Tidak ada yang lebih mencolok daripada besaran kenaikan upah 2022 untuk menunjukkan betapa tersungkurnya gerakan buruh hari ini. Bila pada 2013 kenaikan upah di banyak daerah berkisar 40%, di tahun-tahun kemudian angka ini terus menurun, hingga 3% pada 2021 dan hari ini 1,09%. Tidak hanya itu. Tensi perlawanan pun terus mengendur, dan mencapai titik terendahnya hari ini. Kita dihadapkan pada pertanyaan yang tajam mengenai masa depan gerakan buruh.
Kekalahan kali ini seperti mahkota untuk serentetan kekalahan yang telah diderita oleh gerakan buruh sebelumnya, dari PP78 sampai Omnibus Law. Berita hasil judicial review Omnibus Law juga disambut dengan dingin oleh buruh, yang memahami dengan jauh lebih baik daripada para pemimpin serikat bahwa ini tidak akan mengubah apapun. “UU Cipta Kerja tetap berlaku,” tegas Jokowi yang mengabaikan MK, sementara MK pun tidak bersuara sama sekali. Putusan MK tidak dilihat oleh buruh sebagai pencapaian sama sekali, dan justru mengingatkan buruh akan kelemahan mereka dan bagaimana mereka sudah dibodohi oleh mekanisme legalitas negara borjuasi. Bukannya menambah semangat, berita hasil judicial review ini – yang diabaikan dengan begitu nyamannya oleh pemerintah – sesungguhnya menggembosi semangat mereka.
Selama minggu-minggu mobilisasi menuju momen aksi 6-8 Desember, sudah tampak jelas sedari awal kalau ada kelesuan dan ketidakacuhan di antara massa buruh. Apati ini bukan berarti buruh tidaklah geram dengan kenaikan upah 1%. Dengan inflasi 1,66%, ini berarti pemangkasan upah. Akan sulit kita temui buruh yang tidak ingin menuntut kenaikan upah yang lebih layak. Tetapi keinginan untuk melawan dan kondisi yang memungkinkan keinginan melawan ini terwujud menjadi kekuatan yang riil adalah dua hal yang sepenuhnya berbeda, dan akan menjadi kesalahan fatal untuk menyamakan mereka. Menjembatani kedua hal ini adalah organisasi dan kepemimpinan yang memiliki perspektif perjuangan yang tepat. Tanpanya, keinginan buruh untuk melawan akan berserakan, menjadi keluhan individual semata yang disertai ketakutan, keraguan, dan sinisme.
Siapa yang salah? Buruh anggota atau pemimpin?
Akan mudah untuk menyalahkan buruh akar-rumput atas kekalahan ini. Para pemimpin serikat sudah menginstruksikan mogok dan aksi nasional, dengan surat-surat edaran yang dibubuhi tanda tangan dari para pemimpin berbagai serikat. Ketua KSPI Said Iqbal sudah menyerukan mogok nasional 2 juta buruh: “Mogok nasional tetap kami rencanakan 6-8 Desember 2021.” Apa lagi yang dibutuhkan? Kalau buruhnya lantas masih tetap bekerja, tidak berani stop produksi, tidak berani keluar pabrik saat disweeping, tidak taat instruksi, maka sepertinya jelas siapa yang salah.
Tetapi, buruh bukan keran air yang bisa dibuka dan ditutup sekehendak hati. Di sinilah letak kekeliruan dari perangkat serikat, yang terbiasa dengan komando dari atas. Kedisiplinan organisasi memang diperlukan, tetapi kedisiplinan ini harus datang dari otoritas moral dan politik yang telah dimenangkan oleh para pemimpin dengan sabar. Bila selama hampir 10 tahun terakhir buruh hanya menyaksikan kekalahan demi kekalahan, maka habislah otoritas pemimpin. Bila diinstruksikan demo, apa lagi mogok, buruh akan menimbang-nimbang banyak hal: dapatkah serikat menjamin kalau ia tidak akan kehilangan pekerjaannya? Bila ia mogok 3 hari dan kehilangan upah 3 hari, apa jaminan bahwa pengorbanan ini akan berbuah kemenangan? Ketakutan mereka – yang dapat mengambil bentuk ketidakpedulian, keegoisan, atau bahkan sinisme pada gerakan buruh itu sendiri – bersumber dari keraguan mereka yang sangatlah valid akan kemampuan serikat dan kepemimpinannya untuk menang.
