Seabad yang lalu (1 Juli 1921) adalah hari resmi pendirian Partai Komunis Tiongkok (PKT). Partai ini dimulai sebagai sebuah partai revolusioner sejati yang dipimpin oleh kader-kader yang berdedikasi dan heroik, tetapi mengalami kekalahan tragis dalam revolusi 1925-7. Hari ini, PKT adalah instrumen dominasi kapitalis, tetapi sejarah awalnya dipenuhi dengan pelajaran inspiratif dan peringatan bagi kaum revolusioner hari ini.
——————–
Bulan ini Partai Komunis Tiongkok (PKT) merayakan hari jadinya yang ke-100. PKT mencapai hal-hal yang menakjubkan. Partai ini memimpin Revolusi China, sebuah perjuangan epik untuk kekuasaan yang berlangsung selama dua dekade. Namun, kita dapat mengatakan bahwa partai yang didirikan 100 tahun yang lalu adalah kebalikan dari PKT hari ini. Partai ini menyandang titel “Komunis” dan “partai” hanya dalam nama saja. PKT kini mengepalai negara yang membela kapitalisme. Tapi seabad yang lalu, partai ini didirikan oleh kaum komunis yang berdedikasi, yang siap mempertaruhkan hidup mereka untuk menggulingkan negara kapitalis.
Partai ini awalnya didirikan sebagai organisasi Bolshevik yang sehat. Tetapi hanya dalam beberapa tahun, permulaan yang menjanjikan ini terdistorsi oleh intervensi Stalinis dari Moskow yang besar, yang menyebabkan kekalahan Revolusi China pertama pada tahun 1925-7. Di sini kita akan mengkaji periode pembangunan partai dan revolusi tragis ini.
Perang Candu dan Dinasti yang dipermalukan
China menapak jalan menuju revolusi sosial sejak Inggris menyeretnya ke pasar dunia dalam Perang Opium yang keji (1839-42 dan 1856-60). Inggris menggunakan candu untuk mendobrak pasar China, menciptakan kemiskinan massal, menciptakan petani-petani yang kehilangan tanah mereka, dan pembusukan tatanan sosial lama, yang ditopang oleh Inggris.
Pada awal abad ke-20, terjadi gejolak diskusi di antara kaum muda tentang bagaimana menghidupkan kembali, memperbarui dan memodernisasi China. Pada awalnya, ide yang dominan adalah untuk mereformasi China menjadi monarki konstitusional atau sistem parlementer borjuis. Tetapi rezim yang lama (Dinasti Qing) tidak bersedia mereformasi dirinya sendiri. Akibatnya, berbagai organisasi dan jurnal revolusioner menjamur. Tetapi ide-ide sosialis, dan tentu saja ide-ide Marxis, belum benar-benar merambah ke dalam masyarakat China.
Kebusukan Dinasti Qing sangatlah dalam, dan wilayah demi wilayah diserahkan kepada berbagai imperialis. Pada tahun 1911, sebuah ‘revolusi’ terjadi, Kaisar turun takhta pada tahun 1912 dan sebuah republik dideklarasikan. Tampaknya China akhirnya mengalami revolusi borjuisnya. Namun hanya sembilan tahun kemudian, Partai Komunis China akan dibentuk dan dalam empat tahun lagi, revolusi kedua yang jauh lebih komprehensif akan dimulai.
‘Revolusi’ ini sebenarnya diluncurkan oleh kaum bangsawan lokal, petinggi militer dan birokrat yang tidak puas. Pemimpinnya, Sun Yat Sen, berkompromi dan menghormati rezim lama dan kekuasaan kekaisaran. Kaisar diizinkan untuk tinggal di istananya, dengan biaya publik. Dengan kata lain, ‘revolusi’ ini hanyalah mengganti personel di puncak.
