Hanya dalam waktu 44 hari, Liz Truss yang baru saja terpilih sebagai Perdana Menteri Inggris terpaksa melayangkan surat pengunduran diri. Dia menjadi Perdana Menteri dengan masa jabatan terpendek dalam sejarah Inggris. Inggris telah menjadi negeri yang paling tidak stabil hari ini, secara ekonomi maupun politik. Drama politik terbaru ini tidak lain merupakan cerminan setia dari kemunduran historis kapitalisme Inggris.
Inggris dikenal sebagai negeri kapitalis modern pertama dalam sejarah. Ada masanya ketika kekaisaran Inggris membentang dari satu ujung bumi ke ujung lainnya. Matahari tidak pernah terbenam di Inggris. Inggris adalah pabriknya dunia. Di pulau kecil ini terpusat kekuatan industri terbesar di dunia. Basis industri inilah yang membuatnya menjadi kekuatan adidaya.
Tetapi sejak Perang Dunia Pertama, posisi dominan Inggris mulai tergeser oleh kekuatan-kekuatan kapitalis lain. Jerman di Eropa, Amerika Serikat di seberang lautan Atlantik, dan Jepang di Timur sana, semua mulai menantang dominasi industri Inggris. Usai Perang Dunia Kedua, Inggris sudah dijungkalkan dari takhtanya.
Kapitalisme Inggris pasca PD II terus mengalami kemunduran setahap demi setahap. Basis industrinya sudah tua dan tidak mampu bersaing di pasar dunia. Kapitalisnya mulai enggan melakukan investasi produktif ke pabrik-pabriknya guna meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Alih-alih mereka memilih menekan upah buruh dan kondisi kerja untuk memeras lebih banyak profit. Dari 1971, industri manufaktur menyusut dari 28,4 persen GDP menjadi 23,1 persen pada 1989, dan terus menurun hingga hanya 9 persen pada 2020.
Di era kapitalisme finansial, kapitalis Inggris memilih untuk melemparkan dirinya ke sektor finansial. Terutama di bawah Margaret Thatcher, basis manufaktur dihancurkan. Kebijakan Big Bang diluncurkan olehnya, dengan deregulasi bank, institusi finansial dan investasi. Perekonomian Inggris digeser dengan pesat ke ekonomi rentenir yang parasitik. London menjadi salah satu pusat industri finansial dunia.
Kelas penguasa Inggris awalnya melihat pergeseran ekonomi dari industri manufaktur ke industri finansial ini sebagai kemenangan bagi mereka. Kapitalis tidak perlu lagi mengotorkan tangan mereka di pabrik, walaupun sesungguhnya mereka juga tidak pernah memegang alat apapun di pabrik. Kini jauh dari pabrik, duduk nyaman di gedung-gedung pencakar langit, di gedung bursa saham, mereka bisa meraup profit dengan berperan sebagai orang tengah dan penjudi. Mereka menarik sewa, bunga dan komisi dari nilai yang tercipta oleh produksi komoditas yang berlangsung di tempat yang jauh darinya. Inilah surga bagi setiap kapitalis, yang secara harfiah membuat uang dari uang.
Tetapi semua ini hanya menunjukkan satu hal, kapitalisme sudah tidak lagi progresif. Mereka tidak lagi tertarik dalam meningkatkan produktivitas kerja. Di era kapitalisme finansial, kapitalis lebih tertarik membuat profit dengan segera tanpa harus terlibat dalam produksi. Krisis kapitalisme Inggris hari ini hanya menunjukkan kebusukan ini dengan lebih mencolok.
Untuk meningkatkan profit mereka, kapitalis umumnya memiliki dua cara: melakukan investasi yang lalu meningkatkan efisiensi produksi mereka, atau menekan upah buruh. Kapitalis Inggris telah lama mencampakkan cara yang pertama. Mereka justru telah menjadi kaum Luddite, yang memereteli basis industri mereka. Oleh karenanya hanya cara kedua yang tersisa bagi mereka. Taraf hidup buruh terus digerus. Serikat buruh diremukkan, terutama di bawah rejim Margaret Thatcher. Kaum reformis kanan (kaum Blairite) yang mendominasi Partai Buruh tidaklah membantu, dan justru memperparah situasi gerakan buruh dengan kebijakan pro-pasar dan kolaborasi kelas mereka. Sistem kerja kontrak pendek, kerja tidak-pasti, ekonomi gig, semua ini menjadi realitas sehari-hari bagi kelas buruh Inggris.