Sejak Getok Monas 2012, para pemimpin serikat merasa bahwa cukup dengan menyerukan mogok nasional maka buruh akan turun bergerak. Tetapi, sesungguhnya, gelombang demo dan mogok 2011-2012 yang mengerucut pada mogok nasional pada 3 Oktober 2012 sebagian besar datang dari inisiatif dan radikalisasi akar-rumput. Said Iqbal, Andi Gani dan banyak pemimpin dan perangkat serikat lainnya hanya kebetulan berada di tempat yang tepat dan waktu yang tepat. Keberhasilan Getok Monas sesungguhnya bukan karena kompetensi, keberanian, visi, dan perspektif maju dari para pemimpin ini. Mereka hanya terdorong ke kiri oleh luapan massa yang tak terbendung, dan adalah tokoh-tokoh aksidental yang mengepalai organisasi-organisasi buruh yang menjadi kendaraan buruh ketika mereka bergerak.
Menjadi pemimpin buruh pada saat itu, mereka menimba banyak otoritas moral dan politik dari keberhasilan Getok Monas. Tetapi dengan segera kita saksikan wajah sesungguhnya dari reformisme dari para pemimpin ini. Kaum reformis percaya bahwa kapitalisme dapat dibuat menjadi lebih baik, lebih adil, lebih humanis, sehingga kemakmuran terjamin baik bagi buruh maupun pemilik modal. Berdasarkan cara pandang ini, maka tidak heran bila mereka cenderung mengambil pendekatan negosiasi, lobby, dan jalur hukum dengan pengusaha dan pemerintah. Keharmonisan hubungan industrial adalah mantra mereka. Aksi massa dilihat oleh mereka hanya sebagai cara untuk membuka pintu ke ruang perundingan saja dengan pemerintah dan pengusaha, yang bila sudah terbuka maka aksi massa tersebut akan dihentikan agar para buruh pulang dan membiarkan para perunding “profesional” ini melakukan pekerjaan mereka. Alangkah baiknya bila mereka adalah perunding yang kompeten, tetapi hasilnya kebanyakan adalah kekalahan. Tidaklah heran bila buruh jadi sinis dengan demo-demo yang diserukan oleh serikat.
Setelah Getok Monas, dengan cepat dan sigap para pemimpin reformis ini meredam elan revolusioner buruh yang datang dari bawah. Momentum dari kemenangan Getok Monas bukannya digunakan untuk melangkah lebih maju, tetapi justru dihentikan. Hari libur May Day yang sudah dimenangkan bukannya diperdalam sebagai hari aksi massa nasional dan dijadikan momen untuk semakin menajamkan kesadaran kelas buruh, tetapi justru ditumpulkan menjadi jalan sehat dan acara dangdutan. Dorongan buruh untuk “go politics” diarahkan untuk berkolaborasi dengan parpol-parpol borjuis, alih-alih membangun partai buruh. Kini setelah buruh telah kehilangan semangatnya, baru partai buruh dideklarasikan. Bila saja partai buruh dibangun menyusul Getok Monas, tatkala semangat buruh untuk berpartisipasi sangatlah tinggi, partai ini akan sangat hidup dengan tenaga dan inisiatif buruh akar rumput. Ini akan menjadi partai untuk bertempur. Tetapi, ini bukan sesuatu yang diinginkan oleh para pemimpin reformis. Mereka menginginkan partai elektoral semata, untuk “nyaleg”, yang diisi hanya oleh pengurus serikat, bukan partai aksi yang hidup dengan geliat buruh akar rumput.
