Tepat satu bulan yang lalu, pada 9 Juli 2022, dunia dikejutkan dengan peristiwa yang bergulir di Sri Lanka. Rakyat menyeruak masuk ke dalam Istana Presiden, tempat yang seharusnya paling dijaga aman dan merupakan simbol kekuasaan yang keramat. Foto-foto dan video-video viral mempertontonkan bagaimana rakyat berenang menyejukkan diri di kolam renang presiden. Rakyat berselfie ria di kursi besar kepresidenan. Mereka mengagumi dengan rasa jijik garasi presiden dengan mobil-mobil mewah mereka. Rakyat pekerja di seluruh Sri Lanka menyaksikan ini dengan penuh suka cita dan rasa bangga, tetapi tidak demikian dengan kelas penguasa Sri Lanka – dan juga seluruh dunia — yang gemetar ketakutan, bahwa rumah mewah mereka dan tampuk kekuasaan mereka sudah tidak lagi aman.
Aksi geruduk Istana Presiden ini, yang berakhir dengan lengsernya Presiden Gota Rajapaksa, merupakan kelanjutan dari gerakan massa besar yang telah berlangsung sejak bulan Maret kemarin. Melatarbelakangi gerakan revolusioner ini adalah krisis kapitalisme Sri Lanka yang telah menghancurkan kehidupan puluhan juta rakyat pekerja. Rakyat pekerja Sri Lanka telah menunjukkan militansi dan keberanian mereka. Sekarang kelas penguasa – dengan politisi-politisi mereka, pakar-pakar mereka, dan kaum reformis yang membuntuti mereka – sibuk berusaha membentuk pemerintahan “persatuan nasional” untuk menggantikan dinasti Rajapaksa. Tujuan mereka adalah menipu rakyat dari kemenangan mereka dan menyelamatkan tatanan kapitalisme secara keseluruhan.
Sejak pandemi, Sri Lanka berada dalam krisis ekonomi yang hebat, yang pada gilirannya menimbulkan gejolak sosial yang hebat pula. Privatisasi ekstrem menyebabkan penurunan gaji dan kenaikan harga barang yang parah. Pemadaman listrik yang mencapai 13-15 jam mendorong rakyat ke keputusasaan. Melihat pemerintah yang tidak kompeten dalam menangani masalah mereka, rakyat pekerja dari semua lapisan melakukan aksi protes dalam skala besar. Aksi begitu besar hingga perlawanan dari pendukung pemerintah justru menyulut amarah massa yang menghancurkan kantor, rumah, dan mobil mewah milik penguasa.
Meski demikian, kosongnya pemimpin revolusioner membawa massa pada kebingungan. Serikat buruh dan partai sayap kiri hanya memainkan peran pasif dalam aksi. Massa terus menolak semua usaha reformasi dan kolaborasi dengan kelas kapitalis. Meski demikian, mereka masih belum sadar akan kekuatan mereka untuk merebut kekuasaan ke tangan mereka sendiridan membawanya menuju sosialisme. Situasi ini membuat massa kehilangan momentum besar yang telah diraih. Artikel ini akan menunjukkan pelajaran apa yang dapat didapat pada krisis Sri Lanka dan bagaimana gerakan di Indonesia dapat bersiap untuk gejolak di hari depan.
Terutama selama setahun belakangan, rakyat Sri Lanka mengalami kesulitan untuk membeli bahan kebutuhan dasar seperti bahan bakar, gas elpiji, dan obat-obatan penting akibat inflasi hebat. Inflasi makanan mencapai 30,2%, sementara inflasi barang kebutuhan dasar mencapai 18,7%. Harga BBM bahkan meningkat sebesar 2 kali lipat. Pemadaman lampu yang bisa mencapai 12 jam setiap harinya sungguh melempar rakyat pekerja ke kegelapan. Rakyat bahkan tidak mampu membeli lilin untuk penerangan saat mati lampu akibat harga lilin yang meroket, dengan 1 pak mencapai 500 Rs (sekitar 20500 Rupiah).
