Amazon terkenal sebagai perusahaan retail terbesar di Amerika, dengan pemiliknya Jeff Bezos sebagai salah satu orang terkaya di dunia. Di balik keuntungan Amazon dan Bezos, terdapat eksploitasi pekerja yang sangat mengerikan. Buruh dipaksa bekerja sepanjang hari dengan hanya sedikit waktu istirahat. Bahkan buruh harus bertaruh nyawa demi produktivitas perusahaan. Selain itu, Amazon juga terkenal dengan union-bustingnya yang menggunakan berbagai metode paling kejam dan mutakhir. Beberapa percobaan besar untuk membangun serikat pada fasilitas Amazon pun gagal meski mendapat dukungan secara nasional.
Namun, sejarah dalam gerakan buruh Amerika terbentuk pada 1 April 2022 ketika buruh Amazon di Staten Island, New York akhirnya secara resmi berserikat. Dengan demikian, mereka menjadi buruh fasilitas Amazon di Amerika pertama yang berhasil membangun serikat buruh. Momen bersejarah ini berhak untuk dirayakan, tetapi ini hanyalah awal dari perjuangan panjang dari emansipasi buruh menuju sosialisme. Meski demikian, terdapat beberapa pelajaran berharga yang harus dipelajari agar gerakan buruh mampu melawan raksasa kapitalisme seperti Amazon. Pelajaran ini patut diperhatikan bagi gerakan buruh lain, bukan hanya di Amerika, tetapi juga di Indonesia dan seluruh dunia.
Amazon dan Buruh
Amazon adalah perusahaan retail terbesar di Amerika dan menjadi salah satu raksasa kapitalisme. Amazon memegang 40 persen dari bisnis retail online dan mempekerjakan 1,3 juta buruh di seluruh dunia, dengan 1 juta sampai 750 ribu buruh berada di Amerika. Amazon saat ini menjadi toko untuk hampir seluruh komoditas yang dibutuhkan manusia. Selain menjadi toko online, Amazon juga mengembangkan sayap pada industri lain, seperti cloud computing dan bahkan penerbitan dan pengembangan film serta video game.
Wakil perusahaan Amazon, Drew Hardner dengan bangga menyebut Amazon sebagai “perusahaan progresif”. Namun, kenyataannya Amazon menjadi salah satu perusahaan yang menerapkan eksploitasi paling brutal terhadap buruhnya, terutama pada buruh yang berusaha berserikat. Amazon memang menerapkan upah dua kali lipat di atas upah minimum pemerintah, yaitu sebesar $15 per jam yang jika ditotal menjadi $31.000 per tahun. Namun, ini pun sesungguhnya masih di bawah upah median pekerja Amerika, yakni $41.535 per tahun (berdasarkan statistik 2020). Pendapatan tersebut pun tidak sebanding sama sekali dengan pendapatan Bezos yang mampu mengantongi $2357 per detik, menyaingi pendapatan rata-rata karyawan Amazon per bulan.
Kondisi karyawan Amazon juga diperparah dengan lingkungan kerja yang kejam. Kesehatan dan keselamatan buruh Amazon sering diabaikan demi memenuhi produktivitas perusahaan. Buruh gudang Amazon bekerja selama 50-60 jam per minggu dan sering ditambah dengan lembur selama 10-20 jam per minggu. Selama bekerja, buruh tersebut harus berjalan di dalam gudang dengan luas hampir mencapai 1 juta kaki persegi atau sekitar 300 kilometer persegi. Dengan jam kerja yang panjang, penuh produktivitas dan melelahkan, mereka hanya diberi waktu istirahat selama 30 menit termasuk penggunaan toilet. Waktu istirahat yang singkat seringkali habis hanya untuk mengantre makanan dan mencari tempat duduk. Dengan demikian, buruh selalu dalam tekanan dan tidak memiliki waktu yang cukup untuk beristirahat.
Prioritas produktivitas di atas kondisi buruh juga menyebabkan beberapa insiden mengerikan seperti laporan pengemudi Amazon yang terpaksa buang air di dalam botol.. Beberapa pekerja gudang Amazon di Allenton, Pennsylvania pingsan akibat kelelahan saat bekerja di dalam gudang yang panas pada musim panas 2011. Bahkan sikap abai Amazon telah merenggut nyawa buruh mereka, dengan beberapa buruh gudang Amazon yang tewas di dalam gudang Amazon yang terkena angin topan, dikarenakan tidak diizinkan untuk mengevakuasi diri pada Desember 2021.