Dengan kemenangan Getok Monas yang menakjubkan, seharusnya semakin banyak buruh yang ingin bergabung ke serikat buruh. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Selepas Getok Monas, jumlah serikat buruh dan anggota serikat buruh menurun drastis. Dari 2007 sampai 2017, menurut Kemenaker, jumlah anggota serikat menurun dari 3,4 juta menjadi 2,7 juta, atau sekitar 20 persen. Sementara jumlah serikat buruh menurun dari 14.000 menjadi 7.000 pada periode yang sama. Lebih detailnya, sejak 2012, yakni sejak Getok Monas, jumlah anggota serikat buruh menyusut 4,6% sementara jumlah angkatan kerja meningkat 5,6% (Labour Market Profile 2020, Danish Trade Union Development Agency).
Bila alasannya union busting, pengusaha telah melakukan union busting sejak jaman baheula. Tidak ada yang berubah. Justru seharusnya setelah gelombang mobilisasi buruh 2011-12 yang historis itu, daya tarik serikat buruh semakin besar dan begitu pula kekuatan buruh untuk melawan union busting. Tetapi ini hanya benar bila kekuatan aksi massa buruh dilepaskan, dan bukannya diredam. Union busting hanya bisa dilawan dengan aksi massa, dan bukan dengan prosedur hukum dan jalur legal semata. Namun, kecenderungan yang ada, yang biasa dilakukan oleh para pengurus reformis, adalah bersandar pada pengadilan. Kaum reformis tidak bisa memahami bahwa pemerintah dengan hukum-hukumnya tidaklah lebih dari komite eksekutif kelas kapitalis, untuk mengurus dan mempertahankan kepentingan modal.
Para pemimpin reformis selalu berniat menunjukkan kepada pengusaha dan pemerintah bahwa mereka adalah pemimpin serikat yang bertanggung jawab, “elegan”, “tertib”, dan taat pada konstitusi. Mereka lebih khawatir pada luapan aksi massa yang ada di luar kendali mereka.
Dalam kebanyakan kasus, perangkat serikat sengaja membatasi keterlibatan aktif buruh untuk melawan. Aksi-aksi demo hanya didatangi oleh beberapa perwakilan saja. Mogok dimaknai hanya dengan menaruh perwakilan di depan pabrik, seperti keluh salah seorang buruh di media sosial: “2021 bilang monas, di depan pabrik dikasih 8 biji atau 10 biji orang perwakilan dari sif 3. Itu pun perwakilan dari serikat pekerja. Kalau pingin langsung berefek harus all out, jangan perwakilan.”
Walaupun di foto dan video tampak ratusan hingga ribuan buruh dengan motornya mengelilingi kawasan industri, dan di beberapa tempat melakukan pemblokiran jalan, tetapi aksi ini tidak lebih dari konvoi motor yang dengan mudah diabaikan oleh kelas penguasa. “Bukan demo kali, cuman konvoi motor abis kerja sif 3. Kalo yg sif 1 ya tetap produksi. Pengusaha cuman bisa ketawa geli melihat buruh Indonesia cuman bisa gertak doang,” begitu ketus seorang buruh, yang jelas merupakan sentimen luas di antara akar rumput.
Instruksi dan orasi dari para pemimpin sudah tidak efektif untuk menginspirasi buruh. Hanya pernyataan menghina dan arogan dari Gubernur Banten Wahidin Halim yang membakar semangat buruh. Wahidin berani memprovokasi buruh karena ia tentunya merasa cukup percaya diri bahwa gerakan buruh sudah begitu melempem. Setelah pernyataannya memancing kemarahan buruh Banten dan memicu aksi massa yang cukup besar, tampaknya dia agak menyesal dan tidak lagi bersuara. Memang pada kenyataannya, bila kelas penguasa tidak mengatakan apapun yang provokatif, “demo-demo” buruh ini akan berlalu begitu saja tanpa pengaruh, seperti tahun-tahun sebelumnya. Luapan aksi buruh Banten yang dipicu oleh arogansi Wahidin tidak mampu mengubah putusan kenaikan UMK yang ada. Kemarahan sesaat saja jelas tidak memadai sebagai motivasi perjuangan.