Kegagalan revolusi inilah yang menyebabkan radikalisasi di kalangan pemuda China dan, yang terpenting, proletariat China yang baru lahir. Pada tahun 1919, banyak yang masih berharap pada perundingan perdamaian Versailles setelah Perang Dunia I. Mereka berharap bahwa penggambaran ulang peta dunia akan membebaskan China. Namun harapan mereka pupus. Meskipun telah mendukung Sekutu, Perjanjian Versailles sebenarnya menyerahkan kendali atas sebagian wilayah Tiongkok kepada Jepang. Pelajaran keras tentang imperialisme ini memicu gerakan massa mahasiswa China yang dikenal sebagai Gerakan 4 Mei.
Kelas Baru, Partai Baru
Pada awal abad ke-20, kelas buruh dan industri perkotaan modern sedang berkembang.
Revolusi Rusia memiliki efek mendalam pada kesadaran kaum muda dan buruh Tiongkok. Orang-orang yang paling berpikiran maju melirik ide-ide Marxis sebagai jalan keluar dari kebuntuan, dan bukan ide-ide liberalisme.
Pada tahun 1919, pemerintah Soviet melepaskan wilayah yang telah dicuri oleh pemerintah Tsar dari Tiongkok di masa lalu. Dalam konteks diserahkannya Shandong secara memalukan dari tangan Jerman ke Jepang di belakang punggung China dalam Perjanjian Versailles, bersama dengan semua penghinaan lain yang dibebankan kepada rakyat China oleh Barat, tindakan pemerintah revolusioner Rusia ini berdampak besar pada rakyat China pada saat itu.
Pada tahun 1919, Majalah Pemuda Baru Chen Duxiu telah mengajukan ide-ide sosialis selama beberapa waktu. Dia terinspirasi oleh partai Bolshevik yang disiplin dan revolusioner yang telah memimpin revolusi Rusia. Li Dazhao, salah satu pendiri PKT lainnya yang luar biasa dan Profesor di Universitas Peking, juga telah merangkul Revolusi Rusia dan membentuk kelompok studi Marxis di antara para mahasiswa. Dia melakukan kontak dengan Komintern dan bergabung dengan Chen Duxiu dan banyak pengikutnya untuk membuat persiapan pendirian PKT.
Manifesto PKT diterbitkan pada November 1920. Manifesto ini secara terbuka menyatakan niat PKT untuk memimpin kelas buruh menuju kekuasaan dalam revolusi sosialis, menandai perpecahan fundamental dengan gagasan yang dominan sampai saat itu, bahwa yang perlu dibentuk adalah demokrasi parlementer borjuis gaya Barat.
Menyusul kegiatan propaganda awal ini, kelompok ini mengadakan konferensi pendirian pada bulan Juli 1921. Pada saat konferensi, partai hanya dapat mengklaim 50 anggota, dengan sekitar 12 dari mereka menghadiri pertemuan tersebut. Sungguh luar biasa bahwa dalam empat tahun partai ini akan menemukan dirinya memimpin sebuah revolusi proletar. Tanpa pembentukan Komintern, jelas PKT tidak akan terbentuk, tentu saja tidak dalam waktu yang tepat dan dengan komitmen yang jelas untuk revolusi.
Gerakan 30 Mei
PKT didirikan begitu awal dalam perkembangan kelas buruh Tiongkok, sehingga mendahului pembentukan serikat buruh di Tiongkok. Faktanya, sebagian besar serikat buruh pertama didirikan oleh PKT di awal tahun 20-an.
Sama seperti PKT, gerakan buruh tumbuh dengan kecepatan dan militansi yang menakjubkan. Kelas buruh China masih kecil jumlahnya, tetapi memiliki bobot sosial yang sangat besar, pertama-tama dalam peran ekonomi esensialnya dalam melaksanakan pekerjaan di semua bidang utama ekonomi, dan kedua dalam kemampuannya untuk mengembangkan kesadaran akan kekuatan ini.
Pemogokan militan telah terjadi di pabrik kapas milik Jepang pada tahun 1925 di Shanghai. Salah satu mandor Jepang menembak mati seorang pengunjuk rasa. Selama demonstrasi solidaritas mahasiswa yang menyusul, polisi Inggris menembak dan membunuh beberapa demonstran, yang memicu demonstrasi demi demonstrasi dan pemogokan demi pemogokan di seluruh China. Kaum imperialis dan pemerintah boneka mereka tidak tahu harus berbuat apa, karena begitu berapi-apinya pemberontakan itu.
