Indonesia, seperti banyak negeri-negeri Dunia Ketiga lainnya, berada di bawah dominasi kapital asing lewat investasi-investasi mereka dan institusi-institusi keuangan internasional seperti IMF, Bank Dunia, Asian Bank Development, dan banyak lainnya. Selama ratusan tahun, sejak jaman penjajahan Belanda sampai hari ini, kekayaan alam kita diborong ke luar untuk memperkaya kapitalis-kapitalis asing. Buruh kita diperas keringatnya lewat politik upah murah untuk memproduksi produk-produk merek luar negeri. Pemerintahan kita lemah di hadapan negeri-negeri besar. Hutang luar negeri yang begitu besar membuat bangsa kita bergantung pada belas kasihan IMF dan Bank Dunia. Inilah potret kenyataan Indonesia dalam percaturan politik dan ekonomi dunia.
Namun, potret ini hanyalah satu gambaran permukaan saja, dan ini tidak lengkap. Bila kita bersandar hanya pada apa yang tampak di permukaan tanpa memahami proses perkembangan imperialisme, maka kita akan terjebak pada sentimen anti-imperialisme yang vulgar yang bukannya membawa kita lebih dekat pada pembebasan nasional yang sesungguhnya tetapi justru menjadi halangan terbesar bagi perjuangan anti-imperialisme. Sayangnya, sejarah perjuangan kita penuh dengan kegagalan dalam memahami karakter imperialisme yang sesungguhnya.
Dengan dalih bahwa Indonesia didominasi oleh kapital asing, maka kesimpulan yang diambil oleh sejumlah kaum Kiri adalah bahwa imperialisme oleh karenanya adalah musuh utama rakyat hari ini. Pembebasan nasional menjadi agenda utama dan perjuangan kelas menjadi sekunder dan dikesampingkan. Elemen-elemen nasionalis – dari mana pun ia datang, apa itu dari kapitalis nasional atau bahkan militer – harus dirangkul dan dijadikan sekutu dalam sebuah front nasional. Kebijakan yang diadopsi adalah kolaborasi kelas atas nama melawan modal asing, di mana perjuangan kelas buruh dan tani dilumpuhkan demi front nasional dengan kapitalis nasional.
Karya ini bermaksud memberikan gambaran yang lengkap mengenai imperialisme. Dimulai dari memahami kapitalisme dan perkembangannya secara historis, kita akan dapat memahami bagaimana imperialisme lahir. Kita akan dapat memahami bagaimana imperialisme itu adalah tahapan tertinggi kapitalisme.
Kelahiran Kapitalisme
Imperialisme adalah tahapan tertinggi kapitalisme. Yang dimaksud adalah bahwa imperialisme itu adalah kapitalisme pada periode hari ini. Dari sini saja sudah jelas kalau perjuangan melawan imperialisme tidak bisa dipisahkan dari perjuangan melawan kapitalisme.
Untuk memahami imperialisme, yang merupakan tahapan tertinggi kapitalisme, maka kita harus memahami kapitalisme pada tahapan terendahnya, atau kapitalisme pada kelahirannya. Seperti halnya kita ingin memahami secara penuh seorang yang sudah dewasa, kita juga harus memahami masa mudanya – bahkan dari kelahirannya. Kita ingin tahu siapa orang tua dia, di mana dia dilahirkan dan kapan, bagaimana cara dia dibesarkan, masa remajanya seperti apa, dsb. Inilah mengapa tidak ada buku biografi yang hanya merekam hidup seorang saat dia sudah dewasa.
Kapitalisme lahir ketika sistem feodalisme sudah menjadi hambatan bagi perkembangan kekuatan produktif manusia. Feodalisme dengan moda produksi yang berbasiskan tanah dan kerajinan tangan perlahan-lahan kalah bersaing dengan moda produksi skala-besar yang berbasiskan pabrik, yang jauh lebih produktif. Kekuatan baru lahir dari dalam masyarakat feodal, yakni kelas kapitalis. Kelas inilah yang akhirnya menumbangkan tatanan masyarakat feodal yang mencekik mereka karena tatanan tersebut yang tidak demokratis dan konservatif adalah halangan bagi perkembangan kapitalisme yang membutuhkan kebebasan yang lebih luas dalam semua aspek kehidupan: politik, ekonomi, sosial, dan sains.
Kemajuan sains sangatlah penting bagi perkembangan teknologi yang dibutuhkan oleh moda produksi kapitalis yang menggunakan mesin-mesin. Di bawah feodalisme, ilmu alam dan sains dicekik karena monarki dan Gereja – yang merupakan kekuatan politik besar – merasa terancam kedudukannya. Sains mengajarkan hukum logika, yang tidak bisa tidak menyerang doktrin Gereja bahwa ada makhluk gaib di atas sana yang memberikan kekuasaan absolut kepada satu dua orang. Inilah mengapa dalam sejarah revolusi borjuis demokratik – yakni revolusi kapitalis – kita temui hampir semua ilmuwan dan pakar sains ada di sisi revolusi.
Fitur utama kapitalisme adalah persaingan bebas antar kapitalis. Hanya dengan terus berkompetisi para kapitalis bisa mengembangkan teknologi. Mereka yang tidak terus berinovasi akan kalah. Inilah mengapa kapitalisme jauh lebih progresif daripada feodalisme, karena ia terus tumbuh. Sistem pemerintahan feodal adalah sistem yang berdasarkan kesewenang-wenangan absolut. Posisi seseorang ditentukan oleh keturunan (dari keluarga bangsawan mana dia datang) dan bukan oleh kesuksesan pribadinya. Tidak ada kepastian hukum bagi hak-hak dasar seorang penduduk. Tidak ada demokrasi. Tidak ada perlindungan hukum. Ini semua tidak kondusif bagi kapitalisme, sehingga dibutuhkan sebuah negara republik yang demokratis.
Selain itu kapitalisme membutuhkan sebuah pasar nasional dengan undang-undang perdagangan yang sama. Di bawah feodalisme, tiap-tiap kota dan daerah punya aturan tersendiri dan pajak tersendiri, sehingga ini menyulitkan kaum pedagang. Ada raja-raja kecil di tiap-tiap kota yang menjadi parasit dan bertindak sewenang-wenang. Kapitalisme yang bersifat ekspansif dan dinamis tidak bisa terkekang oleh kerangka feodal yang kaku. Pembentukan negara-bangsa oleh karenanya juga menjadi tugas utama dari revolusi borjuis demokratik, demi terbentuknya pasar nasional. Negara bangsa adalah sebuah fenomena baru dalam sejarah manusia. Di jaman feodalisme, rakyat mengabdi bukan pada bangsa tetapi kepada bangsawan, kota, dan daerah.
Pembebasan kaum tani – atau reforma agraria – juga menjadi tugas penting bagi lahirnya kapitalisme. Ini bukan karena kaum kapitalis peduli pada nasib kaum tani, tetapi didikte oleh logika kapitalisme itu sendiri. Kapitalisme, yang sistem produksinya berbasis pabrik, membutuhkan tenaga kerja – atau buruh – yang bebas bergerak. Sementara di bawah feodalisme, kaum tani terikat pada tanah dan tuan bangsawan mereka. Kaum tani atau hamba tidak boleh meninggalkan tanah mereka. Oleh karenanya kaum tani harus dibebaskan dari ikatan feodal mereka supaya mereka dapat pindah ke kota-kota dan menjadi tenaga buruh. Selain itu, untuk menyerang kaum bangsawan, cara terbaik adalah membagi-bagikan tanah mereka – yang merupakan sumber kekuatan ekonomi kaum bangsawan – kepada kaum tani yang lama telah menjadi hamba mereka. Ini juga memberikan dukungan besar dari kaum tani kepada revolusi borjuis demokratik. Dengan reforma agraria ini, kaum kapitalis mendapatkan banyak keuntungan: dukungan politik dari kaum tani, melemahkan musuh mereka, dan tenaga kerja buruh.
Dari sini, maka kita bisa meringkas bahwa sejumlah tugas penting kaum borjuis nasional dalam revolusi borjuis demokratik, dalam usaha mereka untuk membentuk kapitalisme, adalah:
1) Pembentukan republik demokratik, menggantikan monarki
2) Pembentukan negara bangsa
3) Reforma agraria
Kapitalisme tumbuh menjadi monopoli dan kartel
Kekuatan produktif manusia tumbuh pesat di bawah kapitalisme. Dengan kompetisi bebas, kapitalis terus menciptakan teknologi-teknologi baru yang membuat manusia menjadi lebih produktif secara keseluruhan. Namun, dengan semakin tingginya kekuatan produktif manusia, semakin besar pula kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Inilah kekonyolan dari kapitalisme. Semakin kaya masyarakat secara keseluruhan, semakin besar pula jurang pemisah antara rakyat pekerja dan kapitalis.
