Kabar kenaikan harga BBM yang selama berminggu-minggu simpang siur akhirnya terkonfirmasi. Rakyat pekerja dihajar dengan kenaikan BBM yang bukan main-main, sebesar 30 persen. Diumumkan pada hari Sabtu kemarin, harga bensin naik dari Rp 7.650 menjadi Rp 10.000 per liter, dan solar dari Rp 5.150 menjadi Rp 6.800 per liter. Berita kenaikan ini segera disambut dengan aksi massa yang semakin hari semakin meluas. Ribuan massa di berbagai kota turun ke jalan, dan di beberapa kota aksi demonstrasi diwarnai kericuhan. Media sosial penuh dengan hujatan kegeraman terhadap pemerintahan Jokowi dan kebijakannya. Gemuruh perjuangan kelas menjadi semakin keras gaungnya.
Di Jakarta, ribuan mahasiswa dan buruh melakukan aksi di berbagai titik. Mereka telah bertahan selama berhari-hari. Barikade kawat berduri yang dipasang oleh ribuan polisi yang berjaga di Patung Kuda diterobos oleh massa, yang lalu berbenturan, dorong-dorongan, dengan polisi.
Demo di Palembang ricuh ketika massa buruh dan mahasiswa berusaha memasuki gedung DPRD. Watercannon dan gas air mata dilepaskan oleh polisi untuk membubarkan massa, dengan sejumlah mahasiswa yang dianggap “provokator” ditangkapi. Di lain tempat di Palembang, massa sempat menghadang iring-iringan mobil Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin. Mobil Wapres hampir saja tidak lolos dari amukan massa bila tidak dibantu oleh polisi yang menahan massa.
Di Semarang, sebanyak 1,500 massa turun ke jalan dan melakukan konvoi ke kantor gubernur Jawa Tengah. Walaupun menyebabkan tersendatnya arus lalu lintas, konvoi massa ini disambut dengan penuh dukungan oleh warga setempat. “Saya dukung [demo ini], harga BBM mahal sekarang, Kalau seperti ini terus pengeluaran dan pemasukan tak imbang. Gaji tetap sama tapi kebutuhan pokok naik semua,” kata seorang pekerja yang diwawancarai.
Di Serang, Banten, buruh dan mahasiswa dalam jumlah ratusan memblokade jalan dan berupaya menduduki SPBU, sebelum dibubarkan oleh polisi. Di Solo, ribuan massa melakukan aksi di depan kantor DPRD, dengan jumlah yang begitu besar hingga meluber dan menutup akses Jalan Adi Sucipto. Di Bogor, ribuan massa yang marah mendobrak gerbang kantor DPRD dan bentrok dengan polisi. Di Tasikmalaya, massa demonstran setelah bentrok dengan polisi berhasil menyeruak masuk ke gedung DPRD dan mengangkut keluar 45 kursi anggota DPRD. “Ini adalah simbol ketidakpercayaan kami terhadap anggota DPRD karena gagal memperjuangkan aspirasi rakyat,” kata Sadid Farhan koordinator aksi di Tasikmalaya.
Demikian sedikit gambaran dari aksi-aksi massa yang meledak hampir secara bersamaan di banyak kota. Berbagai organisasi perlawanan terbentuk secara spontan oleh elemen-elemen mahasiswa, buruh, serta tani. Berdiri di garis depan aksi penolakan kenaikan BBM ini adalah kaum muda, yang merupakan testimoni bagaimana krisis kapitalisme ini pertama-tama dan terutama meradikalisasi anak-anak muda.
Aksi menolak kenaikan BBM ini rencananya masih akan terus dilanjutkan minggu depan. Di Jakarta, hari Senin ini berbagai organisasi buruh dan mahasiswa akan turun ke jalan kembali dengan mobilisasi massa yang bahkan lebih besar dibandingkan minggu lalu. Eskalasi aksi semakin hari semakin menajam.
Sejak kenaikan harga migas yang dipicu oleh perang Ukraina, pemerintah telah kewalahan dengan anggaran subsidi BBM yang membengkak. Ini juga diperparah dengan melemahnya nilai mata uang Rupiah. Anggaran subsidi tahun ini telah melonjak sampai lebih dari Rp 500 triliun, dari yang awalnya dianggarkan sebesar Rp 152,5 triliun. Ini telah menciptakan defisit yang mengancam kredibilitas finans negara di mata kreditor, yang beresiko memperburuk kredit rating pemerintah. Bagi kreditor, yang meminjamkan uang ke pemerintah, defisit yang diciptakan oleh subsidi untuk rakyat bukanlah investasi yang “bijak”. Memberi makan orang miskin tidaklah menciptakan profit. Kreditor dan investor hanya akan memberikan hutang dengan jaminan bahwa hutang ini digunakan untuk memperbesar arus profit bagi kapitalis.