Setelah lebih banyak lagi demonstran yang dibunuh oleh tentara Inggris, pemogokan umum diumumkan.
“Hong Kong, benteng Inggris di China, benar-benar lumpuh. Tidak ada roda yang berputar. Tidak ada satu pun kargo yang dipindahkan. Tidak ada kapal yang meninggalkan pelabuhan … Di Guangzhou, para buruh membersihkan sarang perjudian dan opium dan mengubahnya menjadi asrama dan dapur para pemogok. Satu pasukan 2.000 buruh direkrut dari antara para pemogok dan barikade kokoh didirikan di sekitar Hong Kong dan Shameen. Gerakan itu terorganisir dengan luar biasa. Setiap lima puluh pemogok menunjuk seorang wakil untuk Konferensi Delegasi Pemogok, yang pada gilirannya menunjuk tiga belas orang untuk menjabat sebagai komite eksekutif.” (Isaac, The Tragedy of the Chinese Revolution)
Para buruh mengirimkan sinyal yang jelas bahwa ini adalah revolusi mereka. Tanpa didorong oleh siapa pun, mereka mengekspresikan kreativitas, tekad, dan keberanian di hadapan kekuatan militer terkuat di dunia, dan mendirikan organ kekuasaan buruh dengan cara yang patut dicontoh.
Di kota-kota utama Shanghai, Hong Kong dan Guangzhou, kaum buruh secara efektif memegang kekuasaan. PKT, dibantu dan dipandu oleh Komintern, seharusnya bisa memahami dan membantu kaum buruh untuk menjadi sadar akan kekuasaan yang ada di tangan mereka. Seperti yang baru saja ditunjukkan oleh pengalaman tragis Revolusi Jerman, situasi seperti itu penuh dengan bahaya. Jika kaum buruh menantang kekuasaan kapitalis, tetapi gagal menggantikannya, kontra-revolusi menjadi tidak dapat dihindari. Jadi mengapa PKT gagal membantu para pekerja mengambil inisiatif?
Dua Tahapan
PKT didirikan ketika Komintern masih dipimpin oleh Lenin dan Trotsky. Namun, pada tahun 1925, Stalin telah merebut kekuasaan di Uni Soviet, dan sebagai konsekuensinya, juga di Komintern. Dia mewakili kasta birokrat konservatif yang mampu berkuasa berkat keterisolasian Revolusi Rusia di dalam satu negeri dan kelelahan kelas buruh Rusia. Kasta birokrasi tidak tertarik pada revolusi dunia. Mereka menjungkirbalikkan prinsip internasionalisme, dan menundukkan Komintern dan perjuangan proletar internasional untuk kepentingan sempit mereka sendiri.
Dari perspektif konservatif mereka, Revolusi China tidak realistis. Sebagai birokrat, mereka tidak percaya pada kelas buruh China. Metode mereka adalah membuat kesepakatan dengan partai yang lebih ‘realistis’ di China. Ini adalah Partai Kuomintang (KMT) yang sudah mapan, partainya Sun Yat Sen. Ini adalah partai nasionalis borjuis.
Kendati semua fakta di lapangan, Komintern yang dikendalikan Stalin terus mempertahankan sejak tahun 1923 dan seterusnya bahwa PKT dan kelas buruh tidak dapat memainkan peran kepemimpinan dalam revolusi yang akan datang, dan paling banter hanya bisa menjadi penyokong bagi KMT dan kaum borjuasi China. Di bawah kesepakatan dengan pemimpin KMT saat itu, Chiang Kai Shek, anggota PKT harus bergabung dengan KMT sebagai anggota individu dan tidak punya hak untuk mengkritik kepemimpinannya! Perlu dicatat bahwa Chiang Kai Shek dipuji setinggi langit oleh Stalin, dan bahkan diberi jabatan di kepemimpinan Komintern, meskipun tidak pernah menjadi anggota gerakan komunis atau gerakan buruh, dalam upaya untuk membeli kesetiaannya.