Persaingan bebas adalah motor penggerak kapitalisme. Tiap-tiap kapitalis terus berkompetisi. Awalnya dalam sebuah industri, ada ribuan pengusaha. Mereka terus berseteru untuk merebut pasar. Yang kalah tersingkirkan dan dilahap oleh yang menang. Ini terus menerus berlangsung hingga akhirnya hanya tersisa beberapa pengusaha besar. Dengan cara ini, akhirnya kompetisi berubah menjadi monopoli. Terjadi konsentrasi pasar dan kapital di tangan segelintir pengusaha. Pengusaha-pengusaha kecil tidak mampu lagi bersaing dengan pengusaha-pengusaha besar, yang punya modal besar dan bisa membangun pabrik-pabrik yang lebih besar. Dengan pabrik yang besar, jelas mereka dapat memproduksi lebih murah dan membanjiri pasar. Mereka juga bisa membanting harga sampai pengusaha kecil saingan mereka bangkrut, atau cukup “melahap” saingan mereka dengan membelinya. Inilah yang disebut “ekonomi skala besar”, di mana semakin besar sebuah perusahaan semakin mudah ia meraih laba besar.
Kapitalisme mencapai puncak kompetisi bebas mereka pada 1860-70 dan saat itu monopoli belum menjadi fitur utama. Pada periode 1800an, kapitalisme didominasi perusahaan-perusahaan kecil milik keluarga atau individu. Hanya pada 1900an akhirnya kapitalisme memasuki fase di mana monopoli menjadi fitur dominan. Pada 1830, perusahaan terbesar di dunia adalah pabrik besi-baja Cyfartha, dengan jumlah pekerja 5000 orang dan aset total $2 juta. Hari ini Walmart memperkerjakan 2,2 juta pekerja, McDonald 1,7 juta, Volkswagen 500 ribu, Siemens 360 ribu. Para pelopor kapitalis tidak akan pernah bermimpi kalau akan ada perusahaan dengan jumlah pekerja 1 juta.
Dalam kapitalisme monopoli, pasar dikuasai oleh beberapa perusahaan saja. Kita bisa ambil contoh industri otomobil, yang dikuasai oleh segelintir pemain sejak 1920an. Di Amerika, pusat kapitalisme dunia, industri otomobil dikuasai oleh tiga besar: General Motors, Ford, dan Chrysler. Di Jepang, ini juga dikuasai oleh segelintir saja: Toyoto, Honda, Nissan, Suzuki, Mazda, Daihatsu, Mitsubishi, Subaru. Tetapi yang lebih penting adalah kenyataan bahwa kepemilikan perusahaan-perusahaan otomobil ini sangatlah kompleks. Misalnya Nissan adalah juga milik Renault dari Prancis. Mazda sahamnya dimiliki oleh Ford. Toyota juga mengontrol saham Daihatsu dan Subaru. Ini hanya beberapa contoh saja yang kita ketahui.
Jadi, selain ada monopoli, lewat kepemilikan saham semua perusahaan otomobil ini saling terkait satu sama lain. Sebuah penelitian pada tahun 2011 dari Swiss menyingkap sebuah jaringan kepemilikan korporasi-korporasi multinasional yang kompleks, di mana “setiap perusahaan punya kepemilikan secara langsung dan/atau tidak langsung perusahaan lainnya.” Dari 43 ribu korporasi multinasional, ada 147 korporasi yang mengontrol 40 persen ekonomi dunia dan tiap-tiap perusahaan ini saling terikat kepemilikannya. (Vitali S, Glattfelder JB, Battiston S (2011) The Network of Global Corporate Control. PLOS ONE 6(10): e25995)
Namun jangan kita pikir kalau monopoli ini hanya dilakukan kapitalis asing atau hanya dalam tingkatan korporasi multinasional. Monopoli juga dilakukan oleh kapitalis nasional di bumi Indonesia. Media di Indonesia (koran, majalah, TV, radio, penerbitan buku, dll.) dimonopoli oleh 12 perusahaan: Grup MNC, Kompas Gramedia, Jawa Pos, Mahaka Media, Elang Mahkota Teknologi, CT Corp, Visi Media Asia, MRA Media, Femina, Tempo Inti Media, dan Beritasatu Media Holding. Pasar rokok Indonesia dikuasai tiga pemain: Gudang Garam, Djarum dan Sampoerna; walau belum lama ini Djarum dan Sampoerna sudah dijual ke Imperial Tobacco dan Phillip Morris, yang memonopoli industri rokok dunia.
Tidak hanya itu, perusahaan-perusahaan raksasa ini juga membentuk sebuah kartel, yakni sebuah kerja sama antar monopoli yang mana dengan perjanjian-perjanjian terselubung mereka mengatur harga, membagi pasar, menentukan jumlah produksi, dan lain sebagainya. Pembentukan kartel oleh pemain-pemain besar dilakukan karena mereka bisa meraup lebih banyak laba lewat kerja sama ini. Persaingan bebas – walau masih terjadi pada tingkatan tertentu – bukan lagi fitur yang dominan. Kebanyakan persaingan justru terjadi dalam ranah iklan, di mana tiap-tiap perusahaan mencoba meyakinkan kita kalau sambal ABC lebih enak daripada sambal Indofood, kalau motor Honda lebih baik daripada motor Yamaha. Pada kenyataannya mereka sudah membagi pasar dan mengatur harga sedemikian rupa sehingga dapat meraup laba sebanyak mungkin, atau superprofit. Yang dirugikan adalah konsumen.
Selain itu, produksi di bawah kapitalisme juga semakin lama semakin bersifat sosial, yakni tidak ada satu pabrik atau industri yang berdiri sendiri. Tiap industri adalah bagian dari rantai produksi kapitalis yang kompleks dan saling tergantung. Kita ambil contoh saja industri telepon genggam, yang melibatkan puluhan industri dan sub-industri: plastik (untuk komponen-komponennya), tambang (telepon genggam menggunakan banyak mineral langka), informasi teknologi (untuk programnya), energi (baterai), komunikasi (penggunaan satelit dan antena pemancar), dan lain sebagainya. Tidak ada satupun industri yang berdiri sendiri.
Kenyataan ini mendorong kaum kapitalis untuk membentuk konglomerat, yakni sebuah perusahaan raksasa yang bergerak di beragam industri. Kali ini kita tidak perlu melihat ke luar negeri, kita cukup melihat Salim Grup, dengan lebih dari 400 perusahaan yang bergerak di hampir semua industri: Indofood (mie instan), Bogasari (tepung), Indomaret (retail), Indocement (semen), Indosiar (televisi), perkebunan sawit, perhutanan, real estate, perbankan, asuransi, dll. Juga Bakrie Group, sebuah konglomerat multinasional yang bergelut di perkebunan sawit dan karet, tambang batu bara, minyak, dan gas, telekomunikasi, properti, tambang mineral, konstruksi, dll. Djarum Group, yang di atas sudah kita sebut sebagai salah satu monopoli rokok, juga bergerak di sektor perbankan, elektronik, properti, agribisnis, telekomunikasi, dan multimedia. Konglomerasi terus berusaha menguasai berbagai cabang industri dari hulu hingga hilir guna memperoleh dominasi absolut.
Dengan kartel dan konglomerat, persaingan dalam kapitalisme hari ini bukan lagi antara perusahaan yang secara teknik lebih maju dengan perusahaan yang secara teknik lebih terbelakang. Pada periode awal kapitalisme, seorang kapitalis yang menemukan metode atau teknik untuk memproduksi barang dengan lebih murah, lebih cepat, dan lebih berkualitas akan menang. Hari ini yang ada adalah perusahaan raksasa menggilas perusahaan-perusahaan kecil. Ini benar dalam skala nasional, dan juga benar dalam skala internasional. Perusahaan-perusahaan kecil dari negara Dunia Ketiga tidak akan mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar dari negara kapitalis besar. Mereka hanya jadi bulan-bulanan, jadi roda-roda gir kecil dalam mesin konglomerasi besar. Sukses sebuah perusahaan tidak lagi ditentukan oleh kemampuannya untuk melakukan inovasi, tetapi oleh besarnya kapital yang ia miliki. Misalnya, sebuah perusahaan yang punya modal besar bisa menghancurkan saingannya yang lebih kecil dengan membanting harga – bahkan bila ia merugi – sampai saingannya bangkrut. Dengan modalnya yang besar, walau menjual rugi ia bisa bertahan lebih lama daripada perusahaan yang lebih kecil. Sebuah perusahaan konglomerat, yang juga punya kendali atas industri-industri suplai lain, juga dapat menyabot saingannya dengan memotong suplai tertentu.