Lembaga rating kredit internasional Fitch dalam analisisnya mengenai Indonesia pada Juni 2022 memberi Indonesia rating BBB (kualitas kredit medium), dengan sejumlah catatan. Indonesia dinilai memiliki “beban subsidi yang tinggi”, terutama dari “peningkatan subsidi yang signifikan untuk melindungi rumah tangga dari harga minyak dan pangan dunia yang tinggi, yang memungkinkan harga-harga dari kebanyakan bahan bakar minyak bersubsidi tidak berubah.” Yang dimaksud di sini, untuk mempertahankan atau memperbaiki kredit rating Indonesia, pemerintah harus memangkas subsidi sosial karena ini tidaklah memberikan profit bagi kapitalis. Dari sudut pandang pemerintah, dengan kredit rating yang baik investor dan kreditor akan memberikan pinjaman yang lebih besar dengan bunga yang lebih rendah. Oleh karenanya, pemerintah harus menciptakan iklim investasi yang baik: UU perburuhan yang pro-kapital, pelonggaran UU perlindungan lingkungan hidup, serta kebijakan fiskal negara yang “bijak”, dalam kata lain pemangkasan subsidi untuk rakyat pekerja. Sebaliknya, bila defisit anggaran ini berurusan dengan pembangunan infrastruktur demi kelancaran bisnis atau stimulus untuk korporasi, ini adalah penggunaan uang negara yang lebih “bijak”.
Pemerintah berdalih bahwa kenaikan harga BBM ini dilakukan untuk memperbaiki mekanisme subsidi yang salah sasaran. Dengan berbagai ilmu statistik yang magis, rakyat diberitahu bahwa subsidi BBM ini kebanyakan dinikmati oleh orang kaya. Jokowi menyebut, 70 persen subsidi BBM dinikmati orang yang mampu. Angka ini terus disiarkan oleh politisi, pengamat ekonomi, dan media dengan begitu giatnya. Media yang tugasnya memeriksa kebenaran tidak pernah bertanya kepada pemerintah barang sekalipun dari mana pemerintah tiba pada angka 70 persen tersebut. Hanya Jokowi, Puan, dan Tuhan yang tampaknya tahu bagaimana angka 70 persen itu muncul. Memang benar apa yang dikatakan Mark Twain: There are three kinds of lies: lies, damned lies, and statistics. Ada tiga macam kebohongan: bohong, bohong besar, dan statistik.
Selain itu, menurut pemerintah, kriteria orang miskin adalah warga dengan pendapatan per bulan Rp 505 ribu. Rakyat pekerja yang berupah di atas itu dianggap “mampu”, dan mungkin saja dianggap “kaya”. Dengan kriteria kemiskinan yang dipatok begitu rendah, tidak heran bila pemerintah mengatakan subsidi BBM dinikmati oleh orang yang “mampu”.
Statistik pemerintah dikemas seapik apapun tidak akan bisa mengubah realitas yang dihadapi oleh rakyat pekerja, yang tahu betul tebal tipisnya dompet mereka. Hasil survei oleh Indikator Politik Indonesia memperlihatkan, 78,7 persen penduduk menolak kenaikan BBM. Taraf hidup rakyat pekerja yang sudah dihantam sebelumnya oleh krisis pandemi, yang lalu disusul oleh krisis inflasi, kini diperparah dengan kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM ini diperkirakan akan memperparah inflasi yang sudah terus menanjak sejak awal tahun ini. Menurut Kementerian Keuangan, kenaikan harga BBM dihitung akan berkontribusi 1,9 persen terhadap inflasi. Diperkirakan inflasi hingga akhir 2022 akan mencapai 6,8 persen. Ini adalah resep untuk menajamnya perjuangan kelas.
Untuk meredam keresahan rakyat, selain mengerahkan puluhan ribu pasukan pengamanan di berbagai kota, pemerintah juga telah mengumumkan peningkatan bantuan langsung tunai untuk warga miskin. Ini adalah taktik klasik penguasa, tongkat dan wortel. Ini mungkin saja berhasil bila digunakan selama periode normal, tetapi periode yang kita masuki hari ini jauh dari periode normal. Krisis kapitalisme hari ini tidaklah seperti krisis sebelumnya. Ini adalah krisis dari sebuah sistem yang sudah sekarat dan di penghujung hidupnya, tetapi menolak mati. Massa rakyat pekerja secara luas sudah mulai terbangun dari tidurnya yang lama, dan mulai bangkit melawan status quo. Walaupun masih dipenuhi dengan kenaifan, yang bersumber dari kurangnya pengalaman mereka, tetapi mereka belajar dengan cepat.