Stalin tidak dapat memahami bahwa militansi buruh China pasti akan mendorong borjuasi China menjauh dari kelas buruh yang mogok dan ke tangan kaum imperialis, dan menghalangi kemungkinan aliansi Komintern/Kuomintang yang berarti.
Garis ini selalu ditentang oleh pendiri PKT Chen Duxiu. Faktanya, banyak anggota terkemuka PKT, termasuk Chen Duxiu, yang di kemudian hari akan bergabung dengan Oposisi Kirinya Trotsky, yang juga menentang mendukung KMT. Komintern yang sudah Stalinis terpaksa memecat anggota-anggota ini dan memasang kepemimpinan yang tunduk pada Stalin.
Dengan cara ini, PKT berubah dari awal yang paling menjanjikan menjadi sangat tidak siap untuk revolusi.
KMT Menunggangi PKT
Tanpa kepemimpinan yang mampu memajukan program untuk membawa gerakan ke depan, gelombang pemogokan mereda. Di Guangzhou, kendati militansi kelas buruh, penolakan PKT untuk mengorganisirnya untuk penaklukan kekuasaan memungkinkan KMT untuk berkuasa.
Kendati kekuatan dan organisasi pemogokan yang menakjubkan di Guangzhou, hanya ada sedikit perubahan dalam kondisi sosial di bawah pemerintahan KMT yang baru. Massa secara efektif diberitahu untuk bersabar dan tidak mengharapkan perubahan langsung dalam kehidupan mereka justru oleh orang-orang yang telah naik ke tampuk kekuasaan dengan menunggangi mereka.
Setiap kali kaum buruh dan tani bergerak melawan imperialisme, mereka dikutuk oleh Kuomintang karena tidak melibatkan semua kelas di China. “Kuomintang menempatkan di hadapan dirinya sendiri tugas untuk membebaskan dari penindasan tidak hanya kaum buruh dan tani, tetapi juga kaum industrialis dan pedagang.” (Pernyataan Kuomintang Kiri, 25 Mei 1927, Hankou).
KMT mulai sadar akan ancaman bahaya dari kelas buruh dan Komunis, dan para petinggi partai KMT mulai mengorganisir. Chiang Kai-shek, jenderal KMT yang didukung oleh Stalin, dengan cepat menjadi perwakilan lapisan sayap kanan Kuomintang ini dalam misi mereka melawan kaum buruh.
Kaum imperialis yang lebih cerdas dengan cepat memahami makna aksi pemogokan massal ini, dan memprakarsai kebijakan pemulihan hubungan dengan borjuasi China. Mereka memainkan ketakutan borjuasi China bahwa pemogokan itu tidak terkendali dan mengancam kepemilikan pribadi, dan akan membawa seluruh masyarakat China runtuh bersama mereka.
Sebelum peristiwa-peristiwa ini, kaum imperialis telah berhasil mengasingkan seluruh masyarakat China dengan rasisme mereka, dengan menutup daerah-daerah khusus kota-kota sebagai “konsesi” di mana hanya orang Barat kaya yang diizinkan untuk bermukim di sana (dengan tunjangan untuk pelayan mereka, tentu saja). Bahkan pengusaha China yang paling terkenal pun ditolak masuk ke klub-klub Tuan-Tuan Barat ini.
Tetapi revolusi sangatlah baik dalam menyelaraskan hubungan kelas yang sebenarnya. Di saat-saat yang paling mencekam bagi imperialisme ini, Inggris, Amerika, dan Prancis tiba-tiba melupakan rasisme mereka. “Tuan-tuan” China terkemuka diundang ke pertemuan khusus dengan para pengusaha Barat yang paling kuat di daerah konsesi di Shanghai, padahal sebelumnya mereka tidak diizinkan masuk. Kedua belah pihak saling menyanjung dan bermanis-manis, dan mereka mencapai kesepakatan bahwa ada urgensi bersama dan kepentingan bersama untuk mencegah pembangkangan dari kelas buruh.