Pandemi menjadi alasan bagi pemerintah untuk menurunkan gaji sebagian besar buruh. Menurut penelitian UNICEF, pendapatan rata-rata bagi rumah tangga di kota turun sebesar 37%, sedangkan pada rumah tangga pedesaan turun sebesar 30%. Keputusan pemerintah untuk menghapus kontrol harga bagi hampir setiap komoditas menyebabkan kekacauan harga barang. Keputusan tersebut menjadi salah satu faktor penyebab inflasi di Sri Lanka, selain tentunya krisis rantai pasok yang mengguncang seluruh dunia. Dengan kenaikan harga barang dan penurunan upah, rakyat Sri Lanka semakin putus asa.
Peran Pemerintah dalam Krisis
Penderitaan rakyat Sri Lanka diperparah oleh rezim Presiden Gotabaya Rajapaksa beserta anggota keluarga Rajapaksa lainnya yang tidak kompeten dalam menangani krisis. Pada kenyataannya, kompetensi bukanlah syarat utama untuk menjadi politisi atau penguasa. Selama krisis, semua kebijakan pemerintah adalah untuk memastikan keberlangsungan kemakmuran bagi kapitalis. Untuk meraih dukungan para kapitalis lokal pada pemilu tahun 2019, keluarga Rajapaksa menjanjikan potongan pajak bagi pengusaha. Pemotongan pajak ini menyebabkan merosotnya pendapatan negara sebesar 33%, membawa Sri Lanka menuju krisis terburuk semenjak kemerdekaan. Defisit anggaran diselesaikan dengan pemotongan anggaran sosial yang diperuntukkan bagi rakyat pekerja. Selain itu, pemerintah berusaha menangani defisit ini dengan mencetak uang dalam jumlah besar untuk menghadapi pandemi COVID-19, yang semakin mempersulit kontrol terhadap inflasi.
Berbagai skandal juga memicu gejolak ekonomi dan politik. Korupsi impor pupuk organik menyebabkan masalah besar terhadap panen padi tahun 2022. Selain itu, skandal ledakan selang gas elpiji tahun lalu menunjukkan kelalaian pemerintah untuk meregulasi perusahaan gas. Keputusan pemerintah untuk menghabiskan 360 juta Rs untuk mengimpor mobil mewah bagi Perdana Menteri dan anggota parlemen di tengah kesulitan untuk memenuhi anggaran edukasi, kesehatan, dan transportasi umum juga mengekspos prioritas pemerintah dan kesenjangan antara rakyat kecil dan pejabat tinggi.
Pemerintah menutupi kekurangan kas negara – yang disebabkan oleh keringanan pajak bagi kapitalis – melalui utang pada berbagai kekuatan imperialis, dari IMF (Amerika), India, dan Tiongkok. Strategi pemerintah Sri Lanka dalam berhutang adalah membayar hutang dan bunganya dengan hutang baru. Siapapun tahu bagaimana kebijakan gali lubang tutup lubang ini akan berakhir. Yang akan jatuh terjerembap ke dalam lubang hutang ini adalah rakyat pekerja. Meski kas negara telah berkurang dengan cepat akibat menghadapi krisis ekonomi, pemerintah tetap berusaha untuk membayar hutang dengan cara memangkas anggaran sosial dan subsidi bagi rakyat.
Mulainya Gejolak Sosial
Melihat situasi yang semakin memburuk, masyarakat Sri Lanka melakukan aksi demonstrasi. Pada Kamis, 31 Maret 2022, massa berkumpul di Kolombo secara spontan. Aksi dimulai secara damai dengan menggelar spanduk dan membawa lilin. Tuntutan warga adalah meminta Gota Rajapaksa dan anggota Rajapaksa lain untuk mundur dari pemerintahan. Slogan yang diutarakan di antaranya “Bayar BBM dengan dolar Pandora”, merujuk pada anggota keluarga Rajapaksa yang masuk dalam Pandora Papers karena menggelapkan jutaan dolar pada akun luar negeri. Aksi massa ditanggapi dengan brutal oleh pemerintah, dengan menembakkan gas air mata, meriam air, dan pemaksaan jam malam.