Usaha Berserikat
Kondisi mengerikan yang dihadapi oleh buruh Amazon jelaslah membangkitkan semangat militansi dari mereka. Selain kampanye peningkatan upah minimum, terdapat beberapa usaha pembentukan serikat buruh Amazon. Percobaan mengorganisir buruh telah dilakukan sebelumnya di Chester, Virginia dan Bessemer, Alabama. Sayangnya, beberapa usaha tersebut gagal akibat taktik union-busting Amazon yang paling mutakhir.
Buruh yang mengorganisir pembentukan serikat dan mendukung aksi tersebut diberikan ancaman pemecatan, dan akhirnya dipecat. Amazon juga mengintai buruh dan bahkan berusaha mengubah arus lalu lintas untuk menghambat anggota serikat untuk menemui para buruh yang pulang kerja. Ketika Amazon melihat ada gerakan membangun serikat, fasilitas tersebut ditutup oleh Amazon dengan alasan kondisi ekonomi yang memburuk. Namun, Amazon tidak bisa menang selamanya.
Pagi hari pada 1 April 2022, terjadi momen bersejarah bagi perjuangan buruh Amazon dan seluruh Amerika. Fasilitas Amazon di Staten Island, New York menjadi fasilitas pertama yang berhasil memenangkan serikat buruh. Kendati kampanye union busting dari Amazon, mayoritas sebesar 2654 buruh setuju untuk bergabung dengan Amazon Labor Union (ALU), dibanding 2131 buruh lain. ALU adalah serikat buruh independen yang dibentuk oleh Chris Smalls, mantan asisten manajer fasilitas Staten Island yang dipecat karena mengorganisir pemogokan dan mengekspos keengganan Amazon dalam melindungi buruhnya pada awal pandemi COVID-19.
Meski kemenangan ini sangat bersejarah dan kita turut bersenang hati atas kemenangan gerakan akar rumput, kemenangan ini hanyalah awal dari perjalanan panjang untuk emansipasi buruh Amazon dari belenggu majikan dan kapitalisme. Agar gerakan buruh mampu mempertahankan momentum kemenangan mereka, gerakan harus terus mengevaluasi kekalahan dan kemenangan yang dicapai. Dengan demikian, taktik dan perspektif yang dikerahkan akan lebih baik dan efisien.
Pelajaran dari Perjuangan
Dalam melihat kampanye buruh Amazon pada Staten Island, keterbatasan politisi reformis liberal terlihat jelas. Bahkan gerakan buruh mulai sadar akan keterbatasan tersebut. Sikap Alexandria Ocasio-Cortez (AOC), politisi dari “kubu progresif” Partai Demokrat Amerika menjadi contoh. Chris Smalls mengekspos buruknya peran AOC dan timnya yang telah diundang untuk mendukung gerakannya. Dalam sebuah podcast, Chris Smalls mengatakan “situasi menuju rapat umum baik-baik saja hingga detik terakhir. Mereka [AOC] mengatakan ‘mereka tidak bisa hadir’. Aku hanya bisa berkata wow.“.
Chris juga menambahkan “mereka [AOC] tidak memberi alasan yang sesungguhnya selain adanya ancaman keamanan… Alasan tersebut tidak masuk akal karena mereka telah mengatakan bahwa mereka telah membatalkan pertemuan pribadi untuk sisa bulan ini namun kemudian ia [AOC] mengikuti Met Gala (pertunjukkan fashion kelas atas).” Situasi ini menunjukkan kekecewaan gerakan buruh terhadap politisi reformis liberal dan keterbatasan mereka.
Presiden Amerika, Joe Biden bahkan menunjukkan respons yang memalukan. Setelah kemenangan buruh di Staten Island, Biden memberikan pidato dengan kalimat yang dielukan oleh para liberal dan reformis, yaitu “Amazon, kami akan menghampirimu”. Kenyataannya, Biden tidak mampu membantu buruh sama sekali. Undang-Undang Perlindungan Hak Berorganisasi (PRO Act) yang dijanjikan Biden dapat melindungi buruh untuk membangun serikat masih tertahan di Senat sampai saat ini. Bahkan ketika pemilihan Bessemer masih berlangsung, Biden tidak berani untuk menyebut nama Amazon secara langsung. Ini karena Partai Demokrat adalah partai kapitalis, dan retorika politisi Demokrat yang katanya mendukung serikat buruh tidaklah lebih dari tipu daya untuk meredam militansi buruh, dan mengarahkannya ke saluran yang aman bagi kapitalis.