Kudeta Chiang
Jenderal Kuomintang Chiang Kai-shek, layaknya seorang militer sejati, mengambil inisiatif dan mengambil alih kekuasaan dalam sebuah kudeta, di mana sayap kiri Kuomintang, serta PKT, dikalahkan secara terbuka. Dia dengan diam-diam mengamankan semua posisi kekuasaan dengan pasukan militernya dan menumpas gerakan massa, sehingga keesokan paginya kekuatannya sudah menjadi kokoh, yang menyebabkan kebingungan dan demoralisasi total di antara Kuomintang Kiri dan PKT.
Namun Stalin masih menolak untuk menarik kesimpulan, dan menyembunyikan berita memalukan ini dari seluruh Komintern selama satu tahun, menaburkan kebingungan masif di kalangan kaum komunis Tiongkok yang tidak tahu bahwa “orang mereka” (Chiang Kai-shek) di Kuomintang baru saja mengorganisir kudeta kontra-revolusioner. Setelah semua ini, Stalin menerima “permintaan maaf” yang konyol dan menyedihkan dari Chiang atas “tindakan yang salah” ini dan lalu menyuplai senjata kepada Chiang!
Perkembangan yang mengkhawatirkan ini menguji hubungan PKT dengan Komintern, yang terus-menerus mengangkangi kaum komunis Tiongkok untuk mengamankan apa yang diinginkannya. Berkali-kali, pemimpin komunis Tiongkok mencoba untuk memajukan resolusi yang menentang kebijakan mendukung Kuomintang, berkali-kali Moskow menolaknya. Mereka bahkan menyensor resolusi ini dengan harapan dapat mempertahankan ‘aliansi’ dengan Kuomintang.
Shanghai
Setelah mengamankan kekuasaan di Selatan, pasukan Chiang bergerak menuju Shanghai dan melawan berbagai pemerintahan panglima perang di seluruh China. Sebelum kedatangannya, Serikat Buruh Umum Shanghai (GLU), yang didirikan dan dipimpin oleh kamerad-kamerad PKT, mengorganisasi dan mengkoordinasikan gerakan pemogokan pada bulan-bulan awal tahun 1927 dengan tujuan melemahkan rezim panglima perang yang ada dan, tragisnya, menyambut “penyelamat” mereka Chiang Kai-Shek.
Pemogokan-pemogokan ini benar-benar melumpuhkan kota dan rezim yang ada, dan memenangkan anggota militer dan polisi akar-rumput di kota, yang bergabung dengan kaum buruh dalam mendirikan Biro Buruh untuk Keselamatan Publik Sementara. Akibatnya kaum buruh Shanghai telah membentuk pemerintahan revolusioner mereka sendiri tanpa bantuan Chiang.
Tetapi mengikuti kebijakan berkonsiliasi dengan Chiang untuk menghindari “konflik prematur”, Komintern memerintahkan kaum buruh untuk menyembunyikan atau mengubur semua senjata yang baru saja mereka rebut dalam upaya heroik tersebut.
Sehari setelah kedatangan Chiang di Shanghai, ia memerintahkan pembubaran Serikat Buruh Umum Shanghai – hanya beberapa hari setelah itu menguasai Shanghai! Sehari setelah itu Chiang melakukan wawancara dengan sebuah surat kabar asing di mana dia berjanji untuk “menyingkirkan semua rintangan” untuk memulihkan “persahabatan” antara China dan Barat. Kemudian pada awal April, bank-bank terkemuka China menawarkan Chiang 15 juta dolar Shanghai dengan syarat dia “menumpas kegiatan Komunis dan buruh”.
China mengalami kudeta kedua dan paling menentukan di tangan Chiang Kai-shek pada 12 April 1927, di kota Shanghai, satu tahun setelah yang pertama. Ratusan anggota PKT terbunuh malam itu, dan diperkirakan sekitar 12.000 anggota dan simpatisan PKT dieksekusi di Shanghai sepanjang bulan April.