Inilah tahapan kapitalisme hari ini, sebuah tahapan monopoli dan konglomerasi, di mana konsentrasi kapital dan produksi semakin hari semakin terpusat. Persaingan bebas sudah bukan lagi fitur utama kapitalisme. Dengan fakta ini, maka karakter progresif kapitalisme – yakni persaingan bebas yang merupakan motor perkembangan kekuatan produktif – telah lama hilang. Bila perkembangan umat manusia ditentukan oleh kemampuan manusia untuk terus mengembangkan tenaga produktif, maka kapitalisme sungguh telah menjadi beban bagi perkembangan umat manusia.
Mungkin akan ada orang-orang yang keberatan dengan pernyataan ini. Mereka mengatakan: “Lihatlah perkembangan teknologi 50 tahun terakhir ini, apa ini bukan bukti karakter progresif kapitalisme?” Akan tetapi pernyataan bahwa kapitalisme telah menjadi rintangan bagi perkembangan umat manusia bukan berarti bahwa tidak ada pertumbuhan atau perkembangan sama sekali. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa sistem ekonomi kapitalisme tidak mampu menggunakan secara penuh potensi produksi manusia. Potensi sumber daya manusia dan alam yang begitu besar tidak mampu digunakan untuk menyelesaikan kemiskinan dan kemelaratan mayoritas umat manusia. Setengah dari populasi Indonesia hidup di bawah $2 per hari, atau Rp 18 ribu per hari. Di seluruh dunia, ada 2,6 milyar manusia yang bernasib sama. Setiap 8 detik, seorang anak meninggal karena minum air tidak bersih. 3,6 juta orang mati setiap tahunnya karena tidak mendapatkan akses ke air bersih dan sanitasi. Kita bisa menulis satu buku penuh berisi statistik kemiskinan dan kemelaratan mayoritas manusia. Kapitalisme, kendati katanya telah menemukan berbagai teknologi canggih, tidak mampu menyelesaikan masalah kemiskinan. Justru hari ini ia telah memasuki krisis besar di mana standar hidup rakyat pekerja bahkan di negeri-negeri kapitalis maju semakin memburuk, apalagi di negeri-negeri Dunia Ketiga.
Usaha sia-sia menanggulangi monopoli
Monopoli hari ini telah menjadi sebuah kenyataan yang tak terbantahkan dan diakui oleh semua ekonom besar borjuis. Siapa pun yang mengatakan sebaliknya entah penipu atau dungu. Namun kaum kapitalis tidak dapat mengakui dengan terus terang kalau persaingan bebas – yang merupakan pilar dari kapitalisme – sudah bertekuk lutut di hadapan monopoli. Konsep persaingan bebas bukan hanya pilar ekonomi kapitalisme tetapi juga pilar ideologinya, bahwa dengan saling berkompetisi tiap-tiap manusia akan menjadi semakin lebih baik. Setiap orang yang berusaha dan bekerja keras akan memiliki kesempatan untuk berhasil dan menjadi pemenang. Manusia yang individualis, yang berdiri untuk kepentingan dirinya sendiri, yang terus bersaing dengan sesamanya secara bebas, inilah manusia yang sempurna dalam ideologi kapitalisme. Sosialisme, di lain pihak, dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan dengan sifat alami manusia yang individualis dan ingin terus bersaing bebas. Sosialisme, yang menyediakan program-program sosial dan memastikan semua orang dapat bekerja dengan upah layak, akan mematikan karakter manusia untuk terus memperbaiki dirinya dan membuat manusia menjadi malas, bodoh, dan terbelakang. Hanya dengan persaingan bebas maka umat manusia dapat menjadi lebih baik.
Oleh karenanya mengakui dominasi monopoli berarti mengakui bahwa kapitalisme hari ini sudah tidak ada nilai progresifnya lagi. Ternyata apa yang disebut sifat alami manusia untuk bersaing bebas tidak bisa menghentikan laju kapitalisme menuju monopoli, yang pada gilirannya berarti bahwa tidak ada yang namanya itu sifat alami manusia untuk menjadi makhluk yang individualis dan saling bersaing seperti binatang liar. Pada kenyataannya, tidak ada yang namanya sifat alami manusia. Kesadaran manusia ditentukan oleh keberadaan sosialnya, oleh moda produksi yang ada.
Oleh karenanya, tidak jarang kita temui sejumlah kapitalis – lewat ideolog mereka – yang mengeluh mengenai monopoli. Mereka berusaha menerapkan berbagai undang-undang anti-monopoli dan berharap dapat kembali ke masa muda kapitalisme di mana tiap-tiap kapitalis punya kesempatan yang sama dalam persaingan bebas. Tetapi harapan dari jutaan kapitalis kecil ini hanyalah mimpi belaka. Mereka tidak bisa memutar balik roda sejarah. Bahkan pada kenyataannya, para kapitalis kecil ini berharap kalau mereka sendirilah yang menjadi monopoli besar. Mereka hanya kecewa tidak ada lagi kesempatan bagi mereka untuk menjadi monopoli besar.
Pemikiran kaum borjuis kecil ini juga merasuki pemikiran kaum Kiri. Sejumlah kaum Kiri borjuis-kecil membayangkan kalau masalah utama dalam kapitalisme adalah korporasi raksasa. Lantas kritik mereka terhadap kapitalisme hanya terbatas pada korporasi raksasa, tetapi tidak pada sistem kapitalisme itu sendiri. Melihat kejahatan-kejahatan besar yang dilakukan oleh korporasi-korporasi raksasa, mereka lantas mengagung-agungkan perusahaan-perusahaan kecil dan menengah, atau UMKM. Perusahaan-perusahaan kecil-dan-menengah milik keluarga dijadikan model kapitalisme yang humanis dan baik hati. Segala yang raksasa dan modal asing adalah sumber dari kejahatan kapitalisme itu, sehingga perspektifnya adalah kembali ke periode awal kapitalisme di mana tidak ada dominasi korporasi raksasa dan modal asing.
Namun roda sejarah tidak bisa diputar kembali. Ada alasan mengapa di bawah kapitalisme akhirnya monopolilah yang mendominasi. Ini karena ekonomi-skala-besar secara umum lebih efisien dan produktif dibandingkan ekonomi-skala-kecil. Tidak mungkin pedagang-pedagang kecil dapat membangun gedung-gedung besar, membangun dam raksasa, pesawat terbang, kapal tanker, produksi massal komputer dan barang-barang elektronik, dll. Semua ini membutuhkan konsentrasi produksi dan kapital. Ingin memutar roda sejarah kembali berarti ingin mencampakkan semua pencapaian umat manusia dan mengembalikan peradaban kita ke 200 tahun yang lalu. Kita harus melihat ke depan dan bukan ke belakang, bahwa justru konsentrasi produksi dan kapital ini harus direnggut dari segelintir pemiliknya dan diserahkan kepada rakyat pekerja. Kita akan kupas lebih lanjut solusi terhadap kapitalisme monopoli di bagian selanjutnya. Untuk sementara, mari kita lanjutkan diskusi kita mengenai imperialisme.
Bank dan Kapital Finans
Bank memainkan peran penting dalam kapitalisme monopoli hari ini. Seperti halnya kapitalisme yang telah berubah, peran bank juga telah berubah. Awalnya peran utama bank adalah sebagai penengah dalam transaksi pembayaran. Ia adalah tempat penyimpanan uang (dari kapitalis sendiri dan juga dari rakyat pekerja), dan dari uang yang tersimpan ini bank lalu dapat memberikan pinjaman kepada kapitalis yang membutuhkan modal. Peran awal bank adalah sebagai penengah dalam sirkulasi kapital.
Telah kita tunjukkan di atas bahwa kecenderungan kapitalisme adalah menuju konsentrasi kapital dan produksi, menuju monopoli. Ini terjadi juga dalam industri perbankan, di mana bank-bank kecil tergerus dan yang tersisa adalah segelintir bank-bank raksasa yang mendominasi. Bank-bank kecil yang masih ada pun tidak berdiri secara mandiri, tetapi menjadi semacam “cabang” dari bank-bank besar; seperti halnya banyak perusahaan-perusahaan kecil yang sebenarnya ada di bawah dominasi monopoli raksasa lewat berbagai cara: kepemilikan saham, kontrol suplai dan produksi, kredit, dll.
Dengan semakin terkonsentrasikannya perbankan, maka semakin krusial peran bank dalam kapitalisme monopoli. Jumlah uang yang masuk ke tiap-tiap bank semakin besar karena hanya ada beberapa bank raksasa. Uang yang masuk bukan hanya dari korporasi besar saja, tetapi dari semua kapitalis – besar atau kecil – dan rakyat pekerja. Lewat segelintir bank ini, mayoritas kapital dari berbagai industri bergerak keluar masuk. Sebagai “penjaga pintu kapital,” bank memperoleh kendali bagaimana mendistribusikan kapital ini. Ia menentukan industri atau perusahaan mana yang akan mendapatkan kredit modal, dengan syarat-syarat apa saja.