Bila ada satu halangan yang mencegah massa pekerja untuk belajar dengan cepat dari pengalaman mereka, untuk bisa menarik kesimpulan revolusioner, ini adalah kepemimpinan mereka. Kepemimpinan serikat-serikat buruh tidak menunjukkan militansi dan keberanian yang setara dengan kegeraman rakyat pekerja. Mereka justru memoderasi tuntutan mereka. Ketua Partai Buruh dan Presiden KSPI Said Iqbal dalam aksi menolak kenaikan BBM menuntut DPR membentuk panitia kerja atau panitia khusus (pansus) untuk membahas polemik kenaikan BBM. “Aksi ini untuk menuntut pembentukan panja atau pansus BBM agar harga BBM diturunkan,” kata Iqbal. Yang dibutuhkan bukanlah pansus, yang biasanya dibentuk hanya untuk mengulur-ulur waktu guna mengempeskan militansi rakyat.
KSPI serta serikat-serikat buruh massa lainnya memiliki anggota jutaan buruh, tetapi sampai hari ini mereka hanya mampu memobilisasi massa dalam jumlah ribuan saja. Padahal, menurut berbagai survei, mayoritas rakyat pekerja menolak kenaikan harga BBM. Sementara, di berbagai kota, jelas yang ada di garis depan dan mengambil inisiasi dalam aksi adalah kaum muda dan mahasiswa. Walaupun mahasiswa telah menunjukkan inisiatif dan keberanian yang tauladan, gerakan mahasiswa saja tidak memadai. Mahasiswa tidak memiliki senjata seperti yang dimiliki kaum buruh, yaitu mogok. Mogok nasional satu hari oleh buruh memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan demo berhari-hari oleh mahasiswa.
Kenaikan harga BBM ini hanya bisa dipatahkan dengan aksi mogok nasional, yang tidak hanya melibatkan buruh terorganisir tetapi juga buruh tak-teorganisir. Inilah satu-satunya bahasa yang dipahami oleh kelas penguasa. Tetapi mogok nasional bukan sesuatu yang bisa diserukan begitu saja oleh kepemimpinan tanpa persiapan dan niat yang serius. Sejak mogok nasional 2012, kepemimpinan serikat buruh seperti Said Iqbal telah berulang kali mengancam mogok nasional, tetapi ancaman ini tidak pernah direalisasikan secara serius. Terakhir kali dalam melawan Omnibus Law, walaupun berulang kali mengancam mogok nasional, akhirnya jalan yang ditempuh oleh kepemimpinan serikat adalah judicial review dengan MK. Hasilnya nol besar. Omnibus Law masih berlaku sampai hari ini.
Massa buruh sudah tidak lagi percaya pada seruan mogok nasional yang diserukan oleh pemimpin mereka, apalagi kelas penguasa yang hanya tertawa ketika mendengar kata mogok nasional. Seperti yang diperkirakan, Said Iqbal kembali lagi mengeluarkan ancaman mogok nasional: “Bilamana pemerintah tetap tidak menurunkan BBM, Omnibus Law tetap disahkan, upah tidak naik, (maka) mogok nasional, stop produksi, lima juta buruh akan bergabung di dalam aksi ini,” jelasnya. Namun, massa buruh bukanlah keran air yang bisa dibuka tutup seenaknya. Mogok nasional bukan seperti menyalahkan bohlam lampu. Ini adalah prasangka birokrasi buruh, yang membayangkan bahwa mogok bisa dilakukan lewat surat instruksi. Apalagi setelah berulang kali kepemimpinan ini mengecewakan massa buruh, dan bertubi-tubi gerakan buruh mengalami kekalahan.
Gerakan menuju mogok nasional harus dipersiapkan, tetapi ini membutuhkan program eskalasi guna merenggangkan otot buruh. Ini tidak bisa dilakukan hanya lewat surat instruksi dari pimpinan. Program eskalasi bisa dimulai dengan menggelar rapat-rapat akbar di pabrik-pabrik guna memberikan kontrol demokratik dan inisiatif kembali kepada buruh dalam mengorganisir aksi. Rapat-rapat akbar ini juga perlu melibatkan buruh-buruh yang tidak terorganisir, serta lapisan rakyat pekerja lainnya, karena kenaikan harga BBM ini memukul seluruh rakyat pekerja. Dengan demikian, gerakan buruh bisa menghancurkan kerak-kerak birokrasi yang menghambatnya.
Di seluruh dunia, krisis kapitalisme telah mempertajam pertentangan kelas. Tidak terkecuali di Indonesia. Walaupun selama beberapa tahun terakhir segala sesuatu tampak stabil di permukaan, tetapi di bawah permukaan ada arus besar. Jokowi mungkin saja masih menikmati popularitas yang relatif tinggi, tetapi ini dapat dengan cepat berubah. Letupan-letupan aksi massa selama satu minggu terakhir telah menunjukkan adanya tekanan besar dari bawah, yang dengan cepat dapat menjadi ledakan besar. Bila kita ingin menang, semua ini harus diekspresikan dalam satu tindakan: mogok umum nasional!