Kelahiran Maoisme
Kudeta berdarah ini menandai kekalahan revolusi 1925-7. Tetapi seperti biasanya, Stalin tidak ingin mengakui kesalahannya, dan juga tidak mengizinkan kritik atas kesalahannya yang jelas ini. Akibatnya, Stalin menyatakan bahwa semua ini telah diramalkan, bahwa Stalin tahu Chiang akan mengekspos dirinya sebagai seorang kontra-revolusioner, dan baru sekaranglah waktu yang tepat untuk melawannya. Jadi PKT diperintahkan untuk melakukan serangan ofensif, dan di Shanghai, Nanchang, Guangzhou dan Hunan, satu demi satu, PKT meluncurkan pemberontakan yang jelas-jelas tidak ada harapan dan sama sekali tidak dipersiapkan, yang tidak mendapat dukungan dari lapisan luas buruh.
Dalam setiap pemberontakan ini, segelintir anggota PKT dengan cepat merebut posisi-posisi strategis di kota-kota dan mendeklarasikan sebuah komune. Tapi “komune” ini diciptakan di belakang punggung kelas buruh yang sekarang sudah terdemoralisasi. Dalam setiap pemberontakan ini, militer Kuomintang mampu merebut kembali kota-kota dengan mudah, dan mengeksekusi anggota PKT yang terlibat.
Kekalahan ini begitu menyeluruh, dan ini secara efektif mengakhiri kehadiran PKT di semua kota besar di Tiongkok. Faktanya, sebenarnya insureksi-insureksi yang gegabah inilah yang mendorong kelahiran, secara tidak sengaja, apa yang dikenal sebagai Maoisme, karena anggota-anggota PKT yang tersisa melarikan diri ke pedesaan. Basis-basis yang didirikan di sana menjadi “soviet pedesaan” yang dikenal luas itu, yang dipimpin oleh Mao.
Ketidakmampuan partai untuk secara jujur mencerna kekalahan ini sekali lagi dipaksakan ke partai dari Moskow. Tentu saja banyak anggota PKT yang sampai pada kesimpulan mereka sendiri, dan semakin banyak anggota muda PKT yang beralih ke oposisi kiri Trotsky. Moskow melakukan intervensi besar-besaran untuk memastikan bahwa siapa pun yang dicurigai “Trotskis” dikeluarkan dari partai, termasuk pendiri partai Chen Duxiu. Komintern memasang kepemimpinan baru PKT yang lebih penurut.
Akibatnya, partai terhalang untuk belajar dari pengalaman tersebut. Alih-alih menata ulang untuk membangun kembali basis mereka di antara buruh, mereka mencemplungkan diri ke dalam perjuangan gerilya di pedesaan, dan benar-benar kehilangan basis mereka di antara kelas buruh perkotaan. Sebagai akibatnya, penggulingan rezim Chiang (pada 1949) akhirnya dicapai bukan dari kota-kota dan oleh kelas buruh, tetapi melalui perjuangan bersenjata pedesaan.
Keberhasilan Revolusi 1949 adalah bukti pengorbanan heroik dari ratusan ribu anggota PKT. Lebih dari 90 persen anggota mereka tewas dalam perjuangan ini. Kapitalisme digulingkan di China, tetapi dengan biaya yang sangat besar bagi kaum komunis China, dan ini bukan berkat Stalin.
Namun, kegagalan revolusi 1925-7 seharusnya tidak membawa kita pada kesimpulan yang pesimistis. Sebaliknya, kita harus belajar dari revolusi yang gagal itu – yaitu, kelas buruh harus berjuang secara mandiri dan melawan kapitalisme. Kenyataan bahwa kelas buruh China yang begitu muda ini hampir saja menggulingkan kapitalisme menunjukkan betapa cepatnya kelas buruh dapat belajar, dan betapa beraninya mereka. 100 tahun kemudian, kelas buruh yang baru, yang jauh lebih besar, telah ditempa di China – kelas buruh terbesar di dunia. Ketika kelas ini bergerak tidak akan ada kekuatan di bumi yang dapat menghentikannya.