Masa tenang pemilu dengan cepat dibuat tidak tenang dengan dirilisnya film Dirty Vote yang mengungkapkan sejumlah kecurangan dan keganjilan dalam pemilu tahun ini. Dalam waktu kurang dari satu hari saja, film yang diunggah di Youtube ini telah memperoleh lebih dari 10 juta kali. Disutradarai oleh sosok yang sudah begitu akrab dengan kontroversi dengan pemerintah, Dandhy Laksono, dan menghadirkan tiga pakar hukum tata negara, film ini mengekspos kemunafikan dari demokrasi borjuis yang ada. Tidak heran film ini mengundang banyak simpati dari rakyat yang memang sudah jenuh dengan tontonan karnaval 5 tahunan ini.
Sesungguhnya film ini tidak mengangkat satu pun fakta baru. Semua yang dipaparkan di film ini sudah menjadi berita hangat yang simpang siur selama setahun terakhir. Namun, film ini tampaknya mendulang kekuatan dampaknya dari momen rilisnya, yaitu pada masa tenang, yang memberi jeda bagi banyak orang untuk merenungkan lebih dalam — jauh dari bising kampanye yang memekakkan telinga dan menumpulkan nalar — seribu satu skandal yang telah dengan setia menemani pemilu tahun ini selama setahun terakhir, dan menarik benang merahnya. Tidak kalah pentingnya, fokus Dirty Vote pada paslon 02 juga membantu, karena tim sukses serta pendukung paslon 01 dan 03 jelas dengan gencar menggunakan film ini sebagai alat pukul yang efektif terhadap saingan utama mereka, yang membuat film ini semakin viral pula.
Ekspose yang dilakukan oleh Dirty Vote sebenarnya sangatlah tipikal atau lazim dari ekspose kaum liberal terhadap kebobrokan sistem politik dan ekonomi yang ada. Kaum liberal memiliki kemampuan luar biasa dalam mempresentasikan segala borok dan bisul sistem kapitalisme, tetapi kesimpulannya tanggung-tanggung. Ini karena premis mereka yang sedari awal keliru, yakni membayangkan bahwa kapitalisme dapat mewujudkan demokrasi yang seutuh-utuhnya untuk rakyat pekerja.
Sejak Revolusi 1998 yang mengakhiri rejim militer Orde Baru, pintu demokrasi terbuka lebar. Tetapi 25 tahun sejak itu, kita telah melihat dengan jelas batasan inheren dari demokrasi ini. Gerbang demokrasi yang telah didobrak paksa oleh massa — dan di sini poin kuncinya, demokrasi ini bukan diberikan oleh kelas penguasa tetapi direbut oleh massa — kini sudah mulai ditutup kembali. Namun yang menutupnya bukanlah moncong senjata tentara seperti masa Orba dulu, melainkan melalui mekanisme demokrasi borjuis itu sendiri.
Lenin menjelaskan dalam karya besarnya Negara dan Revolusi bahwa demokrasi borjuis “dalam praktiknya selalu tetap menjadi demokrasi untuk kelompok minoritas, hanya untuk kelas berpunya, hanya untuk kaum kaya.” Demikianlah yang terpampang khususnya selama pemilu, dan umumnya dalam kehidupan politik sehari-hari. Misalnya syarat verifikasi partai untuk bisa mengikuti pemilu yang disinggung oleh Dirty Vote. Syarat-syarat ini telah dibuat begitu sulit sehingga untuk bisa berlaga dalam pemilu orang jelas harus memiliki dana ratusan miliar rupiah. Tidak heran kalau sampai hari ini hanya kaum kaya yang bisa memiliki partai politik. Sudah jadi rahasia umum kalau untuk bisa memenangkan pemilu seorang caleg harus siap menggelontorkan miliaran rupiah. Uang-lah yang menentukan demokrasi. Bukan satu orang satu suara, tetapi satu rupiah satu suara.
Dirty Vote menunjukkan bagaimana politisi bisa mengakali UU pemilu dan membeli para petugas KPU dan Bawaslu. Yang tidak disebut secara eksplisit adalah dengan kekuatan apa mereka dapat melakukan ini, yakni dengan kekuatan ekonomi mereka, dengan iming-iming uang dan privilese. Rakyat pekerja jelas tidak memiliki posisi ekonomi seperti itu dengan upah yang pas-pasan bila beruntung. Mengenai ini Lenin menjelaskan, “Karena kondisi eksploitasi kapitalis, kaum budak upahan modern begitu terpuruk oleh kemelaratan dan kemiskinan sehingga ‘mereka tidak punya kesempatan untuk memikirkan demokrasi’, ‘tidak punya kesempatan untuk memikirkan politik’ … [mereka] dihalangi untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik dan politik.”
