Referendum Brexit beberapa bulan yang lalu telah mengguncang tidak hanya Eropa tetapi seluruh dunia. Di sini kita akan mencoba menyajikan telaah kritis mengenai apa yang terjadi dan bagaimana kaum revolusioner harus merespons masalah Brexit.
Uni Eropa sedang memasuki krisis yang paling serius di dalam sejarahnya. Ini membuat banyak orang mempertanyakan keberadaannya di masa depan. Seperti yang telah kita prediksikan jauh hari sebelumnya, di dalam krisis yang serius, semua kontradiksi nasional akan mencuat seperti yang sekarang kita lihat. Sejak awal perspektif kita mengenai penyatuan ekonomi Eropa dan mata uangnya telah jelas, bahwa di atas basis kapitalisme penyatuan Eropa adalah utopis dan reaksioner. Lebih dari dua dekade yang lalu, kita telah memprediksi bahwa tidak hanya pembentukan Uni Eropa, melainkan penyatuan mata uang tunggal yakni Euro, berisiko memicu krisis dan bahkan pembubaran Uni Eropa sendiri. Sekarang, skenario itu terjadi di depan mata kita.
Referendum Brexit yang berlangsung pada akhir Juni lalu membuat kaum borjuasi Inggris dan para pimpinan negeri-negeri di Zona Euro ketakutan. Bagaimana tidak. Hasil referendum ini mengejutkan borjuasi Inggris, dimana 52% memilih untuk keluar dan 48% memilih untuk tetap berada di UE. Kekhawatiran akan dilakukannya referendum yang serupa di negeri anggota UE yang lain juga membayangi mereka. Ini bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit biru begitu saja. Proses ini sudah dimulai sejak krisis 2007-2008.
Krisis 2007-2008 adalah krisis ekonomi dunia yang tidak pernah kita lihat seperti krisis sebelumnya. Sejak akhir Perang Dunia kedua, kita saksikan setidaknya tujuh resesi ekonomi resmi yang diikuti dengan pemulihan yang relatif cepat. Kini situasinya berbeda sama sekali. Tidak terlihat ada pemulihan atau pertumbuhan. Seluruh Eropa, termasuk Inggris, mengalami penurunan ekonomi, kenaikan tingkat hutang dan defisit, upah stagnan, pengangguran meningkat, standar hidup menurun, biaya hidup yang semakin mencekik, dan krisis pengungsi.
Kapitalisme Eropa menemukan dirinya berada pada krisis yang dalam, dengan jumlah pengangguran yang menggunung dan sedikit pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, ada jutaan pengungsi yang melarikan diri dari perang, konflik dan penderitaan. Ini memberi efek pada ketidakstabilan sebuah negeri dan memberi kesempatan bagi munculnya rasisme dan xenophobia. Dalam kondisi krisis ekonomi yang mendalam dan banyaknya pengangguran massal, kapitalisme tidak mampu menyediakan lapangan kerja dan rumah-rumah atau mengintegrasikan masuknya pengungsi. Ini memberi amunisi bagi sekelompok kaum fasis dan rasis untuk menyalahkan kaum pengungsi sebagai biang kerok pengangguran dan tuna wisma. Rasisme semacam ini adalah racun yang mengakar dalam problem-problem kapitalisme, yang mana para pemimpin buruh yang reformis tidak memiliki jawaban untuknya.
Perlu dicatat bahwa referendum Brexit bukan hasil dari dorongan kelas buruh maupun gerakan buruh. Referendum ini adalah inisiasi dari David Cameron, pemimpin Partai Konservatif, yang menjanjikan dilaksanakannya sebuah jajak pendapat segera setelah ia terpilih pada pemilu 2015 lalu. Cameron menjanjikan referendum ini untuk menenangkan kegaduhan di dalam partainya, dimana terbentuk dua faksi dalam Partai Konservatif: yang ingin meninggalkan UE dan yang ingin tetap di UE. Krisis kapitalisme telah memecah kelas borjuasi Inggris secara garis besar menjadi dua kubu, antara yang percaya bahwa mereka bisa menyelesaikan krisis dengan keluar dari UE, dan yang percaya bahwa jalan terbaik adalah tetap di dalam UE. Ini sama dengan perpecahan antara kaum kapitalis yang ingin mengandalkan program stimulus (Keynesian) dan yang percaya pada program penghematan (austerity) sebagai solusi untuk krisis finansial yang ada hari ini. Krisis ekonomi selalu menyebabkan krisis kepemimpinan di antara kelas penguasa.
Awalnya massa rakyat pekerja tidak terlalu peduli pada referendum ini. Umumnya rakyat pekerja Inggris percaya, dan mereka benar, bahwa kesulitan ekonomi yang mereka hadapi tidak akan berubah secara fundamental entah mereka jadi bagian dari UE atau tidak. Hanya kira-kira sebulan sebelum hari H, setelah media massa dan politisi dari kedua kubu gaduh mengenai Brexit, rakyat pekerja mulai memperhatikan referendum ini.