Demonstrasi besar ini awalnya didominasi oleh lapisan kelas menengah seperti mahasiswa dan pengacara. Ini menunjukkan bahwa kondisi Sri Lanka begitu parah sehingga mendorong kelas menengah menuju demonstrasi. Malangnya, gerakan buruh yang terorganisir hanya mendukung aksi demonstrasi secara pasif. Para pemimpin serikat buruh enggan untuk mengorganisir anggotanya untuk melakukan pemogokan.
Momentum aksi demonstrasi terus meningkat hingga menimbulkan perpecahan hebat di antara kelas penguasa. Melihat rezim semakin sulit untuk dipertahankan, 26 anggota kabinet mengundurkan diri pada 4 April, termasuk Namal Rajapaksa, keponakan laki-laki dari Presiden Gota. Dengan demikian, pejabat tinggi yang tersisa hanya tinggal Presiden Gota dan adiknya, Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa. Bahkan ketika Gota melantik Menteri Keuangan baru agar dapat bernegosiasi dengan IMF, Menteri tersebut langsung mengundurkan diri. Lenin mengatakan, salah satu kondisi dari periode pra-revolusioner adalah perpecahan di antara kelas penguasa.
Di dalam parlemen, 42 anggota parlemen dari koalisi Rajapaksa mengubah posisi mereka menjadi independen pada 5 April. Kondisi ini menyebabkan jumlah koalisi Rajapaksa mengecil menjadi 108 kursi, kurang dari 5 kursi untuk membentuk mayoritas. Meski demikian, tidak ada koalisi lain yang mampu membentuk mayoritas. Situasi ini membuat Gota Rajapaksa tetap mampu mempertahankan kursi kekuasaannya.
Aksi Kontra-Revolusi Memecut Revolusi
Mahinda dituntut Gota untuk mengundurkan diri, dan dia pun menjadi semakin putus asa. Akhirnya Perdana Menteri Mahinda bertaruh dengan mengerahkan pasukan kontra revolusi sebelum ia dipecat dengan harapan aksi protes akan terhenti dan pemecatannya dibatalkan. Melihat aksi telah berjalan selama 1 bulan, ia memprediksi kekuatan aksi akan melemah. Namun, tindakan ini justru menghasilkan hasil yang sebaliknya!
Pada hari Senin, 9 Mei, Mahinda Rajapaksa, anaknya, serta Namal Rajapaksa mengorganisir demonstrasi pro-pemerintah dengan menghimpun elemen-elemen geng lumpen yang dikumpulkan melalui koneksi Mahinda. Geng tersebut diantarkan dengan bus menuju kompleks Perdana Menteri di Temple Trees, Kolombo. Anggota geng tersebut dicekoki alkohol dan kemudian mereka dibawa menuju lokasi demonstrasi anti-pemerintah dan diberi kebebasan untuk membuat kericuhan selama sehari. Mereka juga dibantu dengan para tahanan yang dilepaskan dari penjara.
Dengan cepat aksi kontra-revolusi ini menimbulkan kericuhan dengan menyerang para demonstran. Berbagai video di media sosial menunjukkan pria dan wanita anggota demonstrasi anti pemerintah dihajar tanpa ampun dengan menggunakan kayu. Semua aksi brutal tersebut terjadi tanpa ada intervensi dari aparat. Namun, seperti kata Karl Marx, “Revolusi terkadang membutuhkan pecutan kontra-revolusi untuk terdorong maju.” Rakyat pekerja yang melihat barbarisme tersebut semakin terpicu untuk melawan serangan kontra-revolusi.