Seruan mogok nasional yang sudah tak ampuh
Gertakan mogok nasional sedari awal sudah tidak ditanggapi serius oleh pemerintah dan pengusaha, dan bukan untuk pertama kalinya. Ini sudah terulang berkali-kali di tahun-tahun sebelumnya. Seorang pemimpin yang terus melontarkan seruan mogok nasional tanpa melakukan persiapan yang serius sesungguhnya telah melakukan penghinaan terhadap senjata buruh yang paling ampuh ini. Ini menciptakan sinisme di antara buruh terhadap aksi mogok.
Mogok, apalagi mogok nasional, adalah perkara yang serius. Ini bukan gertakan semata yang bisa dilontarkan begitu saja oleh pemimpin serikat tanpa melibatkan buruh akar rumput secara aktif. Karena struktur serikat buruh di Indonesia yang bukanlah closed shop seperti di kebanyakan negeri-negeri barat – yakni dimana semua buruh dari satu tempat kerja atau pabrik adalah anggota dari satu serikat buruh – maka masalah demokrasi dalam mengorganisir mogok menjadi bahkan lebih krusial dalam memastikan stop produksi yang ampuh. Di Indonesia, keputusan untuk melakukan mogok bukan hanyalah urusan buruh anggota serikat buruh saja, tetapi juga buruh-buruh tak-terorganisir lainnya di pabrik atau tempat kerja yang sama. Bila hanya anggota serikat buruh saja yang mogok, pengusaha bisa dengan mudah meneruskan produksi dengan buruh-buruh tak-terorganisir lainnya.
Untuk itu, maka keputusan mogok harus diambil oleh buruh-buruh anggota lewat voting langsung dalam rapat-rapat akbar, dan bahkan mesti melibatkan buruh-buruh tak terorganisir lainnya. Ini berarti mengembalikan inisiatif langsung kepada buruh akar rumput, dan mematahkan hierarki kaku kepengurusan serikat buruh. Bukan lagi taat instruksi yang diperlukan, tetapi taat pada kedisiplinan demokratis buruh, yakni kedisiplinan yang bersumber dari proses demokrasi buruh itu sendiri. Tetapi para pemimpin serikat buruh takut kehilangan kendali atas gerakan, sehingga sangat enggan menyerahkan keputusan mobilisasi langsung pada demokrasi buruh.
Demokrasi buruh
Demokrasi buruh adalah seperti oksigen bagi gerakan buruh, yang diperlukan untuk menghidupkan kepercayaan diri buruh dan merealisasikan potensi mereka sebagai kekuatan sosial yang dapat mengubah masyarakat. Ini bukan masalah formalitas pemungutan suara semata, tetapi masalah keterlibatan aktif buruh dalam keseluruhan proses demokrasi dalam organisasi, dari proses diskusi, pertimbangan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan peninjauan ulang.
Pertama, demokrasi akan mengajarkan kepada buruh bahwa nasib mereka ada di tangan mereka sendiri. Selama seluruh kehidupan mereka, buruh dibuat bertekuk lutut dan menerima takdir mereka, bahwasanya ada kekuatan besar di luar kendali mereka – yaitu kekuatan pasar bebas dengan “tangan tak terlihat”nya – yang mengendalikan nasib mereka layaknya wayang kulit di tangan seorang dalang. Demokrasi dalam organisasi buruh menjungkirbalikkan semua ini dengan menunjukkan dalam praktik bahwa merekalah dalang dalam kehidupan mereka sendiri. Serikat yang beranggotakan buruh akar rumput yang percaya akan agensi individual mereka akan menjadi serikat yang kuat. Sebaliknya, bila organisasi buruh terbiasa dengan instruksi dari atas, dengan perangkat yang bertingkah layaknya dalang, yang melihat buruh hanyalah sebagai pion-pion untuk digerakkan ke sana ke mari, maka organisasi buruh ini tidaklah lebih dari cerminan setia dari masyarakat kapitalis. Buruh menjadi sama tak berdayanya dalam serikat dan mereka pun akan sama apatisnya.
