Seni manusia jauh lebih tua dari yang mungkin Anda kira. Seni gua tertua di Eropa diperkirakan berusia setidaknya 30.000 tahun, dan contoh yang lebih tua lagi telah ditemukan di Indonesia yang dilukis sekitar 45.000 tahun yang lalu. Namun, penelitian yang lebih baru mengklaim telah menemukan bukti lukisan gua yang lebih tua lagi dan manik-manik kerang dari sekitar 65.000 tahun yang lalu, yang kemungkinan merupakan karya manusia Neanderthal sebelum kedatangan Homo sapiens modern di Eropa.
Bagaimanapun, apa yang tak terbantahkan adalah bahwa seni sama tuanya dengan spesies manusia itu sendiri. Ini bukan kebetulan. Tampaknya ada sesuatu di dalam diri kita yang terprogram ke dalam psikologi kita pada tingkat yang paling mendasar. Oleh karena itu, setiap studi serius tentang evolusi dan sejarah manusia harus mempertimbangkan seni.
Materialisme historis
Namun, hubungan yang sesungguhnya antara seni dan evolusi manusia adalah problem yang sulit dipecahkan. Hubungan antara seni dan perkembangan kekuatan produktif bersifat tidak langsung dan kompleks.
Mazhab seni terus berubah dan perubahan-perubahan ini mencerminkan proses perubahan yang mendalam dalam masyarakat, yang akar utamanya dapat ditelusuri kembali ke perubahan dalam moda produksi dan relasi kelas, dengan segala manifestasi hukum, politik, agama, filsafat, dan estetika.
Marx menjelaskan bahwa seni, seperti halnya agama, memiliki akarnya dalam prasejarah. Ide, gaya, aliran seni dapat bertahan dalam pikiran manusia lama setelah konteks sosio-ekonomi yang konkret dari mana mereka muncul telah lama menghilang. Pikiran manusia, bagaimanapun juga, dicirikan oleh konservatisme.
Ide-ide yang telah lama kehilangan raison d’etre mereka, tetap tertanam kuat dalam jiwa manusia dan terus memainkan peran – bahkan peran yang menentukan dalam perkembangan manusia. Ini paling jelas terlihat dalam agama. Namun, ini juga hadir dalam seni dan sastra.
Dalam Economic Manuscripts of 1857-58, Marx menulis: “Mengenai seni, sudah diketahui dengan sangat baik bahwa beberapa puncaknya sama sekali tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat secara umum; dan juga tidak sesuai dengan substruktur material.”[1]
Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa seni memiliki hukum perkembangannya sendiri yang imanen yang harus dipelajari sebagai bidang investigasinya yang tersendiri. Perkembangan ekonomi dan sosial jelas mempengaruhi perkembangan seni secara signifikan. Tetapi yang satu tidak dapat direduksi secara mekanis ke yang lain.
Engels menjelaskan bahwa akan sangat pedantik untuk mencoba melacak hubungan antara seni dan ekonomi, yang, paling banter, bersifat tidak langsung dan kompleks. Seni mengikuti hukum perkembangannya sendiri yang kompleks, yang tidak secara langsung bergantung pada perkembangan sosial lainnya. Namun pada titik-titik tertentu yang menentukan, kedua garis perkembangan tersebut bersinggungan.
Studi tentang sejarah seni harus dilakukan secara empiris, dengan mencoba untuk menarik hukum-hukum imanen yang menentukan perkembangannya. Hanya dengan cara ini hubungan yang sebenarnya antara seni dan masyarakat dapat terungkap.
Asal-usul seni
Penyebab pasti di balik asal-usul seni selalu sulit untuk ditentukan. Asal usul seni tetap terselubung dalam kegelapan gua di mana mereka dilukis di bawah cahaya redup lampu lemak hewan.
Nenek moyang kita yang paling awal tidak meninggalkan catatan tertulis tentang pemikiran dan kepercayaan mereka, dan oleh karena itu mustahil bagi kita untuk bisa memandang karya-karya seni mereka yang luar biasa itu dari mata mereka.
Namun demikian, kita dapat menarik kesimpulan umum dari studi tentang konten seni gua ini, yang terus memukau kita dengan kesegaran dan realismenya yang sangat menarik.
Fitur yang paling mencolok dari seni gua awal adalah kenyataan bahwa seni ini biasanya tidak dilukis di bagian luar gua yang mudah diakses. Seni ini paling sering ditemukan di bagian gua yang terdalam dan paling sulit diakses. Apapun tujuan seni ini, yang pasti ini bukan untuk dekorasi. Juga bukan ‘seni demi seni’.
Hal pertama yang menarik perhatian kita dari seni ini adalah apa yang tidak ditampilkannya. Tidak ada tanaman, pohon atau bunga. Sebagian besar terdiri dari representasi binatang. Dan pilihan hewan yang dilukis jelas bukan kebetulan.
Hewan-hewan ini dilukis dengan akurasi dan perhatian yang cermat terhadap detail-detailnya. Sebaliknya, manusia, yang jarang muncul, digambarkan dengan sangat kasar, nyaris seperti orang batang korek api yang digambar oleh anak kecil.
Seni sebagai kegiatan sosial
Dalam seni manusia purba, ilmu pengetahuan dan agama bercampur aduk dalam bentuk ‘sihir simpatik’. Tujuan seni awal ini adalah untuk memberi manusia kekuasaan atas hewan yang mereka buru.
Para pemburu-peramu ini hidup dalam pergulatan yang konstan dan tak henti-hentinya untuk bertahan hidup di lingkungan yang tidak bersahabat. Mereka harus mengukur kekuatan mereka dengan binatang buas yang kuat untuk mendapatkan makanan dan menguasai bumi.
Tarian suku biasanya terkait erat dengan ritual. Tarian ini mewakili upaya untuk berdamai dengan lingkungan alam, untuk memahami dunia dan mendapatkan penguasaan atasnya.
Namun pemahaman yang terbatas ini menemukan ekspresinya dalam bahasa mistik agama dan sihir. Antropolog terkenal James George Frazer dalam karyanya yang paling terkenal The Golden Bough dan banyak penelitian lainnya, menjelaskan sihir simpatik sebagai asosiasi hubungan antara benda dan makhluk yang tidak benar-benar ada.
Tujuan lukisan-lukisan gua yang luar biasa ini mungkin ada dua: untuk meningkatkan kekuatan dan keterampilan para pemburu dan untuk memberi mereka kekuasaan atas makhluk yang digambarkan. Dalam beberapa kasus, ritual dibuat untuk meningkatkan kesuburan suku atau klan.
Perburuan hewan besar dan berbahaya seperti mamut hanya bisa berhasil jika sejumlah pemburu bergabung untuk menggiring hewan-hewan tersebut ke dalam perangkap atau tebing. Ini membutuhkan kerja sama untuk membangun perangkap atau menggali lubang yang dalam. Semua ini membutuhkan kerja sama dalam skala besar.
Ini, dan bukan agama atau sihir, yang memberi nenek moyang kita keunggulan besar dalam perjuangan untuk bertahan hidup. Kerja sama sosial, bukan persaingan individu, adalah kunci keberhasilan evolusi kita.
Masyarakat kelas
Hari ini, para pembela status quo sangat ingin membuktikan bahwa masyarakat kelas selalu ada sepanjang masa, dan selalu ada yang kaya dan yang miskin.