Dari dua contoh tersebut, terlihat bahwa menaruh sedikit harapan kepada para reformis dan borjuis liberal adalah sebuah pernyataan ketidakpercayaan pimpinan gerakan buruh terhadap kaum buruh itu sendiri. Kaum reformis tidak mampu memberi kontribusi lebih pada perang kelas dan hanya bisa mengekor ketika kaum buruh telah menang. Seiring krisis kapitalisme semakin mencekik, kaum buruh akan semakin sadar secara politik dan bahkan berani melakukan konfrontasi terhadap pemimpin yang tidak mampu memuaskan mereka.
Pelajaran
Kondisi objektif di Amerika pada saat ini sangatlah menguntungkan gerakan buruh. Sebuah survei terkini menunjukkan bahwa 71 persen masyarakat Amerika mendukung serikat buruh, angka tertinggi selama setengah abad. Selain itu, buruh perusahaan lain seperti Starbucks turut meraih kemenangan. Pergeseran opini publik mengenai serikat buruh ini adalah cerminan dari pergeseran kesadaran kelas buruh dan kaum muda selama dekade terakhir. Survei demi survei telah menunjukkan tumbuhnya ketertarikan kaum muda pada gagasan sosialisme dan komunisme.
Melalui kemenangan dan kekalahan gerakan buruh Amazon, terdapat pelajaran berharga mengenai bagaimana membentuk serikat buruh dan mendorong buruh untuk berserikat. Pertama, kampanye pembentukan serikat buruh di Staten Island menang karena mereka langsung mengedepankan tuntutan-tuntutan yang berani: upah $30 per jam, dua waktu istirahat 30 menit yang dibayar, dan waktu makan siang satu jam yang dibayar. Bila dibandingkan dengan kampanye sebelumnya di Bessemer yang gagal, dan juga banyak kampanye serikat buruh lainnya yang gagal, mereka tidak mengedepankan tuntutan berani sama sekali. Mereka hanya menjanjikan adanya serikat buruh yang nanti akan menegosiasikan upah dan kondisi kerja. Cara seperti ini tidak membangkitkan semangat ataupun kepercayaan.
Misalnya, di fasilitas Amazon di Alberta tahun lalu, para buruh menekan para organisator serikat buruh dari Teamster Local 362 apa yang akan mereka raih bila mereka membentuk serikat ini, dan para organisator serikat ini kelabakan dan hanya bisa menjawab: “Kami di sini bukan untuk memberi kalian upah $30 per jam. Kami di sini untuk membantu memperbaiki kondisi kerja, dan melihat bila kita bisa menegosiasikan kenaikan upah … Kami tidak bisa menjamin apapun.” Jelas, sikap seperti ini tidak memberi inspirasi dan semangat sama sekali, dan kampanye pembentukan serikat buruh di sana masih belum berhasil.
Ini berbeda jauh dengan pendekatan Chris Smalls dan kawan-kawannya di Staten Island. Mereka mengajukan serangkaian tuntutan yang berani, dan tidak hanya fokus pada pembentukan serikat buruh saja. Mereka mengkaitkan secara langsung serikat buruh dengan tuntutan konkret yang besar dan berani: upah $30 per jam, yang berarti kenaikan dua kali lipat, dsb. Sebaliknya, pendekatan kebanyakan kampanye pembentukan serikat buruh hanya fokus pada serikat buruh saja, dan menunda masalah upah yang konkret untuk negosiasi setelah serikat terbentuk.
Berkebalikan dengan “akal sehat” yang biasa diterima oleh kepemimpinan serikat buruh yang reformis, menuntut perubahan kecil yang “masuk akal”, yang “bisa diterima” oleh manajemen, bukanlah pendekatan yang lebih realistis. Sebaliknya, buruh akar rumput tidak akan mengambil risiko dan mengorbankan waktu dan usaha hanya demi pencapaian kecil yang tak berarti. Buruh akan berjuang gigih untuk tuntutan berani yang akan mengubah hidup mereka, bukan hanya janji negosiasi setelah serikat terbentuk nantinya.
Selain itu, kekhasan kampanye serikat buruh di Staten Island adalah keterlibatan aktif buruh akar rumput. Sering kali, usaha membangun serikat buruh diprakarsai oleh aktivis serikat buruh dari luar yang diterjunkan ke lapangan, tetapi tidak melibatkan akar rumput. Kampanye dilakukan secara birokratik. Ini berbeda dengan kampanye yang dipimpin oleh Chris Smalls dan kawan-kawan buruhnya, yang datang dari akar rumput. Inilah pelajaran penting bagi gerakan buruh, yang kini mulai menyebar dengan serangkaian kemenangan serikat buruh Starbucks, yang kebanyakan dipimpin oleh anak-anak muda.