Kedua, bila buruh akar rumput sendiri yang harus mempertimbangkan dengan cermat stratak mobilisasi, lalu mengambil keputusan tersebut secara demokratis dan melaksanakannya secara kolektif, maka mereka akan jauh lebih konsekuen pada apa yang telah diputuskan oleh organisasinya. Kekuatan mobilisasi yang datang dari demokrasi buruh akan menjadi seribu kali lipat lebih dalam, deras, dan kuat daripada yang diinstruksikan oleh perangkat, karena ini akan dilaksanakan oleh buruh-buruh yang paham mengapa keputusan demo atau mogok diambil.
Ketiga, demokrasi buruh juga akan melepaskan kreativitas dan inisiatif buruh yang lama terpendam. Sering kali, kerak birokrasi membuat serikat buruh terlalu konservatif dan kaku dalam menghadapi problem-problem gerakan yang dinamis. Ini karena pengurus terbiasa melakukan aktivitas yang sama lagi dan lagi, dan terjebak dalam rutinitas administrasi. Mereka mulai melihat organisasi hanya dari sudut pandang administrasi belaka dan menjalankan serikat layaknya sebuah bisnis, sebuah kecenderungan yang bernama business unionism yang dominan dalam gerakan serikat buruh di seluruh dunia. Untuk memecahkan kerak birokrasi ini dibutuhkan kreativitas, inisiatif, dan bahkan spontanitas buruh, yang hanya bisa dilepaskan lewat demokrasi buruh.
Bila kita berbicara mengenai demokrasi buruh dalam konteks pengorganisiran pemogokan, maka perlu dibentuk komite mogok di tiap-tiap pabrik, yang mencakup tidak hanya anggota serikat buruh tetapi juga buruh-buruh lainnya di pabrik. Komite mogok ini akan menjadi badan pengambil keputusan tertinggi, yang melibatkan semua buruh secara setara, terlepas ia berserikat atau tidak, terlepas ia buruh kontrak, harian, atau tetap. Lewat komite mogok inilah keputusan akan diambil apa akan mogok atau tidak, berapa lama, dan kapan akan dihentikan. Serikat buruh yang ada menjadi pendamping dan pendukung di samping komite mogok, dan bukan berdiri di atasnya.
Memperjuangkan Sosialisme dalam Gerakan Buruh
Kita harus memahami bahwa kurangnya demokrasi dalam serikat buruh dan dominasi birokratisme perangkat bukanlah disebabkan oleh ketidakpahaman para pemimpin serikat mengenai demokrasi. Ini bukan masalah struktur organisasi semata. Ada satu hal yang mendasari semua ini, yakni ideologi reformisme yang merasuki kepemimpinan gerakan buruh hari ini.
Kepemimpinan serikat buruh meyakini bahwa ketimpangan dalam masyarakat kapitalisme dapat diperbaiki secara bertahap, tanpa perubahan fundamental dan revolusioner dalam relasi produksi. Antara kelas kapitalis dan kelas buruh tidak ada kepentingan ekonomi yang tak terdamaikan dan keharmonisan kelas-kelas dalam masyarakat dapat tercapai di bawah kapitalisme. Revolusi dan sosialisme adalah dua hal yang mereka jauhi seperti penyakit kusta.
Para pemimpin buruh terjangkiti reformisme yang datang dari tekanan ideologi kelas kapitalis yang menyebar seperti gurita ke seluruh lapisan masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Marx, ide yang berkuasa adalah idenya kelas penguasa. Kelas penguasa tidak hanya berkuasa dengan pistol dan bayonet, tetapi terutama lewat dominasi gagasan mereka, yang diproduksi dan disebarluaskan secara massal di universitas, NGO, think tank, media massa, dst.