Serikat pelajar dan pekerja akhirnya mendorong anggotanya untuk berpartisipasi dalam protes dan menolong para demonstran. Perlawanan balik dari buruh, pelajar, dan demonstran begitu hebat sehingga aksi kontra-revolusi terpukul mundur. Massa pendukung pemerintah bahkan terpojok pada Danau Beira dan akhirnya terpaksa menceburkan diri ke danau, sehingga harus ditolong oleh polisi. Demonstran juga membakar bus yang digunakan untuk membawa massa pendukung pemerintah.
Para demonstran kemudian melanjutkan aksi dengan menghancurkan kantor Sri Lanka Podujana Peramuna (SLPP), partai kelas penguasa Sri Lanka. Mobil mewah dari anggota Perdana Menteri dan parlemen dibakar habis. Rumah pejabat tinggi tersebut turut dibakar, termasuk rumah dari leluhur keluarga Rajapaksa. Situasi dengan cepat berubah.
Kebuntuan Pemimpin Kelas-Menengah
Situasi revolusioner secara tidak terhindarkan memunculkan pemimpin-pemimpin aksidental yang berusaha memanfaatkan gejolak massa, seperti beberapa partai oposisi dan asosiasi kelas menengah di Sri Lanka. Anggota partai oposisi Samagi Jana Balawegaya (SJB), yang terdiri dari para kapitalis serta Bar Association of Sri Lanka (BASL), persatuan pengacara Sri Lanka, menjadi oposisi pemerintah yang paling vokal. Mereka menekankan perlunya membentuk pemerintahan baru yang terbentuk berdasarkan persatuan nasional dan membuat rencana negosiasi dengan IMF. Kedua solusi ini dengan cepat menemui jalan buntu.
Ketika masyarakat Sri Lanka tercabik-cabik oleh kepentingan kelas-kelas yang tak terdamaikan, maka seruan mengenai “pemerintahan persatuan nasional” adalah utopis. Ini bukan masalah tidak adanya persatuan nasional, tetapi bagaimana kelas kapitalis niscaya membebankan krisis kapitalis ke pundak buruh, tani, dan kaum miskin kota. Massa rakyat juga telah menyadari bahwa usaha negosiasi dengan IMF hanya akan membawa masalah yang lebih besar di kemudian hari. Bantuan IMF pasti datang dengan syarat yang semakin memperburuk hidup rakyat, di antaranya yaitu mengurangi subsidi dan mempermudah impor barang.
Slogan “225 must go!” yang dimajukan oleh gerakan massa mencerminkan bahwa massa tidak mempercayai satu pun politisi atau partai politik yang masuk pada parlemen borjuis. Politisi dari partai koalisi oposisi borjuis, pemimpin kelompok reaksioner sauvinis, dan perusahaan yang memberi dukungan palsu segera dikecam oleh massa. Bahkan mereka diusir saat melakukan intervensi.
Penolakan terhadap pemimpin reformis dan kapitalis oleh massa adalah reaksi yang sehat, karena insting revolusioner massa menyadari kolaborasi dengan borjuasi dan institusi politiknya bukanlah solusi. Massa tahu apa yang tidak mereka inginkan, namun mereka tidak mengetahui dengan jelas apa yang harus diperjuangkan untuk menggantikan status quo yang ada. Tanpa partai revolusioner yang bisa menggalang energi massa dengan program yang tepat, energi militan massa akan surut dan berakhir dengan kelelahan. Di tengah kelelahan ini, kelas penguasa dapat memukul balik dengan represi, dan para pemimpin reformis dengan jejaring organisasi mereka bisa mengarahkan gerakan massa ke jalur yang aman: jalur konstitusional borjuis yang intinya akan menyelamatkan kapitalisme. Tidak cukup hanya mengandalkan insting revolusioner massa. Ini perlu diberi ekspresi politik dan organisasional yang berkelanjutan, sesuatu yang hanya dapat disediakan oleh Marxisme.
