Ahok kembali mengejutkan banyak orang, termasuk sejumlah Kiri yang memang lebih banyak terkejutnya daripada mampu melihat ke depan, ketika dia menyatakan mimpinya menjadi Presiden dan ingin menasionalisasi semua aset asing. Frustasi dengan negosiasi pembagian saham perusahaan air minum Palyja, dimana Pemprov DKI Jakarta menginginkan saham Palyja dibagi tiga (BUMD DKI, Manila Water, dan Astratel), Ahok mengancam, “Kalau saya presiden, saya nasionalisasikan semua aset asing yang kamu ambil.” Di kesempatan lain, bulan lalu Jokowi mengancam membatalkan pinjaman dari Bank Dunia karena dirasa berbelit-belit.
Tidak heran kalau banyak rakyat luas yang merasa kalau Jokowi-Ahok sedang membela kepentingan mereka. Di tengah masyarakat dimana hanya kebusukan yang terpampang, tindakan Ahok dan Jokowi tampak seperti angin segar. Ketika bangsa ini tampak tidak punya karakter, kaum borjuasinya begitu lemah dan menyembah pada modal asing, setiap geraman dari seorang pemimpin terhadap asing terdengar begitu merdu dan menyejukkan hati bagi rakyat luas. Yang menjadi masalah adalah ketika Kiri kita menjadi ikut-ikutan latah. Bukannya menjelaskan kepada rakyat luas sejumlah kontradiksi di balik tindakan-tindakan Jokowi Ahok dan memberikan pemahaman politik mengenai fenomena populisme-mesianisme yang sedang terjadi, mereka malah mengekor. Para “relawan pendamping” Jokowi-Ahok justru menjadi cover kiri untuk Jokowi-Ahok, tidak kritis dan secara efektif justru menguatkan kebudayaan patron-klien di antara rakyat luas.
Tidak lama setelah berkoar mengenai nasionalisasi, Ahok menawarkan bantuannya kepada buruh untuk memfasilitasi MayDay, dengan menganjurkan agar aksi massa diganti menjadi joget massa. “Nanti ada door prize, band, atau barongsai,” ujarnya. Selain itu, dihimbau juga olehnya agar pemerintah dan perusahaan membantu perayaan ini, dalam kata lain agar Hari Buruh ini menjadi Hari Buruh, Pemerintah, dan Perusahaan, yakni menjadi Hari Tripartit. “Nanti masing-masing walikota akan diminta mempersiapkan, perusahan juga,” gagasnya. Lalu dengan pintar dia melakukan double-talk: “Kalau mau demo yang benar lah, saya harap sich jangan sampai demo” dan “Kalau mau keliling berapa ratus ribu saya oke-oke saja … tapi jangan tutup jalan.” Jadi menurut Ahok, demo yang “benar” boleh tapi baiknya jangan demo; lalu turun ratusan ribu boleh tapi jangan di jalan karena akan menutup jalan, baiknya di trotoar saja berbaris rapi. Ini tidak berbeda dengan posisi Jokowi saat Getok Monas lalu, yang tidak mengatakan apa sistem kerja outsourcing itu baik atau buruk. Dia hanya mengatakan, “semua yang baik untuk masyarakat saya setuju.” Yakni ujaran yang tidak berarti sama sekali.
Sebagai seorang sosialis, kita mendukung program nasionalisasi sebagai bagian dari serangan terhadap kekuatan ekonomi kapitalis yang bersarang pada kepemilikan pribadi mereka atas alat produksi. Tetapi nasionalisasi bukanlah sebuah program yang unik bagi kaum sosialis. Dalam berbagai kesempatan, kaum kapitalis juga telah melakukan nasionalisasi, bukan demi kepentingan buruh tetapi justru demi kepentingan mereka. Hanya karena sebuah pemerintah, atau seorang pemimpin ini atau itu, mengancam – dan sampai mencanangkan – nasionalisasi, tidak serta merta ini membuat pemimpin tersebut pro-rakyat atau revolusioner. Kita harus jeli dalam melihat kepentingan-kepentingan yang ada di sana, kalau tidak kita hanya akan terayun dari kiri ke kanan. Misalnya rejim Iran, Suria, dan Libya (di bawah Gaddafi) melakukan serangkaian program nasionalisasi dan para pemimpinnya menolak dikendalikan oleh AS, apa ini lantas membuat mereka revolusioner? Tidak! Gerakan buruh dan Kiri secara umum di bawah rejim-rejim ini tidak bebas dan ditindas dengan kekejaman yang tidak kalah brutalnya dengan Orde Baru.