Para pemimpin buruh lebih rentan pada tekanan kelas asing justru karena posisi mereka sebagai pemimpin, yang membuat mereka lebih dekat bersentuhan dengan kelas penguasa. Ketika mereka berunding, mereka duduk nyaman di ruang ber-AC dengan pemilik modal dan sesekali akan dijamu makan. Mereka diundang bertemu pejabat ini dan itu dan menjadi tamu kehormatan kepala negara. Bila mereka bertingkah laku baik dan bermain sesuai aturan, mereka akan mendapat sanjungan dan pujian dari semua pihak, dari media, pakar politik, pejabat, dst. Bahkan tidak jarang mereka akan diberi posisi empuk dalam pemerintah, seperti Dita Indah Sari, atau dalam perusahaan. Keseluruhan sistem kelas penguasa telah dirancang sedemikian rupa untuk mengkooptasi para pemimpin gerakan untuk menjadi pelayan mereka. Kooptasi ini mengambil banyak bentuk dan tidak semuanya vulgar dan mencolok. Bahkan pemimpin buruh yang jujur, bersahaja, dan amanah sekali pun bisa terkooptasi oleh gagasan reformisme, yang mengarahkan mereka ke tujuan yang sama pada akhirnya: kolaborasi kelas, kompromi, penolakan untuk pecah dari kapitalisme, dan penyangkalan terhadap revolusi dan sosialisme.
Masalahnya, kontradiksi-kontradiksi dalam kapitalisme terus mengekspos di hadapan rakyat pekerja luas krisis mendalam sistem ini, yang semakin hari menjadi semakin jelas tidak dapat direforma. Kapitalisme dengan krisisnya terus mendorong keniscayaan revolusi dan sosialisme. Jurang antara kaya dan miskin yang semakin melebar, perang imperialis yang tidak ada hentinya, pengrusakan lingkungan hidup dan perubahan iklim yang mengancam keberlangsungan seluruh spesies manusia, dan hari ini pandemi yang telah memporakporanda kehidupan miliaran rakyat pekerja, semua ini mendorong semakin banyak rakyat pekerja untuk mulai menarik kesimpulan radikal dan revolusioner. Mereka mulai melihat dengan mata sendiri bahwa status quo sudah tidak bisa dipertahankan.
Jadi, sementara buruh akar rumput selalu terdorong ke gagasan dan metode perjuangan kelas yang semakin tajam dan revolusioner, yang mengarahkan mereka ke tugas historis kelas proletariat mereka untuk menumbangkan kapitalisme, pemimpin reformis mereka justru terdorong ke arah yang berlawanan: moderasi, konservatisme dan pembelaan status-quo. Para pemimpin reformis ini bukan hanya tidak memahami keniscayaan revolusi, tetapi juga menemukan diri mereka menentang revolusi ketika revolusi mulai menampakkan dirinya. Ini membuat pemimpin reformis selalu waswas dengan manifestasi kemandirian kelas buruh, sekecil apapun itu. Guna meredamnya, kepemimpinan reformis gerakan buruh mengambil pendekatan birokratik dan anti-demokratik dalam menjalankan organisasi buruh. Dengan tuas-tuas birokrasi yang mereka miliki, mereka menjadi penghalang aktif perkembangan kesadaran revolusioner buruh.