Kemenangan di Staten Islands juga mustahil tanpa dukungan solidaritas luas dari rakyat pekerja, yang muak dengan eksploitasi Amazon. Pada gilirannya, kemenangan ini menjadi inspirasi lebih lanjut bagi gerakan buruh AS dan dunia. Kekuatan solidaritas kelas buruh ini sudah terlihat sejak usaha membentuk serikat buruh Amazon yang pertama di Bessemer tahun lalu. Pada kampanye buruh Amazon di Bessemer, seruan solidaritas datang dari luar negeri seperti dari buruh Amazon Italia. Bahkan buruh Myanmar yang pada saat itu juga melakukan pemogokan sebagai protes terhadap kudeta militer juga memberikan salam solidaritas pada buruh Bessemer. Namun, seruan solidaritas abstrak saja tidak cukup bagi persatuan gerakan buruh. Solidaritas harus diubah menjadi taktik dan gerakan di lapangan.
Usaha membentuk serikat buruh harus dilakukan pada beberapa cabang fasilitas sekaligus. Hal ini dilakukan untuk mempersulit Amazon dalam menutup fasilitas yang berserikat. Taktik ini menuntut persatuan gerakan dari sejumlah serikat buruh sekaligus. Setiap serikat buruh harus menghentikan persaingan dalam mencari anggota dan fokus pada persatuan buruh. Serikat besar seperti AFL-CIO (Federasi Serikat Amerika) harus membentuk komite serikat Amazon dengan serikat buruh kecil seperti ALU (Amazon Labour Union) dan RWDSU (Retail, Wholesale, and Department Store Union) yang kini memimpin kampanye serikat buruh Amazon.
Komite ini nantinya akan menggabungkan sumber daya dari setiap serikat buruh yang bergabung, mulai dari tenaga kerja hingga uang. Sumber daya ini akan dikerahkan untuk membentuk kampanye publik yang besar untuk menggalang solidaritas dari masyarakat luas untuk serikat buruh Amazon dan mendukung setiap kampanye pembentukan serikat buruh. Untuk membangun aparatus tersebut jelaslah memerlukan sumber daya yang besar. Namun, di sanalah pentingnya persatuan gerakan. Jika berbagai perusahaan raksasa mampu bersatu melawan gerakan buruh, maka persatuan juga harus terbentuk dalam gerakan buruh itu sendiri.
Kepemimpinan gerakan buruh tidak lagi boleh mengambil pendekatan konservatif dan setengah hati. Kemenangan Staten Island dan dukungan luas rakyat pekerja pada serikat buruh telah menunjukkan bahwa gerakan buruh membutuhkan kepemimpinan yang berani, bukan kecut dan ragu-ragu.
Jalan ke depan
Krisis kapitalisme di Amerika telah membangunkan kesadaran kelas dan militansi buruh yang telah tertidur selama beberapa dekade. Kemenangan buruh di fasilitas Amazon dan perusahaan lain menjadi bukti konkret kebangkitan gerakan buruh. Pertama kalinya setelah sekian lama tembok raksasa kapitalis mulai runtuh oleh perjuangan serikat buruh setelah berkali-kali mengalami kegagalan. Buruh Amerika pada akhirnya merasakan bahwa dengan mempersatukan kekuatan mereka, mereka mampu menuntut lebih pada bos mereka.
Meski demikian, kita tidak boleh tenggelam dalam sukacita dan harus mempersiapkan serangan selanjutnya terhadap para borjuis dengan cepat. Mereka tidak akan tinggal diam membiarkan kekuatan mereka direbut dan mereka akan mempersiapkan taktik lebih brutal untuk melawan gerakan buruh. Dengan demikian, taktik gerakan buruh juga perlu diasah sehingga menjadi lebih mutakhir, dan pengalaman adalah pengasah terbaik. Tidak hanya itu, dibutuhkan kepemimpinan yang berani, segar, dan memiliki perspektif revolusioner.
Perjuangan melawan Amazon tidak terpisahkan dengan perjuangan melawan kapitalisme dengan eksploitasinya yang kejam. Kemenangan ini harus diperdalam dengan menjelaskan kepada buruh bahwa selama kapitalisme masih berjaya maka setiap kemenangan akan direnggut kembali. Oleh karenanya, gerakan buruh tidak bisa berhenti hanya pada serikat buruh saja, tetapi mengarah ke penggulingan kapitalisme. Setiap kemenangan harus jadi batu loncatan ke kesadaran sosialisme. Bila tidak, kita akan mengulang kesalahan yang sama lagi dan lagi.
Krisis kapitalisme membawa pada 2 pilihan, yaitu: sosialisme atau barbarisme. Hanya kaum buruh sendirilah yang mampu membawa peradaban keluar dari kapitalisme sebagai horor tanpa akhir menuju sosialisme.