Mereka berusaha menunjukkan bahwa masyarakat hanya dapat diperintah oleh sekelompok orang ‘pintar’, yang merupakan satu-satunya kelompok yang dapat bekerja dengan otak mereka, sedangkan mayoritas lainnya, yakni “para penebang kayu dan penimba air” yang digambarkan dalam Alkitab, terlalu bodoh untuk menjalankan tugas memerintah yang rumit.
Mereka mengklaim bahwa demikianlah adanya sejak dahulu. Namun ini sangat jauh dari kebenaran. Seni pada awalnya adalah milik seluruh masyarakat, bukan monopoli kaum elite yang berprivilese. Seni ini pada dasarnya bersifat sosial dan kolektif, dan bukan pribadi.
Sesungguhnya, pembagian antara kerja mental dan kerja manual adalah perkembangan yang relatif baru dalam evolusi manusia. Bagaimana persisnya pembagian kerja ini terjadi kita tidak akan bisa tahu, karena tidak ada catatan tertulis. Namun perubahan tersebut memang terjadi dan tidak perlu dipertanyakan lagi.
Sekitar 12.000 tahun yang lalu, transformasi terbesar dalam sejarah manusia dimulai di wilayah Bulan Sabit Subur di Timur Tengah. Saya merujuk pada apa yang disebut oleh arkeolog besar Australia, Vere Gordon Childe (yang juga seorang Marxis) sebagai Revolusi Neolitikum.
Inilah yang disebut Engels, yang mengikuti Lewis Henry Morgan, sebagai transisi dari zaman kebiadaban ke zaman barbarisme – transisi dari berburu-meramu ke cara hidup yang lebih stabil, yang berdasarkan pertanian dan peternakan.
Revolusi ini memperluas kekuatan produktif masyarakat dan oleh karena itu meningkatkan kontrol manusia atas alam. Namun, revolusi ini juga pada akhirnya meletakkan fondasi material bagi munculnya ketidaksetaraan, kepemilikan pribadi, dan perebutan kekuasaan oleh minoritas.
Sejak sekitar 6.000 tahun yang lalu, surplus yang dihasilkan oleh populasi petani terkonsentrasi di tangan elite berprivilese, biasanya di bawah kendali kuil – yaitu kasta pendeta. Ini mendorong perubahan fundamental dalam kepercayaan religius dan revolusi budaya.
Munculnya kasta pendeta yang berprivilese terekspresikan oleh kuil-kuil raksasa dan monumen-monumen besar untuk para dewa yang didedikasikan untuk keberhasilan pertanian, kesuburan tanaman, matahari, hujan, dan sebagainya. Kuil Putih di Uruk, yang berdiri di atas platform setinggi 12 meter dan dengan lebar 50 meter, adalah contoh mencolok fenomena ini.
Di sini untuk pertama kalinya kita saksikan pembagian antara kerja mental dan kerja manual, yang kemudian dijadikan prinsip bagi semua masyarakat yang muncul setelahnya.
Agama, seni, dan semua manifestasi kehidupan budaya dan intelektual lainnya tidak lagi menjadi milik bersama semua orang dan menjadi milik minoritas, yang mengklaim hak untuk menafsirkan pengetahuan ini untuk rakyat jelata.
Transformasi agama diekspresikan oleh bentuk-bentuk seni baru. Keterasingan produk dari kelas yang bekerja disertai dengan perampasan spiritual dan budaya mereka.
Mesir
Dalam Metafisika, Aristoteles menulis bahwa filsafat dimulai ketika kebutuhan hidup telah terpenuhi. Dia menambahkan bahwa astronomi dan geometri ditemukan di Mesir karena para pendeta tidak perlu bekerja. Di sini kita saksikan antisipasi yang cemerlang terhadap konsepsi materialis tentang sejarah.
Kondisi alam yang menguntungkan di Lembah Sungai Nil merupakan prasyarat awal untuk perkembangan tingkat produktivitas tenaga kerja yang tinggi. Di sisi lain, negara memiliki akses ke cadangan tenaga kerja yang sangat besar.
Jumlah penduduknya relatif kecil dan tanahnya cukup subur untuk memasok makanan bagi rakyat dan surplus bagi para elite penguasa. Keberadaan produk surplus ini adalah rahasia peradaban Mesir.
Ketika kekuatan produktif ini dipusatkan dan diorganisir dalam skala besar, ini memungkinkan pencapaian yang luar biasa seperti pembangunan piramida. Monumen-monumen raksasa ini umumnya dianggap sebagai pencapaian terbesar Mesir kuno karena mereka menangkap imajinasi kita.
Namun, yang jauh lebih mengesankan dan jauh lebih penting daripada piramida adalah sistem irigasi. Inilah yang memungkinkan terciptanya kelas yang tidak bekerja, yang pada gilirannya bertanggung jawab atas semua pencapaian seni, sains, dan budaya Mesir yang memukau itu.
Pembagian kerja
Atas dasar eksploitasi ini, kelas penguasa Mesir mendobrak batas-batas pengetahuan manusia dan mempercepat perkembangan kekuatan produktif – basis sesungguhnya perkembangan budaya dan peradaban.
Dalam analisis terakhir, semua pencapaian luar biasa ini bertumpu pada kaum fellaheen (petani)Mesir. Momen yang menentukan bagi pembagian antara kerja mental dan kerja manual adalah penemuan tulisan, yang terjadi pada akhir milenium ke-4 SM – bukti lebih lanjut dari kemajuan pesat masyarakat.
Rahasia penulisan ini dijaga dengan ketat oleh para juru tulis (scribe), yang awalnya berasal dari kasta pendeta. Sikap mereka terhadap kerja manual dengan gamblang diungkapkan dalam nasihat seorang Mesir yang kaya raya kepada putranya:
“”Karena aku telah melihat mereka yang menderita sengsara, maka kamu harus menetapkan pikiranmu pada menulis. Lihatlah sendiri, tulisan menyelamatkan seseorang dari kerja. Lihatlah, tidak ada yang melebihi tulisan…
“Aku telah melihat seorang pandai besi yang bekerja di mulut tungkunya. Jari-jarinya seperti cakar buaya, dan bau badannya lebih busuk daripada telur ikan…
“Pembuat keramik seluruh badannya kotor dengan tanah liat… Dia menggali tanah di ladang lebih banyak daripada babi untuk memanggang keramiknya. Pakaiannya menjadi kaku karena lumpur …
“Pembuat senjata, yang sudah lelah, pergi ke padang pasir. Lebih besar (daripada gajinya sendiri) adalah apa yang harus dia keluarkan untuk keledai betina untuk pekerjaannya setelah itu …
“Tukang cuci mencuci di tepi sungai tidak jauh dari buaya…
“Lihat, tidak ada pekerjaan yang bebas dari pengawas, kecuali pekerjaan juru tulis. Dialah pengawasnya…”
“Lihatlah, tidak ada seorang juru tulis pun yang kekurangan rezeki, rezeki keluarga kerajaan… Hormatilah ayah dan ibumu yang telah menempatkanmu di jalan kehidupan ini. Ingatlah hal ini, yang telah kutempatkan di depan matamu, dan anak-anakmu.”[2]
Ini adalah kutipan dari sebuah teks Mesir yang dikenal dengan judul The Satire on the Trades, yang ditulis sekitar tahun 2000 SM. Naskah ini berisi nasihat seorang ayah kepada putranya, yang ia kirim ke Sekolah Menulis untuk dilatih sebagai juru tulis.
