Tragedi terjadi kembali di dunia sepak bola Indonesia setelah dua klub rival Arema vs Persebaya bertanding di Stadion Kanjuruhan Malang. Sejauh ini setidaknya ada 125 orang yang meninggal dan 323 luka-luka. Ini menjadi salah satu tragedi kerusuhan terbesar dalam sejarah dunia sepak bola. Pada kenyataannya, tidak ada tawuran antar suporter karena suporter Persebaya sudah tidak diperbolehkan menghadiri pertandingan. Yang bertanggung jawab atas jatuhnya korban ini adalah langkah-langkah pengamanan dari pihak polisi dan TNI yang brutal dan salah urus dari pihak penyelenggara, dari PSSI, LIB, sampai pemilik klub.
Pertandingan awalnya berjalan mulus. Setelah kekalahan klub Arema, suporter turun ke lapangan meluapkan kekecewaannya. Tapi seperti yang ditunjukkan dalam video-video singkat di banyak media sosial, aparat dengan brutal merepresi dan memukul suporter yang memasuki lapangan. Kondisi ini memicu kemarahan suporter lainnya sehingga bentrokan tidak dapat dihindari.
Menurut keterangan saksi, awalnya hanya enam orang yang masuk ke lapangan setelah peluit akhir pertandingan, tapi mereka langsung dicegat dan dipukuli aparat. Tidak terima kawan mereka dipukuli. Penonton di tribun 12 pun turun.
“Satu tribun itu nyorakin polisi karena ada penonton dipukul. Terus semakin banyak yang turun. Polisi yang bawa anjing, tameng, dan ada tentara maju ngelawan. Aremania sempat mundur, tapi ada beberapa yang ketinggalan dikepung polisi, diinjak dan dijambak,” ujar Dipo, seorang suporter Arema.
Kondisi menjadi semakin memanas dan tak terkendali ketika aparat mulai menembakkan gas air mata ke tengah-tengah tribun stadion. Ini memicu kepanikan suporter yang lain untuk keluar dari stadion. Banyak suporter terinjak-injak dan berdesak-desakan di tengah kepulan gas air mata. Banyak ibu-ibu dan anak-anak terjebak dalam kerumunan dan sebagian dari mereka mati karena tidak bisa bernafas.
“Saya lihat ada banyak orang terinjak-injak, saat suporter berlarian akibat tembakan gas air mata,” ujar Dwi, salah satu penonton yang ada di tempat kejadian.
“Kami berdua terinjak-injak oleh supporter lain saat semuanya sama-sama berebut keluar dari stadion. Saat itu, kami tidak ikut turun ke lapangan, tapi hanya diam di tribun. Namun, situasi mendadak berubah setelah ada tembakan gas air mata ke arah tempat duduk kami, sehingga semua orang berebut keluar dari Stadion Kanjuruhan. Beruntung kami masih bisa keluar dan masih hidup saat ini. Sebab banyak suporter lain yang tewas akibat tragedi itu,” jelas Gafandra, salah satu suporter Arema yang selamat.
Dalam aturan FIFA penggunaan gas air mata sangat dilarang dalam proses pengamanan kericuhan di stadion karena bisa mengakibatkan sesak napas dan berujung pada kematian. Tapi polisi mengatakan itu sudah sesuai prosedur. Memang, cara brutal dalam menghadapi massa merupakan prosedur umum bagi polisi, terlepas ada aturan yang melarang. Aturan tidak menghalangi polisi melakukan hal-hal di luar batas kewajaran atas nama prosedur pengamanan. Brutalitas aparat, baik polisi dan TNI, dipertontonkan sangat menjijikkan. Inilah yang membawa banyak korban kematian.
Ketika Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan mengatakan bahwa polisi harus mengusut tuntas peristiwa ini, sebaiknya mereka harus berkaca. PSSI juga bertanggungjawab atas tragedi ini karena membiarkan pertandingan dua rival klub bola yang tensinya tinggi ini berlangsung tanpa ada pembatasan jumlah penonton. Pihak penyelenggara dilaporkan menjual 42 ribu tiket dari 38 ribu yang seharusnya bisa ditampung stadion. Penjualan tiket dijadikan sarana mencari keuntungan tanpa memikirkan keamanan dan keselamatan penonton. Pada akhirnya suporter yang dikorbankan dalam bisnis sepak bola ini.
Selain itu, pertandingan bertensi tinggi ini tidak seharusnya diadakan di malam hari. Tetapi, demi rating TV yang lebih tinggi, yang akan membawa pemasukan iklan yang lebih besar, PSSI dan Liga Indonesia Baru memaksa agar pertandingan dilakukan larut malam hari pukul 20.00 WIB. Padahal, banyak organisasi suporter dan pengamat sepak bola yang sejak lama telah mempersoalkan pertandingan malam hari karena alasan keamanan.