Tetapi bila kita menekan upah buruh sampai begitu rendahnya, lalu siapa yang mampu membeli semua komoditas di pasar? Inilah kontradiksi kapitalisme yang secara periodik menghasilkan krisis overproduksi. Terlalu banyak produk di pasar, tetapi tidak ada pembeli. Untuk menyelesaikan problem ini, kapitalis menemukan solusi ajaib: kredit atau hutang. Deregulasi finansial memberi dorongan besar bagi ledakan kredit. Menjamurnya hutang, kartu kredit, dan kredit rumah memungkinkan buruh terus mempertahankan kekuatan konsumsinya di tengah erosi upahnya. Dalam kata lain, kapitalis bisa terus menjual komoditas mereka kepada buruh, dan dengan demikian mencegah krisis overproduksi, sementara kapitalis finansial meraup profit besar dari bunga yang mereka dapat dari hutang yang terus membengkak. Semua tampaknya jadi pemenang. Kapitalis bersorak-sorai, sampai pada saat semua ini berbalik menjadi faktor yang menyeret perekonomian Inggris ke jurang. Pada 1987, hutang rumah tangga Inggris telah mencapai 55% GDP, dan ini melejit menjadi 105% GDP pada 2009. Intinya, hutang pada akhirnya harus dibayar.
Liz Truss dalam masa jabatannya yang pendek ini mencoba menghidupkan kembali perekonomian Inggris yang terseok-seok. Dia luncurkan paket ekonominya yang bernama Trussonomics. Pasar dengan segera menolak kebijakan ekonominya, yang dianggap sembrono dan utopis, dan secara efektif melengserkan Truss. Fakta ini membongkar ilusi demokrasi dalam sistem kapitalisme. Sesungguhnya rakyat tidak punya hak pilih. Yang menentukan pada akhirnya adalah pasar.
Masalahnya sekarang, siapa pun yang akan menggantikan Truss nantinya akan menghadapi masalah yang sama. Liz Truss memang adalah pemimpin yang tidak kompeten, tetapi di tengah krisis kapitalisme yang mendalam seperti ini semua politisi telah menjadi tidak kompeten karena mereka dihadapkan dengan kontradiksi kapitalisme yang tak tertanggungkan. Pertikaian tajam di Partai Konservatif merupakan refleksi dari degenerasi keseluruhan sistem kapitalisme Inggris. Tidak peduli siapa yang menggantikan Liz Truss, pemerintah akan terus meluncurkan serangan terhadap taraf hidup kelas buruh. Bahkan bila Partai Buruh berkuasa, selama para pemimpin reformis tidak berniat melawan kapitalisme, mereka pada akhirnya akan memerintah demi keberlangsungan kapitalisme, yang berarti menyerang kelas buruh.
Di tengah kemelut politik ini, kelas buruh Inggris sudah mulai bangkit. Ada gelombang pemogokan yang sudah dimulai. Buruh kereta api, pelabuhan, dan pekerja pos sudah beraksi. Pekerja kesehatan dan guru, di antara lainnya, sudah mulai bergerak pula. Kelas buruh tidak akan tinggal diam ketika inflasi dan kebijakan penghematan terus menggerus taraf hidup mereka. Inilah yang juga membuat kelas penguasa serta perwakilan politik mereka cemas. Bentrokan kelas yang tajam sedang dipersiapkan, dan kaum revolusioner harus siap. Ini bukan sesuatu yang unik di Inggris saja. Di mana-mana ada gejolak revolusioner yang tengah mengumpul di bawah permukaan, yang kapan pun siap meledak.