Jumlah kasus Covid-19 kembali meledak. Rekor kasus harian telah mencapai lebih dari 30 ribu. Angka ini merupakan kasus harian tertinggi semenjak ditemukan kasus pertama Covid-19 pada tahun lalu. Di beberapa daerah, rumah sakit-rumah sakit tidak lagi dapat menampung pasien. Tenda-tenda darurat didirikan untuk menampung jumlah pasien yang terus berdatangan; ada kekurangan stok tabung oksigen; dan banyak pasien meninggal tanpa mendapatkan penanganan. Sistem kesehatan nasional runtuh. Ini bukan India atau Brazil nan jauh di sana, melainkan Indonesia yang ada di depan mata kita sendiri.
Ketika berbicara mengenai keseriusan kondisi yang dihadapi saat ini. Hermawan, Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), mengatakan: “Kita menuju kolaps, dengan over capacity seluruh fasilitas kesehatan. Karena terus terang, kalau berpacu dengan Covid-19 ini, seberapapun penambahan tempat tidur ruang-ruang perawatan tidak akan mampu mengikuti kecepatan penularan kasus.”
Penyebaran virus varian Delta ini tidak dapat diremehkan. Para pakar menyebutkan penularan kali ini 10 kali lebih cepat dari varian biasanya. Kecepatan penularan tidak sebanding dengan ketersediaan pelayanan kesehatan. Kondisi ini ditunjukkan dengan tingkat keterisian tempat tidur di ruang isolasi maupun ICU pasien Covid-19 yang mendekati 100 persen: DKI Jakarta terisi 90 persen, ICU 86 persen; Jawa Barat 88,51 persen; Kota Kupang melebihi 100 persen; Surabaya ruang ICU dengan ventilator 90 persen, ICU non-ventilator 95 persen; Semarang kini mencapai 90 persen; dan Yogyakarta lebih dari 90 persen. Padahal ambang batas menurut WHO adalah 60 persen.
Angka kematian pun merangkak naik dari 200an orang tiap harinya menjadi rata-rata 500an orang selama seminggu terakhir, dan diproyeksikan akan terus meningkat. Total kematian akibat Covid-19 menjadikan Indonesia peringkat 3 se-Asia atau yang tertinggi se-Asia Tenggara. Ini bukan gelombang kedua, ini adalah tsunami.
Dampak parah gelombang kedua ini bukan karena kemalangan semata atau tidak disengaja. Bila kita lihat selama setahun pandemi ini, cakupan testing dan tracing Indonesia masih tergolong rendah sehingga memungkinkan menyebarluasnya varian baru. Pelonggaran ekonomi yang tidak dibarengi upaya serius dalam mendeteksi perkembangan virus adalah bencana yang disengaja demi kelancaran modal.
Berapa lama lagi?
Berkali-kali pemerintahan tertangkap basah menyepelekan penyebaran virus. Sekarang mereka mencoba mengejar waktu. Pembatasan sosial kembali diberlakukan. Vaksin menjadi sandaran menyelesaikan kasus. Tapi ini menjadi sangat terlambat, karena sebelumnya langkah vaksinasi tidak dilakukan secara agresif. Sampai bulan Juni 2021, vaksinasi baru menjangkau 10 persen dari populasi. Ini sangat jauh untuk mencapai herd immunity. Jubir Vaksinasi Covid-19 Kemenkes mengakui bahwa upaya vaksinasi yang dilakukan pemerintah menurun: “Jumlah vaksin tidak sebanyak yang ada di bulan Maret, sehingga dengan target yang lebih sempit dua sasaran dan jumlah vaksin hanya 7-11 juta menyebabkan penurunan laju penyuntikan per harinya. Rata-rata 500 ribu turun menjadi 200-300 ribu.”
Tidak hanya itu saja. Upaya untuk mengejar vaksinasi sekarang terhalang oleh monopoli sejumlah negara kaya yang sebelumnya telah memborong sebagian besar dosis vaksin bagi populasi mereka sendiri. Seperti yang kami jelaskan dalam artikel sebelumnya (Setahun Pandemi dan Pelajarannya) bahwa cara seperti ini menghambat penyelesaian pandemi di dunia. Ketimpangan akses terhadap vaksin merupakan konsekuensi hukum rimba (pasar) kapitalisme, yakni siapa yang memiliki uang, memiliki akses pula terhadap vaksin. Dan pada akhirnya kita tahu siapa yang paling dikorbankan dalam hal ini, yakni negara-negara miskin dan negara berkembang.