Penghinaan yang disampaikan oleh kalimat-kalimat ini terhadap pekerja manual adalah cerminan akurat psikologi kelas penguasa hingga hari ini.
Keterasingan ini menemukan ekspresinya dalam seni. Patung-patung Firaun besar di Mesir berbicara kepada kita dan menyampaikan pesan yang sangat jelas: pesan kekuasaan.
Terlepas dari apakah kita memahami bahasa mereka, patung-patung kolosal ini berbicara kepada kita dengan sangat jelas. Mereka memberitahu kita:
Saya kuat, kalian lemah.
Saya besar, kalian kecil.
Saya berkuasa, kalian tidak berdaya.
Sejak saat itu, seni telah menjadi monopoli kelas penguasa dan menjadi senjata yang ampuh di tangan mereka. Karena para dewa dan dewi semuanya maha kuasa, maka para pelayan mereka di bumi juga harus berkuasa dan harus ditakuti dan dihormati.
Massa mendapati diri mereka benar-benar dikucilkan dari dunia budaya. Mereka tidak hanya diekspropriasi secara ekonomi, tetapi juga secara mental dan spiritual. Dan ekspropriasi ini terus berlanjut hingga saat ini.
Seni Mesir kuno
Periode awal seni Mesir hampir seluruhnya berkarakter totem. Seni ini menggambarkan dewa dewi, paling sering dalam bentuk semi-hewan.
Di kemudian hari, bentuk manusia muncul, tetapi sering kali digambarkan dalam pose yang kaku dan tidak realistis.
Formula untuk laki-laki selalu sama: kepala dan bahu ditampilkan dalam profil, sedangkan tubuh digambarkan dari depan, memamerkan bahu yang lebar.
Representasi sosok manusia secara substansial tetap sama sepanjang sejarah Mesir, meskipun ada beberapa pengecualian.
Seniman Mesir adalah pengrajin, yang tidak memiliki status sosial khusus. Hanya sedikit dari nama-nama mereka yang kita ketahui hari ini. Tugas mereka adalah melayani tuan mereka dengan setia – kasta pendeta, pejabat negara dan, pada akhirnya, sang raja-dewa, Firaun.
Fitur yang paling mencolok dalam seni ini adalah konservatismenya dan penolakannya terhadap perubahan. Ini mencerminkan fakta bahwa seni ini tidak bebas, tetapi tunduk pada kaidah agama dan tuntutan kasta pendeta yang kaku.
Fakta ini membantu kita untuk memahami sifat dan semangat seni Mesir, yang, terlepas dari pencapaiannya yang cemerlang, tidak pernah mencapai ketinggian seni Yunani.
Yunani
Ketika kita meninggalkan dunia seni Mesir yang misterius dan terasing, dan melangkah ke dunia Yunani kuno, itu seperti melangkah keluar dari ruangan yang remang-remang, yang diterangi oleh nyala lilin yang redup, ke atmosfer yang penuh dengan udara segar dan sinar matahari yang terang.
Di sini akhirnya kita merasakan pijakan yang kokoh di bawah kaki kita. Sebagai ganti dewa dan dewi yang sebagian manusia, sebagian binatang, kita memiliki kehadiran bentuk manusia yang sesungguhnya dan dapat dikenali.
Dalam banyak hal, seni ini tidak pernah terlampaui, kecuali mungkin pada periode Renaissance. Kita akan selalu merasa takjub melihat bentuk-bentuk seni ini, yang dipahat dari batu dingin, yang tampil begitu realistis sehingga tampak seperti makhluk yang hidup dan bernapas.
Sedemikian rupa, sehingga orang percaya bahwa patung tubuh manusia ini pasti terasa hangat saat disentuh. Namun kesempurnaan ini tidak dicapai dengan segera. Patung-patung Yunani yang paling awal adalah patung-patung pria muda, yang sekarang dikenal dengan nama Kouros, yang berasal dari abad ke-7 hingga abad ke-6 SM. Mereka jelas terinspirasi oleh seni Mesir.
Mereka menunjukkan kekakuan yang sama dan pose kaku yang sama, frontal, berbahu lebar, dan berpinggang sempit. Lengan rapat di samping tubuh, tangan mengepal, lutut kaku, dengan kaki kiri sedikit dimajukan.
Namun pada akhir periode ini, kekakuan itu mulai menghilang, dan membuka jalan untuk fleksibilitas dan gerakan yang baru. Aliran seni yang baru ini mencerminkan semangat baru. Ini adalah semangat baru orang Yunani yang bebas, terutama di Athena, di mana revolusi demokratis telah terjadi.
Pada tahun 508-507 SM, rakyat Athena bangkit melawan aristokrasi yang berkuasa, dan mendirikan sebuah demokrasi, di mana semua warga laki-laki memiliki hak untuk berpartisipasi.
Demokrasi Athena memberikan stimulus bagi perkembangan seni. Ini diekspresikan dalam berbagai cara, mulai dari lukisan pada vas yang merupakan salah satu ekspor terpenting kota ini, hingga patung-patung dan monumen, lukisan dinding, dan banyak lagi.
Namun, demokrasi ini bukan untuk semua orang. Demokrasi ini mengecualikan para budak, yang mencakup populasi yang cukup besar, serta wanita dan warga asing.
Belakangan ini, telah menjadi mode untuk mengkritik seni masyarakat masa lalu dengan alasan bahwa mereka tidak sesuai dengan standar moral masa kini. Tetapi itu adalah cara yang sama sekali tidak ilmiah dalam mendekati sejarah.
Hegel pernah berkata, manusia menjadi bebas bukan dari perbudakan melainkan melalui perbudakan. Sekilas, ini tampak seperti paradoks yang sangat mengherankan. Namun pada kenyataannya, ini mengandung pemikiran yang sangat mendalam.
Hari ini kita menganggap perbudakan sebagai sesuatu yang benar-benar bertentangan dengan semua moralitas. Tetapi jika kita bertanya dari mana asal ilmu pengetahuan dan filsafat modern kita, banyak orang akan menjawab bahwa mereka berasal dari Yunani dan Romawi.
Namun, masyarakat Yunani dan Romawi adalah masyarakat yang berdasarkan perbudakan dan dalam analisis terakhir, semua pencapaian besar peradaban ini datang dari kerja keras para budak.
Namun kita harus menambahkan bahwa, di bawah masyarakat kelas, semua seni, sains, dan budaya secara umum selalu didasarkan pada eksploitasi tenaga kerja manusia – entah itu budak di Yunani dan Romawi, kaum hamba yang menderita di bawah kuk feodalisme, atau perbudakan upahan modern hari ini.
Ide-ide yang berkuasa di masyarakat selalu merupakan ide kelas penguasa. Siapa pun yang tidak memahami ini tidak akan pernah bisa memahami apa pun tentang sejarah.
Keruntuhan
Budaya memiliki basis material. Runtuhnya perbudakan menyebabkan kemunduran masyarakat Romawi, yang lalu terpuruk ke dalam barbarisme. Kehancuran basis produktif disusul oleh kegelapan peradaban selama berabad-abad.