Nasionalisasi ala Jokowi-Ahok terlebih lagi adalah nasionalisasi dimana buruh diminta joget saja. Buruh tidak dimobilisasi untuk menjadi kekuatan politik dan ekonomi yang menjadi bagian integral dari proses nasionalisasi tersebut, tetapi diminta tertib dan patuh saja. Kontradiksi ini jelas, dan tidak coba dianalisa atau dijelaskan oleh para Kiri “relawan pendamping” Jokowi-Ahok. Mereka latah saja mengikuti tren hari ini.
Sementara pada saat yang sama Jokowi sendiri sedang digugat buruh karena telah mengijinkan penangguhan UMP ke sejumlah perusahaan. Hasil perjuangan buruh dalam meningkatkan upah minimum dengan mudah dibatalkan oleh goresan pena Jokowi, dengan alasan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut merugi. Ini adalah alasan klasik dari para pengusaha, yang tentunya sebagai pengusaha sendiri Jokowi dan Ahok sangat tahu.
Kegeraman Jokowi Ahok terhadap Bank Dunia dan modal asing bukanlah karena karakter anti-imperialis mereka. Jokowi Ahok adalah tipe administrator borjuis yang profesional, yang punya karakter. Pemerintahan DKI Jakarta selama puluhan tahun biasanya dapat diinjak-injak oleh Bank Dunia dan modal asing dengan mudah. Para birokrat begitu tidak kompeten dan tidak punya tulang punggung. Para perwakilan Bank Dunia dan modal asing begitu lama terbiasa melakukan negosiasi dengan parasit-parasit tak bertulang ini dan dengan mudah mendapatkan semua yang mereka inginkan. Ketika Jokowi dan Ahok datang, mereka kira Jokowi Ahok adalah birokrat yang sama yang dapat mereka permainkan sesuka hati, dapat mereka injak-injak. Mereka keliru. Tetapi hanya sampai di sini saja. Para perwakilan Bank Dunia dan modal asing akan mengubah cara bernegosiasi mereka, menjadi lebih sopan dan tidak seenaknya. Pada akhirnya kekuatan asing masihlah yang punya modal, yang tidak mungkin ditolak. Indonesia bukan negara yang banjir modal. Jokowi baru-baru ini sudah membantah kalau dia batal pinjam uang dari Bank Dunia.
Dalam memberikan legitimasi kepada Jokowi dan Ahok, Kiri-Kiri kita juga memberikan legitimasi kepada seruan Jokowi dan Ahok agar buruh baiknya tidak melakukan aksi massa tetapi aksi joget saja. Kiri kita yang latah ini juga memberikan legitimasi kepada win-win solution yang ditawarkan oleh Jokowi-Ahok, yakni solusi perdamaian antara buruh dan kapital, dimana mereka dapat berjabat erat dan sama-sama makmur. Jokowi Ahok adalah reprensentasi kapital paling baik, karena mereka dapat meredam perjuangan kelas dengan cara-cara yang tidak frontal. Seperti halnya Obama adalah perwakilan kapital yang jauh lebih baik daripada George Bush, karena ia mampu mengatakan apa yang ingin didengar rakyat.
Pada akhirnya kelatahan sejumlah Kiri kita ini adalah cerminan dari tendensi mencari jalan pintas.Tendensi ini, di satu pihak, bersumber dari rakyat luas yang memang sudah geram dengan sistem yang ada. Alternatif apapun, kalau terdengar dan terlihat baik, langsung didukung oleh rakyat luas dan ini biasanya adalah tekanan yang besar bagi Kiri. Ada tekanan untuk tidak tertinggal massa, terutama setelah periode keterisolasian yang panjang. Di pihak lain, Kiri kitapun terdorong untuk mencari jalan pintas karena begitu banyak kekecewaan yang mereka alami dalam perjuangan. Kaum revolusioner punya tugas yang tidak menyenangkan, yakni tidak serta merta terseret dalam eforia sesaat dan mampu menjelaskan dengan sabar. Tidak ada jalan pintas selain jalan pintas ke jurang.
Selama gerakan kita belum bisa memberikan kepemimpinan untuk penyelesaian masalah-masalah bangsa yang pelik, akan muncul Jokowi-Jokowi lainnya. Satu tahun belakangan ini kita sudah mulai saksikan kepemimpinan dari kelas buruh, satu-satunya kepemimpinan yang dapat mematahkan belenggu rantai kapitalisme. Ini harus terus kita bangun tanpa terlena oleh sosok-sosok populis. Kepercayaan kita hanyalah pada kekuatan kita sendiri, dan terutama kekuatan kelas buruh. Setiap aksi massa akan menguatkan kepemimpinan ini, dan kita tolak semua usaha untuk menumpulkan aksi massa.