Pengalaman Partai Buruh Inggris baru-baru ini dengan Jeremy Corbyn adalah salah satu contoh termutakhir. Krisis kapitalisme Inggris menciptakan radikalisasi di antara lapisan muda dan buruh, yang mulai bergerak ke arah sosialisme. Berbondong-bondong, dalam jumlah ratusan ribu, mereka memasuki Partai Buruh dan memilih Jeremy Corbyn sebagai ketua partai pada 2015. Dimulailah apa yang disebut Revolusi Corbyn (Baca The Corbyn Revolution: What does it mean and where is it going?) Selama puluhan tahun, sayap Blairite, yakni kepemimpinan reformis kanan dalam Partai Buruh, telah mendominasi partai ini dan membuatnya tidak berbeda dengan partai-partai borjuis lainnya. Terpilihnya Corbyn menandakan ayunan tajam ke kiri. Jeremy Corbyn adalah pengejawantahan dari menajamnya kesadaran kelas buruh, terdorongnya mereka ke arah revolusi dan sosialisme. Para pemimpin reformis kanan dan birokrat Partai Buruh lalu menyabotase Jeremy Corbyn dan ratusan ribu pendukungnya dengan trik-trik birokratik yang licik dan anti-demokratik. Mereka akhirnya berhasil menyingkirkan Jeremy Corbyn dari kursi kepemimpinan Partai Buruh, dan lalu memulai kampanye pembersihan dengan memecat anggota-anggota partai yang berani melawan. Di sini bukan tempatnya untuk memaparkan mengapa Jeremy Corbyn – yang tidaklah lebih dari seorang reformis kiri – mengalami kekalahan telak (untuk analisa ini, baca Corbyn movement, 5 years on – lessons from the left), tetapi episode ini menunjukkan sejauh mana pemimpin dan perangkat gerakan buruh akan meredam elan revolusioner kelas buruh demi menjaga ketertiban dan kemaslahatan masyarakat kapitalis.
Inilah peran historis kaum reformis: mencegah agar gerakan buruh tidak “terjerumus” ke dalam sosialisme. Kaum reformis, entah reformis kanan ataupun kiri, melihat diri mereka sebagai manajer sistem kapitalisme yang lebih baik daripada politisi borjuis. Misalnya, Yanis Varoufakis, mantan menteri keuangan pemerintahan Syriza di Yunani, seorang reformis kiri yang cukup tenar di antara aktivis kiri, yang mengklaim dirinya Marxis, mengatakan ini: “Adalah tugas historis kaum Kiri, pada titik ini, untuk menstabilkan kapitalisme; untuk menyelamatkan kapitalisme Eropa dari dirinya sendiri dan dari orang-orang bodoh yang menangani krisis zona Euro yang tak terelakkan itu.” Ujung-ujungnya, untuk menyelamatkan kapitalisme para pemimpin reformis ini meluncurkan kebijakan kontra-reforma yang membebankan krisis kapitalisme ke pundak kelas buruh.
Kapitalisme adalah sistem yang sudah tersungkur dalam krisis mendalam yang berkepanjangan, dan dengan satu dorongan kecil saja dari kelas proletariat seluruh rumah kartu ini sesungguhnya dapat runtuh. Tetapi kapitalisme berulang kali diselamatkan oleh reformisme, benteng terakhir dari kapitalisme. Menggempur dan merobohkan garis pertahanan terakhir ini hanya bisa dilakukan dengan meluncurkan perjuangan ideologis yang tajam, sistematis dan konsekuen.
Membangun Partai Bolshevik
Untuk mengobarkan perjuangan ideologis ini dan melawan reformisme yang telah lama mendominasi dalam gerakan buruh, dan bahkan dalam keseluruhan gerakan rakyat tertindas, dibutuhkan sebuah tuas yang kuat dan bukan sembarang. Dalam kata lain, dibutuhkan sebuah partai revolusioner yang berlandaskan Marxisme dan Bolshevisme, yang aktif dalam gerakan buruh dan bisa memerangi reformisme. Inilah yang hari ini belum kita miliki.