Secara bertahap, sistem ekonomi baru, sistem feodal, muncul di atas reruntuhan masyarakat budak yang lama. Namun, karakteristik utama Abad Pertengahan adalah stagnasi ekonomi dan budaya, seperti yang ditulis oleh William Manchester:
“Selama periode tersebut, tidak ada satu pun hal penting yang mengalami kemajuan atau kemunduran. Kecuali kincir air pada tahun 800-an dan kincir angin pada akhir tahun 1100-an, tidak ada penemuan yang signifikan. Tidak ada ide-ide baru yang mengejutkan yang muncul, tidak ada wilayah baru di luar Eropa yang dieksplorasi. Semuanya berjalan seperti dulu kala, sepanjang yang bisa diingat oleh orang Eropa tertua.”[3]
Runtuhnya budaya tercermin dalam sikap kelas penguasa yang tidak peduli dan membenci ilmu pengetahuan.
Kaisar Sigismund – penerus Charlemagne yang ke-47, terkenal dengan perkataannya: “Ego sum rex Romanus et super grammatica.”[4] – Saya adalah kaisar Romawi dan saya berdiri di atas tata bahasa. Kata-kata yang sama mungkin saja diucapkan oleh lebih dari satu Presiden Amerika Serikat!
Gereja abad pertengahan menjalankan kediktatoran spiritual yang absolut atas jiwa manusia. Tangannya mencekik mati semua pemikiran bebas selama berabad-abad dan melumpuhkan perkembangan seni yang bebas.
Kelahiran kembali
Di dunia yang statis ini, tampaknya tidak ada yang akan, atau bisa, berubah. Namun pada awal tahun 1400-an, ada semangat baru yang bergejolak di Eropa. Bahkan sebelum itu, semangat ini telah diantisipasi oleh orang-orang seperti Dante, Petrarch, Boccaccio, Giotto, dan bahkan Santo Fransiskus dari Assisi.
Bukanlah kebetulan orang-orang ini berasal dari Italia, di mana sistem produksi kapitalis berkembang paling awal. Bangkitnya kaum borjuis menjadi tantangan bagi tatanan feodal, dimulai dengan kritik terhadap dogma-dogma Gereja, yang pada akhirnya mengarah pada kebangkitan Protestan dan Reformasi di Eropa Utara.
Renaisans awal menyaksikan lahirnya literatur Eropa yang tumbuh subur, yang semakin banyak ditulis dalam bahasa lokal, untuk melayani publik borjuis baru yang tidak bisa membaca bahasa Latin.
Chaucer menandai dimulainya sebuah literatur dan bahasa baru di Inggris. Di Italia, Machiavelli, yang memiliki reputasi negatif, merupakan tokoh intelektual yang menjulang tinggi pada zaman itu.
Dalam seni lukis, lahir gaya seni baru yang menggunakan teknik-teknik revolusioner yang sangat canggih, yang memungkinkan sang seniman menggambarkan detail-detail yang sebelumnya tidak bisa terlukis – benang emas pada gaun, lipatan jubah, kilauan sinar matahari pada baju besi, pantulan cermin yang telah dipoles, yang membutuhkan teknis khusus.
Sejak sekitar tahun 1420, lukisan potret menjadi jauh lebih realistis. Wajah-wajah yang terlukis adalah individu yang dapat dikenali. Ini adalah revolusi sejati dalam seni, yang muncul pertama kali di Italia dan Flanders.
Di atas segalanya, ini memungkinkan seniman untuk menggambarkan individu sebagai individu: sebagai laki-laki dan perempuan yang nyata, bukan abstraksi semata. Patung David yang mengagumkan itu, yang merupakan salah satu titik tertinggi dari seni Michelangelo, mewakili kembalinya dunia seni Yunani yang merayakan keindahan tubuh manusia yang telanjang. Ide ini telah ditindas secara brutal oleh Gereja, yang menganggap tubuh manusia – dan terutama tubuh wanita – sebagai objek yang menjijikkan dan sumber segala dosa.
Ini merupakan ekspresi psikologi individualis borjuis dalam seni selama periode akumulasi primitif kapital. Seni baru ini terhubung dengan kebangkitan kaum borjuis.
Di sini kita melihat awal mula pemberontakan yang memuncak pada revolusi borjuis di Belanda dan Inggris. Revolusi besar ini pada gilirannya menghasilkan revolusi dalam seni dan budaya.
Seni dan revolusi borjuis
Martin Lutherlah yang memimpin perlawanan terhadap dunia lama. Ketika dia menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Jerman, dia memulai sebuah revolusi, yang dia sendiri tidak bisa membayangkannya.
Ada yang mengatakan bahwa ia menciptakan bahasa Jerman modern. Dia menulis banyak puisi, yang, mengingat karakter periode tersebut, tentu saja berbentuk himne religius.
Lagu-lagu pujian ini penuh dengan semangat revolusioner, terutama Ein feste Burg ist unser Gott (Benteng yang Perkasa Adalah Tuhan Kita), yang disebut oleh Engels sebagai Marseillaise pada abad ke-16.
Dan ketika dia menyerang Paus dan Papisme, dia melakukannya dalam bahasa sederhana seorang petani Jerman:
“Karena murka Tuhan, iblis telah memberaki kita dengan pantat besar Roma.)
Revolusi borjuis, yang gugur di Jerman, mencapai keberhasilan besar pertamanya dengan kemenangan rakyat Belanda dalam perjuangan yang panjang dan berdarah-darah melawan Spanyol Katolik.
Kelahiran Republik Belanda tidak hanya menciptakan kondisi bagi kekuatan ekonomi baru yang besar di Eropa, tetapi juga revolusi budaya dan artistik.
Sebuah kelas baru, yaitu kelas pedagang yang makmur, tengah mengkonsolidasikan posisi kepemimpinannya dalam masyarakat dan siap menghabiskan uangnya untuk membeli karya seni, untuk memperindah rumah mereka.
Kebebasan baru yang dimenangkan oleh perjuangan revolusioner membuka pintu bagi pendekatan baru dan segar terhadap seni. Ini memungkinkan munculnya generasi pelukis yang luar biasa, termasuk Vermeer, Frans Hals, dan tentunya Rembrandt van Rijn.
Hanya di Belanda pada abad ke-17, seorang anak tukang giling seperti Rembrandt bisa bercita-cita menjadi pelukis terkenal. Dia memiliki sifat liar dan keras kepala, sifat pemberontak, yang terlihat jelas dalam lukisannya.
Model-model lukisan Rembrandt bukanlah dewi-dewi, melainkan perempuan yang riil, banyak di antaranya adalah perempuan jalanan dan perempuan dari rumah bordil. Meskipun berpose sebagai tokoh-tokoh Alkitab seperti istri Potifar atau Batsyeba, mereka hanyalah wanita telanjang. Ini tidak membuatnya memiliki banyak teman di antara orang-orang Farisi yang munafik dari tatanan gereja Calvinis.
Salah satu model utamanya adalah Hendrickje, pembantu rumah tangganya dan kekasihnya. Dia ditampilkan dalam serangkaian pose provokatif, misalnya dalam A Woman Bathing in a Stream yang terkenal itu di mana dia mengangkat roknya.
Rembrandt langsung membuat murka otoritas agama. Ia dipersekusi dan dicaci maki. Di masa tuanya kehidupannya penuh dengan penderitaan.
Potret diri terakhirnya mungkin merupakan karya terbesarnya. Lukisan-lukisan potret-dirinya menggambarkan seorang pria tua yang di wajahnya terukir rautan penderitaan yang mendalam. Lukisan-lukisan ini menghadirkan kontras pahit dengan potret-diri sebelumnya, yang menggambarkan seorang pelukis muda yang makmur, yang dengan penuh percaya diri memulai jalan menuju kesuksesan.