Di sini kita bisa menyaksikan perubahan kuantitas menjadi kualitas. Ketika bank masih kecil dan hanya memberikan pinjaman kredit kepada beberapa kapitalis, ia hanya melakukan fungsi yang murni teknis dan sekunder. Ketika ia menjadi besar dan bertanggungjawab memberikan kredit pada ribuan bahkan ratusan ribu kapitalis dari berbagai sektor – dari korporasi raksasa sampai pengusaha menengah dan kecil – maka segelintir bank monopoli ini menundukkan semua operasi ekonomi, komersial dan industrial, di bawah kehendaknya. Ini mereka lakukan dengan berbagai cara, yang dimungkinkan karena koneksi finansial mereka yang merambah ke seluruh industri, kontrol mereka dalam memberikan kredit, dan operasi-operasi finansial lainnya. Perbankan dapat dengan rinci menentukan posisi dan situasi keuangan dari berbagai perusahaan lainnya, dan kemudian mengendalikan mereka dengan cara mempersempit atau memperluas, memberikan atau menghentikan suplai kredit. Dengan mengontrol laju suplai kredit, bank menentukan nasib mereka.
Dengan ini, maka bank hari ini bukan lagi hanya penengah tetapi menjadi pengontrol distribusi kapital utama, atau lebih tepatnya pengontrol distribusi alat-alat produksi. Kalau dulunya bank hanya seperti koperasi simpan pinjam, hari ini ia telah menjadi investor besar yang menentukan jalannya ekonomi kapitalisme.
Pembentukan konglomerat seperti yang telah kita jelaskan di atas, sebagai bagian dari kecenderungan konsentrasi produksi dan kapital, juga mendorong merger antara bank dan industri. Djarum Group misalnya tidak hanya berkutat dengan industri rokok tetapi juga bergerak dalam perbankan dengan kepemilikan bank BCAnya. Inilah yang disebut sebagai era kapital finans. Hari ini, kapitalis yang mendominasi adalah kapitalis yang bergerak dalam sektor finans (atau kapitalis finans), dari perbankan sampai grup-grup investasi. Kapitalis industrialis – yakni kapitalis yang murni bergerak dalam sektor industri – ada di bawah dominasi kapitalis finans yang mengontrol kapital.
Kapital finans memiliki karakteristik utama seperti demikian: kepemilikan kapital terpisah dari aplikasi kapital dalam produksi, bahwa para rentenir yang pendapatan utamanya datang bunga pinjaman terpisah dari para pengusaha dan dari semua orang yang terlibat langsung dalam manajemen kapital. Pada tahapan imperialisme, di mana kapital finans mendominasi, pemisahan ini menjadi sangat luas.
Inilah kapitalisme hari ini, di mana para pemilik modal yang sesungguhnya sudah terpisah sepenuhnya dari proses produksi itu sendiri. Mereka hanya meminjamkan uang dan melakukan investasi. Sementara para pemilik pabrik – orang-orang yang secara langsung menjalankan proses produksi tersebut, atau kapitalis industrialis – sesungguhnya tidak punya kapital sendiri. Mereka mengandalkan kapital dari kaum kapitalis finans dan oleh karenanya terdominasi. Hari ini, bank-bank dan grup-grup investor adalah yang berkuasa atas semua kapitalis, industri atau komersial, dari yang kecil sampai raksasa. Penelitian dari Swiss menunjukkan ada 147 korporasi multi-nasional yang mengontrol 40 persen ekonomi dunia. Tabel di bawah mendaftar 10 korporasi terbesar tersebut, dan semua adalah bank dan institusi finansial:
10 Korporasi Terbesar dan Terpenting di Dunia
Rank | Nama | Asal | Aset yang dikelola (dolar AS) |
1 | Barclays PLC | Inggris | 2,3 triliun |
2 | Capital Group Companies | AS | 1 triliun |
3 | FMR Corp | AS | 1,5 triliun |
4 | AXA | Prancis | 1,4 triliun |
5 | State Street Corporation | AS | 2,2 triliun |
6 | JPMorgan Chase & Co | AS | 2,3 triliun |
7 | Legal & General Group PLC | Inggris | 590 miliar |
8 | Vanguard Group | AS | 1.7 triliun |
9 | USB AG | Swiss | 1,4 triliun |
10 | Merrill Lynch & Co. | AS | 2,2 triliun |
Kapital yang ada di bawah kendali tiap-tiap institusi finansial raksasa ini jauh melebihi GDP mayoritas negeri-negeri di dunia. Bandingkan dengan Indonesia yang punya GDP 840 milyar dolar AS, secara kasar kita dapat mengukur kekuatan ekonomi dari kapital finans.
Jaringan investasi mereka juga sangat luas. Tabel di bawah akan memberikan ilustrasi singkat akan kompleksnya kepemilikan beberapa perusahaan besar AS yang kita kenal sehari-hari:
Kepemilikan Saham Perusahaan AS
Kapital Finans | Apple | Microsoft | Coca Cola | Nike | Exxon | |
Barclays PLC (Inggris) | X | X | X | X | X | X |
FMR Corp | X | X | X | X | X | X |
AXA | X | X | X | |||
State Street Corporation | X | X | X | X | X | |
JPMorgan Chase & Co | X | X | X | X | X | |
Vanguard Group | X | X | X | X | X | X |
Goldman Sachs | X | X | X | |||
Morgan Stanley | X | X | ||||
Deutsche Bank (Jerman) | X | X | X | X |
Dari tabel yang ringkas di atas kita bisa melihat bahwa kepemilikan perusahaan-perusahaan besar ini, yang bergelut di berbagai bidang dari komputer, minuman, sepatu, sampai tambang minyak, ada di tangan institusi-institusi finansial. Bukan hanya satu dua, tapi banyak institusi finansial. Inilah gambaran kapitalisme hari ini, yang didominasi oleh kapital finans.
Sampai di sini, kita telah saksikan bagaimana kapitalisme telah berkembang ke tahapan tertingginya: monopoli dan kapital finans. Selanjutnya kita akan kupas karakter lainnya, yakni ekspor kapital.
Ekspor kapital
Ketika persaingan bebas masih merupakan fitur dominan kapitalisme, ekspor komoditas adalah fitur utama kapitalisme. Logika kapitalisme mendorong pemilik modal untuk terus memperluas pasar untuk produk-produknya. Ini mendorong mereka untuk menyebar ke seluruh permukaan bumi. Kapitalisme harus “bersarang di mana-mana, bertempat di mana-mana, membangun hubungan di mana-mana.”
Periode awal kapitalisme adalah kapitalisme merkantilisme (komersial), yang mengakumulasi kapital lewat perdagangan. Perdagangan antar negeri-negeri Eropa menghasilkan profit yang besar bagi kapitalis. Tetapi hubungan perdagangan ini tidak hanya antar negeri-negeri Eropa, tetapi juga meluas ke koloni-koloni. VOC dari Belanda adalah perusahaan saham-gabungan kapitalis pertama di dunia, yang didirikan khusus untuk melakukan perdagangan ke Hindia Timur Belanda (Indonesia). Dengan dominasi militernya, VOC dapat membeli dengan harga sangat murah – atau yang lebih tepatnya merampok – hasil-hasil perkebunan dan pertanian Indonesia. Tidak hanya VOC dari Belanda, tetapi hampir semua negara penjajah besar saat itu melakukan hal yang sama: Spanyol, Inggris, Portugal, Amerika Serikat, Prancis. Kapitalisme awal meraup nilai-lebih yang besar dengan memanfaatkan moda produksi pra-kapitalis yang berlaku saat itu di negeri-negeri koloni. Bahkan AS mengimpor budak hitam dan melakukan perbudakan di tanahnya sendiri sejak abad ke-16, yang hanya dihapus pada 1860an.
Nilai-lebih atau kapital yang diperoleh lewat kebijakan merkantilisme menjadi landasan bagi perkembangan kapitalisme selanjutnya, yakni kapitalisme industri yang berdasarkan manufaktur di pabrik-pabrik besar. Revolusi Industri dari 1750-1850 menempatkan kaum kapitalis industrialis sebagai pemain utama dalam kapitalisme. Revolusi industri ini memberikan dorongan besar pada perkembangan kekuatan produktif, yang pada gilirannya berarti semakin cepat dan semakin besar nilai-lebih atau kapital yang diraup oleh kapitalis. Seperti yang telah kita jabarkan di atas, terjadilah proses konsentrasi produksi dan kapital di mana tahapan selanjutnya yang dimasuki kapitalisme adalah tahapan monopoli dan kapital finans.
Kapital yang diakumulasi oleh monopoli-monopoli raksasa tidak bisa lagi membawa keuntungan besar bila diinvestasikan di negerinya masing-masing, karena sudah terjadi over-saturasi kapital atau banjir kapital. Untuk bisa terus meraup profit, maka kapital mesti diekspor ke seluruh penjuru dunia, tidak hanya dari negeri-negeri kapitalis maju ke negeri-negeri terbelakang tetapi juga antar negeri-negeri kapitalis maju. Ekspor kapital ini dilakukan dengan banyak cara: investasi, membeli saham, pemberian kredit, surat obligasi, dan berbagai operasi finansial lainnya.