Reformisme adalah sebuah gagasan yang disokong secara masif oleh seluruh tatanan masyarakat kapitalisme. Seluruh institusi pendidikan tinggi serta “guru-guru besar” mereka, semua filsafat, media massa, pakar politik dan ekonomi, think-tank, adalah jejaring ideologis yang rapat yang mempertahankan kapitalisme. Jejaring ini tidak bisa ditebas hanya oleh individu-individu yang tercerai berai, yang membaca buku ini dan itu, dan mencomot pengetahuan ini dan itu. Dibutuhkan sebuah organisasi yang menghimpun individu-individu ini ke dalam satu kedisiplinan, sebuah organisasi yang merupakan perwujudan dari memori kolektif perjuangan ideologi kelas proletariat, yang menarik benang merah yang tak terputuskan dari Marx dan Engels, yang telah menyarikan pengalaman 150 tahun perjuangan kelas buruh menjadi teori Marxisme. Inilah esensi dari Partai Bolshevik, yang berlandaskan ide, program, metode, tradisi Marxisme.
Sudah terlalu lama kerja pembangunan partai revolusioner ini terbengkalai. Para aktivis Kiri selalu menunda kerja ini dengan berbagai alasan. Di satu sisi, mereka sudah tidak lagi percaya pada masa depan sosialisme, sehingga perspektif mereka sungguh bersifat jangka pendek. Ini terutama karena memang tugas pembangunan pada tahapan awalnya bukanlah sesuatu yang membuahkan hasil segera. Ketika langkah pertama yang harus dilakukan dalam membangun partai revolusioner ini adalah menggali kembali ideologi proletariat yang telah lama hilang, membersihkannya dari kotoran-kotoran yang begitu membekas, memang kerja ini tidak penuh dengan keglamoran. Tetapi demikianlah caranya Revolusi Oktober dimenangkan oleh Lenin dan kaum Bolshevik, sebuah Revolusi yang mengubah sejarah umat manusia.
Membangun partai revolusioner adalah satu-satunya cara untuk menghentikan siklus jahat kekalahan gerakan buruh. Tanpa perspektif ini, gerakan akan selalu menemui jalan buntu. Tugas membangun partai revolusioner harus dimulai sekarang juga. Bukan besok atau lusa. Ini tidak bisa lagi dilakukan dengan setengah-setengah dan secara amatiran. Setiap kaum muda dan buruh revolusioner punya tanggung jawab untuk segera merapat dan membangun Partai Bolshevik, dan inilah organisasi yang tengah kami bangun hari ini: Perhimpunan Sosialis Revolusioner (PSR).
Kami tidak menjanjikan bahwa dengan bergabung dengan PSR maka esok hari mogok buruh akan menang. Ini bukan jalan pintas. Kami tidak menjanjikan bahwa pekerjaan ini akan bisa tuntas dalam waktu pendek. Pekerjaan ini tidak akan selesai dalam hitungan bulan atau bahkan tahun. Tetapi yang bisa kami janjikan, bahwa bila kita memulai kerja ini hari ini, melaksanakannya secara konsekuen, dengan keuletan dan kesabaran revolusioner, maka buruh tidak hanya akan mulai menang, tidak lagi terpukul mundur di setiap langkahnya, tetapi juga akan melangkah maju untuk lebih dekat ke kemenangan akhir sosialisme.
Kaum buruh sudah menunjukkan lagi dan lagi kekuatan, kesediaan, dan keberanian mereka untuk berjuang. Apa yang tidak mereka miliki, untuk memastikan agar perjuangannya tidak kandas di tengah jalan, adalah kepemimpinan revolusioner. Kepemimpinan ini tidak bisa diimprovisasi, dan ia bukan sesuatu yang bisa dibangun secara serampangan ataupun dengan pendekatan “hangat-hangat tai ayam”. Kepemimpinan ini, yakni Partai Bolshevik, harus dibangun dengan gigih dan ulet, dengan kesabaran revolusioner. Inilah yang harus kita bangun dan inilah yang tengah kami bangun di PSR. Oleh karenanya, kami serukan: Kaum muda dan buruh sadar kelas, bergabunglah dengan kami, Perhimpunan Sosialis Revolusioner! Mari kita mulai menang!