Pada tahun 1658, ia pailit. Seperti Vermeer dan banyak seniman besar lainnya, ia meninggal dalam kondisi kemiskinan parah.
Seni dan revolusi
Ada pepatah yang mengatakan, ketika meriam meraung maka seniman bungkam. Jikalau pepatah ini benar, maka ini hanya benar sebagian saja. Seniman sering kali mendapatkan inspirasi dari suara meriam dan semangat revolusioner massa.
Dan kebangkitan revolusioner massa tidak bisa tidak menemukan gema di hati dan pikiran kaum intelektual, atau setidaknya elemen-elemen terbaik di antara mereka.
Revolusi Inggris menghasilkan literatur populer yang luar biasa dalam bentuk buku dan pamflet, terutama karya-karya polemik Gerrard Winstanley yang luar biasa.
Dalam diri John Milton, revolusi menemukan pendukungnya yang paling luar biasa. Dia melayani rezim baru ini dengan setia dan hanya diselamatkan dari eksekusi setelah restorasi Charles II karena ketenarannya.
Dalam puisi Paradise Lost karya Milton, perang antara Surga dan Neraka hanyalah cerminan dari perang revolusioner antara Monarki dan kaum Puritan revolusioner:
“And when Night
Darkens the Streets, then wander forth the Sons
Of Belial, flown with insolence and wine.”[5]
Di sini kita mendengar teriakan putus asa dari seorang pria buta tua, yang memprotes kelancangan kaum Cavalier[6] (putra-putra Belial) yang mabuk dan berkeliaran di jalanan pada malam hari, menghina dan memukuli kaum revolusioner yang kalah.
Restorasi Charles II membuka periode reaksi kejam yang menemukan refleksinya dalam seni yang amoral, terutama dalam teater.
Revolusi Prancis
Dampak yang lebih besar lagi terhadap budaya dunia terjadi seabad kemudian melalui Revolusi Prancis pada tahun 1789-93. Kita cenderung lupa bahwa jalan menuju Revolusi tersebut dibuka oleh Pencerahan Prancis.
Revolusi adalah sumber inspirasi bagi generasi seniman baru yang perwakilan terbaiknya adalah pelukis Jacques-Louis David. Claude-Joseph Rouget de Lisle menggubah lagu La Marseillaise, yaitu lagu pemberontakan yang kemudian menjadi himne revolusi di seluruh dunia.
Dengan revolusi Prancis, seperti yang diamati Plekhanov, kaum sansculottes (rakyat jelata) menempatkan seni “pada jalur yang tidak dapat diikuti oleh seni kelas atas; seni menjadi urusan seluruh rakyat.”[7]
Namun, kemenangan kontra-revolusi Thermidorian menandai awal surutnya revolusi, di mana satu per satu cita-cita dan antusiasme Revolusi Prancis digantikan oleh konservatisme filistin yang sesuai dengan mentalitas kaum borjuis besar dan birokrat yang kini berkuasa.
Revolusi Prancis memiliki efek yang sangat besar, tidak hanya di Prancis, tetapi juga di seluruh dunia. Revolusi ini seperti sebuah batu besar yang dilemparkan ke sebuah danau besar.
Dalam semalam, Revolusi Prancis menghancurkan model klasik lama yang statis, yang disukai oleh kaum aristokrat, dan membuka pintu bagi Revolusi Romantik yang menciptakan aliran sastra, seni, dan musik yang sama sekali baru di Eropa.
Sejumlah penyair terbesar Inggris, Byron, Shelley, Wordsworth, Coleridge, serta Robert Burns di Skotlandia, terinspirasi olehnya. William Blake, seorang penulis dan seniman yang sangat orisinil, adalah pendukung revolusi Prancis yang paling gigih.
Dampak Revolusi ini diungkapkan dengan brilian oleh William Wordsworth, yang saat itu ada di Prancis. Dalam puisinya, The Prelude, ia menulis kata-kata yang menginspirasi berikut ini:
“Bliss t’was in that dawn to be alive, But to be young was very heaven.”[8]
Di Jerman, banyak seniman dan intelektual yang menyambut Revolusi Prancis dengan antusias, termasuk penyair besar, Schiller. Namun, dampak terbesarnya adalah pada dunia musik. Jenius musik terbesar dalam sejarah, Ludwig van Beethoven, adalah pengagum berat Revolusi Prancis.
Dia merasa jijik dengan Austria, yang menjadi kekuatan utama dalam koalisi kontra-revolusioner melawan Prancis. Tercekik oleh atmosfer borjuis di Wina, ia menulis sebuah komentar yang menyedihkan: “Selama orang Austria memiliki bir cokelat dan sosis kecil mereka, mereka tidak akan pernah memberontak.”[9]
Beethoven dengan berani mengesampingkan semua konvensi musik yang ada, seperti halnya Revolusi Prancis yang mengesampingkan semua sampah feodalisme dan monarki absolut.
Simfoni-simfoni Beethoven mewakili perpecahan fundamental dengan masa lalu. Mereka menggelegar seperti petir di dunia musik, yang tidak pernah sama lagi. Transformasi ini dimulai dengan simfoni ketiganya, Eroica.
Ini adalah karya monumental, yang mengejutkan banyak orang yang terbiasa dengan musik lembut yang disukai oleh kaum aristokrat. Gerakan pertamanya saja lebih panjang daripada simfoni apa pun saat itu.
Kisah komposisinya membawa kita langsung ke jantung Revolusi Prancis. Beethoven awalnya terkesan dengan apa yang dia dengar tentang Napoleon Bonaparte muda, yang diidentikkannya dengan Revolusi.
Namun ketika Beethoven mendengar Napoleon telah memahkotai dirinya sebagai kaisar, dia sangat marah. Dia mencoret dedikasinya untuk Napoleon dengan begitu geramnya hingga halaman pertama naskahnya robek.
Dia menamainya Simfoni Eroica. Dua bar pembukanya yang mengentak mengingatkan orang akan kepalan tangan yang menghantam meja, yang menuntut perhatian dalam sebuah pertemuan yang penuh badai, yang segera disusul dengan serangan kavaleri yang tak terbendung. Gerakan kedua adalah pawai pemakaman, untuk mengenang pahlawan-pahlawan revolusi yang telah gugur.
Beethoven tidak pernah ragu-ragu dalam mendukung cita-cita Revolusi Prancis hingga akhir hayatnya. Simfoni besar terakhirnya, Simfoni Kesembilan – yang ditulis pada masa reaksi hitam di Eropa – adalah sebuah himne kemenangan untuk revolusi.
Seni sebagai protes
Pelukis terkenal Spanyol, Goya, memberikan contoh paling jelas tentang bagaimana seni dapat menjadi senjata perjuangan yang paling ampuh.
Karya Goya muda sangat kontras dengan karyanya di masa tuanya. Seolah-olah kita berada di hadapan dua seniman yang berbeda, atau dua dunia yang berbeda.
Lukisan-lukisan Goya muda penuh dengan kegembiraan hidup. Di sini kita bisa saksikan gadis-gadis muda yang riang dengan payung mereka dan pria-pria muda dengan busana yang mengesankan.
