Depo Pertamina terbesar di wilayah Plumpang, Jakarta Utara terbakar. Jumlah korban tewas mencapai 19 orang dan 51 lainnya luka-luka. Luas area yang terbakar mencapai 1,5 hektar. Kecelakaan ini menyebabkan lebih dari 500 warga di wilayah tersebut harus mengungsi.
Dalam video yang diunggah di media sosial ada ledakan besar menyerupai ledakan sebuah bom. Pemukiman warga di sekitar depo rata terbakar. Pemandangan ini lebih menyerupai efek perang daripada sebuah kebakaran. Ini adalah peristiwa kebakaran depo paling tragis dari yang pernah ada. Pengaturan wilayah yang kacau balau dan carut marut politik Jakarta membuat kecelakaan ini menjadi tragedi.
Tidak ingin kejadian ini mengekspos kredibilitas pemerintah yang selama ini sudah runtuh, kepolisian dan pejabat Pertamina berusaha meyakinkan publik bahwa kita harus berfokus pada korban alih-alih mencari sumber masalah dari kecelakaan ini. Kita diberitahu supaya kita harus prihatin pada korban, padahal mereka lah yang seharusnya bertanggung jawab atas tragedi ini. Wapres Ma’ruf Amin mengatakan: “Sabar ya, ini semua musibah. Semoga ini tidak terlalu lama.” Ini sungguh tontonan yang memuakkan.
Depo Pertamina di wilayah Plumpang merupakan terminal BBM terpenting di Indonesia. Terminal ini menyuplai 20 persen kebutuhan harian BBM di Indonesia. Depo ini memiliki kapasitas sebesar 291.889 kiloliter. Sementara sumber api kebakaran belum diketahui dengan jelas, tapi banyaknya korban dari peristiwa ini jelas diakibatkan oleh dekatnya Depo Pertamina dengan pemukiman penduduk. Banyaknya korban seharusnya dapat dicegah, bila aturan radius jarak aman depo dengan pemukiman warga tidak diabaikan.
Menurut ketentuan radius jarak aman antara Kawasan Terminal Bahan Bakar Minyak dan pemukiman penduduk adalah 500 meter sampai 1 kilometer. Tapi di lapangan menunjukkan bahwa jarak Depo dengan pemukiman warga sangatlah dekat. Bahkan bila dilihat titik ledakan dengan pemukiman warga hanya terpaut 3 meter.
Wilayah Tanah Merah Plumpang merupakan lahan sengketa. Luas wilayah ini mencapai 160 hektar. Semenjak 1970an Pertamina menempati sebagian kecil wilayah tersebut. Menurut keterangan warga, pada 1992 Pertamina mengklaim Tanah Merah sebagai wilayah yang mereka miliki. Penggusuran pun mulai dilakukan Pertamina dan kemudian mendapat perlawanan dari penduduk. Akhirnya setelah melewati proses persidangan di pengadilan, warga memenangkan persengketaan dan mendapatkan ganti rugi.
Namun masalahnya tidak berhenti di situ. Semakin hari lahan Pertamina semakin luas. Dan pada 2012 Depo Pertamina yang mulanya 4,8 hektar, tiba-tiba bertambah menjadi 15 hektar. BPN mengatakan bahwa lahan ini masih diidentifikasi mana yang milik penduduk dan mana milik Pertamina serta pihak swasta. Sengketa lahan yang masih berlangsung tersebut membuat warga tetap bertahan di wilayah tersebut. Kondisi inilah yang membuat Depo Pertamina dan pemukiman padat penduduk berdekatan.
Sengketa lahan ini tidak luput dari bahan kampanye Pilgub 2017. Anies Baswedan sebagai Cagub DKI Jakarta saat itu sempat menjanjikan kepada warga Tanah Merah akan mendapatkan sertifikat rumahnya. Di beberapa media sosial tersebar secarik kertas “kontrak politik” antara Anies Baswedan dengan warga Tanah Merah. Dalam kontrak politik tersebut Anies Baswedan menjanjikan bahwa ketika terpilih, dia akan memberikan hak dan perlindungan bagi warga Tanah Merah.
Akhirnya setelah Anies Baswedan terpilih, pada 2021 dia menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sementara kawasan kepada warga Tanah Merah. IMB tersebut berlaku dalam satu kawasan. Seharusnya aturan IMB hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki sertifikat tanah. Tapi pada kasus ini IMB terbit di atas tanah yang masih sengketa. Ini adalah pertama kalinya aturan IMB bisa diotak-atik sesuai kepentingan politik. Tetapi IMB sementara ini pun bukan solusi nyata yang permanen, karena hanya berlaku 3 tahun, dan dengan demikian hanya menunda masalah sengketa tanah ini selama masa jabatan Anies.
Seharusnya, bila mereka serius menjadikan keamanan rakyat sebagai hal utama dan bukan sebagai lahan kapital politik, masalah sengketa lahan ini bisa diselesaikan dengan mudah. Badan-badan pemerintahan yang berurusan dalam hal ini seperti, Badan Pertanahan Nasional maupun Dinas Tata Ruang dan Pekerjaan Umum harusnya memiliki semua data-data yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah ini. Bila memang pemerintah peduli dengan rakyat, maka sedari dulu warga Tanah Merah sudah seharusnya diberikan tidak hanya IMB sementara tetapi juga sertifikat tanah. Pemerintah punya kuasa untuk membebaskan lahan milik Pertamina untuk diserahkan kepada rakyat yang membutuhkan pemukiman yang pasti, agar nasibnya tidak terkatung-katung.
Bila memang warga harus direlokasi demi keamanan dari ancaman kebakaran, maka proses relokasi ini harus menjamin agar warga tetap terhubungkan dengan komunitas yang telah mereka bangun selama puluhan tahun dan juga menjamin mata pencaharian mereka. Banyak warga yang menolak relokasi karena mereka sudah puluhan tahun tinggal di sana, membangun komunitas mereka dan juga mata pencaharian mereka di sana. Tetapi pemerintah yang angkuh biasanya melihat relokasi seperti menggiring ternak saja. Tidak heran kalau rakyat menolak direlokasi karena mereka tidak percaya pada pemerintah sama sekali.
Pada akhirnya, kelas penguasa tidak mau susah payah mengurusi masalah dasar rakyatnya. Mereka hanya peduli dengan kepentingan sempit mereka sendiri.
Sampai sekarang masalah sengketa ini terus bergulir. BPN dan badan-badan pemerintah yang bertanggung jawab belum memberikan kepastian akan nasib warga. Warga Tanah Merah sebagian masih terkatung-katung di barak-barak pengungsian. Semua politisi borjuis dan badan-badan pemerintahan yang ada tidak memiliki minat untuk menjaga dan memberikan keamanan tempat tinggal bagi rakyatnya. Jokowi dan semua pejabat hari ini berjanji akan mencari solusi bagi warga. Tetapi setelah berita kebakaran ini menghilang dari layar televisi, janji hanya akan tinggal janji. Dari peristiwa kebakaran ini mengungkapkan satu hal: kebusukan para politisi borjuis serta badan-badan pemerintahan dan negara!