Di masa kemunduran sistem kapitalisme hari ini, kita menyaksikan realitas politik yang membusuk, ekonomi buruk, serta krisis iklim yang nyata setiap saat di mana-mana. Keadaan ini mempunyai efek domino terhadap segala sendi kehidupan sosial lainnya. Semua itu terkonversi menjadi faktor-faktor penyebab semakin memburuknya kesehatan mental dalam masyarakat. Sejumlah besar populasi manusia terperosok ke dalam krisis kesehatan mental. Problem kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, menyakiti diri sendiri, hingga perilaku bunuh diri semakin marak terjadi.
Lebih dari 700.000 orang di dunia meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya. Bunuh diri adalah penyebab kematian terbesar keempat pada kelompok usia 15-29 tahun. Sebagian besar terjadi di daerah pertanian pedesaan di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. 70 persen kasus bunuh diri global terjadi di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah.
Belum lama ini mahasiswa ditemukan tewas bunuh diri loncat dari atas gedung lantai 12 di Universitas Brawijaya Malang. Belum lagi dalam dua bulan terakhir di NTT (Nusa Tenggara Timur), terhitung telah terjadi 3 peristiwa bunuh diri yang dilakukan mahasiswa dari tiga perguruan tinggi yang berbeda. Dua orang gantung diri dan satunya melompat ke jurang.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi prevalensi bunuh diri di Indonesia mencapai 2,6 per 100.000 penduduk setiap tahun. Tren angka kasusnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut Databoks, hingga Oktober 2023 kasus bunuh diri di Indonesia telah mencapai 971 kasus. Ini mengalami peningkatan dibanding 2022 yang mencapai 900 kasus. Dalam sebuah studi terbaru, secara keseluruhan populasi risiko tertinggi bunuh diri ada pada kategori lansia. Sementara risiko bunuh diri di bawah usia 60 tahun angka tertinggi ada pada rentang usia 20-29 tahun.
Ada tekanan besar yang dialami seseorang ketika remaja dan lansia. Faktor tekanan ekonomi dan sosial menjadi salah satu faktor yang banyak mendorong seseorang menyakiti diri sendiri bahkan sampai bunuh diri. Depresi dan kesehatan mental masih menjadi stigma di masyarakat. Inilah mengapa banyak kasus bunuh diri di Indonesia banyak yang tidak tercatat.
Bahkan sebuah studi mengatakan bahwa angka bunuh diri di Indonesia empat kali lipat lebih tinggi dari data resmi pemerintah.
Korelasi Kemiskinan dan Perilaku Bunuh Diri
Saat ini kesenjangan antara kaya dan miskin semakin menganga lebar. Kondisi kemiskinan ini mendorong kaum miskin mengalami seluruh penyakit mental yang pernah diketahui. Sebuah hasil studi lintas institut dari 3 negara (Amerika, Jepang dan Korea selatan) menjelaskan, atribusi kemiskinan sangat berpengaruh atas faktor-faktor umum maupun khas terhadap perilaku bunuh diri.
Lantas dari mana datangnya kemiskinan? Harus disadari bahwa kita sedang hidup di bawah sistem kapitalisme, sebuah sistem yang hanya memusatkan kekayaan pada segelintir orang. Ada korelasi antara kemiskinan dan tekanan bunuh diri. Dalam dua kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri di NTT pada bulan November, sudah cukup jelas bahwa motifnya merupakan persoalan ekonomi. Demikian pula dengan 3 kasus lain di bulan sebelumnya. Terlepas dari banyaknya faktor penyebab perilaku bunuh diri pada masing-masing kasus, apabila ditelusuri lebih mendalam, ini selalu mengarah pada kondisi kemiskinan yang melekat pada subjek tersebut. Situasi kemiskinan yang dimaksud bukan hanya internal namun juga eksternal (lingkungan yang tidak ideal).
Salah satu contoh faktor perilaku bunuh diri yaitu kesehatan mental yang bermasalah. Manusia yang memiliki mental yang sehat atau tidaknya, sangat ditentukan oleh pola asuh dan asupan gizi sejak usia dini, remaja, hingga bertumbuh dewasa. Selain itu juga dibentuk oleh lingkungan sosial juga alam.
Realitas tatanan masyarakat kelas yang kini berlaku menunjukkan kaum buruh, tani dan kaum miskin lainnya tidak berada pada situasi yang ideal. Setiap saat, kelas pekerja selalu tertekan oleh kebutuhan ekonomi. Inilah yang menyebabkan mereka tidak punya cukup waktu dan sumber daya guna menyediakan pengasuhan yang baik serta gizi yang cukup bagi anak-anak mereka. Di samping itu, mereka sebagai orang tua itu sendiri rentan mengalami masalah kesehatan mental karena kondisi kerja yang buruk, serta keterasingan yang dialaminya.