Namun, lukisan-lukisan masa tua Goya membawa kita ke dunia lain – dunia yang kelam, yang dihuni oleh monster, pelacur, penyihir, pendeta yang korup, pembunuh, dan pengemis yang lumpuh. Transformasi ini merupakan cerminan nyata dari nasib Spanyol pada saat itu, ketika diduduki oleh pasukan Napoleon.
Pada tanggal 2 Mei 1808, rakyat Madrid bangkit melawan penjajah Prancis mereka dalam sebuah pemberontakan yang heroik namun berakhir dengan tragis. Pasukan Prancis berhasil meremukkan para pemberontak, yang dibantai tanpa ampun.
Pemberontakan tersebut digambarkan dalam dua lukisan terkenal karya Goya. Konon, ditemani pembantunya yang memegang lentera, sang seniman mengunjungi lokasi pembantaian, di mana setiap detail yang mengerikan terukir dalam ingatannya.
Entah ini benar atau tidak, lukisan-lukisan ini menggambarkan peristiwa itu dengan realisme yang paling kejam. Lukisan pertama – The Second of May 1808 atau The charge against the Mamelukes – menunjukkan penyerbuan oleh pasukan Mameluke Prancis yang membantai rakyat Madrid yang melawan pada 2 Mei. Lukisan kedua – The Third of May – menggambarkan penembakan yang mengerikan pada malam itu.
Lukisan yang kuat ini menyajikan adegan kekejaman yang luar biasa dalam kegelapan total, yang hanya dipecahkan oleh sosok fantastis seorang pria berkemeja putih yang mengangkat tangannya ke langit sebagai protes atas nasibnya, sementara barisan tentara Prancis membidik dadanya.
Para algojo diperlihatkan dari belakang, sehingga tidak ada wajah manusia yang terlihat. Mereka bukan lagi manusia, melainkan hanya mesin militer yang bodoh, yang secara membabi buta mematuhi perintah untuk membunuh.
Sebaliknya, wajah-wajah para korban terlihat sangat manusiawi, dengan sosok berkemeja putih yang mirip Kristus sebagai titik fokus lukisan yang penuh dengan drama dan kesedihan. Genangan darah di tanah begitu nyata sehingga kita hampir bisa mencium baunya. Di sini kita saksikan seni yang berkomitmen, yang tidak hanya menggambarkan peristiwa tetapi juga meneriakkan suara protes dengan penuh semangat.
Kemudian dimulailah apa yang kemudian dikenal sebagai Perang Semenanjung, mungkin contoh pertama perang gerilya di zaman yang relatif modern (memang istilah perang gerilya datang dari Spanyol, yang berarti ‘perang kecil’).
Peristiwa berdarah perang tersebut diabadikan dalam serangkaian etsa hitam-putih oleh Goya yang berjudul The Disasters of War. Sebagai depiksi horor perang, karya-karya Goya ini tidak ada duanya.
Akhirnya, kita memasuki apa yang disebut sebagai periode hitam Goya. Di sini kita berada di hadapan seorang seniman yang berbeda dan dunia yang berbeda. Karyanya menyajikan visi dunia yang terkoyak oleh perang, revolusi, dan kontra-revolusi selama bertahun-tahun, sebuah dunia yang telah terjungkir balik.
Ini adalah visi seorang kakek tua yang telah menyaksikan terlalu banyak penderitaan manusia dan tidak tahu bagaimana semuanya akan berakhir. Ini adalah visi realitas yang suram dan pesimis. Ini adalah jeritan keputusasaan yang datang langsung dari hati seorang yang sudah remuk.
Untuk menemukan karya seni yang sebanding dengan mahakarya artistik ini, kita harus maju cepat ke periode yang sebanding dalam sejarah Spanyol – periode Perang Sipil yang diluncurkan oleh pasukan fasis Franco terhadap rakyat Spanyol pada tahun 1930-an.
Dalam konteks ini, Pablo Picasso menciptakan apa yang dianggap sebagai salah satu mahakarya besar abad ke-20: lukisan yang dikenal dengan nama Guernica.
Di sini, seperti lukisan Goya, kengerian perang diekspresikan dengan begitu jelasnya. Lukisan ini berwarna hitam-putih, yang berfungsi untuk memberinya dampak dramatis yang lebih besar. Gambarannya sangat mencolok dan menakutkan.
Di tengah kegelapan total, sebuah bola lampu listrik memancarkan cahayanya. Tapi ini bukan cahaya matahari yang menyejukkan, tetapi cahaya lampu ruang penyiksaan di penjara bawah tanah yang gelap dan pengap.
Di semua sisi terdapat kekerasan, penderitaan dan kematian. Seekor kuda ditusuk dengan tombak dan jeritannya entah bagaimana dapat terdengar, meskipun lukisan itu sendiri bisu.
Seorang wanita memeluk mayat seorang anak dalam pelukannya dan mengucapkan jeritan protes yang memekakkan telinga yang ditujukan ke langit, yang tidak peduli dengan penderitaannya.
Dan sentral dalam lukisan ini adalah kepala banteng yang mengamuk, yang menggambarkan kebiadaban dan kekerasan yang benar-benar keji, yang mengejawantahkan esensi fasisme.
Bom meledak dan mayat-mayat tentara bergelimpangan di atas tanah dengan pedang yang patah di tangan mereka. Namun semua suara yang menakutkan ini tereduksi menjadi keheningan yang lebih mengganggu. Inilah keheningan mimpi buruk.
Seni kemunafikan
Di dunia modern yang munafik ini, postmodernisme ingin menenangkan saraf kita dengan menghapus semua bahasa yang menyinggung dari kosakata kita.
Dan karena perang sangat mengusik, kosakata seputar perang telah diubah agar tidak menyinggung jiwa-jiwa yang sensitif.
Dengan demikian, tidak ada yang terbunuh dalam perang saat ini. Mereka hanya “dilumpuhkan”. Dan korban perang yang tidak bersalah hanyalah “kerugian kolateral”.
Di sini kemunafikan dijadikan seni. Namun Pablo Picasso, seorang seniman sejati, mengatakan yang sebenarnya tentang perang. Semua seni yang sejati merupakan cermin yang mengungkapkan gambaran yang sejati mengenai realitas kita, dengan semua kebusukannya yang menjijikkan.
Beberapa orang mungkin mengklaim ini bukanlah seni, melainkan propaganda. Seni sejati tidak bertujuan mereproduksi pesan apa pun yang berada di luar dirinya, melainkan hanya ekspresi jujur dari apa yang dirasakan oleh sang seniman di dalam hati dan jiwanya.
Propaganda tidak akan pernah bisa menjadi seni yang hebat. Namun seni yang sesungguhnya tidak menutup dirinya dari realitas dunia luar. Ia tidak hidup di menara gading, ‘menghirup kehidupan melalui sedotan’.
Seniman sejati adalah manusia yang hidup, yang berbagi dalam kegembiraan dan kesengsaraan semua eksistensi manusia, seperti yang diungkapkan dalam moto terkenal penulis drama Romawi, Terence: “Homo sum, humani nihil a me alienum puto” (Aku adalah manusia, dan segala sesuatu yang manusiawi tidaklah asing bagiku).[10]
Seperti Goya sebelumnya, Picasso mengekspresikan kemarahan dan kegeraman yang membuncah di dalam dadanya.