Ekspor kapital menjadi fitur dominan di tahapan tertinggi kapitalisme. Kapital diekspor ke negeri-negeri yang miskin kapital – atau sektor industri di sebuah negeri yang miskin kapital – untuk membangun infrastruktur (rel, jalan raya, pelabuhan, sekolah), pabrik, tambang, perkebunan, dll., dengan tujuan meningkatkan nilai-lebih yang dapat diraup. Ekspor kapital ke negeri-negeri terbelakang biasanya memberikan profit yang lebih tinggi karena mereka miskin kapital, harga tanah murah, upah buruh murah, sumber daya alam murah. Inilah bagaimana kapitalisme dicangkokkan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 di negeri-negeri koloni. Tidak seperti borjuasi Eropa yang bangkit sendiri dan menumbangkan sistem sosial dan ekonomi feodal, borjuasi negeri-negeri koloni lahir dari kapital asing. Mereka lahir terlambat dan secara artifisial, dan menjadi tergantung pada modal asing. Ini menentukan karakter mereka dan dengan itu karakter revolusi di negeri-negeri koloni, bahkan sampai hari ini.
Dengan menyebarkan kapital, kapitalis menyebar kontradiksi kapitalisme ke setiap sudut dunia dan mengikat seluruh dunia ke dalam sistem kapitalisme, di mana hari ini krisis di satu negeri dengan mudah menyebar ke seluruh dunia. Inilah watak krisis finansial 2008 baru-baru ini, yang masih terus berlanjut dengan “contagion” yang terus menyebar. Bayangkan, krisis di Yunani, sebuah negeri kecil yang jumlah penduduknya hanya 11 juta, kurang lebih sebesar Jakarta, dapat menyeret seluruh perekonomian dunia. Selama 2 tahun belakangan ini, perhatian dunia terpaku pada Yunani. Mengapa? Karena kapital negeri-negeri besar seperti Jerman, Inggris, Prancis, dan Amerika ada di Yunani. Jatuhnya Yunani akan berimbas pada negeri-negeri pengekspor kapital ini dan lalu tentunya menyebar ke seluruh dunia. Yunani sekarang sudah ada di ruang gawat darurat, dan di ruang tunggu kita temui Italia dan Spanyol, dua negeri yang jauh lebih besar daripada Yunani.
Ekspor kapital juga harus dilihat dalam koneksinya dengan kapitalisme monopoli yang sudah berkembang, yang tujuan utamanya adalah dominasi absolut. Dengan ekspor kapital yang berupa pinjaman kredit, negeri penerima kredit biasanya harus menyetujui sejumlah syarat yang menguntungkan pemberi kredit, seperti akses ke sumber daya alam, konsesi-konsesi pembangunan jalur transportasi dan komunikasi, penghapusan tarif bea masuk, dan berbagai kebijakan lainnya yang tujuannya adalah memperkuat dominasi monopoli. Ekspor kapital juga menciptakan pasar bagi negeri pengekspor kapital, karena negeri penerima kapital akan menggunakan kapital ini untuk membeli jasa dan barang dari negeri pengekspor kapital.
Pembagi-bagian dunia oleh monopoli dan negeri-negeri kapitalis maju
Monopoli, kartel, konglomerasi, dan kapital finans pertama-tama membagi-bagi pasar nasional di antara mereka. Tetapi seperti yang telah kita jelaskan, kapitalisme harus terus menyeruak, “bersarang di mana-mana”. Setelah selesai membagi-bagi pasar nasional, kapitalis-kapitalis raksasa dari berbagai negeri besar lalu membagi-bagi pasar dunia di antara mereka. Pembagian ini, pada analisa terakhir, tergantung dari kekuatan kapital dari perusahaan-perusahaan monopoli tersebut.
Tiap-tiap negeri, demi kepentingan kapitalis finans nasional mereka sendiri, bersaing memperebutkan koloni-koloni, yang merupakan pasar untuk produk mereka, daerah tujuan ekspor kapital mereka, dan sumber bahan mentah. Ekspansi koloni dan perseteruan ini mencapai puncaknya pada Perang Dunia I (1914-18) yang berlanjut ke Perang Dunia II (1938-1945). Perang-perang ini bukanlah perang untuk demokrasi seperti yang tertulis di buku-buku sejarah, tetapi perang imperialis untuk membagi-bagi dunia di antara kekuatan-kekuatan kapitalis besar.
Pada masa-masa damai, negeri-negeri kapitalis besar dengan monopoli-monopoli mereka mencapai persetujuan di antara mereka bagaimana membagi-bagi pasar dunia. Tetapi persetujuan ini hanyalah gencatan senjata sementara. Dengan perubahan relasi kekuatan, terjadi pembagian ulang pasar dunia di antara mereka. Pembagian ulang ini bisa terjadi dengan lambat atau bisa terjadi dengan cepat, secara tertutup atau secara terbuka, dengan proses yang relatif “damai” atau dengan proses yang penuh kekerasan dan berdarah-darah. Dari lembar-lembar sejarah kita bisa saksikan pembagian-pembagian ulang ini. Sampai akhir abad ke-19, kapitalis Inggris dan Prancis mendominasi pasar dunia. Namun, pada permulaan abad ke-20, muncullah pemain-pemain baru, yakni AS, Jerman, dan Jepang, yang mulai menggeser kedudukan Inggris. Pemain-pemain baru ini menginginkan bagian pasar mereka, dan berkobarlah dua Perang Dunia. Perang Dunia ini mengubah tatanan ekonomi dan politik dunia, atau lebih tepatnya mengubah pembagian pasar dunia, di mana AS akhirnya keluar sebagai pemenang utama. Di sisi lain Uni Soviet juga keluar sebagai pemenang Perang Dunia Kedua. Akan tetapi karena Uni Soviet serta negeri-negeri satelitnya bukan bagian dari kapitalisme dunia, kita tidak akan berbicara mengenainya. Namun harus dicatat, ini bukan berarti perkembangan di Uni Soviet dan negeri-negeri “komunis” lainnya terpisah atau terisolasi dari perkembangan kapitalisme dunia. Justru pada analisa terakhir, nasib mereka tergantung pada perkembangan kapitalisme dunia dan ini sudah dibuktikan oleh sejarah. Karya ini bukan tempatnya untuk berbicara mengenai Uni Soviet. Ini akan dibicarakan di kesempatan yang lain.
Setelah lebih dari setengah abad dominasi absolut AS, hari ini kita lihat China mulai muncul sebagai kekuatan kapitalis baru. Ia baru saja menggeser Jepang sebagai ekonomi terbesar kedua dunia, dan dalam 10 tahun diramalkan akan menjadi ekonomi terbesar nomor satu. China bukan lagi hanya daerah tujuan investasi dan sumber buruh murah, tetapi telah melakukan ekspor kapital besar-besaran ke Afrika, Timur Tengah, Asia Tenggara, Australia, dan bahkan Eropa dan AS. Melihat ini, kapitalis Barat dan politisi-politisi mereka mengeluh mengenai China yang katanya bermain kotor dalam permainan perdagangan, dengan subsidi besar untuk perusahaan-perusahaan China, kebijakan dumping (banting harga untuk menghancurkan saingannya), kebijakan-kebijakan yang lebih menguntungkan perusahaan nasional ketimbang asing, secara artifisial mengontrol nilai mata uang Yuan, dan lain sebagainya. Kapitalis-kapitalis Barat ini lupa kalau mereka menjadi monopoli dunia raksasa hari ini karena dulu pemerintahan mereka juga mengimplementasikan kebijakan yang sama. Kemunafikan mereka hanya menutupi ketidakmampuan mereka untuk mempertahankan posisi superior mereka di dunia. Pembagian ulang pasar dunia sedang terjadi di depan mata kita.
Selain pasar dunia untuk ekspor kapital dan produk, yang terus diincar oleh para monopoli adalah kontrol terhadap bahan mentah: minyak, gas, tambang, dll. Untuk menjaga dominasi absolut terhadap seluruh industri, dari hulu hingga hilir, maka monopoli harus menguasai suplai-suplai bahan mentah. Dengan menguasai suplai bahan mentah, sebuah monopoli dapat mengontrol distribusi dan harga bahan mentah tersebut dan mendominasi industri-industri hilir yang membutuhkannya. China, misalnya, menguasai mayoritas tambang mineral-mineral langka yang dibutuhkan untuk industri panel surya. 95% suplai mineral-mineral langka datang dari China. Untuk mengalahkan kompetitor industri panel surya dari AS dan Eropa, China membatasi ekspor mineral-mineral langka tersebut. Pada saat yang sama, China juga melakukan dumping panel surya di bawah harga pasar untuk menghancurkan kompetitornya. Dalam waktu 10 tahun, China yang sebelumnya sama sekali tidak memproduksi panel surya hari ini memproduksi 50% panel surya di dunia. Jadi, kebijakan untuk mendominasi, secara ekonomi dan politik, wilayah-wilayah yang kaya sumber daya alamnya datang dari kenyataan bahwa kapitalisme hari ini telah memasuki era monopoli.