Konsekuensinya adalah sulitnya support system dari lingkungan sosial yang dibutuhkan, untuk membentuk mental yang sehat hingga mencegah perilaku bunuh diri bagi kaum miskin. Sistem kapitalisme yang berlaku saat ini mengalienasi mayoritas manusia dari kerja itu sendiri, dari hasil kerjanya, dari dirinya sendiri dan dari sesamanya. Bahkan juga terasing dari lingkungan alam.
Kondisi kelas pekerja di atas berbeda dengan kelas kapitalis yang penuh dengan privilese. Fakta hari ini menunjukkan, hanya kelas kapitalis yang dapat menggaji pengasuh anak profesional dan menyediakan asupan gizi berkualitas bagi anak mereka. Tidak lupa pemukiman yang ideal pula untuk dihuni dan pemenuhan hal-hal ideal lainnya. Secara bersamaan mereka dapat mengejar impiannya ditopang waktu luang yang dimiliki serta sumber daya yang mereka kuasai. Sehingga kualitas hidup yang baik serta kebahagiaan merupakan hal mudah untuk diraih oleh kaum 1% ini.
Kekeliruan yang tersebar
Masalah kesehatan mental hingga perilaku bunuh diri tentu bukanlah sekadar masalah individu, melainkan sebuah tragedi sosial. Banyak akademisi menaruh perhatian terhadap permasalahan ini. Namun sering kali kita menemukan kekeliruan dalam argumentasi mereka untuk menyelesaikan masalah ini.
Menanggapi 3 kasus bunuh diri yang terjadi bulan Oktober di NTT, seorang dosen sosiologi Universitas Nusa Cendana (Undana) kepada Kompas mengatakan:
“Orang Tua dan lembaga agama harus menanamkan kepada setiap anak agar memiliki mimpi sukses yang luar biasa di masa depan. Mimpi sukses itu bakal menjadi pegangan anak untuk meraih cita-cita tersebut. Tentu didukung dengan bekerja rajin dan berdoa yang tekun.”
Dia menambahkan lagi:
“Dengan cara ini orang itu tidak mudah frustrasi atau stres jika menghadapi masalah. Ponsel pintar yang menyediakan semua informasi di dalam media sosial hanya sebagai sarana menuju sukses tersebut.”
Dari argumentasi tersebut sang akademisi ini beranggapan anak-anak yang mempunyai cita-cita tinggi serta rajin bekerja dan berdoa dapat terhindar dari gangguan mental hingga perilaku bunuh diri. Dengan demikian asumsi dasarnya adalah mereka yang memiliki masalah mental hingga korban perilaku bunuh diri tersebut disebabkan tidak memiliki cita-cita yang tinggi, malas bekerja serta malas berdoa dalam upaya untuk meraih cita-cita tersebut. Oleh karena itu solusi dari masalah ini adalah mengisi kekosongan cita-cita dalam diri setiap individu, dididik agar rajin bekerja dan berdoa. Lantas dia menyerahkan tugas ini hanya pada orang tua dan lembaga agama.
Dia mengabaikan aspek penentu lainnya dalam kehidupan tatanan masyarakat yang membentuk setiap individu. Misalnya aspek pendidikan formal. Model dari kebanyakan lembaga pendidikan yang saat ini berjalan di atas orientasi profit dan berlaku penyedia stok komoditas dunia persaingan pasar tenaga kerja. Nilai-nilai kompetitif selalu didoktrin berulang-ulang sehingga menimbulkan kecemasan bagi peserta didiknya. Pada akhirnya peserta didik mengalami frustrasi apabila tidak meraih standar tertentu. Selain itu dia pun tidak menyinggung mengenai kemiskinan yang dilestarikan. Padahal ini adalah aspek yang menjadi payung bagi segala faktor-faktor yang menjerumuskan ke perilaku bunuh diri.
Pernyataan sang dosen di atas sama kelirunya dengan pernyataan lain mengenai kesehatan mental yang termuat di Kompas. Berikut sebuah pernyataan dari seorang psikolog sekaligus akademisi yang dimaksud:
“Bahagia itu sebetulnya from the inside out (yang terpancar keluar dari dalam diri). Kalau kebahagiaan itu adalah sesuatu dari luar diri, maka kita akan frustasi (untuk mewujudkan kebahagiaan). Perbedaan kondisi sosial, ekonomi, pendidikan bisa menciptakan kesenjangan sehingga apa yang dianggap kebahagiaan jadi tidak bisa dicapai seseorang.”