Pasifnya Kepemimpinan Serikat Buruh
Pada awal gerakan protes, para pemimpin serikat buruh tidak memobilisasi massa sama sekali. Terdapat ketakutan di antara pemimpin serikat buruh bahwa intervensi serikat akan mengganggu relasi yang telah mereka bangun dengan partai-partai politik borjuis. Seruan mogok massa baru pertama kali diutarakan sebulan setelah aksi protes berjalan. Mogok ini pun hanya bersifat simbolis belaka dan menunjukkan kelemahan pemimpin serikat buruh. Sering kali para buruh hanya diarahkan untuk izin sakit selama sehari. Pekerja kesehatan hanya berpartisipasi dalam protes selama 2 jam dengan alasan agar tidak mengganggu pelayanan mereka. Meski dengan pemimpin yang lemah, buruh mengikuti aksi tersebut dengan penuh antusias. Selama mogok berlangsung, fasilitas pertokoan dan jasa menjadi sepenuhnya kosong. Partisipasi buruh dalam melawan aksi kontra-revolusi 9 Mei juga menunjukkan antusiasme yang kuat kendati kepemimpinan yang selalu ragu-ragu.
Di sini kita saksikan bagaimana kepemimpinan reformis serikat buruh selalu tertinggal di belakang saat gerakan massa meletus. Tidak hanya tertinggal, mereka menjadi rem gerakan massa karena konservatisme mereka. Karena lama terjebak dalam permainan “advokasi” buruh, para pemimpin ini terbiasa berpikir dalam batas-batas legalitas dan tuntutan normatif. Perspektif revolusi tidak ada dalam wawasan mereka sama sekali. Inilah keterbatasan dari serikat buruh, sesuatu yang sejak awal diperangi oleh Lenin dan kaum Bolshevik. Diperlukan partai revolusioner yang bisa menarik pelajaran historis mengenai peran kelas buruh dalam revolusi sosialis, yang dapat mempersiapkan kepemimpinan revolusioner bagi gerakan buruh.
Apa yang Harus Dilakukan?
Trotsky mengatakan bahwa krisis saat ini adalah krisis kepemimpinan proletariat, dan pernyataan ini secara tepat menggambarkan situasi Sri Lanka. Sementara massa belum menyadari tugas mereka yang sesungguhnya berkat kosongnya kepemimpinan revolusioner, energi massa semakin terkuras habis. Seiring surutnya gerakan, pemerintahan borjuis yang baru akan dibentuk, dengan atau tanpa Rajapaksa, yang tidak mengubah esensi dari rejim ini selain kemasannya. Tidak hanya itu. Kelas penguasa yang sempat gemetaran ketakutan akan meluncurkan balas dendamnya, dengan meluncurkan represi. Hukum-hukum darurat telah digunakan oleh rejim untuk menangkapi para aktivis.
Dengan demikian, barisan termaju dari gerakan revolusioner harus mengambil pelajaran dari kelemahan aksi saat ini: kepemimpinan revolusioner harus segera dibangun melalui partai revolusioner agar mampu mengorganisir aksi massa lepas dari sifat spontanitasnya. Partai ini tidak bisa dibangun justru saat revolusi bergulir. Ia harus disiapkan jauh hari. Partai ini harus dibangun dengan dasar Marxisme yang memperjuangkan revolusi buruh dan menolak semua usaha untuk mengalihkan revolusi ini menjadi semata reformasi. Tanpa adanya partai ini, gerakan massa akan tetap bersifat spontan, mencapai kebingungan pada titik tertentu dan kehilangan momentum, dan berakhir dengan demoralisasi.
Cepat atau lambat, Indonesia akan memasuki periode revolusioner yang serupa. Kita masih memiliki waktu untuk membangun partai revolusioner yang akan siap menyambut revolusi yang akan datang dan menggunakan kesempatan ini untuk melangkah lebih jauh lagi. Tetapi waktu ini terbatas, dan harus digunakan sebaik-baiknya untuk menimba pelajaran dan pengalaman kaum Bolshevik dalam memenangkan Revolusi Oktober. Bagi kaum revolusioner, tidak ada yang lebih urgen hari ini daripada tugas membangun Partai Bolshevik.