsi penyakit negara berkembang?
Sejumlah studi menyimpulkan bahwa tingkat korupsi di negara berkembang jauh lebih besar daripada tingkat korupsi di negara kapitalis maju. Ini seolah-olah menunjukkan bahwa yang bermasalah bukanlah kapitalismenya melainkan mindset sejumlah kapitalis dan birokrat tertentu, bahwa kapitalis dan birokrat di negara maju tidak melakukan korupsi.
Tapi apakah ini benar?
Di negara-negara kapitalis maju, mungkin saja tingkat kolusi terkait izin lingkungan dan izin-izin lainnya (seperti pengawasan makanan, kosmetik, dan obat-obatan) relatif rendah, tetapi tingkat korupsi dan kolusi pajaknya tinggi. Menurut laporan OECD, menarik pajak dari orang-orang kaya sangatlah sulit karena mereka memiliki 1001 macam cara untuk mengakalinya. Mulai dari menyembunyikan kekayaan di negeri-negeri tax haven, menyuap birokrat perpajakan, menyewa konsultan pajak untuk membuat pengemplangan pajaknya menjadi legal, dst. Sistem hukum negeri-negeri kapitalis maju telah dirancang dengan begitu sempurnanya sehingga praktik korupsi dilakukan dengan begitu halusnya dan terselubungnya sehingga tampak legal di mata hukum.
Sedangkan rendahnya tingkat kolusi/penyuapan terkait izin lingkungan bukan karena kapitalis di negeri-negeri maju peduli akan lingkungan. Ini lebih karena kapitalis di negeri-negeri maju telah mentransfer modalnya ke negara-negara yang lebih terbelakang. Mereka bisa memperoleh kekayaan bukan hanya dari industri di dalam negerinya sendiri, melainkan juga di negeri-negeri lain yang diberinya modal. Dengan cara begini, maka ketika dia tidak bisa berkolusi di negerinya sendiri karena sengitnya perlawanan kelas pekerja terhadap kerusakan lingkungan, maka dia bisa berkolusi dengan pemerintah negeri-negeri miskin yang siap merepresi perlawanan rakyat yang ingin melindungi lingkungan hidup.
Dengan ini, maka kesimpulannya jelas, korupsi adalah inheren dalam kapitalisme. Ini bukan masalah oligarki – atau oknum-oknum penguasa tertentu. Ketika para pakar merujuk pada oligarki sebagai biang kerok pelemahan KPK, mereka sebenarnya mengaburkan akar permasalahan yang ada, bahwa kelas kapitalis serta seluruh perwakilan politik mereka dalam Negara Borjuasi bertanggung jawab atas seluruh sistem yang korup ini. Selama ada kelas kapitalis yang memegang kendali atas tuas ekonomi dan mengeksploitasi rakyat pekerja, selama ada Negara Borjuasi yang bertugas memfasilitasi eksploitasi ini dan mempertahankan dominasi kelas kapitalis, maka selama itu pula akan ada korupsi. Usaha KPK untuk memberantas korupsi oleh karenanya adalah seperti menjaring angin, dan kontroversi TKW ini adalah salah satu contohnya.