Di bagian lain, Dirty Vote mengekspos bagaimana penunjukan pejabat oleh pemerintahan pusat menjadi salah satu sumber kecurangan dalam pemilu. Para pejabat yang ditunjuk lalu “membayar hutang budi” mereka kepada yang memberi mereka jabatan dengan menyalahgunakan posisi dan wewenang mereka sebagai petugas negara. Tidak ada yang aneh sesungguhnya dengan ini. Demikianlah realitas dari pemerintahan yang ada di seluruh dunia. Semua pejabat dan birokrat ada dalam satu jejaring “hutang budi” dengan sesama, sehingga bersama pula mereka saling menjaga privilese mereka lewat beragam praktik KKN. Ini adalah salah satu karakteristik utama negara borjuis yang diekspos oleh Lenin, dengan pejabat dan birokrasi yang berprivilese. Bagaimana kita bisa menghapus pejabat dan birokrasi yang berprivilese ini? Pertanyaan ini bahkan tidak diutarakan sama sekali oleh Dirty Vote, apalagi jawabannya.
Apa yang dianjurkan Lenin untuk mengatasi masalah ini? Dia menjawab dengan tegas: “Kaum buruh, setelah memenangkan kekuasaan politik, akan menghancurkan aparatus birokrasi yang lama … mereka akan menggantinya dengan aparatus yang baru, yang terdiri dari buruh …. Untuk mencegah mereka berubah menjadi birokrat, Marx dan Engels telah menjelaskan secara rinci kebijakan-kebijakan yang harus segera diambil: (1) tidak hanya pemilihan [untuk semua pejabat], tetapi juga recall kapan saja; (2) upah tidak melebihi gaji buruh; (3) segera diberlakukannya kontrol dan pengawasan oleh semua orang, sehingga semua orang bisa menjadi “birokrat” untuk jangka waktu tertentu dan, oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang bisa menjadi “birokrat”.” Inilah ciri-ciri negara buruh yang dikedepankan oleh Lenin.
Jadi, solusi yang sebenarnya sangat sederhana: semua pejabat harus dipilih, tidak ada lagi penunjukan dari atas; hak recall kapan saja; upah pejabat tidak lebih dari gaji buruh, dengan menghapus semua tunjangan khusus dan privilese bagi pejabat dan pegawai negeri; dan fungsi-fungsi pemerintah harus digilir oleh semua rakyat. Dengan demikian, maka, seperti kata Lenin, “fungsi-fungsi [pemerintah] …. [akan] dibersihkan dari semua privilese dan semua kesan ‘kehormatan resmi’.” Dengan langkah-langkah praktis ini kita akan menghapus “penghormatan takhayul” pada negara, pada pejabat, dan pada birokrasi.
Kebijakan yang sama juga harus diberlakukan untuk hakim. Dan ini akan menyelesaikan masalah yang terutama disinggung oleh Dirty Vote, yakni keberpihakan Mahkamah Konstitusi yang mengubah UU untuk memuluskan langkah Gibran. Selama lebih dari 40 menit, para pakar hukum di Dirty Vote memperdebatkan prosedur MK yang berbelit-belit. Mereka berbicara panjang lebar mengenai pengelompokan para hakim MK dan memeriksa bolak-balik mengapa hakim ini atau itu mengambil keputusan ini atau itu terkait dengan batas usia capres dan cawapres. Faktanya sederhana: hakim MK itu korup, seperti juga semua hakim lainnya yang setiap harinya memenuhi halaman koran karena tertangkap basah KKN. Mereka adalah bagian dari negara borjuis dengan segala perangkap birokrasi berprivilesenya. Bahkan di negeri demokratik yang paling maju pun seperti Amerika Serikat, hakim-hakim mereka yang seharusnya netral ternyata tidaklah netral. Para akademisi liberal kita ini tidak mampu melihat kenyataan yang mencolok ini.
Pada akhirnya, para pakar hukum kita mereduksi problem yang ada ke masalah etika dan moral, bahwa ini karena penguasa punya “mental culas dan tahan malu”, sehingga mereka mendesain “skenario kotor” untuk tetap bisa berkuasa. Tidak disebutkan kepentingan ekonomi kelas mana yang diwakili oleh para politisi kotor ini, yang bukan hanya paslon 02 dan Jokowi, tetapi juga semua paslon dan semua parpol borjuis yang kini bertarung dalam pemilu. Tidak ada yang bersih di sini. Kekuatan kapitalis-lah yang berdiri di belakang semua politisi yang kini tampaknya berkompetisi. Setelah pemilu selesai, mereka semua akan rembug kembali untuk dengan setia mewakili kepentingan pemodal. Inilah Dirty Game (permainan kotor) yang sesungguhnya, yang sama sekali gagal diekspos oleh Dandhy Laksono dkk. Dalam pemilu rakyat dijejali dengan pilihan palsu. Dirty Vote mencoba mengkritik kebobrokan proses demokrasi yang ada, tetapi tanggung-tanggung dalam menarik kesimpulan yang diperlukan mengenai esensi demokrasi kapitalis, sebuah kesimpulan yang telah ditarik dengan sejelas-jelasnya oleh Lenin lebih dari 100 tahun yang lalu: “Setiap beberapa tahun sekali kaum tertindas diperbolehkan untuk memilih perwakilan kelas penindas mana yang akan mewakili dan menindas mereka di parlemen!”