Monopoli tidak hanya tertarik pada wilayah-wilayah yang sudah diketahui ada sumber daya alamnya, tetapi juga pada wilayah-wilayah yang berpotensi punya sumber daya alam. Karena perkembangan teknologi yang begitu pesat, sepetak tanah yang hari ini mungkin tampak tidak punya nilai esok hari dapat memberi profit miliaran rupiah. Inilah mengapa setiap sudut dunia diperebutkan dengan begitu gigih.
Konsentrasi kapital dan produksi yang akhirnya menyebabkan banjir kapital di negeri asal juga mengharuskan monopoli untuk melakukan ekspor kapital ke negeri-negeri miskin kapital, dan dengannya mendominasi negeri-negeri tersebut. Dunia dibagi-bagi untuk tujuan ekspor kapital, bukan karena nafsu jahat mereka tetapi karena konsentrasi kapital dan produksi telah mencapai tingkatan yang sedemikian rupa sehingga mendorong mereka melakukan ini demi laba yang lebih besar. Dunia dibagi-bagi sesuai dengan kekuatan kapital. Kepentingan mengekspor kapital inilah yang mendorong kebijakan kolonialisme.
Imperialisme
Kita akhirnya tiba pada kesimpulan mengenai apa itu imperialisme. Imperialisme adalah tahapan tertentu dalam perkembangan kapitalisme, yakni kapitalisme yang telah “membusuk” di mana persaingan bebas telah digantikan dengan monopoli. Persaingan bebas, yang merupakan karakter utama kapitalisme, terus mendorong konsentrasi kapital dan produksi, menciptakan industri-industri raksasa yang terus melumat industri-industri kecil. Proses konsentrasi kapital dan produksi ini akhirnya mendorong perubahan kuantitas menjadi perubahan kualitas, yakni terciptanya monopoli, kartel, konglomerasi, yang bersatu dengan kapital perbankan – yang sendirinya juga mengalami konsentrasi kapital – dan menjadikan kapital finans sebagai tuan raja dari semua kapital.
Monopoli yang lahir dari kompetisi bebas tidak menghilangkan sepenuhnya kompetisi bebas, tetapi eksis di atasnya dan bersamanya. Yang kita saksikan hari ini bukan lagi persaingan bebas seperti periode awal kapitalisme, antar pengusaha-pengusaha yang terus bersaing untuk bagaimana memproduksi barang dengan lebih efisien lewat perkembangan teknik. Yang ada hari ini adalah antagonisme yang tajam dan brutal antara monopoli-monopoli raksasa, yang dilakukan dengan pembenturan kapital-kapital, dengan saling mencaplok, dengan kebijakan dominasi, penjajahan, dan sampai ekspresi terakhirnya, peperangan yang menyeret seluruh umat manusia ke barbarisme yang paling berdarah-darah. Inilah imperialisme.
Kalau ingin diringkas, ada 4 karakter utama imperialisme adalah:
1) Monopoli, dengan kartel dan konglomerasi
2) Kapital finans, yakni di mana bank dan institusi finansial adalah tuan dari semua kapitalis
3) Ekspor kapital menjadi dominan
4) Pembagian dunia di antara monopoli-monopoli raksasa dan negeri-negeri kapitalis maju
Sampai sini, kita telah mendefinisikan kapitalisme dengan cukup dalam dan detail, dengan mempertimbangkan basis ekonominya. Dengan melakukan ini, kita telah menghindari penggunaan kata imperialisme secara serampangan oleh banyak sejarawan untuk mendefinisikan kebijakan penaklukan secara umum. Kebijakan ekspansionis dan penaklukan Aleksander Agung dari Makedonia, Julius Cesar dari Roma, Napoleon Bonaparte dari Prancis, dan George Bush dari Amerika dengan sekali sapu bersih oleh para sejarawan cetek ini didefinisikan sebagai imperialisme. Terdengar sangat sederhana sekali pemahaman ini. Selama ada yang menaklukkan dan ada yang ditaklukkan maka ini adalah imperialisme. Namun teori “imperialisme” ini keliru karena ia menjelaskan semuanya dan pada saat yang sama tidak menjelaskan apa pun. Imperialisme adalah kebijakan penaklukan. Tetapi tidak semua kebijakan penaklukan adalah imperialisme. Secara fundamental, basis ekonomi dari kebijakan penaklukan di tahapan tertinggi kapitalisme hari ini berbeda dengan kebijakan penaklukan di masyarakat feodal, perbudakan, atau bahkan kebijakan penaklukan pada periode awal kapitalisme (misalnya penjajahan Indonesia di bawah VOC pada abad ke-17 dan 18). Basis ekonominya sudah kita jabarkan di atas, yakni dominasi monopoli, kapital finans, dan ekspor kapital.
Mungkin akan ada yang mengeluh bahwa ini hanyalah masalah semantik saja, masalah definisi remeh temeh. Tetapi tidak demikian. Ini berkaitan dengan bagaimana kita dapat mengobarkan perjuangan anti-imperialisme yang sejati dan revolusioner.
Dari kapitalisme imperialis menuju sosialisme
Fakta bahwa kapitalisme telah memasuki tahap imperialisme berarti bahwa situasi objektif untuk sosialisme sudah menjadi semakin matang. Secara objektif, tugas-tugas menuju sosialisme menjadi lebih sederhana. Semakin matang kapitalisme, maka semakin dekat gerbang sosialisme.
Konsentrasi kapital dan produksi telah menciptakan perusahaan-perusahaan monopoli skala raksasa – yang tergabungkan dalam konglomerasi-konglomerasi global – dengan produktivitasnya yang sangat tinggi. Di bawah kapitalisme, produktivitas yang begitu tinggi justru melempar ratusan juta rakyat pekerja ke jurang pengangguran, dan melempar lebih banyak lagi ketika terjadi krisis overproduksi. Inilah kekonyolan sistem kapitalisme, bahwa semakin banyak barang-barang yang terproduksi maka semakin banyak orang yang menjadi tidak berguna. Namun bila monopoli-monopoli raksasa ini diambil kepemilikannya dari segelintir kapitalis dan diserahkan kepada rakyat pekerja untuk dijalankan dengan sistem ekonomi terencana, maka produktivitas yang begitu tinggi ini dapat digunakan sepenuhnya untuk membebaskan manusia dari kerja yang memperbudaknya. Kita harus ingat bahwa yang menjadi kontradiksi utama dalam kapitalisme bukanlah monopoli raksasa itu sendiri, tetapi kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Monopoli di tangan segelintir kapitalis adalah dominasi mereka atas mayoritas rakyat pekerja miskin. Monopoli di tangan mayoritas rakyat pekerja adalah dominasi rakyat pekerja atas nasib mereka sendiri, atas alam, atas dunia untuk kebahagiaan mereka.
Dengan ekonomi yang sudah begitu terkonsentrasikan – dan juga dalam bentuk kapital finans dengan jejaring yang luas – kita cukup menasionalisasi 100 perusahaan dan bank terbesar untuk merebut tuas-tuas ekonomi kapitalisme yang terutama. Kita sama sekali tidak perlu menyentuh ribuan UKM yang ada, karena dalam kapitalisme mereka berada di bawah dominasi korporasi raksasa dan tidak lebih dari roda-roda gir kecil perusahaan monopoli raksasa. Kapitalis monopoli tidak perlu menguasai 100% kepemilikan alat-alat produksi untuk mengamankan dominasi absolut mereka atas perekonomian. Bahkan tidak perlu lebih dari 50%, karena mereka cukup menguasai tuas-tuas ekonomi terpenting: suplai, jaringan distribusi utama, komunikasi, dan sektor-sektor krusial lainnya. Bayangkan ada 100 hektar tanah pertanian di lapang yang luas. Seorang tuan tanah yang pintar hanya perlu menguasai 40 hektar tanah yang ada sumber airnya, lebih subur, dan lokasinya strategis (misalnya, dekat dengan jalur transportasi utama, dsb.) 60 hektar lainnya bisa diserahkan kepada tuan-tuan tanah kecil lainnya, yang akan berada di bawah dominasi sang tuan tanah besar karena mereka butuh air, butuh akses ke jalur transportasi, dan produktivitasnya lebih rendah. Inilah kapitalisme monopoli. Dengan cara yang sama, kaum buruh cukup menguasai “40 hektar” tersebut untuk meraih dominasi absolut. Ini bukan berarti bahwa kapitalis-kapitalis yang lebih kecil adalah sekutu buruh dalam melawan kapitalisme monopoli. Posisi mereka yang terdominasi tidak membuat mereka kapitalis yang lebih baik. Kita akan berbicara lebih banyak mengenai kapitalis-kapitalis yang terdominasi ini dan bagaimana posisi kelas buruh terhadap mereka.