Sang psikolog lebih mendorong agar setiap orang teruslah berpikir positif, banyak bersyukur, menerima diri dan mencari penghiburan subjektif. Namun anjuran seperti ini tidak akan membantu mereka-mereka yang terus hidup dalam tekanan ekonomi dan sosial yang sulit.
Demikian juga bagi kelas pekerja sebagai kaum yang teralienasi di bawah kapitalisme. Dengan upah yang rendah, tempat tinggal di pemukiman yang sempit dan kumuh, sanitasi buruk, minim air bersih, waktu luang yang sedikit dan faktor-faktor penunjang kualitas hidup layak lainnya yang sangat minim, kelas pekerja jauh dari kata bahagia. Nasehat sang psikolog tersebut mempunyai logika layaknya mitos burung unta membenamkan kepalanya dalam pasir untuk menghindar dari ancaman.
Ketika keadaan sosial di luar individu bermasalah, maka bisa menjadi penyebab masalah kesehatan mental bagi individu tersebut. Seharusnya keadaan itulah yang disasar untuk diubah. Sederhananya bukan persepsi individu terhadap keadaan yang direkayasa, namun keadaan sosial dan lingkungan alam yang sehat menjadi paling utama untuk diciptakan.
Bahkan penelitian menyebutkan bahwa kondisi alam juga berkontribusi pada kesehatan mentak seseorang. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Departemen Psikiatri Universitas Oxford mengungkapkan bahwa paparan polusi udara dapat menyebabkan depresi, kecemasan, psikosis, dan bahkan gangguan neuro kognitif seperti demensia. Persepsi positif seseorang tidak dapat memberi lapangan pekerjaan, tidak juga membuat dapur tiba-tiba mengepul, tidak juga bisa mengubah keadaan polusi udara sebagai penyebab kesehatan mental. Demikian juga persepsi positif tidak akan mengubah kandungan kimia dalam makanan ultra-proses yang telah diketahui dapat mengganggu kesehatan mental.
Kesamaan kedua pernyataan di atas adalah penekanan terhadap individu. Ini hanya akan membawa kita pada jalan buntu. Sebuah masalah sosial yang riil dan materiil direduksi menjadi masalah moril dan individual semata. Tak heran solusi yang ditawarkan jauh dari penyelesaian masalah hingga ke akarnya.
Solusi Sosialis
Keadaan mendesak dalam penanganan orang-orang yang rentan terhadap perilaku bunuh diri harus segera dihadirkan. Layanan psikiatri mesti diperluas. Namun sayangnya di Indonesia tenaga psikiater hanya berjumlah 1.200 orang. Ini berarti kurang lebih 1 psikiater menangani 227.000 orang berdasarkan jumlah seluruh populasi penduduk Indonesia. Pembahasan mengenai persoalan ini akan mengalir ke peran negara serta kekuatan anggaran untuk pembiayaannya. Lebih disayangkan lagi, APBN dan APBD sangat jauh dari kata cukup, untuk mengakomodir seluruh persoalan yang hari ini muncul.
Namun apakah kita hanya berkutat dengan pemikiran dan tindakan reaktif? Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penyakit ini bukan hanya disebabkan oleh patologi individu. Permasalahan ini adalah masalah sosial yang harus diselesaikan hingga ke akar penyebabnya. Persoalan ini mustahil akan teratasi jika sumber masalahnya tidak tersentuh. Layaknya mengobati penderita ISPA tanpa peduli dengan huniannya di pemukiman yang penuh polusi debu dan asap, begitu pun masalah kesehatan mental yang bermuara ke perilaku bunuh diri juga tidak terlepas dari memperbaiki kondisi lingkungan hidup kita.
Untuk membangun kondisi lingkungan sosial dan alam yang sehat, maka relasi produksi kapitalisme yang mengalienasi manusia juga harus diakhiri. Kepemilikan pribadi atas faktor-faktor produksi harus dihapus dan digantikan dengan kepemilikan bersama dan dikelola secara demokratis dan rasional oleh kelas pekerja, mulai dari produksi, distribusi hingga konsumsi. Ini akan mengakhiri kemiskinan dan pengangguran yang menjadi faktor utama memburuknya kesehatan mental. Singkatnya, sosialisme akan menghancurkan akar dari kecemasan akan dapur yang tidak mengepul, kekurangan beras, tekanan biaya pendidikan dan segala macam motif-motif yang mendorong manusia berperilaku bunuh diri.
Kapitalisme telah menciptakan segala horor tanpa akhir. Krisis demi krisis bermunculan. Kemiskinan, kelaparan, perang, polusi, iklim dan deretan panjang lainnya termasuk masalah yang dibahas ini telah tersebar dimana-mana. Horor ini harus segera diakhiri. Satu-satunya jalan keluar adalah sistem kapitalisme harus ditumbangkan dan digantikan dengan sosialisme.