Picasso jelas berkomitmen secara politik. Meskipun hampir tidak pernah disebutkan saat ini, ia bergabung dengan Partai Komunis pada 1944 ketika berada di pengasingan di Paris yang diduduki Jerman. Ada cerita ketika seorang perwira Jerman memeriksa lukisan Picasso, dia bertanya kepadanya, “Apakah Anda yang melakukannya?”, dia menjawab: “Tidak, Anda yang melakukannya.”
Namun, di Guernica ia tidak menyampaikan pesan politik tertentu, melainkan hanya apa yang datang langsung dari hati dan jiwanya.
Dengan demikian, ia berani berdiri di barikade. Dia menggunakan kuasnya dalam perjuangan revolusioner, dan terbukti menjadi senjata yang jauh lebih efektif daripada senapan mesin.
Lukisannya adalah kecaman terhadap seni di zaman kita sekarang, di mana pembantaian pria, wanita, dan anak-anak di Gaza, yang diarak di layar televisi kita setiap hari, tidak menemukan ekspresi seni yang memadai.
Perhatian kita diarahkan ke objek-objek yang “jauh lebih” signifikan, seperti tempat tidur yang belum dirapikan (My Bed oleh Tracey Emin, 1998) dan hiu dalam formalin (Damien Hirst, 1991). Kita cukup membandingkan seni hari ini dengan seni Picasso dan Goya untuk menyadari betapa terpuruknya spirit manusia di zaman sekarang. Namun, ada zaman lain di mana seni dan seniman terbukti layak untuk memenuhi panggilan mereka.
Seni dan Revolusi Oktober
Revolusi Oktober di Rusia menghasilkan ledakan seni dan sastra yang luar biasa, yang kemudian dihancurkan, seperti banyak hal lainnya, di bawah kontra-revolusi Stalinis.
Para kritikus borjuis gemar menggambarkan kaum Bolshevik sebagai monster yang haus darah, yang bertekad untuk menghancurkan semua nilai-nilai peradaban. Mereka berusaha mengidentifikasi seni Revolusi Oktober dengan seni ‘Realisme Sosialis’ Stalinis yang birokratik dan kaku itu.
Itu fitnah. Tahun-tahun setelah Oktober melepaskan potensi kreatif rakyat Rusia yang terpendam – tak hanya rakyat pekerja, tapi juga lapisan terbaik kaum intelektual.
Nama-nama seperti Tatlin, Meyerhold, Shostakovich, dan Mayakovsky membentuk galaksi talenta yang belum pernah terlihat sebelumnya atau setelahnya di abad ke-20.
Drama revolusi dimainkan dalam skala yang teramat luas, dalam jiwa dan pikiran jutaan rakyat.
Revolusi ini bergema di kedalaman sanubari massa, dengan membangkitkan kehausan akan pengetahuan dan budaya yang telah lama direpresi di bawah masyarakat kelas.
Di sini kita saksikan panggung yang lebih kolosal daripada yang pernah menjadi saksi tragedi Aeschylus dan Shakespeare. Puisi Mayakovsky didengarkan dengan penuh perhatian oleh kaum buruh dan tentara yang mulai menemukan dimensi baru dalam kehidupan dan kepribadian mereka masing-masing.
Selama tahun-tahun penuh badai itu, Teater Bolshoi di Moskow – yang sebelumnya hanya bisa diakses oleh kelas borjuis dan borjuis-kecil “yang berbudaya” – tiba-tiba dipenuhi oleh buruh-buruh dengan baju terusan dan para prajurit dengan mantel abu-abu mereka; mereka semua ingin menemukan dunia musik baru yang selama ini tertutup bagi mereka.
Mereka mendengarkan dan menyaksikan dengan begitu terpesona opera spektakuler Mussorgsky, Borodin dan Rimsky Korsakov, serta pertunjukan balet Tchaikovsky yang luar biasa itu.
Mereka memasuki dunia baru yang hampir tidak mereka ketahui dan terhanyut oleh perasaan baru yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Pada titik ini, garis pemisah antara seni dan kehidupan itu sendiri menjadi kabur dan hampir tidak ada lagi.
Periode ini penuh dengan perdebatan dan diskusi yang tiada henti. Banyak aliran seni baru yang lahir dan mati dengan cepat. Beberapa ide baru itu membuahkan hasil. Yang lainnya sangat keliru. Namun semuanya didiskusikan secara terbuka dan dengan kebebasan penuh.
Trotsky, dengan gaya penulisannya yang brilian dan penggunaan dialektika yang ahli, berdiskusi dengan para seniman dan sastrawan Soviet di wilayah mereka sendiri dan menjawab mereka dalam bahasa mereka sendiri.
Dengan cara ini, ia mengkonsolidasikan otoritas Bolshevik dan Revolusi Oktober, serta membantu memenangkan para seniman dan penulis terbaik ke dalam perjuangan revolusioner. Dia tidak menggunakan perundungan dan represi birokratik, apalagi kekerasan administratif.
‘Realisme sosialis’
Namun, semua itu berubah ketika rezim demokratik yang didirikan oleh Lenin dan Trotsky pada Oktober 1917 digulingkan oleh kontra-revolusi birokratik Stalinis.
Kontra-revolusi ini sangat destruktif terhadap seni dan semua pemikiran orisinal dan kreatif secara umum. Doktrin resmi yang baru, yang disebut ‘Realisme Sosialis’, pada dasarnya adalah seni untuk memuji birokrasi dalam bahasa yang dapat dipahami oleh kaum birokrat.
Tujuan seni ini adalah untuk menampilkan Partai – ekspresi politik kolektif birokrasi – sebagai yang maha tahu dan maha kuasa.
Dan di puncak Partai ini berdiri sang Bos yang maha tahu dan maha kuasa, Stalin, satu-satunya dari antara pemimpin Bolshevik yang sama sekali tidak memiliki budaya dan tidak peduli pada seni, dan bahkan memusuhinya.
Dalam seni dan sastra selalu ada rutinitas, seperti halnya di bidang lain. Revolusi mendobrak rutinisme konservatif yang lama dan membuka pintu bagi ide-ide baru dan menarik. Namun, ide-ide baru adalah hal terakhir yang diinginkan oleh Stalin dan birokrasi.
Sejarah seni dan sastra memiliki banyak pahlawan, tetapi juga memiliki banyak orang-orang medioker, penjilat yang tidak punya integritas, dan filistin yang minim imajinasi. Makhluk-makhluk ini langsung bergegas melayani kediktatoran Stalin, bertindak sebagai pengawas yang setia untuk mengontrol dan menyensor seni, musik, dan sastra.
Pintu-pintu yang telah dibuka oleh Revolusi Oktober dengan cepat ditutup. Mereka yang melawan segera mendapati diri mereka berada di penjara atau di kamp kerja paksa Siberia.
Bunuh diri Mayakovsky pada 1930, pada usia 36 tahun, merupakan protes awal terhadap atmosfer rezim Stalin yang mencekik, konservatif, dan represif, yang merupakan antitesis dari segala sesuatu yang diwakili oleh Mayakovsky dan Bolshevisme.
Berkat semangat artistik rakyat Soviet yang tak terbatas, tradisi besar sastra, seni, dan musik Rusia tetap hidup meski menghadapi segala rintangan.
Api terus menyala, dan dengan itu, kesetiaan rakyat kepada Lenin dan memori Oktober yang membuat mereka mampu mengalahkan pasukan Nazi Hitler dengan seluruh kekayaan Eropa di belakang mereka.
Kapitalisme dan seni
Dalam periode kemajuannya, kaum borjuis memainkan peran progresif dalam mengembangkan kekuatan produktif dan mendorong maju peradaban dan budaya.