Perusahaan-perusahaan farmasi di negeri-negeri maju memiliki hak paten atas vaksin. Paten vaksin adalah akses keuntungan. Memberikan akses terhadap produksi vaksin pada akhirnya hanya akan menurunkan tingkat keuntungan perusahaan farmasi tersebut. Bila hari ini mereka serius menyelesaikan pandemi, tentu pabrik-pabrik farmasi baru akan dibangun dan akses terhadap vaksin dibuka seluas-luasnya sehingga bisa mengejar produksi vaksin dalam skala dunia. Tapi upaya ini tidak mungkin dilakukan dalam sistem kapitalisme. Tanpa disadari, pada akhirnya laba yang menentukan siapa yang hidup dan yang mati.
Semua faktor ini membuat penanganan pandemi semakin berlarut-larut. Dibarengi dengan ketidakseriusan dari penguasa, membuat penyebaran virus dan ancaman kematian semakin tidak terkendali. Kecepatan penularan virus adalah salah satunya, tapi di atas semuanya, ini merupakan akumulasi dari pengabaian pemerintah terhadap kesehatan masyarakat atas nama mementingkan ekonomi dan profit. Selama kapitalisme belum digulingkan, altar profit akan selalu menjadikan nyawa manusia sebagai tumbal.
Berjuang mengakhiri sistem kapitalisme
Lebih dari 60 ribu rakyat Indonesia mati dan ribuan lainnya terancam nyawanya. Korban pertama dari gelombang ini jelas adalah mereka-mereka yang hari ini bekerja di pabrik-pabrik, yang tinggal di daerah pemukiman padat penduduk serta petak kos-kosan yang sempit. Meskipun ada pembatasan sosial, mereka masih bekerja, berkumpul dengan keluarga dan berisiko terinfeksi virus.
Rumah sakit penuh membuat banyak yang mengisolasi diri di rumah mereka. Tempat tinggal yang sempit tidak memungkinkan isolasi berjalan dengan efektif dan risiko klaster penularan keluarga pekerja akan terus terjadi sepanjang peristiwa ini.
Gelombang demi gelombang penularan virus akan terus berjalan. Ini seperti lingkaran setan kematian. Situasi ini seperti perang tanpa henti yang mengorbankan banyak nyawa. Luhut Panjaitan mengatakan bahwa banyak masalah dalam penganan pandemi. Tapi masalah sebenarnya ada pada dia sendiri dan pada pemerintahan yang ada hari ini.
Tentu kelas penguasa kita telah belajar dari negara-negara lain dan kita tidak meragukan hal tersebut. Tapi kebijakan pemerintah berkontribusi besar dalam memperparah pandemi. Dari Barat sampai ke Timur kita saksikan pemerintahan sayap kanan yang membawa pandemi ini ke tingkat malapetaka. Di Amerika ada Donald Trump, Di Brazil ada Bolsonaro dan di India ada Modi. Meskipun pemerintahan Jokowi berbeda dari pemerintahan sayap kanan dari yang disebutkan di atas, tapi pemerintahan Jokowi mengambil semua yang terburuk dari mereka.
Kendati demikian, kegagalan dalam penanganan pandemi merupakan cerminan dari sistem sosial yang sudah membusuk dalam skala dunia. Kapitalisme – kendati memiliki capaian teknologi yang kolosal – terbukti tidak mampu menyediakan vaksin, obat-obatan, dan oksigen untuk menolong ribuan orang yang terinfeksi. Alih-alih menyembuhkan, sistem sosial ini terbukti menjadi tempat inkubasi bagi berkembangnya virus yang mematikan hari ini.
Dahulu pernah ada peristiwa di mana virus menjadi penanda akhir dari sebuah sistem sosial. Itu adalah peristiwa Black Death yang kemudian memicu pemberontakan petani yang mengakhiri abad pertengahan di masa lalu. Tentu bukan virus yang secara otomatis mengakhiri abad pertengahan, melainkan abad pertengahan sudah tidak layak bagi umat manusia.
Seperti halnya abad pertengahan di masa lalu, sistem kapitalisme juga sudah tua dan tidak layak bagi umat manusia. Perbedaannya adalah bahwa di abad pertengahan sistem itu berdiri di atas eksploitasi petani miskin, sedangkan sistem kapitalisme berdiri di atas eksploitasi kelas pekerja. Kedua sistem ini memiliki kesamaan kendati bertumpu pada bentuk eksploitasi yang berbeda. Keduanya menghendaki segelintir orang kaya berkuasa atas mayoritas kelas tertindas.
Bila di abad pertengahan motor penggerak pemberontakan adalah kaum tani, maka dalam zaman sekarang itu ada pada kelas pekerja. Ketika kelas ini sadar dan bergerak, tidak ada kekuatan di dunia ini yang mampu menghentikannya. Peristiwa-peristiwa akhir-akhir ini akan terus mendorong kesadaran ini ke permukaan. Adalah tugas pelopor untuk terus membangun kekuatannya dan membawa perjuangan ini pada kesimpulan akhir: sosialisme!