Selain itu, buruh yang bekerja untuk monopoli raksasa memiliki bobot politik, sosial, dan ekonomi yang lebih besar daripada buruh UKM. Ini karena jumlah mereka yang besar dan terkonsentrasikan, dan juga karena mereka menopang industri yang sangat penting bagi ekonomi bangsa. Aksi-aksi mereka akan lebih mengguncang ekonomi. Bandingkan aksi buruh petrokimia dengan aksi buruh pabrik mainan UKM, mana yang akan lebih memukul kapitalisme? Mana yang akan berimbas lebih besar pada rekening bank kaum kapitalis? Jawabannya jelas. Ini bukan berarti kita hanya perlu melakukan pengorganisiran buruh di perusahaan monopoli raksasa saja. Gambaran di atas memberikan kita pemahaman akan medan perang yang ada di hadapan kita, bahwa kapitalisme monopoli telah menciptakan batalion proletar yang besar, kuat, dan terkonsentrasikan, yang posisi ekonominya sangat penting dan strategis.
Satu fakta lainnya mengenai kapitalisme monopoli adalah ia telah menciptakan sistem produksi yang terpadu. Tidak ada satu pun pabrik yang berdiri sendiri. Monopoli-monopoli bersatu menjadi konglomerasi-konglomerasi, yang bergerak di berbagai industri dari hulu sampai hilir. Kapital finans menyatukan semua industri menjadi sebuah organisme tunggal yang saling terkait. Dalam kata lain, kapitalisme imperialis atau kapitalisme monopoli telah menyiapkan fondasi untuk sistem ekonomi terencana sosialis. Dengan fondasi yang sudah disiapkan ini, tugas buruh untuk membangun sosialisme – setelah merebut kekuasaan politik dan ekonomi secara revolusioner – akan menjadi seratus kali lebih mudah dibanding periode sebelumnya.
Ekspor kapital yang menjadi karakter utama dari kapitalisme imperialis ini juga telah menciptakan batalion proletar yang besar di seluruh penjuru dunia. Dengan nafsunya yang besar untuk meraup profit, kapital finans membangun pabrik, tambang, perkebunan, pelabuhan di semua sudut dunia. Mereka menyebar kapital seperti menyebar Injil. Tetapi “Injil kapital” yang mereka sebarkan tidak akan menyelamatkan mereka. Dengan ekspor kapital ini mereka telah menciptakan penggali kubur mereka sendiri, yakni kelas buruh yang semakin besar, kuat dan tersebar luas. Kaum intelektual yang mengatakan sebaliknya, bahwa kelas buruh semakin mengecil dan tidak relevan, lupa kalau laptop, rokok, kopi, dan semua kemewahan yang mereka nikmati untuk bisa duduk berpikir dan berfilsafat ria tanpa harus memeras keringat datang dari kerja buruh dan bukan jatuh dari langit.
Terakhir tetapi sama pentingnya adalah globalisasi, yakni karakter kapitalisme imperialis hari ini yang terus menyeruak dan “bersarang dimana-mana”. Globalisasi kapitalisme membuat perspektif revolusi dunia menjadi semakin relevan hari ini. Seorang revolusioner – terlebih lagi sebuah partai – yang serius ingin mengobarkan revolusi di Indonesia harus memiliki perspektif revolusi dunia, secara teoretis dan organisasional. Walaupun untuk alasan-alasan praktis kaum buruh harus mengorganisir diri mereka sebagai sebuah kelas dengan negaranya sendiri sebagai panggung perjuangan yang segera, isi sesungguhnya dari perjuangan kelas adalah internasional. Ini didikte oleh kapital itu sendiri yang telah menjadi internasional, yang telah menerobos batas-batas nasional. Globalisasi telah menyiapkan fondasi untuk kemenangan sosialisme sedunia.
Situasi objektif untuk sosialisme telah matang, dan bahkan sudah mulai membusuk. Pilihan antara sosialisme atau barbarisme menjadi semakin nyata bagi rakyat pekerja seluruh dunia. Yang dibutuhkan sekarang adalah faktor subjektif, yakni kepemimpinan revolusioner.
Indonesia dan Perjuangan Anti Imperialisme
Dalam kapitalisme hari ini, yakni imperialisme, Indonesia adalah negeri yang tertindas. Monopoli-monopoli raksasa asing mendominasinya. Mayoritas perekonomiannya ada di tangan kapital finans asing lewat jejaring investasinya. Namun ini tidak berarti kalau di Indonesia tidak ada monopoli-monopoli besar dan kapital finans lokal. Sebut saja Bakrie Group, Djarum Group, Salim Group, Sinar Mas Group, Lippo Group, dan Humpuss Group. Namun dalam struktur ekonomi dunia, mereka hanyalah roda-roda gir kecil yang pada gilirannya didominasi oleh monopoli-monopoli yang lebih besar. Inilah fakta kapitalisme hari ini, yakni dominasi yang besar atas yang kecil di tiap-tiap industri, dalam skala nasional hingga skala internasional.
Apakah kita bisa mencapai kapitalisme tanpa dominasi monopoli? Apakah kapitalis-kapitalis yang terdominasi lantas menjadi sekutu bagi kaum buruh dalam perlawanannya melawan kapitalisme monopoli? Bagaimana kita menjawab pertanyaan ini akan menentukan garis politik kita.
Pertama, kita mulai dari fakta bahwa imperialisme adalah tahapan tertinggi kapitalisme, dan oleh karenanya perjuangan melawan imperialisme yang sesungguhnya akan bersandar pada kepemimpinan kelas buruh dalam menumbangkan kelas borjuis dan sistem kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi yang merupakan dasar dari kapitalisme. Hanya persatuan kelas proletar seluruh dunia dengan rakyat pekerja tertindas lainnya – dan bukan persatuan dengan kelas-kelas penindas, apa pun posisi mereka dalam hierarki kapitalisme monopoli – yang dapat menjamin pembebasan nasional yang sesungguhnya.
Karena imperialisme adalah tahapan tertinggi kapitalisme, maka perjuangan melawan imperialisme tidak bisa dipisahkan dari perjuangan melawan kapitalisme. Perjuangan melawan dominasi asing tidak bisa dipisahkan dari perjuangan kelas. Kedua perjuangan ini adalah satu kesatuan. Perjuangan melawan imperialisme membutuhkan sebuah program perjuangan kelas yang lengkap, tegas, dan tidak berkompromi, yang dalam setiap langkahnya selalu menyerang kepemilikan pribadi kaum borjuis.
Kekeliruan dari mereka-mereka yang meletakkan perjuangan melawan imperialisme di atas perjuangan kelas adalah karena mereka melihat imperialisme sebagai sesuatu yang terpisah dari kapitalisme itu sendiri. Mereka tidak memahami bagaimana fitur utama dari tahapan kapitalisme hari ini adalah imperialisme itu sendiri, yakni monopoli, kapital finans, ekspor kapital, dan pembagian pasar dunia. Mengharapkan kapitalisme tanpa imperialisme adalah mimpi kaum borjuis kecil yang ingin kembali ke kapitalisme muda yang “lebih adil”, agar nantinya mereka diberikan kesempatan sekali lagi untuk menjadi monopoli.
Kekeliruan ini sudah terbukti dari kemerdekaan parsial yang diraih oleh hampir semua negeri-negeri eks-koloni, yang mengobarkan perjuangan anti-imperialisme tanpa perspektif perjuangan kelas. Tidak ada satu pun dari mereka yang benar-benar merdeka. Pengecualian justru datang dari negeri-negeri yang mengobarkan perjuangan sosialis, seperti China, Vietnam, Kuba, dan Korea Utara, yang mandiri karena justru menumbangkan kapitalisme. Tetapi kemandirian ini pun terbatas, hanya sementara dan hanya pada tingkatan tertentu, karena pada akhirnya mereka adalah pulau-pulau kecil sosialisme di lautan luas kapitalisme global. Kenyataan kalau Vietnam, China, dan Kuba hari ini telah membuka pintu ekonomi mereka dan membiarkan kapital membanjiri tanah mereka adalah bukti bahwa bahkan negeri yang sudah menumbangkan kapitalisme pun pada akhirnya tidak akan bisa menghindari dominasi kapitalisme-imperialis. (Kapitalisme telah direstorasi di China dan Vietnam, sementara Kuba tengah menapak jalan ke arah yang sama.) Hanya Korea Utara yang masih “mandiri” dalam keterisolasian mereka yang mencekik, dan ini dibayar dengan harga mahal oleh rakyat Korea Utara dengan terbentuknya sebuah kerajaan agung keluarga Kim, yang keagungannya bahkan menandingi raja-raja dalam dongeng Mahabarata.