Mood massa pada referendum ini sebetulnya menunjukkan sebuah kebingungan. Tidak ada garis kelas yang jelas antara kamp “tetap” dan “keluar”. Sebaliknya, kepemimpinan dari kedua kamp ini didominasi oleh kaum reaksioner. Di kamp “tetap” kita temui David Cameron dan konco-konconya, yang menjanjikan bahwa rakyat akan sejahtera di dalam UE. Tetapi bukankah merekalah yang lewat kebijakan-kebijakan pasar bebas mereka telah menjerumuskan jutaan rakyat ke jurang kemiskinan? Sementara kamp “tinggal” dipimpin oleh bajingan seperti Boris Johnson dari Partai Konservatif dan Nigel Farage dari partai UKIP, yang dikenal rasis dan reaksioner. Mereka meluncurkan kampanye rasis anti-imigran, yang menyalahkan pendatang dari luar atas semua masalah yang dihadapi Inggris.
Di Inggris bagian utara, banyak pekerja yang memilih ‘keluar’ sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemotongan-penghematan, menurunnya standar hidup rendah, upah murah, kemiskinan, dan keinginan untuk menendang keluar UE. Ini tidak berarti mereka semua adalah rasis. Tapi sebagian yang lain, terutama para pekerja tetap, memilih ‘tinggal’ termasuk di kawasan London dan kota-kota besar lainnya seperti Birmingham, Manchester dan Liverpool. Di Skotlandia, suara mayoritas adalah ‘tinggal’. Sama seperti di Irlandia bagian utara, yang juga memilih untuk ‘bertahan’. Begitu juga dengan populasi kaum Hitam dan Asia, dimana 74% adalah kaum muda dan 80% adalah pelajar. Mereka juga memilih untuk tetap berada dalam UE. Kelas buruh terpecah dalam referendum ini.
Kondisi ini berbeda dengan referendum sebelumnya pada 1975, yakni referendum untuk menentukan keanggotaan Inggris Raya dalam Masyarakat Eropa (cikal bakal Uni Eropa). Mayoritas Kiri, Partai Buruh, Serikat Buruh, dan secara umum lapisan buruh yang sadar kelas berada pada garis yang sama dalam menolak apa yang pada saat itu dinamakan Masyarakat Ekonomi Eropa, karena mereka melihat ini sebagai proyek kapitalis untuk lebih mengeksploitasi kelas buruh. Kali ini keadaan sama sekali berbeda. Baik Partai Buruh maupun serikat-serikat buruh mayoritas mengambil posisi untuk ‘bertahan’ di Uni Eropa, yang notabene berarti bersekutu dengan David Cameron dan kapitalis besar. Jeremy Corbyn, yang selalu menentang Uni Eropa di masa sebelumnya, dengan terpaksa berkompromi dengan sayap kanan dan mengkampanyekan kamp ‘tetap’, dengan alasan kebijakan partai serta untuk menghindari perpecahan di dalam Partai Buruh. Namun, segera setelah kekalahan referendum, sayap kanan menyerang Corbyn dan menyalahkannya atas kegagalan kampanye, dan memintanya bertanggung jawab. Konflik ini dengan segera membagi partai buruh Inggris dari atas hingga ke bawah.
Kesalahan Corbyn adalah bentuk watak dari reformisme kiri. Tipikal kesalahan ini adalah karakteristik reformisme kiri yang terus menerus mencoba untuk berkompromi dengan sayap kanan, meski dengan hasrat tidak ingin berkompromi, tapi di sisi lain, secara agresif mengikuti kebijakan pro-borjuis di Uni Eropa. Kesalahan Corbyn terhadap isu Uni Eropa mengandung benih-benih kesalahan lain dan lebih berbahaya di masa depan. Pada kenyataannya ini bukanlah kesalahan sama sekali, tapi kecenderungan yang melekat dari reformisme kiri yakni menyerah terhadap tekanan-tekanan dari sayap kanan dan kaum borjuis yang akhirnya berakhir pada pengkhianatan. Contoh paling jelas, adalah kasus Yunani.