Tetapi dalam masa tuanya yang membusuk, kapitalisme tidak lagi tertarik mengembangkan kekuatan produktif. Batas-batas sempit kapitalisme bahkan tidak dapat menampung kekuatan produktif yang telah diciptakan sebelumnya.
Kelas penguasa zaman sekarang tidak memiliki wawasan yang luas, filosofi yang mendalam ataupun visi masa depan. Seluruh eksistensinya hanya untuk meraup profit dalam pengertian yang paling sempit dan menjijikkan.
Seolah-olah kaum borjuis telah mengalami kemunduran secara kolektif ke tahap akumulasi primitif kapital. Kepicikan sebagai syarat eksistensi dan kekikiran sebagai satu-satunya kebajikan moral.
Dalam periode pembusukannya, kapitalisme menampilkan semua fitur yang menjijikkan, seperti yang dikatakan oleh Shakespeare:
“Sans teeth, sans eyes, sans taste, sans everything.”[11]
Seni yang sesungguhnya adalah revolusioner
Dampak paling negatif dari kemerosotan kapitalisme dapat ditemukan dalam dunia budaya. Ke mana pun kita melayangkan pandangan kita, kita hanya bisa melihat seni borjuis yang sedang sekarat.
Gejala-gejala pembusukan terlalu banyak untuk disebutkan. Kondisi sebagian besar seni visual terus terang sangat menyedihkan, dan musik yang dulunya disebut musik ‘klasik’ bahkan ada dalam kondisi yang lebih buruk.
Tetapi kekuatan yang dibutuhkan untuk melawan rezim kapitalisme yang sudah renta dan pikun ini tidak dapat ditemukan di dalam batas-batas dunia kaum intelektual artistik.
Para seniman memang dapat dan harus memainkan peran dalam revolusi sosialis. Tetapi mereka hanya dapat berhasil dengan bersatu dengan kaum proletar revolusioner.
Sama seperti pada periode kemunduran feodalisme, tirani gereja dan monarki hanya dapat digulingkan oleh upaya kelas revolusioner yang sedang bangkit, yaitu kaum borjuis, demikian pula sekarang, rezim kapitalisme yang stagnan dan represif hanya dapat digulingkan oleh kekuatan yang lebih besar daripada dirinya sendiri.
Ini hanya bisa dilakukan oleh kelas yang membentuk mayoritas masyarakat, kelas yang memegang kendali kekuasaan ekonomi di tangannya dan, begitu dimobilisasi untuk mengubah masyarakat, tidak mungkin gagal.
Yang dibutuhkan adalah ledakan perjuangan kelas yang akan menentang status quo dan menghancurkan atmosfer yang mencekik mati seni.
Begitu kelas buruh memasuki jalan perjuangan, angin segar perjuangan kelas akan menyapu semua debu dan sarang laba-laba yang telah mengendap di benak manusia, menumpulkan kesadaran mereka dan mematikan kepekaan mereka.
Begitu massa mulai bergerak, mereka tidak akan puas dengan ‘budaya’ murahan yang saat ini menumpulkan pikiran mereka. Mereka akan mencari sesuatu yang lebih baik dari apa yang selama ini mereka terima: mereka akan mencari buku-buku baru, ide-ide baru, musik baru.
Dalam menolak semua yang busuk dalam budaya masa kini, mereka akan merangkul ide-ide dan budaya terbaik dari masa lalu dengan antusias.
Perjuangan untuk emansipasi sosial kelas buruh tidak dapat dibayangkan tanpa emansipasi intelektual dan budayanya.
Seni dan Sosialisme
Seni yang sesungguhnya pada dasarnya selalu bersifat revolusioner.
Seni harus menentang kuk tirani dalam segala bentuknya, bukan hanya polisi dengan tongkat dan borgolnya, bukan hanya birokrat tak berjiwa dengan kitab undang-undang di tangannya, dan bukan hanya polisi rohani Gereja, tetapi juga kediktatoran Kapital, baik material maupun spiritual.
Para seniman dan sastrawan tidak bisa tetap acuh tak acuh terhadap penderitaan umat manusia. Mereka juga harus memutuskan di pihak mana mereka berdiri dan mengambil tempat mereka di barikade.
Ketika manusia benar-benar bebas untuk mengembangkan diri mereka sendiri, dan untuk mewujudkan potensi mereka yang sebenarnya sebagai manusia, ketika jam kerja dikurangi sampai minimum dan kemiskinan dihapuskan, kita tidak akan kekurangan Shakespeare, Rembrandt, dan Beethoven baru, seperti halnya kita tidak akan kekurangan Einstein dan Darwin baru.
Kebangkitan masyarakat kelas menandai keterasingan total massa dari dunia seni dan budaya. Penggulingannya akan menciptakan syarat-syarat material untuk menghapus pembagian kerja mental dan kerja manual yang menyesakkan itu.
Setelah ribuan tahun perbudakan, menara gading intelektual yang terisolasi akan dirobohkan. Pintu-pintu yang menghalangi semua akses terhadap budaya akan dibuka; sekolah-sekolah seni, musik, dan sastra yang baru akan tumbuh seperti jamur, tanpa terhalang oleh sensor negara, gereja, atau pasar.
Namun, sosialisme akan membuka jalan bagi transformasi yang jauh lebih dalam dan lebih penting.
Di bawah sosialisme, seni akan kembali menjadi milik seluruh rakyat. Seni tidak akan lagi menjadi mimpi yang tidak mungkin tercapai, sesuatu yang aneh dan asing yang sepenuhnya terpisah dari kehidupan nyata.
Seni akan menyatu dengan kehidupan sehari-hari, dan pada akhirnya menjadi bagian yang tak terpisahkan darinya. Karena seni tertinggi dari semuanya adalah seni mengenai kehidupan. Itulah arti sebenarnya definisi sosialisme menurut Engels: “Lompatan umat manusia dari kerajaan kebutuhan ke kerajaan kebebasan.”[12]
[1] K Marx, ‘Economic Manuscripts of 1857-1861’, Marx & Engels Collected Works, Vol. 28, Progress Publishers, 1986, hal. 46
[2] W K Simpson (ed.), ‘The Satire on the Trades: The Instruction of Dua-Khety’, The Literature of Ancient Egypt, Yale University Press, 2003, hal. 432-437
[3] W R Manchester, A World Lit Only by Fire, Little, Brown and Co., 1993, pg 26
[4] Quoted in ibid. pg 3
[5] J Milton, Paradise Lost, Oxford University Press, 1998, pg 15
[6] Cavalier adalah para pendukung monarki Charles I selama Revolusi Inggris pada abad ke-17.
[7] G Plekhanov, Selected Philosophical Works, Vol. 5, Progress Publishers 1981, pg 395
[8] W Wordsworth, William Wordsworth: Poems, Faber and Faber, 2001, pg 127
[9] L v Beethoven, ‘An den Musikverleger N Simrock in Bonn’, Beethovens sämtliche Briefe, Schuster und Loeffler, 1906, pg 17-18, our translation
[10] N H Dole (ed.), The Latin Poets: an Anthology, Thomas Y Crowell and Co., 1905, pg xi
[11] W Shakespeare, As You Like It, Thomas Nelson and Sons, 1975, pg 57
[12] F Engels, Anti-Dühring, Wellred Books, 2017, pg 336