Sepak bola merupakan salah satu hiburan populer bagi rakyat pekerja. Setelah letih bekerja 8-12 jam setiap harinya, menjual diri mereka demi profit kapitalis, menonton bola di depan TV bersama keluarga dan tetangga adalah pelipur lara mereka dari kesengsaraan hidup di bawah kapitalisme. Menjadi bagian dari komunitas supporter bola adalah respons terhadap keterasingan kelas buruh dalam masyarakat kapitalis. Dari komunitas bola, dengan persahabatan dan loyalitas yang terbentuk seputar tim bola, orang menemukan makna dalam hidup mereka, yang melampaui pengejaran uang yang hampa. Namun, pengejaran makna hidup lewat komunitas sepak bola ini niscaya terdistorsi di bawah kapitalisme. Sepak bola dijadikan komoditas, dan merupakan bisnis yang sangat menguntungkan. Fanatisme suporter bola dalam rivalitas antar klub disemai oleh kapitalis sepak bola demi kepentingan bisnis. Fanatisme sepak bola bahkan hampir menyaingi fanatisme agama. Di Indonesia, dan di banyak negeri lainnya, inilah mengapa kita saksikan hooliganisme dalam sepak bola.
Ketika presiden menyerukan evaluasi menyeluruh setelah kejadian ini usai, kita patut meragukannya. Siapa yang dievaluasi dan yang mengevaluasi? Ketika mereka yang seharusnya bertanggungjawab atas tragedi ini saling tuding menuding, kita tidak dapat menemukan jawaban tersebut. Baik PSSI, aparat polisi dan TNI sama saja. Mereka punya seribu satu alasan untuk menimpakan kesalahan pada suporter yang ‘anarkis’ dan ‘tidak beradab’. Tapi kesalahan sepenuhnya ada pada mereka. Mereka semua mendapatkan uang dari sepak bola, tetapi menyalahkan semua masalah ini pada suporter.
Bagaimana pun dalam kapitalisme sepak bola saat ini tak ubahnya seperti bisnis. Mereka menjual ketegangan dan rivalitas klub untuk meraup keuntungan. Fanatisme klub yang selama ini telah disemai oleh para kapitalis bola tidak pernah diimbangi dengan prestasi yang membanggakan. Banyak suporter kecewa atas kekalahan klub mereka sendiri karena suara-suara mereka tidak pernah didengarkan. Suara-suara itu jatuh ke telinga yang tuli. Petinggi sepak bola berorientasi pada profit bukan pada kemajuan sepak bola itu sendiri. Inilah yang sering kali menyulut kemarahan suporter sepak bola di stadion.
Selain itu, semua lembaga olahraga sepak bola terkenal begitu korup sampai ke akar-akarnya. Korupsi dan skandal pengaturan skor merupakan lazim terjadi. PSSI terbukti sebagai lembaga yang sangat korup. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan, dugaan korupsi di PSSI setiap tahunnya mencapai Rp 720 milyar. Seperti yang dikatakan pesepak bola asal Belanda, Kristian Adelmund yang pernah bermain di klub PSS Sleman dan Persela Lamongan, “Saya pernah melihat bos lawan datang ke ruang ganti wasit dengan membawa pistol, Anda tak perlu heran dengan hal seperti itu di Indonesia.”
Tetapi, petinggi PSSI hanya belajar dari petinggi FIFA. Badan sepak bola dunia ini adalah sarang penyamun dan koruptor. Skandal demi skandal telah mengguncang FIFA, dengan skandal suap Piala Dunia 2018 dan 2022 belum lama ini, dimana sejumlah petinggi FIFA menerima suap jutaan dolar untuk memenangkan Qatar dan Rusia. Ini tidak mengherankan. FIFA menaungi sebuah industri global dengan pangsa pasar ratusan miliar dolar. Di mana ada uang, maka ada permainan kotor juga. Demikianlah kapitalisme berfungsi.
Pada akhirnya tragedi Kanjuruhan hanyalah gejala dari kebusukan persepakbolaan kita. Kita tidak pernah memiliki sepak bola karena itu semua dimiliki dan dikontrol oleh mereka-mereka yang berkuasa. Suporter hanya jadi konsumen semata. Kesetiaan mereka diperjual belikan demi profit. Bagaimana bisa kita berbicara kemajuan sepak bola sedangkan korupsi menjamur di mana-mana. Untuk mengakhiri semua kebobrokan ini kita perlu menendang keluar motif profit dalam sepak bola kita. Ini berarti menyingkirkan kapitalisme dalam masyarakat kita.