Kesimpulannya jelas, tidak mungkin kita mendirikan kapitalisme yang mandiri di Indonesia. Ini hanyalah mimpi kapitalis nasional yang sendirinya ingin menjadi monopoli, yang menggonggongi tuan-tuannya karena tidak kebagian kue jarahan yang lebih besar.
Kedua, kita harus melihat karakter borjuasi nasional yang terdominasi ini. Borjuasi Indonesia – seperti borjuasi negeri-negeri Ketiga lainnya – lahir terlambat di panggung sejarah. Mereka lahir bukan dari proses organik seperti borjuasi Eropa, tetapi dicangkokkan lewat ekspor kapital dari negeri-negeri kapitalis maju. Karena fakta historis ini, mereka tidak mandiri, lemah, tergantung pada modal asing, dan tidak progresif. Mereka tidak bisa menyelesaikan sepenuhnya tugas-tugas demokratik nasional (reforma agraria, penghapusan feodalisme, pembentukan republik yang demokratis, pembentukan negara bangsa yang mandiri dan utuh). Bahkan tugas-tugas demokratik nasional tersebut hari ini setengah tercapai berkat dorongan perjuangan rakyat pekerja. Bukan borjuasi nasional yang menggedor pintu kediktatoran Soeharto dan akhirnya mendobraknya guna membawa reforma demokrasi. Justru mereka berbaris rapi di belakang Soeharto ketika ia membantai jutaan rakyat dan menegakkan kediktatoran brutal.
Hari ini ada selapisan kaum borjuis yang berbicara mengenai kedaulatan Indonesia, ambillah Prabowo dengan Gerakan Indonesia Raya dan Surya Paloh dengan “Restorasi Indonesia”nya. Seperti seorang anti-imperialis tulen, Surya Paloh berujar: “Indonesia haruslah berdaulat di bidang politik dan mandiri di bidang ekonomi … Kita sebenarnya mampu berdikari di bidang ekonomi. Kenyataannya pada hari ini sejujurnya Indonesia tidak lagi mampu berdiri di atas kaki sendiri. Itu karena Indonesia memberikan kesempatan kepada dunia luar untuk membuat Indonesia sendiri tidak mampu berjaya, berdaya, berdiri, berdaulat di bidang ekonomi, maupun di bidang politik.” Inilah Surya Paloh yang sama, pemilik monopoli media Indonesia, yang memberangus serikat pekerja dan yang editorial koran Media Indonesianya baru-baru saja mengecam aksi buruh: “Kita tidak ingin Indonesia menjadi negeri yang ditinggalkan investor. Kita tidak mau negeri ini gagal memberikan kesejahteraan bagi kaum pekerja, tetapi kita juga tidak mau para pekerja justru membuat bangkrut perusahaan.” (23/11/12) Pejuang anti-imperialis kita tidak ingin bangsa Indonesia ditinggalkan investor asing.
Prabowo dan adiknya, Hashim Djojohadikusumo, anggota dewan pembina Gerindra, adalah pemilik jutaan hektar tanah dari Aceh hingga Papua. Visi kedaulatan nasional Gerindra tidak meliputi kedaulatan tanah bagi para petani miskin, tetapi hanya meliputi kedaulatan pemilik tanah besar seperti Prabowo dan Hashim untuk mendominasi jutaan petani miskin. Hashim pun sebelumnya adalah pemilik lahan minyak di negeri-negeri eks Uni Soviet, di Kazakhstan dan Azerbaijan. Para Gerindrais anti-imperialis ini adalah kekuatan monopoli di negerinya sendiri dan monopoli imperialis terhadap negeri-negeri yang lebih kecil.
Perjuangan anti-imperialis kaum borjuis nasional – kalaupun bisa disebut perjuangan – tidak konsisten, penuh keraguan, dan penuh pengkhianatan. Mereka lebih takut pada buruh daripada tuan-tuan mereka. Mereka lebih takut kehilangan kepemilikan mereka daripada kehilangan rantai yang mengikat mereka pada monopoli dunia. Mereka menggeram pada tuan mereka sembari menjilati tangannya. Borjuasi nasional tidak bisa menjadi sekutu kaum buruh dalam perjuangannya melawan imperialisme, karena ia justru akan melemahkan gerakan anti-imperialisme. Tidak semua lawan dari lawan kita adalah sekutu. Pembentukan front nasional antara buruh dan kaum borjuis yang katanya “progresif” hanya akan menumpulkan perjuangan kelas dan pada gilirannya menumpulkan perjuangan anti-imperialisme. Dengan front nasional “anti-imperialisme”, Kaum Kiri hanya akan menjadi penjaga perdamaian kelas.
Sejumlah Kesimpulan
Kita sampai pada penghujung analisa kita, yang mana sejumlah kesimpulan umum dapat kita rangkum:
1) Setelah menganalisis asal-usul imperialisme, dengan menggunakan metode Materialisme Dialektis-Historis, kita mencapai kesimpulan bahwa imperialisme hanya bisa dilawan dengan perjuangan kelas yang konsisten.
2) Kelas buruh, yang semakin hari semakin besar dan kuat, adalah satu-satunya kelas yang bisa menumbangkan kapitalisme imperialis hari ini.
3) Borjuasi nasional negeri-negeri eks-koloni, karena fakta perkembangan historis mereka, tidak bisa dan tidak boleh dijadikan sekutu dalam perjuangan melawan imperialisme. Kaum buruh tidak boleh mengikat kaki-tangannya dalam front nasional dengan borjuasi.
4) Sekutu buruh dalam perjuangan melawan imperialisme adalah lapisan rakyat pekerja tertindas lainnya: tani, nelayan, dan kaum miskin kota. Dengan mempertahankan kemandirian kelasnya, kelas buruh harus memimpin perjuangan seluruh rakyat pekerja tertindas dalam melawan kapitalisme imperialis.
5) Program utama kelas buruh untuk melawan kapitalisme imperialis adalah:
a) Nasionalisasi 100 Perusahaan Terbesar yang menguasai tuas-tuas ekonomi penting
b) Nasionalisasi seluruh perbankan dan institusi kapital finans
c) Batalkan semua hutang luar negeri dan perjanjian-perjanjian ekonomi yang membelenggu Indonesia
d) Jalankan ekonomi di bawah kontrol rakyat pekerja secara demokratis dan dengan sistem ekonomi terencana
e) Bergerak menuju Federasi Sosialis Asia Tenggara, sebagai bagian dari Federasi Sosialis Dunia, yang akan menggantikan sistem ekonomi dominasi imperialisme dengan sistem ekonomi yang berdasarkan persaudaraan seluruh umat manusia.
Setiap usaha harus dilakukan oleh kaum revolusioner untuk menghubungkan perjuangan sehari-hari buruh dengan program ini, untuk menjembatani kesadaran buruh hari ini ke tugas-tugas historisnya dengan sistem program transisional.
6) Terakhir, tetapi tidak kalah pentingnya, perjuangan melawan kapitalisme imperialis harus berperspektif internasional dan mendobrak batas-batas nasional. Nasib revolusi Indonesia terikat pada perspektif revolusi di Asia dan di dunia. Revolusi harus menyebar karena tidak akan ada satu pun negeri yang bisa mandiri di tengah lautan kapitalisme imperialis.
Berpegang teguh pada poin-poin di atas, kaum buruh akan menemukan jalan menuju sosialisme tanpa terjebak pada prasangka-prasangka nasionalisme sempit dan anti-imperialisme vulgar. Kebuntuan kapitalisme imperialis sedang menciptakan badai-badai konflik yang semakin hari semakin tajam. Bila kaum buruh revolusioner tidak punya pegangan ideologi yang mantap, ia akan terseret ke dalam badai ini dan menjadi bingung. Ia harus dengan seksama memperhatikan semua peristiwa politik yang berlangsung di sekitarnya. Tidak terpukau pada fenomena-fenomena di permukaan, pada prasangka-prasangka terbelakang yang ada dalam masyarakat, tetapi memeriksa dengan jeli setiap fenomena dan prasangka, mampu membedakan mana yang revolusioner dan mana yang reaksioner, mana yang baik untuk kemajuan kesadaran kelas dan mana yang buruk.
Sungguh cocok kalau kita tutup risalah ini dengan seruan Bapak Republik Indonesia kita, Tan Malaka, sosok yang mana kita banyak berhutang budi atas perjuangan revolusionernya dalam melawan imperialisme di Indonesia:
“Wahai kaum revolusioner, siapkanlah barisanmu dengan selekas-lekasnya! Gabungkanlah buruh dan tani yang berjuta-juta, serta penduduk kota dan kaum terpelajar dalam satu partai massa proletar. Tunjukkan kepada tiap-tiap orang Indonesia yang cinta akan kemerdekaan tentang arti kemerdekaan Indonesia dalam hal materi dan ide.”
25 November, 2012 (Revisi 4 Juli, 2024)