Kubu ‘bertahan’ dipimpin oleh Cameron. Ia mewakili kepentingan mayoritas dari grup-grup bisnis besar yang menentukan di kota London. Sedangkan kubu ‘keluar’, merepresentasikan sayap Thatcher dari Partai Tory dalam aliansinya dengan UKIP (Partai Kemerdekaan Inggris), Nigel Farage, yang rasis. Kubu ‘keluar’ seratus persen adalah kubu reaksioner. Ia menarik prasangka terbelakang dari lapisan masyarakat dan memanipulasi perasaan proletariat, dengan dalih melawan pemotongan. Awalnya, Boris Johnson, mengambil jarak dengan Nigel Farage yang rasis, bersembunyi di balik jubah melawan dominasi Uni Eropa atas Inggris. Tapi pada akhirnya, ia menyanyikan ‘lagu’ yang sama dengan para rasis itu, dari lembaran-lembaran nyanyian yang bernada anti asing. Namun, posisi utama dalam kubu Brexit ini sesungguhnya adalah anti imigran. Untuk itulah, kedua kubu sama sekali tidak mewakili kepentingan kelas buruh. Dan tidak ada perbedaan fundamental di antara keduanya, dan oleh karenanya dalam kasus ini kaum revolusioner tidak boleh menemui diri mereka di dalam kubu “bertahan” atau “keluar”. Posisi yang tepat adalah menolak kedua kubu ini dan menjelaskan dengan sabar kepada rakyat pekerja, yang terpecah ke dalam kedua kubu ini, bahwa solusi untuk masalah yang mereka hadapi tidak akan bisa ditemui di luar atau di dalam Uni Eropa selama ini masih dalam basis kapitalisme.
Dampak Internasional
Hasil referendum Inggris memicu gejolak di semua negeri Eropa dan di luar Eropa. Wacana referendum yang serupa mulai bermunculan dan memberi dorongan yang kuat, terutama saat sentimen anti-Uni Eropa mulai menjamur sebagai hasil dari tahun-tahun penuh dengan kebijakan pemotongan dan penghematan, terutama di kawasan Eropa Selatan.
Sentimen anti-Uni Eropa di satu sisi bisa menjadi bahaya, karena akan dimanfaatkan oleh kelompok sayap kanan, partai, organisasi rasis bahkan fasis. Seperti Marine Le Pen yang menyambut dengan sangat antusias referendum Brexit, dan menuntut dilaksanakan referendum yang serupa di Prancis. Hal yang sama juga datang dari Belanda, Geert Wilders, politikus sayap kanan, pendiri dan pemimpin Partai untuk Kebebasan.
Mengingat meskipun Inggris adalah anggota UE, tapi Inggris tidak berada di zona Eropa, dan tidak menggunakan Euro sebagai mata uang, tetapi poundsterling. Untuk itulah, rakyat pekerja Inggris tidak merasa perlu menyalahkan UE atas kesulitan ekonomi yang mereka alami. Ini berbeda dengan rakyat pekerja di Italia, Yunani, Portugal, dan Spanyol. Mereka melihat hubungan langsung antara kebijakan penghematan dengan Uni Eropa secara umum dan Euro secara khusus. Banyak kaum pekerja yang melihat hasil Brexit sebagai tamparan terhadap para bos UE di Brussels.
Perasaan kebencian terhadap Uni Eropa memiliki karakter progresif dan berpotensi revolusioner, hanya jika berada di bawah kepemimpinan yang tepat. Hal ini akan memiliki signifikansi yang progresif, tidak hanya terhadap Uni Eropa, melainkan terhadap kapitalisme itu sendiri. Peran kepemimpinan adalah hal yang fundamental. Seperti halnya Yunani. Jika saja Tsipras mendasarkan dirinya pada basis dukungan dari referendum OXI, untuk menantang Angela Merkel dan grup Troika, maka ia bisa melakukan pengambilalihan bank-bank nasional dengan segera, dengan dukungan antusias dari massa. Tidak hanya kaum buruh, melainkan rakyat pekerja lainnya, para borjuasi kecil, petani, dan elemen tertindas lain. Ini memungkinkan bagi Tsipras untuk menyerukan kepada rakyat pekerja Eropa untuk datang dan membantu rakyat Yunani. Ini bisa menjadi awal bagi gerakan massa revolusioner seluruh Eropa. Tapi kesempatan ini menguap begitu saja. Sebaliknya, ia memilih mengkhianati gerakan dan menyerah kepada Eropa.
Krisis Eropa jauh daripada terselesaikan. Krisis ini telah mengungkapkan kegagalan persatuan ekonomi kapitalis, dan lebih jauh mengungkapkan kegagalan reformisme. Di bawah kapitalisme, gagasan tentang sebuah benua tanpa perbatasan hanyalah suatu impian belaka. Unifikasi Eropa, suatu tugas yang secara historis perlu dan progresif, hanya bisa dicapai ketika kaum buruh Eropa bergerak untuk menggulingkan kediktatoran bank-bank dan monopoli-monopoli, serta meletakkan fondasi-fondasi bagi suatu persatuan yang bebas dan sukarela dari rakyat-rakyat di atas dasar persatuan sosialis. Tanpa ini, semua usaha kapitalisme untuk menyatukan negara-bangsa hanya akan menyiapkan krisis yang lebih dalam, akut, dan meledak-ledak. Dan masa depan Eropa akan sangat ditentukan oleh pilihan ini: sosialisme atau barbarisme!